Senin, 11 Oktober 2010

Situs BATUJAYA, Terbesar di Asia Tenggara


Kerangka prasejarah di kompleks situs Batujaya. Ada gerabah Buni yang menghubungkan tempat ini dengan India, Srilangka dan Bali. Ada candi, artefak budaya, tengkorak, dsb. Paket lengkap. 

Candi Jiwa yang pertama kali ditemukan di Situs Batujaya. Ada 24 candi di kompleks ini, di permukaan. Belum yang rata/ bawah permukaan tanah. Teridentifikasi 30 umur, seluas 5 km2. Kolosal juga kerajaan Tarumanagara. 


Jawa Barat garing. Dada anda sesak disentil begitu ? Cibiran ini khusus percandian, di mana provinsi gemah ripah loh jinawi ini belum punya temuan arkeologis yang monumental. Kalau soal ini, memang kita akui dan terpaksa manggut2 ( dengan hati gundah ). Tapi, Allah tak ingin kita berlama-lama ‘dirundung malu’. Jawa Tengah punya Borobudur dan Prambanan. Jawa Timur punya situs Majapahit ( Situs Trowulan disayangkan penataannya tidak memperhatikan khazanah arkeologis ).
Jawa Barat, sejak tahun 1985 punya situs Tarumanegara. Jaraknya  150 km dari Kota Bandung. ( walau di ujung laut pun kan kusebrangi ) 45 km dari Karawang Kota. Masih di areal persawahan, tepatnya di Desa Segaran, kecamatan Batujaya, dan Desa Teluk Buyung serta Telagajaya di Kecamatan Pakisjaya, kabupaten Karawang. Situs Batujaya. 
Nggak tanggung2. 24 candi sekaligus. Itu baru di permukaan, belum yang di bawah permukaan. Bisa jadi yang terbesar di Asia Tenggara. ( kalau sabar, Allah takkan menyia-nyiakan kesabaran itu, kan ? Dihadiah full packed : candi, gerabah kuno, kerangka prasejarah, keramik, dll. You name it ). Situs Batujaya telah teridentifikasi 30 umur dengan luas sekitar 5 kilometer persegi. Dahulu di sepanjang pesisir Karawang berjejer bangunan tertua di Indonesia. Abad 4 Masehi. Warisan kerajaan Budha kuno, Tarumanegara.


Karawang = Kawasan Konservasi Strategis Nasional. 

Wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanagara. Dari Banten sampai Binong ( warna coklat di peta ). Wilayah pengaruhnya dari Ujung Kulon sampai sebagian Jawa Tengah ( coklat muda ). Urang Bandung dan anak Betawi/ Jakarta, sama2 keturunan Tarumanagara. 

Masa kerajaan Tarumanagara, sesudah Salakanagara ( tahun 300-an M ) dan sebelum Galuh-Pakuan Padjadjaran ( tahun 600-an M ). Menyusul kemudian, Sumedang Larang, Cirebon dan Banten.


Dari situs Buni ( kerangka manusia dalam gerabah, bersama benda kuburnya ) terlihat kompleks kebudayaan yang luas, mencakup pantura Jabar, aliran sungai Cisadane, Ciliwung, Bekasi, Citarum dan Cipagare, dengan sebaran Tangerang ( situs Serpong, Curug dan Mauk ), Bekasi ( situs  Buni, Kerangkeng, Puloglatik, Pulo Rengas, Kedungringin, Bulaktemu, Rawa Manembe, Batujaya dan Tugu ) dan Rengasdengklok ( Babakan Pedes, Tegalkunir, Kampung Krajan, Pulo Klapa, Cibutek, Kebakkendal, Karangjati dan Cilogo ).
Atas penemuan kolosal yang menggemparkan arkeolog nusantara dan internasional, pemerintah pusat menetapkan Karawang sebagai Kawasan Konservasi Strategis Nasional ( KSN ).
Tahun ini, pemerintah Karawang dipercaya menata Situs Batujaya, lengkap dengan area parkir, gapura, panggung seni, auditorium, penelitian, serta sarana lainnya. Anggarannya dari APBD provinsi Jabar dan APBD Karawang. Penelitian, pemugaran dan penataan situs Batujaya melibatkan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala ( Direktorat Peninggalan Purbakala ), Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jurusan Arkeolog FIB UI, beberapa lembaga penelitian dan teknis lain. Pemprov Jabar menangani secara finansial tahun 2002, pemkab Karawang mulai 2008.


Gundukan misterius bernama unur-unur.

Tim peneliti dan ekskavasi kerangka dari BP3 Serang dan ITB. Didokumentasikan dulu, digambar dulu, dianalisis dulu, baru diangkat.


Lubang di salah satu candi Batujaya. Bekas apa ya dulu ? Misterius, mengundang rasa ingin tahu. Pengen ke sana ? 


Mulanya, warga desa menemukan unur-unur ( gundukan tanah berisi reruntuhan kuno ). Karena ketidaktahuan mereka, bata candi itu diambil untuk dudukan wc. Petani memanfaatkannya untuk menyambung pematang sawah yang putus ( belum tahu dia, itu bata mahakarya nenek moyangnya yang terbesar di Asia Tenggara ). Penggali liar membongkarnya untuk diambil benda kuburnya. Perhiasan atau emas.  Tim Survei Arkeologi FIB UI yang sedang meneliti Situs Cibuaya ( sekitar 20 km timur laut Batujaya ) dilapori warga yang membantu, tentang unur2 ini. Lalu, 11 unur mereka temukan. Itu tahun 1985.
Selanjutnya, muncullah dari unur2 itu 24 bangunan di kawasan seluas 25 km2. ( jumlah 24 baru yang berupa gundukan. Yang terkubur rata dalam tanah belum diketahui jumlahnya ). Dari 4 yang sudah diteliti, 2 sedang dipugar. Candi Jiwa dan Candi Blandongan. ( Candi Serut dan Candi Slender belum ). Masih banyak lahan yang belum dibebaskan sehingga belum bisa dipugar seluruhnya, kata Kaisin, juru pelihara senior sekaligus penanggungjawab lapangan. Areal yang baru dibebaskan seluas 10.700 meter. Sebagian rumah warga ternyata berdiri di atas candi. Masalah penataan candi masih terkendala, terutama masalah pembebasan lahan seluas 8000 m2 yang perlu dana sekitar Rp 3,3 miliar. Menurut Kaisin, dengan kompleks seluas ini, juru pelihara candi perlu ditambah. Untuk ukuran Candi Blandongan saja butuh 10 juru pelihara. Saat ini kesepuluh juru pelihara ini menangani 4 candi yang tengah diteliti. Baru 2 juru pelihara yang diangkat menjadi PNS, sisanya masih kontrak dengan honor Rp.1 juta per 3 bulan.


2014 ditargetkan selesai, tapi 8000 m2  lahan belum dibebaskan. Gimana atuh ?

Patung Budha, berlatar stupa2 di candi Borobudur. Di situs Batujaya tidak/ belum ditemukan adanya stupa ini, padahal sama2 candi Budha.


Candi Blandongan, yang terbesar saat ini di situs Batujaya. Ukurannya 120 x 120 meter, termasuk pelatarannya. Kerangka prasejarah ditemukan di sini. Candi Slender yang masih terkubur, diperkirakan lebih besar ( satu hektar ). Kompleks situs Batujaya dibangun setelah makam2 prasejarah.


Menurut Paiman, Ketua Tim Pemugaran Candi Blandongan, tanpa pembebasan lahan, pihaknya sulit menyelesaikan penataan candi tsb pada tahun 2014. Selasar Candi Blandongan telah mencapai 90 %. Kini, timnya sedang mengecek struktur bangunan di sekitar candi. Struktur bangunan candi utama di Jawa, biasanya dikelilingi candi2 kecil. Dari penelusuran Paiman, di sisi barat ada 2 bangunan tidak berstupa, di barat laut juga ada satu bangunan  begitu. Tidak seperti candi.
Dari udara, Candi Jiwa seperti bunga teratai sebesar 19 x 19 meter. Tak beruang, tak berpintu. Mana stupanya, para peneliti bertanya-tanya. Di mana gerangan ciri candi2 Budha di Jawa ? Permukaan atas Candi Jiwa membentuk pola melingkar berdiameter 6 meter. Candi yang sudah selesai dipugar ini sering jadi tempat perayaan Waisak.
And the biggest is Candi Blandongan. Bentuk denahnya bujur sangkar  berukuran 100 x 100 meter , ditambah pelataran menjadi 120 x 120 meter ( Candi Slender diperkirakan lebih luas, sayangnya masih terkubur dalam tanah seluas satu hektar ). Bangunan candinya sendiri berukuran 23 x 23 meter. Gerbang masuknya berukuran 2 x 2,3 meter. Batu kerikil bercampur adonan lepa putih dan kerang melapisi ruang dalam. Sudut luar bangunan berbentuk bak bastion benteng. Banyak amulet dari bahan tanah liat yang dibakar. Tertera relief mantera dan tokoh Budha. Candi Blandongan, awalnya dipugar Balai Kepurbakalaan Bandung, tahun 2009. Selanjutnya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala ( BP3 ) Serang, tahun 2002 hingga sekarang. Candi ini diperkirakan selesai ditata tahun 2014. Sayangnya, wilayah Batujaya langganan banjir Citarum dan pasang air laut, sehingga banyak bangunan yang rusak karena sering terendam air. ( apa perlu kincir dan pompa seperti di Amsterdam untuk menghalau air ? ).


Dari petani lugu menjadi pemugar terampil. Candi kok dijadikan dudukan wc.


Puing-puing candi, ada 10 warga Batujaya yang menjaganya. Pak Kaisin, warga setempat, sang penanggung jawab lapangan, merasa kekurangan orang untuk memaksimalkan penjagaan ( juga kesejahteraan mereka ). Mengingat banyak orang yang silau materi ( dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan keping sejarah yang tak ternilai ini ), maka keluhan juru pelihara senior tsb patut ditindaklanjuti. Dari lingkungannya, ada 15 petani yang beralih profesi menjadi pemugar trampil. 


Look the bright side. Para petani yang tadinya menggunakan bata untuk wc dan pematang sawah karena tidak tahu, sekarang beralih profesi menjadi peneliti dan pemugar terampil. Sekitar 15 petani menjadi tukang pugar sejak tahun 1985. Meski pendidikannya rendah, mereka ulet mengerjakan tugas arkeologis. Ketika kompleks percandian kolosal ini siap dikunjungi wisatawan, sewajarnya warga Batujaya mendapat porsi terbesar dalam manfaat dan pengerahan SDM-nya. Di mana pun ditemukan cagar budaya atau sumber alam, mestilah warga setempat yang lebih dulu disejahterakan. Sehingga mereka merasa memiliki tempat itu, merawat dan melindunginya dari tangan2 tak bertanggung jawab. Lebih manusiawi dan berkeadilan. Lebih ekonomis dan aman. Sehingga warga daerah lain pun ikut tergugah bila menemukan artefak budaya di daerahnya, apalagi yang membuat bangsa bangga. Dari sinilah jati diri bangsa bermula. Modal awal untuk maju.
(  jika kepulauan nusantara pernah didiami bangsa Atlantis yang peradaban termaju di jamannya, jika kerajaan2 maritim nusantara pernah menpengaruhi wilayah2 mancanegara, cepat atau lambat artefak peninggalan mereka akan ditemukan. Sangat mungkin, awalnya oleh warga desa di seluruh pelosok negeri. Kebesaran masa lalu bisa menginspirasi generasi masa kini untuk menjadi bangsa yang besar. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga prestasi dan tingkah laku manusia sejati. Tidak hanya di buku sejarah, atau dongeng2 masa lalu. Tapi mereka meraba bukti nyata di tangan mereka, menghirup antiknya aroma candi, luasnya area yang mereka tapaki, 3 dimensinya kemegahan yang mereka lihat, dst. Semua sel saraf dilibatkan untuk menakar kebesaran pencapaian leluhur kita. Akan malu kita jika hanya bisa begini2 saja. Kita terpacu untuk bekerja lebih giat dan cerdas. Anda ingin lebih hebat dari orang tua anda, kan?).



Bata lebih sulit dan lebih tua dari candi2 di Jawa. Incredible .. Tarumanagara

Prasasti Ciarunteun. Anda bisa membacanya ? Situs Batujaya berasal dari 2 tahap ; abad 5 – 7 M masa Kerajaan Tarumanagara dan abad 7 – 10 M dibawah pengaruh Sriwijaya yang menguasai Tatar Sunda ( tertuang dalam prasasti Rakryan Juru Penghambat/ Kebun Kopi II, tahun 932 M kekuasaan dikembalikan ke Raja Sunda )


Posisi ditemukan prasasti2 yang berkaitan dengan kerajaan Tarumanagara.

Pakar arkeologi Indonesia mengatakan, Situs Batujaya menggunakan material bata pada abad ke-5  Masehi, berdasar analisis pertanggalan Radiocarbon Dating C-14, analisa bentuk paleografi, analisis sumber2 berita Cina dan prasasti terkait masa Kerajaan Tarumanegara. Jadi, bata di Batujaya bisa lebih tua dari batu candi2 di Indonesia. Membuat bata lebih sulit daripada memahat batu. Penguasaan teknologi pembuatan bata,  dari sejak pemilihan jenis tanah, bentuk, ukuran dan pembakarannya, apalagi awet sampai hari ini, menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi. Bata berukuran 41 x 22 x 7 cm diolah sangat baik ; keras, bercampur ( temper ) pasir, kulit padi ( sekam ) dan dibakar sempurna. Dari mana mereka belajar teknologi ini ? Bukankah masa itu di nusantara tak ada bangunan dari bata ?
Kunci jawaban ada di “Budaya Buni”. Buni nama daerah di Babelan, Bekasi. Tahun 1958, seorang warga Buni, Dogol membuat kalenan ( selokan ) dari sungai Bekasi ke sawahnya, cangkulnya mengenai tengkorak manusia. Hii.. Jasadnya bertabur pecahan gerabah dan artefak. Tembikar Buni memiliki bentuk, teknologi dan pola hias yang spesifik. Situs Buni berasal dari masa perundagian, setingkat masa bercocok tanam, dengan subsistensi antara pertanian dan menangkap ikan. Ada kesinambungan dari prasejarah ( masa awal bercocok tanam ) ke masa Klasik ( Hindu-Budha ). Batujaya merupakan daerah penting masa Klasik juga pilihan perumahan, peribadatan masa prasejarah. Ditemukan batu datar, dolmen, batu bergores, dsb, disini.
Kerangka prasejarah dan ‘budaya Buni’ penghubung Srilangka & India. Bali ?


Candi Jiwa, melibatkan arkeolog dalam dan luar negeri saat pemugarannya. Situs Batujaya adalah surga arkeologi bagi mereka. Semua ingin terlibat. Tahun 2014, Insya Allah, bisa mulai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Ditata secantik Borobudur atau Prambanan di samping ini. 

Gerbang masuk ke kompleks candi Prambanan, Jawa Tengah. Bergetar hati ketika memasukinya. Inikah karya adiluhung leluhur bangsa Indonesia ? Membuat kita merenung sejenak.


Masyarakat Sunda kuno pendukung tradisi prasejarah gerabah Buni, diduga sudah kontak dengan India, Srilangka dan Bali ( Situs Sembiran ) sejak awal Masehi. Dengan X-ray Diofraction ( XRD ), gerabah2 tsb mirip dengan gerabah di Situs Anuradhapura ( Srilangka ) dan Arikamedu ( India ). Tembikar Arikamedu mendapat pengaruh dari kebudayaan Buni. Gerabah di Candi Blandongan dibuat dari bahan setempat dengan teknologi dari persebaran “budaya Buni”.
Situs Batujaya berasal dari 2 tahap ; abad 5 – 7 M masa Kerajaan Tarumanagara dan abad 7 – 10 M dibawah pengaruh Sriwijaya yang menguasai Tatar Sunda ( tertuang dalam prasasti Rakryan Juru Penghambat/ Kebun Kopi II, tahun 932 M kekuasaan dikembalikan ke Raja Sunda ).
5 kerangka manusia akhir prasejarah ( sekitar abad ke-2 M ) yang ditemukan di pelataran Candi Blandongan akhir April lalu, akan diangkat oleh tim BP3 Serang. Dr.Johan Syarif, ahli kerangka dan tulang dari ITB yang akan menganalisis. Kerangka2 itu ditemukan ketika para pekerja sedang menggali / menelusuri struktur penghubung Candi Blandongan ke Candi Jiwa yang pertama kali ditemukan di kompleks situs Batujaya. 5 kerangka manusia dilengkapi bekal kubur dan 2 batu menhir berukuran 2,1 meter dan 2,2 meter ( jadi ingat komik Asterix dengan sahabatnya, Obelisk yang suka menggendong batu menhir ke mana2 ). Menurut Dedi Kusnadi, staf dokumentasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala ( BP3 ) Serang, sebelum diangkat kerangka manusia tersebut didokumentasikan dulu, lalu digambar dan dianalisis.
Kelima kerangka terkubur di kedalaman 93 meter, posisinya berjejer dengan kepala mengarah 60 derajat ke timur. Hanya satu yang utuh dari ujung batok kepala hingga ujung tulang kaki. Panjangnya 170 cm. Gerabah yang utuh dan pecah berada di antara tulang kaki kerangka. Ada yang disimpan di atas perut dan berdekatan dengan kerangka. Di tulang lengan, ada benda logam. Kerangka itu sudah ada sebelum muncul Kerajaan Tarumanagara, terlihat dari bekal kuburnya yang berupa gerabah dan persenjataan logam/ besi.
(  diramu dari artikel2 di PR, diantaranya tulisan Eddy Sunarto, anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Jawa Barat dan karyawan Disparbud Jabar, juga keterangan Amelia Driwantoro, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional ).
Anda tergetar jika diberitahu ;  ragam seni tradisi leluhur kita ( nusantara ) adalah yang terkaya di dunia ?  Di antara pembuat atau pelestarinya, terkubur di situs Batujaya. Kita bisa memelihara dan menghargainya lebih baik, kalau mau.

Sumber: anisavitri.wordpress.com

"Cultuurstelsel" Sebuah Sistem Tanam Paksa Jaman Penjajahan Belanda

Graaf Johannes van den Bosch, pelopor Cultuurstelsel
 
''Cultuurstelsel'' (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Sejarah

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.


Kritik

Wolter Robert baron van Hoƫvell, pejuang Politk Etis

Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.


Kritik kaum liberal

Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.


Kritik kaum humanis

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.


Dampak di bidang pertanian

Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

Sumber: wikipedia

Rute Jalan Raya Daendels Anyer - Panarukan

Titik nol Jalan Anyer-Panarukan

Jalur Pantura

Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya. Jalur ini sebagian besar pertama kali dibuat oleh Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer ke Panarukan pada tahun 1808-an. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggris. Pada era perang Napoleon, Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan dalam keadaan perang dengan Inggris.
Jalur Pantura melintasi 5 provinsi: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ujung paling barat terdapat Pelabuhan Merak, yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Bakauheni di Pulau Sumatra, ujung paling selatan dari Jalan Trans Sumatra. Ujung paling timur terdapat Pelabuhan Ketapang yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali. Jalur Pantura merupakan jalan yang menghubungkan bagian barat Pulau Jawa dan bagian timurnya.
Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa, selain Jakarta, antara lain Cilegon, Tangerang, Bekasi, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Banyuwangi. Selain jalan arteri, terdapat jalan tol di Pantura, yaitu:

* Jalan tol Jakarta-Merak (Banten)
* Jalan tol Jakarta-Cikampek (Karawang)
* Jalan tol Palimanan-Kanci (Cirebon)
* Jalan tol Dalam Kota Semarang
* Jalan tol Surabaya-Gresik
* Jalan tol Surabaya-Gempol (Pasuruan)

Jalur ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi dan menjadi urat nadi utama transportasi darat, karena setiap hari dilalui 20.000-70.000 kendaraan. Jalur Pantura menjadi perhatian utama saat menjelang Lebaran, di mana arus mudik melimpah dari barat ke timur. Arus paling padat tedapat di ruas Jakarta-Cikampek-Cirebon-Tegal-Semarang. Di Cikampek, terdapat percabangan menuju ke Bandung (dan kota-kota di Jawa Barat bagian selatan). Di Tegal, terdapat percabangan menuju ke Purwokerto (dan kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan). Di Semarang, terdapat percabangan menuju ke timur (Surabaya-Banyuwangi) dan menuju ke selatan (Solo-Madiun).


Jalan Raya Pos Daendels

Jalan Raya Pos (De Grote Postweg ) adalah jalan yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan yang panjangnya kurang lebih 1000 km. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels (1762-1818). Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.
Daendels, marsekal yang diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda oleh Napoleon (saat itu sedang menguasai Belanda), bertujuan untuk antisipasi serangan angkatan laut Inggris, yang saat itu telah memblokade Pulau Jawa. Tahun 1808, Daendels tiba di Anyer, setelah melalui perjalanan panjang melalui Cadiz di Spanyol Selatan, Kepulauan Kanari, menggunakan kapal berbendera Amerika dari New York.


daendelsveer


Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan-angan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan.
Jalan Raya Pos menghubungkan kota-kota berikut: Anyer- Serang- Tangerang- Jakarta- Bogor- Sukabumi- Cianjur- Bandung- Sumedang- Cirebon- Brebes- Tegal- Pemalang- Pekalongan- Kendal- Semarang- Demak- Kudus- Rembang- Tuban- Gresik- Surabaya- Sidoarjo- Pasuruan- Probolinggo- Panarukan.


peta-jawa-unsoed-11


Sebagian jalur Jalan Raya Pos (De Grote Postweg ) yang dibangun oleh Daendels merupakan bagian dari jalan desa yang dirintis dan ditempuh pasukan Sultan Agung saat menyerang Batavia tahun 1628 dan 1630.
Sampai di kota Sumedang pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Di sini para pekerja paksa harus memotong pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5000 orang. Penguasa daerah Sumedang pada saat itu Pangeran Kusumadinata IX (1791-1828 ) yang lebih populer dengan sebutan Pangeran Kornel memprotes Daendels atas kesemena-menaan dalam pembangunan jalan itu dengan jalan membalas jabat tangan Daendels dengan tangan kiri.

cadas_pangeran


Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyak para pekerja paksa yang kelelahan dan kelaparan itu menjadi korban malaria.
Bersamaan dengan saat pembangunan jalan raya, Daendels juga mendirikan jasa pos dan telegraf, sehingga dikenalah juga jalan ini sebagai Jalan Raya Pos (De Groote Postweg). Digunakan sejak tahun 1809, jalan yang niatannya dibangun untuk tujuan militer ini, akhirnya berkembang menjadi prasarana perhubungan yang sangat penting di Pulau Jawa.
Jalan ini telah menjadi saksi bisu lalu lintas berbagai barang komoditas yang diangkut melintasinya sejak masa penjajahan hingga sekarang. Kini, diusianya yang ke 200 tahun, Jalan Raya Pos telah berperan sebagai salah satu urat nadi utama perekonominan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa
Setiap jarak 30-40km terdapat Gardu Pos untuk menggantikan kuda yang membawa Kereta-Pos. Lama-kelamaan disekitar gardu Pos terbentuk Desa atau kota. Dulu sebetulnya hanya tempat kandang kuda kereta pos. Sehingga pengiriman Pos terus berjalan sampai ditujuan. Sekarang jika diperhatikan jarak antara tiap kota sepanjang Pantura sekitar 30-40km.


grotepostweg1900
poentjakpostweg

 Rute jalan Anyer - Panarukan yang dibangun oleh Daendels:

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f7/Java_Great_Post_Road.svg/800px-Java_Great_Post_Road.svg.png 



Jalan Daendels di Pantura Pulau Jawa

Herman Willem Daendels adalah seorang Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811. Pada masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis. Pada masa jabatannya ia membangun jalan raya pada tahun 1808 dari Anyer hingga Panarukan. Sebagian dari jalan ini sekarang menjadi Jalur Pantura (Pantai Utara) yang membentang sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Pembangunan jalan ini adalah proyek monumental namun dibayar dengan banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia karena dikerjakan secara paksa tanpa imbalan pantas.

Manfaat yang diperoleh dari jalan ini adalah sebagai jalan pertahanan militer. Selain itu dari segi ekonomi guna menunjang tanam paksa (cultuur stelsel) hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua, dan Sukabumi. Selain itu, dengan adanya jalan ini perjalanan darat Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa dipersingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos.

Sumber: dari berbagai sumber
 

Sejarah Pembuatan Jalan Anyer dan Panarukan

“Kilasan Sejarah Antara Anyer dan Panarukan”




PANDEGLANG, Anda pernah mendengar Nama Daendels?  Ya, tokoh yang sering kita dengar ini  memang  penuh kontroversi. Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Daendels, adalah nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah di bumi kita tercinta ini antara tahun 1808 dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya.


Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.

Dan untuk melakukan tugas itu, dirinya berusaha membangun Jalan antara Anyer sampai dengan Panarukan.  Menurut beberapa sumber sejarah, Jalur jalan ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor).

 
Sebuah tulisan yang dibuat oleh DN. Halwany, dapat menjadi referensi kita untuk mengenal tokoh ini. Berikut ini  tulisan tersebut,  yang saya ambil dari Blog-nya PERPUSTAKAAN HALWANY.



Misteri Perjalanan Dendles Di Banten





Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.

Rute jalan Daendels di Kabupaten Serang sampai saat ini sebetulnya masih dihantui oleh kesimpangsiuran informasi. Karena yang beredar di masyarakat ada dua pendapat ada yang berpendapat bahwa jalan Daendels melewati Kabupaten Lebak, namun ada juga yang menyatakan hanya melewati Kabupaten Serang saja. Memang, menelusuri jalan Daedels dari titik km nol di Anyer hingga 1000 km di Panarukan, orang sering bingung untuk menentukan rute yang benar apakah melalui Serang ataukah melalui Lebak, beberapa masyarakat yang dihubungi, hanya mengenal jalan Daendels dari Anyer sampai Serang. Tidak itu saja di Banten juga banyak jalan-jalan yang bercabang dan masyarakat setempat menamakannya jalan Daendels.

Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembuatan jalan Deandels saat itu melakukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.

Di daerah tertentu, banyak rute khusus yang sengaja di bangun oleh Daendels pada masa itu terutama daerah pusat Kabupaten karena untuk mempermudah transportasi pengangkutan rempah-rempah keluar daerah tersebut. Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik km nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon. Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.

Hingga saat ini, sebagian besar jalan Daendels masih terpakai bahkan yang lama sengaja diperbaharui supaya dapat digunakan. Jalan Daendels yang tidak dapat digunakan lagi adalah daerah Pontang dan Bayah, karena hancur dan tidak diperbaiki kembali. Sementara itu Daendels sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yoyakarta. Jalan Daendels yang lebih di kenal oleh masyarkat adalah jalan bagian utara Jawa, ini disebabkan karena jalan di utara melalui rute yang berhadapan langsung dengan rute Batavia, sedangkan jalan bagian selatan Jawa selain kondisi jalannya rusak banyak juga yang terputus seperti jalan Bayah sampai Citorek.

Ada beberapa versi mengenai sejarah pembuatan jalan ini, ada yang mengatakan bahwa Daendels membuat jalan Anyer – Panarukan ini karena ingin mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, sehingga Pulau Jawa perlu dibangun jalan guna menghubungkan suatu daerah ke daerah lain agar dapat mempercepat kabar berita dan alur transportasi. Secara kronologis, pada tahun 1808 datanglah Herman Willem Daendels dari Belanda ke Banten, waktu ia datang ke Indonesia negaranya tengah di jajah oleh Perancis. Sebagai murid yang disayangi Napoleon, akhirnya Daendels dikirim ke Indonesia untuk menggantikan Gubernur Jendral dari Belanda yang ada di Indonesia oleh Napoleon Bonaparte (Dr. H.J. de Graaf; 363-370, 1949). Dengan segala upaya akhirnya Daendels mendapatkan bantuan dari rakyat Banten berupa rempah-rempah untuk dikirim ke Perancis dan Belanda sebagai upeti, jadi tidak mengherankan jika ia membuat kerja rodi dan tanam paksa (verplichte diensten) karena jika tidak, ia tidak bisa memberikan upeti pada kedua negara itu.


Ribuan kilometer, ribuan nyawa korbannya.....


Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.

Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai ke bawah.

Keadaan jalan Daendels saat ini dari titik nol km yang bertempat di Anyer Kidul, Desa Cikoneng menuju Serang maupun Pandeglang dibandingkan dengan situasi dan kondisi 180 tahun yang lalu, memang jauh berbeda baik cara hidup masyarakat setempat ataupun alam sekitarnya. Pada saat tanam paksa pembuatan jalan hanya hutan belantara dengan kehidupan binatang yang ada dan di dukung oleh keadaan pantai yang indah menawan belum terjamah manusia. Puluhan orang pribumi atas perintah paksa menerobos hutan dan jadilah jalan tembus untuk mempernudah arus angutan hasil-hasil bumi. Menurut ceritera penduduk setempat, pada pembuatan jalan Daendles (kerja rodi) ini setiap jarak 25 meter di tanami pohon asem di pinggir badan jalan, itu dilakukan agar badan jalan yang telah di buat tetap terpelihara adan terjaga.

Menginjak tahun 1950-an, sepanjang jalan pantai Selat Sunda ini masih sunyi, karena tidak seminggu sekali pun kendaraan roda empat melintas ke tempat ini kecuali kereta api yang melintas jurusan Rangkasbitung – Anyer itupun sehari sekali pulang-pergi mengangkut para penumpang, tapi sejak tahun 1970 di Anyer tak ada lagi ada kereta api yang melintas dan yang ada tinggal sebuah stasiun tua yang sunyi dan sepi. Beberapa masyarakat berpendapat waktu tahun 1972, jangankan malam hari pada siang hari saja masih sering menemukan rombongan binatang seperti; monyet, kancil, manjangan, kelinci maupun sesekali terlihat macan. Sekarang jalan itu telah ramai di lalui kendaraan bermotor, tak kelihatan lagi gerobak yang biasa lewat mengangut singkong ataupun pisang malah yang banyak terlihat tembok-tembok bangunan milik penduduk berjejer bahkan vila dan hotel pun telah menutupi hampir semua kawasan pantai Selat Sunda itu. Tidak hanya itu saja pabrik-pabrik pun telah memadati kawasan ini termasuk tambak udang, sekarang tidak ada lagi kelihatatan binatang liar yang bebas bergelantungan di pohon-pohon maupun bergerombol di pinggiran jalan. Binatang ini telah pergi entah kemana.



Cerita Rakyat Banten “Gubernur Jendral Herman Willem Dendles”






Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Daendels, adalah nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah di bumi kita tercinta ini antara tahun 1808 dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya. Sebelum meninggalkan negeri Belanda menuju Jawa, Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.

Kedua tugas ini diberikan kepadanya mengingat bahwa pada saat itu negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan Inggris adalah salah satu negara yang belum bisa ditaklukkan Prancis yang saat itu. (Eymeret: 1973: 29). Pada tanggal 28 Januari 1807 Daendels menerima tugas untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda langsung dari Louis Napoleon atas perintah dari Napoleon Bonaparte. Persiapan keberangkatannya pun dilakukan. Pada tanggal 9 Februari 1807, Louis Napoleon menandatangani instruksi yang harus dilakukan oleh Daendels. Instruksi itu terdiri atas 37 pasal.

Pada bulan Maret, Daendels berangkat secara diam-diam, agar tidak diketahui pihak Inggris, melalui Paris, kemudian ke Lisabon dengan menaiki kapal Amerika dan mengubah namanya menjadi Van Vlierden. Dari Lisabon Daendels berlayar menuju Kepulauan Kanari selanjutnya menuju pulau Jawa. (Paulus: 1917: 554). Pada tanggal 1 Januari 1808, setelah menempuh perjalanan selama 10 bulan, Daendels mendarat di Anyer hanya dengan didampingi oleh seorang ajudannya dan tanpa memiliki surat-surat kepercayaan. Dari Anyer dia melalui jalan darat menuju ke Batavia untuk menemui gubernur jenderal saat itu, yaitu Henricus Albertus Wiese (Stapel: 1940: 35). Tampaknya Wiese telah menerima berita pengangkatan Daendels. Pada tanggal 14 Januari 1808 Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada Daendels.



Hubungan Daendels dengan Raja-Raja di Jawa Barat





Sebenarnya Daendels melakukan intervensi terhadap kekuasaan kesultanan di Jawa, yakni: Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), Yogyakarta dan Surakarta (Vorstenlanden). Namun, sesuai dengan tema seminar ini, hanya akan dibahas hubungan Daendels dengan Kesultanan Banten dan Cirebon.

Hubungan antara Daendels dan raja Banten bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon. Ribuan pekerja dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan itu. Dalam pekerjaan ini terjadi banyak korban manusia baik yang berasal dari kalangan pribumi maupun dari kalangan orang Eropa, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. Untuk melanjutkan proyek itu Daendels meminta kepada Sultan Banten saat itu, untuk menyediakan tenaga baru dari Banten. Sultan Banten menolak permintaan itu mengingat banyaknya korban yang sakit dan mati karena penyakit. Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirimkan utusannya yang bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar bersedia mengirimkan rakyatnya. Du Puy diserang dan dibunuh. Keadaan ini membuat Daendels marah, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Banten. Sultan Banten menyerah dan diasingkan ke Ambon, sementara pemerintahan diserahkan kepada putra mahkota (Murdiman: 1970:14). Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan kondisi di Banten. Pada akhir abad ke 18, di kraton-kraton Cirebon cukup kacau akibat konflik di dalam kraton. Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya, untuk menjalankan

Sumber lain menyebutkan bahwa Daendels pergi ke Jawa melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari, New York baru menuju ke Jawa dengan menggunakan kapal Amerika (Graaf: 1949: hal. 363). pemerintahan di kraton dilakukan oleh beberapa adipati. Ketika sultan wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal juga secara mendadak. Sementara itu putranya yang diharapkan menggantikannya usianya masih sangat muda. Akibatnya, pemerintahan di dalam kraton diserahkan kepada walinya hingga tahun 1799. Kondisi kraton menjadi sangat kacau ketika putra Sultan yang dulu dibuang ke Maluku melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia.

Sementara itu Sultan Kanoman meninggal tahun 1798. Namun, yang menggantikan bukan putra mahkota, melainkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kekacauan yang mengakibatkan banyak orang Cina terbunuh. Akibat kerusuhan ini putra mahkota Kanoman ditangkap dan dibawa ke Batavia karena dianggap mendalangi kerusuhan itu. Ribuan rakyat protes ke Batavia, tetapi bisa dihalau di Krawang. Akibat dari kejadian ini semua, putra mahkota Kanoman dibuang ke Ambon. (Lubis, 2000: 45-47) Pada masa Daendels menjadi gubernur jenderal. Oleh Daendels para penguasa kerajaan tidak diijinkan menggunakan sebutan sultan lagi, melainkan menggunakan sebutan pangeran. Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember 1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan yang juga dikenal dengan istilah Benteng Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan.



Jatuhnya Kesultanan Banten berdasarkan arsip yang ada




Berdasarkan ringkasan daftar keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang dibuat di Banten tanggal 22 Nopember 1808 terdapat dua hal yang berkaitan dengan jatuhnya Kesultanan Banten, yaitu: Pertama, Berita Acara terbunuhnya Komandan Du Puy dan Letnan Kohl serta seorang Eropa dan tiga anggota militer pribumi dan kedua perintah untuk Raja Banten. Daendels menerima laporan terbunuhnya Komandan Du Puy, Letnan Kohl, tiga orang Eropa dan tiga anggota militer pribumi.

Pada saat Du Puy dipanggil oleh utusan Sultan agar datang menghadap ke Benteng Intan (Istana Sorosowan), Komandan Du Puy diserang oleh Adipati Pangeran Wargadiraja hingga meninggal. Sultan dianggap mengetahui rencana pembunuhan itu dan tidak melakukan apa-apa, bahkan membiarkan para penyerang merusak mayat Du Puy, kemudian dengan sangat kejam menyeretnya menuju sungai dan menenggelamkannya.
Kejadian ini juga menimpa para anggota militer Eropa dan pribumi yang menyertai Du Puy ke sana. Wakil pemerintah yang ditugaskan ikut menjaga Kraton yang bernama Kapten Kohl, pada malam sebelum pembunuhan itu dibuat mabuk, sehingga Sultan dianggap dengan bebas bisa membunuhnya esok harinya. Sultan tidak melakukan tindakan pencegahan sedikitpun. Selain itu juga ada tuduhan pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Banten yakni: adanya serangan terhadap tiga orang serdadu Eropa yang dikirim ke teluk Anyer. Namun, tidak semuanya berhasil dibunuh, karena sebagian bisa melarikan diri ke seberang.

Selanjutnya Daendels memberikan instruksi bagi Raja Banten yang baru, untuk mengesahkan tata cara berikut upacara bagi Prefect Banten, apabila dia tiba sebagai wakil pemerintahan umum Paduka Raja.

1. Tidak ada upacara yang dilakukan apabila pada kesempatan ini Prefect tidak sedang diminta untuk menghadap raja;
2. Dalam kesempatan resmi tergantung pada kondisi, Prefect setelah menyampaikan kepada raja alasan pertemuan ini, oleh empat utusan dikawal dan upacra dari pihak raja Banten akan diadakan sesuai kebiasaan;
3. Prefect setelah mendekati raja akan dilengkapi dengan sebuah payung besar yang baik pada sisi dalam maupun luarnya dicat kuning dan diberi warna pinggi emas dan batangnya lebar, dan selain itu akan dicat biru muda dengan tombol emas, yang harus dipegang oleh seorang pembantu sampai di rumah ketika dia harus diterima oleh raja dengan seluruh ikat kepalanya.
4. Raja harus berdiri dari kursinya ketika Prefect memasuki istana dan harus menyambutnya ketika Prefect di sini menyampaikan salamnya kepada raja, seperti halnya diadakan upacara secara cermat ketika kembali terjadi dia duduk di sebelah kanan raja dan kemudian disesuaikan dengan pemilihan.
5. Dalam peristiwa upacara ini bisa ditunjukan bahwa kepada raja ketika tampil di depan umum dan Prefect kebetulan ada di sana, harus digandeng tangannya di bawah pengawasan Prefectdan dipayungi.
6. Apabila raja menghampiri Prefect, ketika memasuki benteng Speelwijk atau di tempat lain di mana pejabat ini biasa tinggal, dilepaskan tiga tembakan senapan, dan kepada Prefect wajib menyambutnya, membawanya masuk namun para pejabat rendahan bisa menerimanya di depan atau di luar kompleks bangunan itu.
7. Juga para pejabat rendahan seperti halnya Prefect baik yang berjalan kaki maupun berkereta dan berkuda bisa berangkat dan dinaiki bila mereka kebetulan berhalangan.
8. Apabila seorang Prefect atau pejabat lain bertemu dengan raja di tengah jalan, setiap orang akan berbagi jalan dan masing-masing memberi salam, namun anggota militer bisa berdiri di depan raja.
9. Apabila Prefect berjalan menghampiri raja, dia akan berjalan di belakang korps prajurit jaga yang terdiri atas seorang sersan, seorang kopral dan 12 orang prajurit biasa.
10. Pada semua upacara lain, sejauh dirasakan perlu oleh Prefect, harus dihadiri pula oleh raja ketika upacara ini diadakan seperti yang ditetapkan dalam pasal 6.
11. Dengan kedatangan Prefect di Banten, Prefect akan menyampaikan kepada raja yang akan memberikan sambutan kedatangannya sebelum dia sendiri menghadap raja.
12. Selain itu kepada Prefect dan raja diberi wewenang untuk saling bertemu secara kekeluargaan tanpa upacara. Setelah itu Prefect dalam semua aspek akan memperhatikan kepentingan martabat negara yang diwakilinya dan memperhatikan agar raja dan para bangsawannya baik dari pihak penguasa Eropa maupun bangsanya sendiri dihormati martabatnya.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak.

Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya. Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.

Sumber: humaspdg.wordpress.com

Dari Batavia Tempo Doeloe, Hingga Jakarta yang Metropolitan

METROPOLITAN WELTEVREDEN

1743-1750PADA tahun 1648, pemerintah kolonian Hindia Belanda memberikan tanah yang kini menjadi pusat kota Jakarta pada Anthonij Paviljoun. Dan kemudian, pada 1657, sebuah benteng kecil yang disebut Noordwijk didirikan di kawasan yang kini letaknya tidak jauh dari Jl. Pintu Air Raya dan pekarangan Masjid Istiqlal. Keberadaan benteng ini dimaksudkan untuk mengantisipasi sisa-sisa tentara Mataram dan patroli tentara Banten yang masih cukup banyak kala itu.


TjidengInternPemilik tanah Paviljoen berikutnya adalah Cornelis Chastelein, seorang anggota Dewan Hindia (1693). Ia membeli banyak budak dari raja-raja Bali untuk membuka persawahan. Chastelein, termasuk orang pertama di Indonesia yang berusaha mengembangkan sebuah perkebunan kopi di tengah-tengah kota Jakarta saat ini. Rumah-rumah persitirahatan kecil, yang terletak di tanah yang kini dipakai oleh Rumahsakit Pusat Angkatan Darat, dinamainya Weltevreden (Benar-benar puas). Nama ini kemudian diberikan kepada hampir seluruh daerah Jakarta Pusat sekarang sampai masa Pendudukan Jepang (1942).

Pada 1733, Justinus Vinck membeli tanah luas Weltevreden dan membuka dua pasar besar, yakni Pasar Senen dan pasar Tanah Abang. Pada tahun 1735, ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.

E75e8625Pemilik berikutnya, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1704-1761), membangun rumah mewah di tikungan Ciliwung. Mossel juga menggali Kali Lio untuk memudahkan sekoci kecil mengangkut kebutuhan pasar. Pada 1767, rumah Weltevreden dibeli Gubernur Jenderal van der Parra. Kala itu, sebuah kampung di sekitar pasar telah terbentuk. Namun, tanah itu kemudian dijual lagi pada gubernur jenderal VOC terakhir, van Overstraten. Sejak masa itu, Weltevreden menjadi kedudukan resmi gubernur jenderal dan pemerintahannya. Di samping itu, markas militer akan dibangun pula di kawasan ini. Inilah langkah penting dalam pengembangan kota Jakarta selanjutnya.

80DCA700Daerah sekitar Istana Weltevreden (di sekeliling Pasar Senen dan Lapangan Banteng sekarang) pada awal abad ke-19 sudah menggantikan kota sebagai pusat militer dan pemerintahan. Karena itu, makin banyaklah orang meninggalkan kota yang mulai tidak sehat itu, akibat tertimbunnya kali dengan lumpur, pendangkalan karena pembuangan kotoran, sampah serta ampas tebu serta oleh pasir Gunung Salak setelah ledakannya pada 1699 serta oleh salah urus, misalnya akibat penggalian Mookervaart (kini Kali Pesing).

Tak lama setelah Overstraten memutuskan untuk membangun markas militer baru, dua belas batalion Prancis tiba dari Pulau Mauritius. Para tentara ini ditempatkan di daerah antara Jl. Dr. Wahidin dan Kali Lio. Sampai beberapa tahun yang lalu, daerah bekas Jl. Siliwangi I-V masih merupakan daerah perumahan personel militer. Dan, sejak abad ke-18 selalu terdapat tangsi-tangsi di sekitar Lapangan Banteng (kini tinggal markas Korps Komando (KKO) Marinir; Brimob dan RSPAD). Sejak saat inilah Lapangan Banteng di sebut Paradeplaats, yakni lapangan untuk mengadakan parade.

Pada awal pemerintahan Daendels (1809), ia telah mulai membangun sebuah istana yang besar dan megah di lapangan banteng dan kini dipakai Departemen Keuangan. Daendels bermaksud menjadikan istana ini sebagai pusat ibukota barunya di Weltevreden. Istana dirancang oleh Kolonel J.C.Schultze. Adapun bahan bangunannya diambil dari benteng lama atau Kasteel Batavia yang mulai dirobohkan pada 1809. Namun, bangunan ini baru dapat diselesaikan pada 1826 dan 1828 oleh Insinyur Tromp atas perintah Pejabat Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies. Di sebelah utara istana didirikan gedung Hoogeregtshof (Mahkamah Agung).

WaterloopleinPada 1828 pula, di tengah lapangan banteng didirikan Monumen Pertempuran Waterloo (Belgia), tempat dimana Napoleon mendapatkan kekalahan secara definitif. Dan karena itu pula, lapangan di sekitarnya mendapat nama Waterlooplein (Lapangan Waterloo). Selama abad ke-19, lapangan Waterloo merupakan pusat kehidupan sosial. Orang-orang Batavia pada sore hari berkumpul dengan menunggang kuda atau kerata untuk saling bertemu.



Waterlooplein1938

Untuk latihan militernya, Daendels mengalokasikannya di lapangan Buffelsveld (lapangan kerbau) yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional. Kala itu, mereka menyebutnya sebagai Champs de Mars. Sesudah masa kuasa sementara Inggris, lapangan itu diberi nama baru lagi (1818), yakni Koningsplein (Lapangan Raja), karena gubernur jenderal mulai tinggal di Istana Merdeka (sekarang).


Tentang Istana Merdeka ini sebetulnya masih relatif lebih muda dibanding Istana Negara yang terletak di kawasan yang sama tetapi menghadap Jl. Veteran. Gedung Istana Negara dibangun untuk J.A. van Braam pada tahun 1796 sebagai rumah peristirahatan luar kota kala itu. Kala itu, kawasan ini merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru. Selain itu, di kawasan ini juga terdapat kediaman Pieter Tency (1794).

Gedung ini sempat menjadi Hotel der Nederlanden, pada masa Raffles gedung menjadi Raffles House, kemudian menjadi Hotel Dharma Nirmala, dan kini setelah dibongkar dibangun gedung Bina Graha.

Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan tempat kediaman gubernur jenderal bila berurusan di Batavia. Sebab, kediaman resminya adalah Istana Bogor. Rumah van Braam atau Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana), dipilih untuk kepala koloni, karena istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Dan, setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor-kantor pemerintah saja.

Pada abad ke-19 dan selama bagian pertama abad-20, gubernur jenderal kebanyakan tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi, kadang-kadang harus turun ke Batavia, khususnya untuk pertemuan Dewan Hindia, yang pada abad ke-19 dan ke-20 bersidang di Istana Negara setiap hari Rabu. Dan, baru pada abad ke-19, karena Istana Rijswijk dianggap mulai terasa sesak, dibangunlah istana baru pada kaveling yang sama, khususnya untuk berbagai upacara resmi yang dihadiri banyak orang. Istana tambahan ini menghadap ke Lapangan Merdeka.

Di depan istana baru ini dalam suatu upacara yang mengharukan pada tanggal 27 Desember 1949 bendera Belanda diturunkan dan Dwikora Indonesia dinaikkan ke langit biru. Pada hari itu, ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini dengan diam mematung. Mata mereka terpaku pada tiang bendera dan tanpa malu-malu meneteskan air mata. Tetapi, ketika Sang Merah-Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: "Merdeka! Merdeka!" Oleh karena itu diputuskanlah menamai gedung ini Istana Merdeka.

Pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia ditandatangani di gedung ini pada tahun 1949 oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan wakil Ratu Belanda A.H.J. Lovink. Dan, dengan demikian, berakhirlah Perang Kemerdekaan (1945-1949).

Sementara itu, di seberang Mahkamah Agung, di Jl. Budi Utomo pada 1848 dibangun tempat pertemuan yang kini dipakai Kimia Farma. Tempat pertemuan ini pada 1925 dipindah ke gedung baru yang kini dipakai Bappenas di Taman Suropati. Beberapa meter lebih jauh, di pojokan Jl. Gedung Kesenian dan Jl. Pos berdiri Gedung Kesenian Jakarta. Gedung ini didirikan pada 1821.

Schouwburg_Batavia_1939Gedung yang pada masa penjajahan Belanda disebut Stadtsschouwburg (teater kota) ini dikenal juga sebagai Gedung Komidi. Sejarah gedung yang berpenampilan mewah ini pernah digunakan untuk Kongres Pemoeda yang pertama (1926). Dan, di gedung ini pula pada 29 Agustus 1945, Presiden RI I Ir. Soekarno meresmikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kemudian beberapa kali bersidang di gedung ini pula. Pada masa penjajahan Jepang nama gedung ini diganti menjadi Kiritsu Gekitzyoo, dipakai sebagai markas tentara. Pada tahun 50-an, gedung ini sempat dipakai sebagai ruang kuliah malam Universitas Indonesia. Dan, antara tahun 1968 hingga 1984 digunakan sebagai bioskop dengan nama Bioskop Dana dan kemudian menjadi City Theatre. Dan, setelah dikeluarkannya SK Gubernur KDKI Jakarta No. 24/1984, maka bangunan kuno ini dipugar dan dikembalikan ke fungsi semula sebagai pentas kesenian serta ditetapkan namanya menjadi Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Di sekitar Lapangan Monumen Nasional, di Jl. Medan Merdeka Barat, terdapat Museum Nasional, kerap lebih dikenal sebagai Museum Gajah. Museum ini didirikan oleh Lembaga Kesenian dan Pengetahuan Batavia (Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) yang sangat tersohor dan diduga merupakan lembaga ilmiah tertua di Asia.

Museum ini menyimpan tidak kurang dari 109.342 koleksi yang berasal dari berbagai kurun. Untuk koleksi zaman neolitik dipamerkan di Ruang Koleksi Pra-Sejarah. Koleksi zaman batu muda itu antara lain, kapak batu persegi yang ditemukan di Sunter dan Kebayoran (No. 2380; 2494;4290); sebuah beliung dari batu akik (No. 4180), mangkuk terakota dari India Selatan yang ditemukan di Buni dekat Babelan (abad ke-2 SM; No. 7049); sebuah ujung tombak dari masa perunggu-besi yang ditemukan di Lenteng Agung (No. 4545); dan alat-alat logam lainnya yang antara lain ditemukan di Kelapa Dua, Tanjung Barat, Pasar Minggu dan Jatinegara. Semua benda yang ditemukan pada lokasi yang sekarang menjadi bagian wilayah DKI Jakarta ini membuktikan bahwa wilayah Jakarta saat ini sudah dihuni orang pada zaman neolitikum. Masa ini berlangsung sejak abad ke 15 SM.

Benda tua lainnya yang menjadi koleksi museum ini berasal dari abad ke-5, yakni Prasasti Tugu (No. D 214) dengan pahatan huruf-huruf Palawa yang cukup jelas. Hampir semasa dengan prasasti tersebut adalah dua patung Vishnu yang dipamerkan dalam ruang dekat pintu masuk. Boleh jadi, kedua arca ini merupakan arca tertua jenis itu di seluruh Jawa.

Kedua arca ini ditemukan di Cibuaya, sebelah utara Karawang. Dari tahun-tahun terakhir zaman Hindu Sunda Kalapa (nama pertama untuk Jakarta), terdapat batu Padrao, yang berasal dari abad ke-16. Batu ini dipamerkan di sayap selatan gedung utama. Para pelaut Portugis menancapkannya untuk memperingati perjanjian persahabatan antara Kerajaan Pajajaran dan Portugal pada tahun 1522.

Salah satu bagian yang kerap membuat kita berdegup adalah koleksi perhiasan emas berlian yang dipadukan dengan bebatuan yang terkenal mahal harganya, sisa peninggalan abad ke-5 hingga ke-15 ketika bangsa-bangsa maju di Asia kala itu, terutama India dan Cina melakukan banyak perjalanan perdagangan ke negeri ini. Terdapat pula singgasana emas para raja dan berbagai perabotan milik para bangsawan. Koleksi emas berlian itu disimpan di ruang khusus yang selalu dijaga petugas keamanan.

Penjagaan ini mulai diperketat sejak koleksi Museum ini digasak oleh Kusni-Kasdut serta penggasak lainnya yang antara lain menguapkan dua puluh benda koleksi keramik Tionghoa yang nilainya sangat mahal sekali. Namun kemudian, pada sekitar tahun 1996 sejumlah lukisan berharga tinggi koleksi Museum Nasional ini diboyong ke Singapura untuk dilelang. Dan, hasil lelangnya kemana, sampai saat ini tidak ada catatan untuk hal itu.

592113cbMemasuki abad ke-20, di Batavia terjadi berbagai perubahan. Dikukuhkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 dan berbagai ordonansi tentang kewenangan lokal dalam pengaturan kota, medorong terjadinya perubahan secara signifikans. Perkembangan kota menjadi demikian pesat, demikian juga pola lingkungan kota, skala ruang-ruang kota dan lain sebagainya yang banyak dipengaruhi oleh hadirnya kereta api, trem, mobil, truk serta jaringan listrik dan telpon. Berbagai prasarana kota dalam skala makro juga mulai digarap. Saluran pengendali banjir atau Banjir Kanal juga sudah mulai dibangun dari Karet-Tanah Abang terus ke laut. Demikian pula rel kereta api yang dimulai dengan jalur tengah dan timur, kemudian ditambah dengan jalur barat melalui Manggarai - Tanah Abang - Duri - Kota.

Kali besar taon 1876Dalam pembangunan Banjir Kanal, perencanaannya telah dilakukan sejak 1870, tidak lama setelah Batavia dilanda banjir besar dan baru pada selesai pada tahun 1920. Dalam asumsi para perencana kota kala itu, Batavia akan dihuni oleh penduduk sebanyak 600 ribu jiwa. Menteng dan Kuningan disiapkan untuk menjadi daerah elit. Tanah Abang untuk orang Arab dan Melayu. Glodok untuk pecinan. Senen untuk daerah perdagangan umum serta untuk kelompok elitnya di Pasar Baru dan Gambir untuk pusat pemerintahan.

7e03bd4dUpaya-upaya tersebut, khususnya untuk mengembangkan lingkungan permukiman yang telah teratur dilakukan dengan membeli tanah-tanah partikelir, seperti Menteng, Gondangdia, Kramat Lontar, Jatibaru, Karet dan Bendungan Hilir. Rencana Pengembangan itu ditetapkan tahun 1917-1918. Demikian juga dengan perbaikan kampung yang mulai dilakukan sejak 1925, kemudian terhenti oleh Perang Dunia II dan kemudian diteruskan oleh Pemerintah DKI Jakarta pada 1969 dan terus berlangsung hingga kini.

Untuk pengembangan lingkungan permukiman, Niew Gondangdia dan Menteng adalah contoh praktek tata kota modern. Sebuah kota taman yang mulai sepenuhnya mengadopsi mobil dalam tata kota modern, suatu real estate komersial yang pertama menandai liberalisasi ekonomi dan otonomi pemerintahan kota. Ini terutama sekali berkaitan dengan Batavia yang sejak tahun 1926 mendapatkan status kotamadya. Dan Menteng, yang sebenarnya dulu terdiri dari Niew Gondangdia dan Menteng, merupakan salah satu contoh perancangan kota modern pertama di negeri ini.

1955mentengrayaMenteng dibangun oleh developer swasta NV de Bouwploeg yang dipimpin arsitek PJS Moojen yang tampaknya juga merencanakan tata letak dasar keseluruhan kawasan tersebut. Organisasi ini, dalam semangat ekonomi liberal dan otonomi daerah yang sedang marak pada masa itu, mengelola perencanaan dan pembangunan fisiknya, sementara pemerintah kotamadya hanya melibatkan diri dalam pembebasan lahan dan penyediaan jaringan prasarana.

Batas antara Menteng dan Niew Gondangdia adalah kanal drainase yang diapit oleh sekarang Jalan Sutan Syahrir dan Jalan M. Yamin. Rancangan rinci Menteng dilakukan Kubatz, sementara Niew Gondangdia oleh Moojen sendiri. Yang menjadikan acuan bersama kedua arsitek itu dan yang menyatukan kedua bagian kawasan baru itu adalah Jalan Teuku Umar yang membentuk aksis utara-selatan yang sangat kuat. Ketika berkunjung pada tahun 1931, Berlage, arsitek Belanda yang paling terkenal, memberi komentar: "tampillah suatu keseluruhan menyatu yang menarik".

Dua bangunan yang sangat indah dan penting sampai sekarang menandai ujung utara aksis tersebut: kantor de Bouwploeg itu sendiri, yang sekarang menjadi Masjid Cut Meutia, dan gedung kesenian Nederlans-Indische Kunstkring yang sekarang bermasalah sebagai bekas gedung imigrasi Jakarta Pusat. Jelas sekali pentingnya kedua bangunan bersejarah itu sebagai penentu ciri dan karakter keseluruhan kawasan Menteng sekarang sekalipun. Aksis ini diberi hiasan berupa bundaran berikut air mancur di tengah-tengahnya. Ujung selatannya adalah Taman Suropati yang dilengkapi dengan bangunan yang cukup besar dan mengesankan sehingga sebanding dengan kekuatan aksis itu sendiri, yaitu yang sekarang gedung Bappenas. Sepanjang aksis ini berjejer kavling dan rumah-rumah besar yang memperkuat statusnya.

Pada Gondangdia Baru, Moojen merupa-rupa pertemuan-pertemuan jalan yang tidak selalu perempatan. Ini dicapainya dengan menggariskan jalan-jalan diagonal dan melengkung yang memotong atau menghentikan jalan-jalan pararel pada arah utara-selatan. Hasilnya adalah keragaman pertemuan jalan yang luar biasa - meskipun agak membingungkan - beserta kavling-kavling sudutnya yang rupa-rupa, yang masing-masing mempunyai hadapan berlainan. Taman Lembang merupakan keharusan teknis (sebagai penampung air) yang berhasil digubah menjadi taman lingkungan yang sampai sekarang boleh dibilang paling indah dan fungsional.

Rancangan Kubatz relatif lebih "berdisiplin". Satu bulevard timur-barat (Jalan Imam Bonjol - Diponegoro sekarang) ditambahkan sebagai aksis lagi, dan memotong aksis Teuku Umar di Taman Suropati. Yang juga menonjol pada rancangan Kubatz ini adalah diperkenalkannya ruang-ruang terbuka semi-publik di tengah-tengah blok-blok besar sehingga membentuk lingkungan-lingkungan sekunder yang berbeda. Tipe baru rumah pun muncul: bangunan dua lantai. Umumnya rumah-rumah ini berbentuk bungalow atau vila yang dikelilingi halaman dan memilki teras depan. Rumah-rumah yang besar lantainya berlapis marmer dan jendelnya berkaca warna.

Ciri bungalow berhalaman keliling ini kini mulai rusak, misalnya di sepanjang Jalan Diponegoro, di mana rumah-rumah baru dibangun seperti istana besar yang tidak menyisakan ruang terbuka di samping dari bawah sampai atas.

1962thamrinThamrin-Sudirman adalah era Soekarno dengan ciri Hotel Indonesia, bundarannya, patung-patung, Senayan dan Ganefo. Kebayoran Baru yang mulai dibangun pada tahun 1949 sejauh delapan kilometer dari Lapangan Monas adalah tata kota modern dengan alusi oriental yang ditandai dengan empat jalan utama yang menyebar dari satu pusat persis ke empat penjuru. Ini adalah karya tata kota pertama seorang Indonesia, Ir M Soesilo.



Kebayoran Baru mengintegrasikan rumah-rumah besar dengan rumah-rumah kecil di dalam setiap blok: yang besar di luar, di tepi jalan besar, yang lebih kecil di dalam, mengelilingi taman lingkungan.

Sementara itu, di sekitar Lapangan Medan Merdeka juga terjadi pengembangan cukup menonjol, seperti dibangunnya Kantor Telpon (1909); Gedung Perhubungan Laut, dulu Kantor KPM/Koninklijke Paketvaart Maatschappij (1916); Gedung Departemen Pertahanan dan Keamanan, dulu Sekolah Tinggi Hukum (1928); Gedung Pertamina, dulu Kantor BPM/Bataafsche Petroleum Maatschappij dengan menara yang dibangun pada tahun 1938 dan lain sebagainya.

Di tengah areal Lapangan Merdeka tersebut terdapat taman, lapangan olahraga dan beberapa bangunan seperti Stasion Gambir. Salah satu lapangan di sini kemudian dipakai sebagai Pasar Gambir, yang juga dikenal sebagai Jaarmarkt atau Pasar malam yang diselenggarakan setiap tahun. Kegiatan ini sempat menghilang dan kemudian diadakan kembali pada 1968 dengan nama Jakarta Fair, di lokasi yang kurang lebih sama dan sejak 1992 dipindahkan di bekas Bandar Udara Kemayoran.

WilhelminaPark1912Untuk tempat-tempat rekreasi yang kala itu dipelihara sangat baik antara lain, Wilhelminapark (komplek Masjid Istiqlal); Frombergspark (depan Mabes AD); Burgemeester Bisschopplein (Taman Suropati); sementara untuk wisata lautnya tersedia pantai Zandvoort (Sampur) yang mulai dikembangkan pada pertengahan abad ke-19 dan sebagainya. Karena itu, Niew Batavia, Metropolitan Weltevreden pun secara meyakinkan mengembalikan gelar, "Ratu Timur" yang terkait dengan Oud Batavia. Ini semuanya merupakan godaan besar bagi Jepang untuk merebutnya dan menjadikannya Bintang Selatan pada WilhelminaPark1912bCakrawala Matahari terbit. Malahan, pengunjung-pengunjung dari Inggris, sebagaimana diungkap Willard A. Hanna (Hikayat Jakarta), menganggap Weltevreden cukup baik jika dibandingkan dengan Singapura, yang pada waktu itu dan juga kini, merupakan kota yang patut dipamerkan di khatulistiwa.




Di daerah pemukiman orang-orang Eropa dan Cina, jalan-jalan lebar diaspal dengan baik dan dinaungi pohon-pohon rindang yang secara teratur disapu serta disiram dengan air, sehingga sebagian besar kota itu setiap waktu siap untuk diperiksa kebersihannya. Rumah-rumah yang ada besar dan mewah atau kecil tetapi bersih, semua terletak jauh dari jalanan dengan halaman dan kebun. Lalu lintas kendaraan tidak merupakan masalah; ada beberapa ratus kendaraan bermotor yang akhirnya meningkat hingga beberapa ribu, cukup banyak kereta listrik dan delman yang kemudian punah, dan banyak sekali sepeda, yang kesemuanya tidak pernah menimbulkan kemacetan.

Df413517Dengan disiplin, kuli-kuli mendorong gerobaknya yang penuh dengan muatan atau memikul barang-barang dengan pikulan bambu, dan secara teratur menepi untuk memberi jalan kepada kendaraan yang lebih penting. Banyak pula orang yang membawa bambu yang diikat menjadi rakit di dalam kanal-kalan atau Kali Ciliwung, sambil berhati-hati agar tidak mengganggu orang yang sedang mandi, mencuci atau buang air. Banyak pejalan kaki membawa payung dari kertas minyak untuk melindungi diri dari terik matahari atau hujan. Di mana-mana terdapat pedagang keliling yang membawa barang jualan, dan menabuh gendang atau seruling, atau gong untuk menarik perhatian.

djkt-pasarSangatlah mudah bagi seorang ibu rumah tangga untuk menunggu tukang sayur, tukang daging, tukang ayam, tukang telur, tukang buah-buahan di rumah daripada pergi ke pasar. Malahan juga tukang-tukang untuk memperbaiki segala macam keperluan rumah tangga, seperti ledeng, listrik, sepatu, lewat di depan rumah, bahkan juga pemangkas rambut, tukang jahit, tukang pijat, pedagang barang-barang antik dan pedagang-pedagang kecil lainnya. Pendeknya, Batavia keadaannya aman dan tenang. Walaupun, kemiskinan dan kemelaratan terlihat dengan nyata, tetapi sama sekali tidak menonjol.

Sumber: kotatua.blogspot.com