Minggu, 17 Oktober 2010
Umat Islam, Dimanakah (Iman) Kalian?
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada sebagian hamba-Nya yang berusaha untuk bersungguh-sungguh berjalan di atas jalan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi termulia dan manusia yang paling luhur akhlaknya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga semoga keselamatan juga tercurah kepada para sahabatnya dan pengikut-pengikut mereka yang setia di atas jalan mereka. Amma ba’d.
Saudara-saudaraku -yang kucintai karena Allah- apabila kita melihat kondisi kaum muslimin dewasa ini, maka dada kita akan merasa sesak dan kepala kita akan pusing tujuh keliling. Mengapa demikian? Bukan karena kaum muslimin miskin harta, bukan karena kaum muslimin tidak memiliki bangunan yang megah dan mewah, bukan karena kaum muslimin tidak banyak jumlahnya, bukan juga karena negara-negara mereka tidak punya bala tentara dan beraneka ragam senjata. Namun, yang membuat hati kita sedih adalah ketika banyak sekali kita saksikan di antara umat Islam di negeri ini yang masih terjebak di dalam praktek-praktek penyimpangan dari jalan Rabb mereka.
Apakah hal itu sesuatu yang penting? Sebuah pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan. Tengoklah ke belakang beberapa tahun yang silam. Ada sebagian di antara kaum muslimin yang masih doyan dan ketagihan melakukan judi togel dan menenggak miras/minuman keras di mana-mana. Begitu pula kaum mudanya tenggelam dalam hura-hura dan foya-foya mengumbar nafsu tanpa kendali agama. Tidak kalah pula kaum wanitanya yang dengan suka rela bahkan bangga dan gembira mengumbar aurat mereka di layar-layar kaca, di lembaran tabloid dan media cetak lainnya. Subhanallah! Di manakah kaum muslimin ketika itu? Belum lagi kaum laki-lakinya yang sering meninggalkan shalat bukan karena alasan yang dibenarkan syari’at. Boro-boro shalat jama’ah di masjid, shalat saja mereka malasnya bukan main, Allahu akbar! Di manakah kaum muslimin ketika itu?
Saudaraku sekalian -semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada bangsa ini- kehancuran akhlak suatu negeri merupakan malapetaka yang akan meruntuhkan sendi-sendi peradaban dan kemuliaan suatu masyarakat, di mana pun mereka berada. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalau seandainya para penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan bertakwa niscaya Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan dari bumi. Akan tetapi mereka justru mendustakan, maka Kami pun akan menyiksa mereka akibat pendustaan yang mereka lakukan.” (QS. Al-A’raaf : 96).
Apakah yang dimaksud iman?
Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran- iman bukan hanya di lisan. Iman meliputi keyakinan kuat yang tertancap di dalam hati, terucapkan dengan lisan dan diikuti dengan ketundukan gerak-gerik anggota badan. Bukankah kita semua telah mengetahuinya? Iman adalah sumber kebahagiaan hidup kita dan kunci kesuksesan umat manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua manusia benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr : 1-3).
Amal nyata dengan anggota badan merupakan bukti keimanan. Barangsiapa yang menganggap bahwa amal bukan bagian dari keimanan maka dia telah terjerumus dalam pemikiran sesat ala murji’ah yang dicela oleh para ulama dan telah dibongkar penyimpangannya oleh mereka. Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan, ia bisa mengalami peningkatan, sebagaimana ia juga bisa mengalami penurunan (lihat Sahih Bukhari, hal. 14).
Bukhari rahimahullah juga membawakan riwayat untuk kita cermati bersama, dari Abu Hurairah radhiyalahu’anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari enam puluh lebih cabang, dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari [9]).
Bukhari juga memberitakan kepada kita bahwa hakikat keislaman kita tidak hanya terhenti dalam pengakuan di mulut atau coretan di atas kertas semata. Beliau menuliskan sebuah bab di dalam Kita Al-Iman di dalam Sahihnya dengan judul ‘Seorang muslim itu adalah sosok manusia yang orang muslim yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya’ kemudian beliau membawakan riwayat dari Abdullah bin Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik itu adalah orang yang muslim yang lainnya merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya, dan orang yang benar-benar berhijrah itu adalah yang rela meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari [10]).
Bahkan keislaman yang paling baik hanya akan diraih oleh orang yang menjaga lisan dan tangannya untuk tidak menzalimi kaum muslimin. Abu Musa radhiyallahu’anhu mengatakan; para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, keislaman seperti apakah yang paling utama?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu -keislaman pada diri- orang yang kaum muslimin yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari [1]).
Iman bukan dengan jiwa yang kikir dan bakhil serta merendahkan orang lain, akan tetapi iman akan muncul dalam bentuk kedermawanan dan kesopanan. Itulah keislaman yang terbaik dan patut untuk kita gembar-gemborkan. Abdullah bin Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhuma menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang terbaik?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu kamu memberikan makan kepada orang yang membutuhkan dan menyebarkan salam kepada [sesama muslim] yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal.” (HR. Bukhari [12,28]).
Iman tidak hanya berhenti di dalam dada, akan tetapi ia akan melahirkan kesadaran dan ketulusan hati mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak [sempurna] iman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai [kebaikan] bagi saudaranya sebagaimana yang dia senangi untuk dirinya sendirinya.” (HR. Bukhari [13]). Dan yang lebih penting daripada itu semua, keimanan akan melahirkan perasaan cinta yang sangat dalam di dalam hati seorang insan kepada Nabi akhir zaman di atas kecintaannya kepada semua manusia. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menginformasikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua ataupun anak-anaknya, bahkan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari [15]).
Iman memiliki rasa manis yang akan bisa dirasakan oleh orang-orang yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, mengikhlaskan cintanya karena Allah dan membenci kekafiran kepada-Nya. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu memberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman. [1] Allah dan rasul-Nya menjadi yang paling dicintainya daripada selain keduanya, [2] tidaklah dia mencintai orang lain kecuali karena dorongan kecintaan kepada Allah, [3] dia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana orang yang benci apabila hendak dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [16]).
Seorang yang beriman tidak akan menaruh rasa curiga dan benci kepada para pendahulu mereka yang salih yang telah mendapatkan janji surga dari Allah subhanahu wa ta’ala. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda keimanan adalah cinta kepada kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari [17]).
Seorang yang beriman tidak akan menghalalkan kedustaan dan pengkhianatan. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga; apabila berbicara dia suka berdusta, apabila membuat perjanjian maka dia suka menyelisihi, dan apabila diberikan kepercayaan maka dia berkhianat.” (HR. Bukhari [33]).
Shalat juga merupakan pilar penting keimanan. Bukhari rahimahullah mengatakan, “Shalat adalah bagian dari iman…” (Sahih Bukhari, hal. 21). Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa suatu ketika Jibril dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang iman, islam dan ihsan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman adalah kamu mengimani Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, para rasul-Nya, dan kamu beriman kepada adanya hari kebangkitan.” “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya [dalam beribadah], kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat yang harus diberikan, dan kamu berpuasa Ramadhan.” “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa [beribadah] seolah-olah melihat-Nya maka yakinilah bahwa Dia selalu melihat dirimu.” (HR. Bukhari [50]).
Oleh sebab itu, saudara-saudaraku sekalian di manakah keimanan kita tatkala sebagian di antara kita melalaikan kewajiban-kewajiban mereka dan menerjang larangan-larangan Allah ta’ala? Apakah dengan keimanan yang begitu rendah kita layak mendapatkan limpahan keberkahan dari langit dan bumi -sebagaimana yang Allah janjikan-? Kalau bukan karena kasih saying Allah tentunya kita sudah binasa. Kalau bukan karena rahmat-Nya tentu cengkeraman syaitan telah mencabik-cabik hati dan melumpuhkan langkah-langkah kita untuk menggapai ridha-Nya.
Jangan ikuti langkah-langkah mereka!
Ingatlah wahai saudara-saudaraku, keimanan kita menuntut kita untuk senantiasa mendekatkan diri dan menuruti bimbingan Allah ta’ala, bukan justru mendekatkan diri kepada Iblis dan kaki tangannya dan taklid kepada rayuan dan tipu daya mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang halal dan baik-baik dari apa yang ada di bumi ini dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh kamu yang sangat nyata. Sesungguhnya dia hanya menyuruh kalian untuk mengerjakan perbuatan jelek dan kekejian, serta untuk mengucapkan apa-apa tentang [agama] Allah dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 168-169).
Allah ta’ala juga memerintahkan kita untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah : 208). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia selalu memerintahkan perkara yang keji dan mungkar. Kalaulah bukan karena karunia Allah kepada kalian niscaya tidak ada seorangpun yang tersucikan selama-lamanya. Akan tetapi Allah berkenan untuk menyucikan [sebagian] orang yang Allah kehendaki, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nuur : 21).
Bertakwalah kepada-Nya!
Saudaraku sekalian -semoga Allah mengokohkan iman dan menyuburkan ketakwaan kita- ketakwaan merupakan anugerah yang terindah pada diri umat manusia. Dengan takwa itulah dia akan meraih ketinggian dan kemuliaan derajat di sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu mewasiatkan kepada puteranya Abdullah, ”Amma ba’du. Aku mewasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjaganya. Dan barang siapa yang meminjamkan hartanya di jalan Allah, Allah pasti membalasnya. Barang siapa yang bersyukur kepada-Nya pasti diberikan tambahan nikmat oleh-Nya…” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 210. Cet. Darul Hadits).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu memberikan wasiat kepada seorang panglima yang diutusnya untuk memimpin sebuah pasukan perang, ”Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla Dzat yang pasti akan kau temui serta tidak ada akhir hidupmu kecuali menghadap kepada-Nya. Padahal Dia lah yang menguasai dunia dan akhirat” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 210. Cet. Darul Hadits).
‘Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada seseorang yang isinya, ”Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, itulah syarat amalan yang akan diterima oleh-Nya. Dan tidak akan mendapatkan rahmat-Nya kecuali orang yang melaksanakannya. Dan tidaklah Allah memberikan pahala untuk sesuatu selain pada jalur ketakwaan kepada-Nya. Sesungguhnya banyak orang yang memberikan nasihat untuk bertakwa, akan tetapi betapa sedikit orang yang bisa mengamalkannya. Semoga Allah menjadikan saya dan kamu termasuk orang-orang yang bertakwa” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 210. Cet. Darul Hadits)
Hasan Al Bashri mengatakan, ”Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjaga dirinya dari hal-hal yang Allah haramkan kepada mereka serta mereka melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 208. Cet. Darul Hadits).
Thalq bin Habib mengatakan, ”Takwa adalah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan berdasarkan pancaran cahaya dari Allah (ilmu) karena mengharapkan pahala dari Allah. Dan engkau pun meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah dengan berdasarkan pancaran cahaya dari Allah karena merasa takut dari hukuman Allah” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 208. Cet. Darul Hadits).
Hasan Al Bashri mengatakan, ”Ketakwaan senantiasa menjaga diri orang-orang yang bertakwa sampai-sampai membuat mereka meninggalkan banyak perkara yang dihalalkan karena kekhawatiran mereka terseret kepada perkara yang diharamkan.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 208. Cet. Darul Hadits).
Abu Sulaiman mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang benar-benar merugi itu adalah orang yang menampak-nampakkan amal kebaikannya di hadapan orang-orang sementara dia justru berterus terang berbuat kejelekan tatkala menyendiri [bersama] sesuatu yang lebih dekat kepada dirinya daripada urat nadinya sendiri.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 213)
Pokok kemaksiatan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pokok kemaksiatan yang besar maupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, serta mengekor kekuatan nafsu syahwat. Ketiga hal itu adalah : syirik, kezaliman, dan perbuatan-perbuatan keji. Puncak dari ketergantungan hati kepada selain Allah adalah kesyirikan dan menjadikan selain Allah sebagai sesembahan lain di samping-Nya.
Puncak dari memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Sedangkan puncak dari mengekor kekuatan nafsu syahwat adalah perzinaan… Ketiga hal ini saling menyeret sebagiannya kepada sebagian yang lain. Kesyirikan menyeret kepada tindak kezaliman dan perbuatan keji, sebagaimana ikhlas dan tauhid akan memalingkan keduanya dari seorang yang bertauhid… Begitu pula kezaliman akan menyeret kepada tindak kesyirikan dan kekejian, dan sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang paling zalim sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid.
Sehingga keadilan sering disandingkan penyebutannya (di dalam Al-Qur’an) dengan tauhid, sebagaimana kezaliman menjadi penyanding bagi syirik… Begitu pula perbuatan keji akan menyeret kepada kesyirikan dan kezaliman, terlebih lagi apabila keinginan untuk itu sangatlah kuat dan tidak mungkin terwujud kecuali dengan melakukan sebentuk kezaliman dan meminta bantuan kepada tukang sihir dan syaitan… Maka ketiga hal ini sebagiannya saling menyeret dan memerintahkan untuk melakukan sebagian dosa yang lain. Oleh sebab itulah setiap kali hati seseorang memiliki tauhid yang melemah dan semakin besar pula kesyirikannya maka secara otomatis semakin banyak pula kekejian padanya dan semakin besar ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar dan terjerat kerinduan yang dalam kepadanya…” (Al-Fawa’id, hal. 78-79).
Semoga Allah ta’ala menganugerahkan kepada kita keimanan yang kokoh dan ketakwaan yang selalu menyertai di mana pun dan kapan pun kita berada. Yang dengan keduanya Allah Yang Maha pemurah akan mencurahkan kepada bangsa ini keberkahan dari langit dan bumi.
sumber: abumushlih.com
Umat Islam, Dimanakah Al Quran Berada Kini?
oleh : Majazaah
Hari ini sebagian besar umat Islam masih belum memfungsikan Al Qur'an sebagaimana mestinya. Hampir setiap tahun dilombakan keindahan suara dalam membaca Al Qur'an pada setiap acara perlombaan MTQ. Dan setiap kali acara pelantikan pegawai negeri, selalu diletakkan Al Qur'an di atas kepala mereka untuk diambil sumpahnya. Hanya sampai sebatas itu sajakah fungsi Al Qur'an sebagai kitab yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Al Qur'an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai rasul terakhir, sebagai petunjuk yang akan membawa manusia kepada keselamatan dunia akhirat sampai akhir zaman. Namun demikian, masih banyak juga yang mempertanyakan bahkan menolak ketika aturan Allah hendak di jadikan hukum positif di Negara ini. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa hukum Islam sudah sangat ketinggalan zaman, dan tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah yang teramat sangat kompleks di zaman yang sudah terlampau modern ini, yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan keadaan pada saat Al quran diturunkan. Kurang lebih seperti itulah opini yang sekarang berkembang di masyarakat.
Jika kita cermati lebih dalam, sebetulnya secara substansi, kejahatan yang terjadi di masa ini sama dengan yang terjadi di masa-masa yang telah lalu, seperti pencurian, pembunuhan, perzinaan,dan khamr, hanya bentuk dan caranya saja yang mungkin berbeda-beda. Artinya dari tahun ke tahun, abad ke abad, masa ke masa, secara substansial kejahatan itu akan tetap sama…. dan Allah yang telah menciptakan segala sesuatu termasuk manusia dan aturannya, telah mengetahui hal itu. Oleh karenanya, Allah telah menetapkan bahwa Al Qur'an sebagai petunjuk dan aturan yang akan berlaku sepanjang masa sampai akhir zaman, karena tidak ada yang dapat merubah sunatullah atau ketetapan Allah. Dan adalah suatu kepastian, jika aturan Allah yang digunakan untuk mengatur negeri ini, maka semua tindak kriminal pasti akan dapat diminimalisasi.
Perumpamaan keadaan kita pada hari ini bagaikan seorang yang tersesat di dalam gua yang gelap gulita dengan berbekal lentera dan korek api. Namun, orang tersebut belum mampu memfungsikan lentera dan korek api yang dimilikinya, sehingga ia berjalan terseok-seok di dalam gua tersebut, dan tidak jarang masuk ke dalam kubangan yang ada di dalamnya, sedangkan sumber cahaya yang dimilikinya hanya sebagai hiasan yang dibawanya sepanjang jalan yang gelap gulita.
Analogi di atas mencerminkan keadaan umat Islam hari ini, yang memiliki lentera dan korek api, yaitu Al Qur'an dan As sunnah yang mampu menjadi penerang jalan hidup ini, namun baru kita gunakan sebagai hiasan saja, dan belum kita fungsikan sebagai petunjuk,yang mampu membawa umat ini menuju keselamatan dan kejayaan Islam.
Wallahu alam bishowab,
“Kebenaran itu datangnya dari Allah, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu ”.
KOMPAS Nyalakan Api Sektarian
Pengelola Harian Kompas kadang diplesetkan sebagai akronim "Komando Pastur" mungkin bertanya-tanya, mengapa media yang katanya mengemban misi Amanat Hati Nurani Rakyat itu kerap diposisikan sebagai "musuh" oleh kalangan Islam? Padahal, di antara jurnalis dan karyawan Kompas banyak yang beragama Islam, dan ada juga di antara mereka adalah Muslimah berjilbab.
Kegiatan keislaman Kompas pun cukup signifikan. Bahkan, ada komunitas Islam yang tergabung dalam majelis ta'lim, pernah membuat buku panduan ibadah haji bagi karyawan yang hendak menunaikan rukun Islam kelima itu. Tetapi, mengapa Kompas "dimusuhi" dan dinilai sebagi agen perusak dan penyulut api sektarian?
Harian Terbit edisi Sabtu 2 November 2002, halaman 7 pernah menurunkan berita bertajuk Karena Berjilbab, Istana Menolak. Seorang wartawati bernama Elly Roosita alumnus IPB yang sehari-harinya mengenakan jilbab, nyaris tidak bisa mengikuti lawatan rombongan Presiden Megawati ke KTT ASEAN di Kamboja 3-5 November 2002, gara-gara pakai jilbab.
Ketika itu pihak istana kepresidenan meminta Elly menyerahkan pasfoto yang tidak berkerudung agar terlihat rambut dan telinganya. Permintaan itu ditolak Elly, karena baginya berjilbab itu prinsip. Elly sempat jengkel, karena sebuah aturan diskriminatif ternyata masih diberlakukan di era reformasi ini. Siapa Elly? Saat itu Elly adalah salah satu wartawati Kompas yang berjilbab.
Meski Kompas berusaha meminimalisir kesan sebagai media non Islam yang "memusuhi" Islam, nampaknya sulit menghilangkan label yang entah sejak kapan terlanjur melekat. Secara sosio-psikologis sebenarnya Kompas sama saja dengan Koran Tempo, Rakyat Merdeka, Suara Merdeka, Media Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya. Jika kemarahan umat Islam lebih sering tertuju pada koran yang dipimpin Jacob Oetama ini, tentulah bukan karena terbesar tirasnya, sehingga terbesar pula pengaruhnya dibanding koran-koran lain. Tetapi, "ideologis" Kompas memang sulit diingkari, lebih sering menyerang rasa keadilan dan menyayat hati umat Islam.
Diskriminatif
Dalam kasus eksekusi mati Tibo dkk, misalnya, Kompas hampir seratus persen menjadi corong bagi mereka yang menolak eksekusi mati terhadap Tibo dkk, sebagaimana tercermin melalui berbagai opini yang dipublikasikannya. Dalam pemberitaan, Kompas hampir tidak pernah memberikan ruang bagi mereka yang pro eksekusi mati Tibo dkk. Padahal, sudah jelas Tibo dkk membunuh ratusan santri ponpes Walisongo, Poso, dengan tangannya sendiri. Dalam hal Tibo dkk hanyalah wayang yang dimainkan aktor intelektual, itu lain persoalan. Yang jelas secara pidana Tibo dkk memang terbukti membantai ratusan orang. Keberpihakan terhadap mereka yang kontra eksekusi mati Tibo, menunjukkan bahwa sebagai media nasional Kompas tidak punya hati nurani. Kompas bukan saja mengabaikan amanat hati nurani rakyat yang menjadi mottonya, tetapi juga telah melukai rasa keadilan umat Islam.
Pembantaian terhadap umat Islam di Ambon dan Poso, justru digerakkan dan diberkati oleh Gereja, karena umat Nasrani di sana merasa sebagai pihak mayoritas. Menjelang eksekusi mati terhadap dirinya, Tibo mengungkapkan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), pimpinan pendeta Damanik, yang berpusat di Tentena ini, terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso.
Contoh lain, dalam kasus pro-kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Kompas jelas-jelas mengambil posisi kontra RUU-APP. Berbagai pemberitaan yang berkenaan dengan itu memperlihatkan dengan jelas bahwa Kompas diskriminatif. Opini yang ditampilkan juga berpihak. Misalnya, Kompas edisi 29 Maret 2006 menampilkan opini Siswono Yudhohusodho berjudul Negara dan Keberagaman Budaya. Siswono yang pada intinya menolak RUU APP karena menganggapnya salah satu produk hukum yang sangat beraroma Syari'at Islam. Menurut Siswono, "Sebagai konsekuensi negara kesatuan (unitarian) yang menempatkan seluruh wilayah negara sebagai kesatuan tunggal ruang hidup bangsa, sebuah RUU juga harus didrop bila ada satu saja daerah yang menyatakan menolaknya karena tidak cocok dengan adat istiadat dan budaya setempat. RUU APP sudah ditolak di Bali dan Papua."
Argumen Siswono jelas terlihat dungu. Ia tidak saja mengabaikan konsep demokrasi, tetapi mendorong munculnya tirani minoritas atas mayoritas. Bukankah Bali dan Papua minoritas? Melalui opininya itu, Siswono melalui sengaja menekankan supaya umat Islam yang mayoritas bila hendak membuat aturan bagi umat Islam, harus terlebih dulu meminta persetujuan masyarakat Bali dan Papua. Bila mereka menolak, berarti aturan itu harus juga ditolak sebagai konsekuensi dari konsep unitarian (negara kesatuan). Sebaliknya, bila orang Papua mau berkoteka, atau bila umat Hindu Bali mau menjalankan ritual musyriknya serta memaksakan penerapan "syariat" Hindu kepada non Hindu di Bali, itu harus didukung dalam rangka melestarikan keluruhan budaya bangsa.
Logika dungu seperti itu, dipublikasikan Kompas, tentu bukan tanpa maksud. Tidak bisa disalahkan bila ada yang menafsirkan hal itu dilakukan Kompas dalam rangka memprovokasi umat Islam. Patut juga dipertanyakan, apa kualifikasi yang dimiliki Siswono sehingga gagasan dan logika dungunya layak ditampilkan di Kompas, dan dalam rangka mewakili kalangan siapa?
Ketika wacana Perda SyariĆ¢€™at mengemuka, Kompas lagi-lagi menempati posisi strategisnya, yaitu menolak! Dalam kaitan ini, Kompas mempublikasikan argumen dan logika dungu untuk memprovokasi, kali ini dengan menampilkan Eros Djarot, yang tidak jelas apa kualifikasi yang dimilikinya sehingga ditampilkan sebagai salah satu suara yang layak didengar.
Bermunculannya kelompok dissident akhir-akhir ini seperti barisan Try Soetrisno, Gerakan Revolusi Nuraninya Tyasno Sudarto, Megawati dengan PDIP-nya, Gus Dur dll, dipublikasikan guna mengantisipasi penegakan Syari'at Islam dengan mempromosikan nasionalisme, kebhinekaan dan sekularisme. Termasuk, pemikiran neo komunisme gurubesar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masykuri Abdillah bahwa sekularisasi politik merupakan hal yang tak dapat dihindari. Namun, proses sekularisasi di Indonesia hendaknya tetap disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia yang masih memiliki orientasi keagamaan tinggi (Kompas 4/1). Bukankah pemikiran ini hendak menggeser peran agama hanya sebagai pelengkap saja?
Perda Syari'at & RUU APP
Pada Kompas edisi 12 Juni 2006, Eros Djarot melalui opininya berjudul Saatnya Duduk Bersama menyimpulkan, perda bernuansa syari'at adalah bagian dari nafsu politik membangun negara di dalam negara, dan perda syari'at adalah gambaran Indonesia yang amburadul. Perda syari'at juga dinilai Eros sebagai "hukum lain" di luar hukum positif.
Eros Djarot bukan pakar hukum, sehingga tidak mengerti bahwa menyerap hukum Islam ke dalam hukum positif adalah merupakan salah satu kaidah terbentuknya hukum positif. Tentu aneh dan janggal bila hukum positif di tengah masyarakat yang mayoritas Islam bersumber dari hukum-hukum yang diterbitkan oleh kolonialis dan imperialis. Apalagi, hukum Islam sudah diberlakukan bagi masyarakat Islam di kawasan Nusantara ini jauh sebelum kemerdekaan NKRI. Eros Djarot juga bukan pakar sejarah, sehingga ia tidak tahu bahwa orang Islam di Indonesia telah menerima dan menerapkan hukum Islam di dalam masyarakatnya secara menyeluruh, dan diperbolehkan pemerintah kolonial Belanda, jauh sebelum kemerdekaan. Fakta ini diungkapkan oleh pakar hukum bangsa Belanda, LWC Van Den Berg (1845-1927).
Sejak berkumandangnya wacana perda syari'at dan RUU APP, Kompas telah menjadi corong propaganda gerakan anti syariat dan anti Arab. Padahal, Arab dalam konteks sebagai etnik, bahasa dan nilai budaya, sudah menjadi salah satu anasir yang membentuk bangsa dan budaya Indonesia, sebagaimana Cina dan Hindu.
Ariel Heryanto dalam salah satu tulisannya berjudul Nadine, pada Kompas Minggu 30 Juli 2006, menyuarakan sikap anti Arab, seolah-olah istilah Arab digunakan untuk gagah-gagahan sebagaimana orang dungu menggunakan istilah asing (bahasa Inggris) supaya terkesan keren. Ariel menulis, "Dulu istilah-istilah asing itu sering dipakai pada saat tidak diperlukan. Istilah itu sengaja dipilih pemakainya justru karena banyak yang tidak paham, supaya tampak keren atau hebat. Mirip istilah Arab yang sekarang mulai bertebaran dan naik pamornya di Indonesia. Atau istilah Sansekerta di zaman Orde Baru."
Rupanya Ariel belum tahu, bahwa para orangtua kita dulu, meski tidak bisa membaca huruf latin, mereka banyak yang mampu membaca huruf Arab Melayu, sebagai konsekuensi dari masuknya Islam dan diterapkannya Syari'at Islam di banyak segi kehidupan.
Seharusnya Ariel bertanya kepada Alwi Shahab, wartawan senior Republika, yang pernah mengungkapkan catatan bahwa antara 1795-1801 di Betawi terbit koran umum yang oleh kolonial Belanda disebut koran inlander (pribumi) dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Sebelum tahun 1872, hampir semua naskah di Nusantara ditulis dalam huruf Arab, baik naskah berbahasa Sunda, Jawa, Melayu, maupun etnis lainnya. "Begitu luasnya bahasa Arab jadi bacaan sehari-hari, hingga mata uang yang dikeluarkan pemerintah kolonial bagian belakangnya tertulis dalam bahasa Arab-Melayu. Ini terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negeri-negeri jajahan Inggris, seperti Singapura dan Malaya (kini Malaysia). Kala itu, hampir seluruh masyarakat buta huruf Latin, tapi melek huruf Arab."
Kemampuan membaca huruf Arab-Melayu saat itu juga bisa dilihat pada warga Cina peranakan, yaitu keturunan Cina yang lahir di Indonesia. Kini, amat langka menemukan keturunan Cina di Indonesia yang bisa membaca huruf Arab-Melayu. Bahkan saat ini kita tidak pernah lagi menemukan media cetak untuk umum yang berbahasa Arab.
Artinya, proses de-Arabisasi sebagai bagian dari de-Islamisasi ini sudah berlangsung cukup efektif. Tetapi tudingan bahwa terjadi Arabisasi atau Islamisasi atas sejumlah Perda Anti Maksiat yang diproduksi daerah tertentu melalui mekanisme demokrasi sekuler, jelas memutarbalikkan fakta. Tidak sekadar memutarbalikkan fakta, isu Islamisasi dan Arabisasi sengaja diluncurkan untuk menutupi keadaan sebenarnya, yaitu gencarnya westernisasi dan yahudiisasi terhadap banyak segi kehidupan rakyat Indonesia.
Ariel juga seharusnya bertanya kepada kedua orangtuanya, mengapa mereka memberikan nama bagi anaknya yang mirip dengan nama orang bengis dari Israel yaitu Ariel Sharon? Kalau nama adalah do'a, apakah ketika memberikan nama Ariel Heryanto yang mirip dengan Ariel Sharon yang jahat itu, orangtuanya menginginkan agar anaknya (Ariel Heryanto) kelak bisa menjadi durjana seperti Ariel Sharon? Tentu tidak khan?
Tetapi yang jelas, sikap anti-Arab adalah sikap yang dimiliki Yahudi alias Israel. Salah satu contohnya adalah Goenawan Mohamad. Tulisannya berjudul RUU Porno: Arab atau Indonesia? yang dipublikasikan 8 Maret 2006, jelas menunjukkan hal itu. Ketika merespon RUU APP yang dicemoohnya sebagai RUU Porno, Goenawan Mohamad benar-benar menunjukkan sikapnya yang anti Arab. Hasilnya, ia memperoleh penghargaan Dan David Prize 2006 dari Universitas Tel Aviv (TAU) Israel. Tidak ada hadiah yang diberikan secara cuma-cuma, bukan? Siapa sangka, tahun berikutnya Ariel Heryanto bisa meraih hadiah serupa.
Kalangan Sepilis
Kalangan sepilis (sekularis, pluralis, dan liberalis) pernah berupaya melawan "Islam sektarian"� dengan mensosialisasikan wacana Islam Warna-warni. Upaya ini dilakukan dengan amat serius, sampai harus mengeluarkan biaya milyaran rupiah untuk pasang iklan di televisi dan media cetak. Namun anehnya, mereka sendiri sulit menerima warna lain selain warna yang mereka sukai (warna sepilis). Kalau memang Islam itu Warna-warni, maka seharusnya mereka bisa menerima warna lain meski mereka tidak suka. Sebab yang mereka tidak suka belum tentu jelek bagi mereka. Dari fakta ini, maka terlihat dengan jelas siapa sesungguhnya yang sektarian?
Sebagai corong sepilis, dalam prakteknya Kompas juga tidak konsisten, karena hanya mau menerima opini dari satu warna saja yaitu warna sepilis. Paling sering Kompas dan antek-anteknya mempublikasikan opini dari Ulil, Sukidi, Nurcholish, Dawam, Gus Dur dan lainnya yang homo (sejenis) lainnya. Selama ini tidak terlihat Kompas punya itikad baik mau menyodorkan warna yang berbeda dengan menampilkan penulis yang terbukti mampu mematahkan argumen nama-nama tadi.
Mungkin Kompas berfikir sedang memberikan kontribusi di dalam menciptakan Indonesia yang damai dan santun dengan mempublikasikan tulisan (opini) yang disumbangkan para kaum sepilis. Patut diduga, diskresi itu justru membuat panas situasi. Jangan-jangan Kompas memang belagak pilon, sengaja menampilkan warna homo kaum sepilis, dengan dalih untuk mensosialisasikan Islam yang rahmatan lil alamin. Padahal sebenarnya Kompas sedang menyalakan kompor. Faktanya, damai tidak pernah wujud di Indonesia.
Kompas juga sangat berperan melahirkan tokoh nasional sekaliber Gus Dur (GD). Selama lebih dua dasawarsa Kompas rajin mempromosikan sosok GD sebagai tokoh moderat, demokratis, cendekiawan Muslim, penarik gerbong pembaharuan pemikiran Islam, bapak bangsa, dan sebagainya. Terbukti ketika Gus Dur jadi Presiden, Indonesia bukan tambah damai, malah tambah kacau. GD mulai kelihatan aslinya, tidak demokratis alias otoriter, keinginannya harus selalu dituruti seperti anak kecil, juga tidak Islami karena suka berselingkuh dan menjalankan prosesi musyrik ruwatan, suka jalan-jalan ke luar negeri menghamburkan uang negara. Kompas telah memberikan kontribusi signifikan di dalam melahirkan sosok yang kacau seperti GD ini. Kompas punya tanggung jawab moral terhadap kekacauan yang dibuat GD.
Selain Gus Dur, Kompas juga turut melahirkan dan membesarkan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Seperti GD, Cak Nur disebut-sebut sebagai cendekiawan Muslim, penarik gerbong pembaharuan pemikiran Islam, Islam Moderat, dan sebagainya. Nurcholish Madjid, terbukti tidak punya kejujuran intelektual. Ketika Cak Nur menerjemahkan kalimah thoyyibah laa ilaaha illalloh menjadi tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) , yang seharusnya berarti tiada tuhan selain Allah. Ketika itu, Cak Nur mengaku merujuk buku Ismail Faruqi yang mengatakan bahwa Allah itu semacam dewa air bagi kepercayaan Arab kuno. Padahal, sebagaimana dibantah Ridwan Saidi, Ismail Faruqi tidak pernah mengatakan bahwa Allah adalah semacam dewa air. Masih banyak kebohongan dan ketidak jujuran Cak Nur yang berhasil direkam dan dibantah umat Islam. Namun Kompas tetap saja mempromosikannya sebagai Cendekiawan Muslim yang moderat. Kompas telah memberikan kontribusi penting bagi lahirnya sosok pembohong dan tidak jujur ini.
Masih banyak sosok lain yang menjadi binaan Kompas, antara lain Dawam Rahardjo, yang suka bohong dan juga tidak punya kejujuran intelektual seperti Cak Nur. Kompas edisi Jum'at 22 Desember 2006, menampilkan kebohongan Dawam melalui tulisannya berjudul Ensiklopedia Nurcholish Madjid, "Bahkan, tokoh-tokoh medioker ikut mentransformasi kritik menjadi fitnah yang mengacaukan masyarakat. Misalnya saja Hartono Ahmad Zais melaporkan bahwa Nurcholish Madjid telah mendefinisikan Tuhan secara baru, dengan mengatakan bahwa Nurcholish telah menyamakan Allah dengan Dewa Laut Bangsa Arab."
Melalui opininya itu, Dawam kembali membela Cak Nur yang sudah mati. Kejahilan dan ketidak jujuran Cak Nur menerjemahkan laa ilaaha illalloh menjadi tiada tuhan (hurf "t" kecil) selain Tuhan (huruf "T" besar), seolah-olah fitnah yang disebarkan Hartono Ahmad Jais. Padahal, ketidak-jujuran dan kebohongan Cak Nur pada saat itu sudah berhasil dibuktikan kesesatannya sekaligus dibantah oleh banyak pihak. Perihal Cak Nur menerjemahkan kalimah thayyibah secara serampangan adalah fakta bukan fitnah. Cak Nur juga terbukti berbohong dengan menyebutkan bahwa di dalam buku Ismail Faruqi ada disebut bahwa Allah semacam dewa air bagi bangsa Arab kuno. Padahal tidak ada pernyataan seperti itu.
Agen Perusak
Selain tidak jujur, Dawam juga pendukung Marxisme. Pada acara Seminar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama di Balai Sarbini Plaza Semanggi Jakarta, Jum'at 28 April 2006, Dawam adalah salah satu pembicara (pembicara lainnya adalah Pendeta Dr. Stephen Tong, Pendeta Benjamin F. Intan Ph.D, dan Prof J.E. Sahetapy SH MA). Peserta seminar hampir seluruhnya umat Nasrani (Kristen). Ketika itu, Dawam mengatakan: "Orang-orang Marxis itu ternyata orang baik-baik saja. Bahkan orang-orang Marxis itu kebanyakan humanis dan mempunyai etika yang tinggi. Jadi apa salahnya? Dari pada orang beragama tapi kerjanya menteror. Memecahkan masalah dengan teror, usul dengan teror." (sumber: Majalah Tabligh).
Padahal, PKI yang berideologi Marxis, di Indonesia telah membunuhi ulama beserta keluarganya, antara lain pada Peristiwa Madiun 18 Sepetember 1948. Di Kampung Gorang Gareng Madiun saja ada seratusan lebih ulama dan keluarganya yang dibunuh PKI yang Marxis itu. Genangan darah tebalnya bersenti-senti meter saking banyaknya ulama yang disembelihi PKI dalam Peristiwa Maidun itu.
Dalam kaitan yang sama, Dawam mengatakan, "menurut pendapat saya yang mengganti Menteri Agama itu tidak mesti dari orang Islam, bahkan lebih baik kalau Menteri Agama itu dari golongan minoritas atau yang disebut golongan minoritas. Karena apa? Karena kalau dari golongan minoritas, misalnya Kristen, dia tidak akan berani melanggar hak-hak sipil, karena akan dikontrol oleh mayoritas. Sebaliknya kalau itu berasal dari kelompok agama yang mayoritas, wah, itu pasti dia cenderung untuk selalu melanggar, karena merasa berani dan merasa kuat, karena merasa dari golongan mayoritas. Padahal di Indonesia itu tidak ada golongan mayoritas dan minoritas. Semua sama di depan hukum." (sumber: Majalah Tabligh).
Ocehan Dawam bombastis dan tidak sesuai dengan realitas. Faktanya, ketika Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI, dan Kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur beragama Katolik, sang pimpinan melarang karyawannya yang beragama Islam melaksanakan khutbah Jum'at di masjid. Pengakuan tersebut disampaikan para karyawan kepada rombongan wartawan Islam dari Jakarta yang saat itu sedang berada di Dili, Timor Timur. Lantas, apa yang akan terjadi bila Menteri Agama RI dijabat orang Kristen atau Katholik?
Dari beberapa gambaran di atas, maka kita pun bertanya, benarkah Kompas membawa missi amanat hati nurani rakyat? Rakyat yang mana dan di mana? Dengan melahirkan dan membesarkan para pendusta agama, menyebarluaskan pemikiran sekuler dan anti Syari'at Islam, Kompas bukannya memberikan kontribusi bagi terciptanya Indonesia yang damai dan bermartabat. Sebaliknya, apa yang dilakukan Kompas justru menjadi agen perusak moral, perusak persatuan-kesatuan, dan secara provokatif menanam benih permusuhan. Ibarat menyalakan api kompor yang siap membakar apa saja, kapan saja, dan di mana saja di negeri ini.
Sumber: Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 5 Th I Muharram 1428 H / Februari 2007, hal. 26-32.
Kegiatan keislaman Kompas pun cukup signifikan. Bahkan, ada komunitas Islam yang tergabung dalam majelis ta'lim, pernah membuat buku panduan ibadah haji bagi karyawan yang hendak menunaikan rukun Islam kelima itu. Tetapi, mengapa Kompas "dimusuhi" dan dinilai sebagi agen perusak dan penyulut api sektarian?
Harian Terbit edisi Sabtu 2 November 2002, halaman 7 pernah menurunkan berita bertajuk Karena Berjilbab, Istana Menolak. Seorang wartawati bernama Elly Roosita alumnus IPB yang sehari-harinya mengenakan jilbab, nyaris tidak bisa mengikuti lawatan rombongan Presiden Megawati ke KTT ASEAN di Kamboja 3-5 November 2002, gara-gara pakai jilbab.
Ketika itu pihak istana kepresidenan meminta Elly menyerahkan pasfoto yang tidak berkerudung agar terlihat rambut dan telinganya. Permintaan itu ditolak Elly, karena baginya berjilbab itu prinsip. Elly sempat jengkel, karena sebuah aturan diskriminatif ternyata masih diberlakukan di era reformasi ini. Siapa Elly? Saat itu Elly adalah salah satu wartawati Kompas yang berjilbab.
Meski Kompas berusaha meminimalisir kesan sebagai media non Islam yang "memusuhi" Islam, nampaknya sulit menghilangkan label yang entah sejak kapan terlanjur melekat. Secara sosio-psikologis sebenarnya Kompas sama saja dengan Koran Tempo, Rakyat Merdeka, Suara Merdeka, Media Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya. Jika kemarahan umat Islam lebih sering tertuju pada koran yang dipimpin Jacob Oetama ini, tentulah bukan karena terbesar tirasnya, sehingga terbesar pula pengaruhnya dibanding koran-koran lain. Tetapi, "ideologis" Kompas memang sulit diingkari, lebih sering menyerang rasa keadilan dan menyayat hati umat Islam.
Diskriminatif
Dalam kasus eksekusi mati Tibo dkk, misalnya, Kompas hampir seratus persen menjadi corong bagi mereka yang menolak eksekusi mati terhadap Tibo dkk, sebagaimana tercermin melalui berbagai opini yang dipublikasikannya. Dalam pemberitaan, Kompas hampir tidak pernah memberikan ruang bagi mereka yang pro eksekusi mati Tibo dkk. Padahal, sudah jelas Tibo dkk membunuh ratusan santri ponpes Walisongo, Poso, dengan tangannya sendiri. Dalam hal Tibo dkk hanyalah wayang yang dimainkan aktor intelektual, itu lain persoalan. Yang jelas secara pidana Tibo dkk memang terbukti membantai ratusan orang. Keberpihakan terhadap mereka yang kontra eksekusi mati Tibo, menunjukkan bahwa sebagai media nasional Kompas tidak punya hati nurani. Kompas bukan saja mengabaikan amanat hati nurani rakyat yang menjadi mottonya, tetapi juga telah melukai rasa keadilan umat Islam.
Pembantaian terhadap umat Islam di Ambon dan Poso, justru digerakkan dan diberkati oleh Gereja, karena umat Nasrani di sana merasa sebagai pihak mayoritas. Menjelang eksekusi mati terhadap dirinya, Tibo mengungkapkan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), pimpinan pendeta Damanik, yang berpusat di Tentena ini, terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso.
Contoh lain, dalam kasus pro-kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Kompas jelas-jelas mengambil posisi kontra RUU-APP. Berbagai pemberitaan yang berkenaan dengan itu memperlihatkan dengan jelas bahwa Kompas diskriminatif. Opini yang ditampilkan juga berpihak. Misalnya, Kompas edisi 29 Maret 2006 menampilkan opini Siswono Yudhohusodho berjudul Negara dan Keberagaman Budaya. Siswono yang pada intinya menolak RUU APP karena menganggapnya salah satu produk hukum yang sangat beraroma Syari'at Islam. Menurut Siswono, "Sebagai konsekuensi negara kesatuan (unitarian) yang menempatkan seluruh wilayah negara sebagai kesatuan tunggal ruang hidup bangsa, sebuah RUU juga harus didrop bila ada satu saja daerah yang menyatakan menolaknya karena tidak cocok dengan adat istiadat dan budaya setempat. RUU APP sudah ditolak di Bali dan Papua."
Argumen Siswono jelas terlihat dungu. Ia tidak saja mengabaikan konsep demokrasi, tetapi mendorong munculnya tirani minoritas atas mayoritas. Bukankah Bali dan Papua minoritas? Melalui opininya itu, Siswono melalui sengaja menekankan supaya umat Islam yang mayoritas bila hendak membuat aturan bagi umat Islam, harus terlebih dulu meminta persetujuan masyarakat Bali dan Papua. Bila mereka menolak, berarti aturan itu harus juga ditolak sebagai konsekuensi dari konsep unitarian (negara kesatuan). Sebaliknya, bila orang Papua mau berkoteka, atau bila umat Hindu Bali mau menjalankan ritual musyriknya serta memaksakan penerapan "syariat" Hindu kepada non Hindu di Bali, itu harus didukung dalam rangka melestarikan keluruhan budaya bangsa.
Logika dungu seperti itu, dipublikasikan Kompas, tentu bukan tanpa maksud. Tidak bisa disalahkan bila ada yang menafsirkan hal itu dilakukan Kompas dalam rangka memprovokasi umat Islam. Patut juga dipertanyakan, apa kualifikasi yang dimiliki Siswono sehingga gagasan dan logika dungunya layak ditampilkan di Kompas, dan dalam rangka mewakili kalangan siapa?
Ketika wacana Perda SyariĆ¢€™at mengemuka, Kompas lagi-lagi menempati posisi strategisnya, yaitu menolak! Dalam kaitan ini, Kompas mempublikasikan argumen dan logika dungu untuk memprovokasi, kali ini dengan menampilkan Eros Djarot, yang tidak jelas apa kualifikasi yang dimilikinya sehingga ditampilkan sebagai salah satu suara yang layak didengar.
Bermunculannya kelompok dissident akhir-akhir ini seperti barisan Try Soetrisno, Gerakan Revolusi Nuraninya Tyasno Sudarto, Megawati dengan PDIP-nya, Gus Dur dll, dipublikasikan guna mengantisipasi penegakan Syari'at Islam dengan mempromosikan nasionalisme, kebhinekaan dan sekularisme. Termasuk, pemikiran neo komunisme gurubesar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masykuri Abdillah bahwa sekularisasi politik merupakan hal yang tak dapat dihindari. Namun, proses sekularisasi di Indonesia hendaknya tetap disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia yang masih memiliki orientasi keagamaan tinggi (Kompas 4/1). Bukankah pemikiran ini hendak menggeser peran agama hanya sebagai pelengkap saja?
Perda Syari'at & RUU APP
Pada Kompas edisi 12 Juni 2006, Eros Djarot melalui opininya berjudul Saatnya Duduk Bersama menyimpulkan, perda bernuansa syari'at adalah bagian dari nafsu politik membangun negara di dalam negara, dan perda syari'at adalah gambaran Indonesia yang amburadul. Perda syari'at juga dinilai Eros sebagai "hukum lain" di luar hukum positif.
Eros Djarot bukan pakar hukum, sehingga tidak mengerti bahwa menyerap hukum Islam ke dalam hukum positif adalah merupakan salah satu kaidah terbentuknya hukum positif. Tentu aneh dan janggal bila hukum positif di tengah masyarakat yang mayoritas Islam bersumber dari hukum-hukum yang diterbitkan oleh kolonialis dan imperialis. Apalagi, hukum Islam sudah diberlakukan bagi masyarakat Islam di kawasan Nusantara ini jauh sebelum kemerdekaan NKRI. Eros Djarot juga bukan pakar sejarah, sehingga ia tidak tahu bahwa orang Islam di Indonesia telah menerima dan menerapkan hukum Islam di dalam masyarakatnya secara menyeluruh, dan diperbolehkan pemerintah kolonial Belanda, jauh sebelum kemerdekaan. Fakta ini diungkapkan oleh pakar hukum bangsa Belanda, LWC Van Den Berg (1845-1927).
Sejak berkumandangnya wacana perda syari'at dan RUU APP, Kompas telah menjadi corong propaganda gerakan anti syariat dan anti Arab. Padahal, Arab dalam konteks sebagai etnik, bahasa dan nilai budaya, sudah menjadi salah satu anasir yang membentuk bangsa dan budaya Indonesia, sebagaimana Cina dan Hindu.
Ariel Heryanto dalam salah satu tulisannya berjudul Nadine, pada Kompas Minggu 30 Juli 2006, menyuarakan sikap anti Arab, seolah-olah istilah Arab digunakan untuk gagah-gagahan sebagaimana orang dungu menggunakan istilah asing (bahasa Inggris) supaya terkesan keren. Ariel menulis, "Dulu istilah-istilah asing itu sering dipakai pada saat tidak diperlukan. Istilah itu sengaja dipilih pemakainya justru karena banyak yang tidak paham, supaya tampak keren atau hebat. Mirip istilah Arab yang sekarang mulai bertebaran dan naik pamornya di Indonesia. Atau istilah Sansekerta di zaman Orde Baru."
Rupanya Ariel belum tahu, bahwa para orangtua kita dulu, meski tidak bisa membaca huruf latin, mereka banyak yang mampu membaca huruf Arab Melayu, sebagai konsekuensi dari masuknya Islam dan diterapkannya Syari'at Islam di banyak segi kehidupan.
Seharusnya Ariel bertanya kepada Alwi Shahab, wartawan senior Republika, yang pernah mengungkapkan catatan bahwa antara 1795-1801 di Betawi terbit koran umum yang oleh kolonial Belanda disebut koran inlander (pribumi) dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Sebelum tahun 1872, hampir semua naskah di Nusantara ditulis dalam huruf Arab, baik naskah berbahasa Sunda, Jawa, Melayu, maupun etnis lainnya. "Begitu luasnya bahasa Arab jadi bacaan sehari-hari, hingga mata uang yang dikeluarkan pemerintah kolonial bagian belakangnya tertulis dalam bahasa Arab-Melayu. Ini terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negeri-negeri jajahan Inggris, seperti Singapura dan Malaya (kini Malaysia). Kala itu, hampir seluruh masyarakat buta huruf Latin, tapi melek huruf Arab."
Kemampuan membaca huruf Arab-Melayu saat itu juga bisa dilihat pada warga Cina peranakan, yaitu keturunan Cina yang lahir di Indonesia. Kini, amat langka menemukan keturunan Cina di Indonesia yang bisa membaca huruf Arab-Melayu. Bahkan saat ini kita tidak pernah lagi menemukan media cetak untuk umum yang berbahasa Arab.
Artinya, proses de-Arabisasi sebagai bagian dari de-Islamisasi ini sudah berlangsung cukup efektif. Tetapi tudingan bahwa terjadi Arabisasi atau Islamisasi atas sejumlah Perda Anti Maksiat yang diproduksi daerah tertentu melalui mekanisme demokrasi sekuler, jelas memutarbalikkan fakta. Tidak sekadar memutarbalikkan fakta, isu Islamisasi dan Arabisasi sengaja diluncurkan untuk menutupi keadaan sebenarnya, yaitu gencarnya westernisasi dan yahudiisasi terhadap banyak segi kehidupan rakyat Indonesia.
Ariel juga seharusnya bertanya kepada kedua orangtuanya, mengapa mereka memberikan nama bagi anaknya yang mirip dengan nama orang bengis dari Israel yaitu Ariel Sharon? Kalau nama adalah do'a, apakah ketika memberikan nama Ariel Heryanto yang mirip dengan Ariel Sharon yang jahat itu, orangtuanya menginginkan agar anaknya (Ariel Heryanto) kelak bisa menjadi durjana seperti Ariel Sharon? Tentu tidak khan?
Tetapi yang jelas, sikap anti-Arab adalah sikap yang dimiliki Yahudi alias Israel. Salah satu contohnya adalah Goenawan Mohamad. Tulisannya berjudul RUU Porno: Arab atau Indonesia? yang dipublikasikan 8 Maret 2006, jelas menunjukkan hal itu. Ketika merespon RUU APP yang dicemoohnya sebagai RUU Porno, Goenawan Mohamad benar-benar menunjukkan sikapnya yang anti Arab. Hasilnya, ia memperoleh penghargaan Dan David Prize 2006 dari Universitas Tel Aviv (TAU) Israel. Tidak ada hadiah yang diberikan secara cuma-cuma, bukan? Siapa sangka, tahun berikutnya Ariel Heryanto bisa meraih hadiah serupa.
Kalangan Sepilis
Kalangan sepilis (sekularis, pluralis, dan liberalis) pernah berupaya melawan "Islam sektarian"� dengan mensosialisasikan wacana Islam Warna-warni. Upaya ini dilakukan dengan amat serius, sampai harus mengeluarkan biaya milyaran rupiah untuk pasang iklan di televisi dan media cetak. Namun anehnya, mereka sendiri sulit menerima warna lain selain warna yang mereka sukai (warna sepilis). Kalau memang Islam itu Warna-warni, maka seharusnya mereka bisa menerima warna lain meski mereka tidak suka. Sebab yang mereka tidak suka belum tentu jelek bagi mereka. Dari fakta ini, maka terlihat dengan jelas siapa sesungguhnya yang sektarian?
Sebagai corong sepilis, dalam prakteknya Kompas juga tidak konsisten, karena hanya mau menerima opini dari satu warna saja yaitu warna sepilis. Paling sering Kompas dan antek-anteknya mempublikasikan opini dari Ulil, Sukidi, Nurcholish, Dawam, Gus Dur dan lainnya yang homo (sejenis) lainnya. Selama ini tidak terlihat Kompas punya itikad baik mau menyodorkan warna yang berbeda dengan menampilkan penulis yang terbukti mampu mematahkan argumen nama-nama tadi.
Mungkin Kompas berfikir sedang memberikan kontribusi di dalam menciptakan Indonesia yang damai dan santun dengan mempublikasikan tulisan (opini) yang disumbangkan para kaum sepilis. Patut diduga, diskresi itu justru membuat panas situasi. Jangan-jangan Kompas memang belagak pilon, sengaja menampilkan warna homo kaum sepilis, dengan dalih untuk mensosialisasikan Islam yang rahmatan lil alamin. Padahal sebenarnya Kompas sedang menyalakan kompor. Faktanya, damai tidak pernah wujud di Indonesia.
Kompas juga sangat berperan melahirkan tokoh nasional sekaliber Gus Dur (GD). Selama lebih dua dasawarsa Kompas rajin mempromosikan sosok GD sebagai tokoh moderat, demokratis, cendekiawan Muslim, penarik gerbong pembaharuan pemikiran Islam, bapak bangsa, dan sebagainya. Terbukti ketika Gus Dur jadi Presiden, Indonesia bukan tambah damai, malah tambah kacau. GD mulai kelihatan aslinya, tidak demokratis alias otoriter, keinginannya harus selalu dituruti seperti anak kecil, juga tidak Islami karena suka berselingkuh dan menjalankan prosesi musyrik ruwatan, suka jalan-jalan ke luar negeri menghamburkan uang negara. Kompas telah memberikan kontribusi signifikan di dalam melahirkan sosok yang kacau seperti GD ini. Kompas punya tanggung jawab moral terhadap kekacauan yang dibuat GD.
Selain Gus Dur, Kompas juga turut melahirkan dan membesarkan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Seperti GD, Cak Nur disebut-sebut sebagai cendekiawan Muslim, penarik gerbong pembaharuan pemikiran Islam, Islam Moderat, dan sebagainya. Nurcholish Madjid, terbukti tidak punya kejujuran intelektual. Ketika Cak Nur menerjemahkan kalimah thoyyibah laa ilaaha illalloh menjadi tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) , yang seharusnya berarti tiada tuhan selain Allah. Ketika itu, Cak Nur mengaku merujuk buku Ismail Faruqi yang mengatakan bahwa Allah itu semacam dewa air bagi kepercayaan Arab kuno. Padahal, sebagaimana dibantah Ridwan Saidi, Ismail Faruqi tidak pernah mengatakan bahwa Allah adalah semacam dewa air. Masih banyak kebohongan dan ketidak jujuran Cak Nur yang berhasil direkam dan dibantah umat Islam. Namun Kompas tetap saja mempromosikannya sebagai Cendekiawan Muslim yang moderat. Kompas telah memberikan kontribusi penting bagi lahirnya sosok pembohong dan tidak jujur ini.
Masih banyak sosok lain yang menjadi binaan Kompas, antara lain Dawam Rahardjo, yang suka bohong dan juga tidak punya kejujuran intelektual seperti Cak Nur. Kompas edisi Jum'at 22 Desember 2006, menampilkan kebohongan Dawam melalui tulisannya berjudul Ensiklopedia Nurcholish Madjid, "Bahkan, tokoh-tokoh medioker ikut mentransformasi kritik menjadi fitnah yang mengacaukan masyarakat. Misalnya saja Hartono Ahmad Zais melaporkan bahwa Nurcholish Madjid telah mendefinisikan Tuhan secara baru, dengan mengatakan bahwa Nurcholish telah menyamakan Allah dengan Dewa Laut Bangsa Arab."
Melalui opininya itu, Dawam kembali membela Cak Nur yang sudah mati. Kejahilan dan ketidak jujuran Cak Nur menerjemahkan laa ilaaha illalloh menjadi tiada tuhan (hurf "t" kecil) selain Tuhan (huruf "T" besar), seolah-olah fitnah yang disebarkan Hartono Ahmad Jais. Padahal, ketidak-jujuran dan kebohongan Cak Nur pada saat itu sudah berhasil dibuktikan kesesatannya sekaligus dibantah oleh banyak pihak. Perihal Cak Nur menerjemahkan kalimah thayyibah secara serampangan adalah fakta bukan fitnah. Cak Nur juga terbukti berbohong dengan menyebutkan bahwa di dalam buku Ismail Faruqi ada disebut bahwa Allah semacam dewa air bagi bangsa Arab kuno. Padahal tidak ada pernyataan seperti itu.
Agen Perusak
Selain tidak jujur, Dawam juga pendukung Marxisme. Pada acara Seminar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama di Balai Sarbini Plaza Semanggi Jakarta, Jum'at 28 April 2006, Dawam adalah salah satu pembicara (pembicara lainnya adalah Pendeta Dr. Stephen Tong, Pendeta Benjamin F. Intan Ph.D, dan Prof J.E. Sahetapy SH MA). Peserta seminar hampir seluruhnya umat Nasrani (Kristen). Ketika itu, Dawam mengatakan: "Orang-orang Marxis itu ternyata orang baik-baik saja. Bahkan orang-orang Marxis itu kebanyakan humanis dan mempunyai etika yang tinggi. Jadi apa salahnya? Dari pada orang beragama tapi kerjanya menteror. Memecahkan masalah dengan teror, usul dengan teror." (sumber: Majalah Tabligh).
Padahal, PKI yang berideologi Marxis, di Indonesia telah membunuhi ulama beserta keluarganya, antara lain pada Peristiwa Madiun 18 Sepetember 1948. Di Kampung Gorang Gareng Madiun saja ada seratusan lebih ulama dan keluarganya yang dibunuh PKI yang Marxis itu. Genangan darah tebalnya bersenti-senti meter saking banyaknya ulama yang disembelihi PKI dalam Peristiwa Maidun itu.
Dalam kaitan yang sama, Dawam mengatakan, "menurut pendapat saya yang mengganti Menteri Agama itu tidak mesti dari orang Islam, bahkan lebih baik kalau Menteri Agama itu dari golongan minoritas atau yang disebut golongan minoritas. Karena apa? Karena kalau dari golongan minoritas, misalnya Kristen, dia tidak akan berani melanggar hak-hak sipil, karena akan dikontrol oleh mayoritas. Sebaliknya kalau itu berasal dari kelompok agama yang mayoritas, wah, itu pasti dia cenderung untuk selalu melanggar, karena merasa berani dan merasa kuat, karena merasa dari golongan mayoritas. Padahal di Indonesia itu tidak ada golongan mayoritas dan minoritas. Semua sama di depan hukum." (sumber: Majalah Tabligh).
Ocehan Dawam bombastis dan tidak sesuai dengan realitas. Faktanya, ketika Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI, dan Kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur beragama Katolik, sang pimpinan melarang karyawannya yang beragama Islam melaksanakan khutbah Jum'at di masjid. Pengakuan tersebut disampaikan para karyawan kepada rombongan wartawan Islam dari Jakarta yang saat itu sedang berada di Dili, Timor Timur. Lantas, apa yang akan terjadi bila Menteri Agama RI dijabat orang Kristen atau Katholik?
Dari beberapa gambaran di atas, maka kita pun bertanya, benarkah Kompas membawa missi amanat hati nurani rakyat? Rakyat yang mana dan di mana? Dengan melahirkan dan membesarkan para pendusta agama, menyebarluaskan pemikiran sekuler dan anti Syari'at Islam, Kompas bukannya memberikan kontribusi bagi terciptanya Indonesia yang damai dan bermartabat. Sebaliknya, apa yang dilakukan Kompas justru menjadi agen perusak moral, perusak persatuan-kesatuan, dan secara provokatif menanam benih permusuhan. Ibarat menyalakan api kompor yang siap membakar apa saja, kapan saja, dan di mana saja di negeri ini.
Sumber: Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 5 Th I Muharram 1428 H / Februari 2007, hal. 26-32.
Sebuah Koreksi Pada Pemikiran Islam Liberal
23 August 2010
- Islam itu Rahmatan lil ‘alamin, artinya membawa kebaikan bagi seluruh alam. Bagaimana rasionalnya? Apa jika seluruh umat Islam sudah mau shalat semua kemudian tercipta rahmat pada alam itu? Atau semua orang Islam harus menjadi kaya raya dulu lalu kemudian datang kebaikan pada alam semesta? Apa ajaran Nabi Muhammad SAW memang begitu? Banyak orang Islam di zaman nabi belum utuh shalatnya, juga masih banyak umat masa itu yang tidak menjadi konglomerat, tetapi jelas bahwa Islam telah mendatangkan kondisi kebaikan luar biasa pada wilayah Mekah-Medinah dan sekitarnya yang akhirnya menstimulir terbentuknya peradaban mulia di dunia?
- Penjelasan rasionalnya adalah: “Islam itu akan mendatangkan rahmat bagi alam semesta jika wilayah/alam itu dikelola secara Islami”. Rahmat bagi alam itu hadir tatkala pengelolaan dunia menggunakan tuntunan Allah swt terkait pengelolaan dunia itu sendiri. Sebaliknya dunia akan rusak dan masyarakat manusia akan terpuruk jika pengelolaan dunia mengabaikan tuntunan Islam yang terkait masalah pengelolaan dunia, bukan terkait masalah ritual atau pengelolaan keluarga. Walau semua orang Islam sudah shalat (suatu yang utopis bukan?) namun jika pengelolaan negara tidak menggunakan cara Islam pasti negara dan masyarakat di dalamnya tetap akan penuh dengan pertikaian-kerusakan-kebatilan. Rahmat tidak akan hadir pada alam ini. Jadi datangnya Rahmat pada Alam tidaklah terkait dengan Ritual Islam maupun Cara berKeluarga Islam tapi terkait dengan Politik Islam. Ritual Islam dan berKeluarga Islam bisa mendatangkan kemanfaatan pada lingkup individu dan keluarga sedang Politik Islam (atau juga sering disebut sebagai Islam Politik) akan mendatangkan kemanfaatan pada dunia yang dikelola oleh Politik Islam itu.
- Pemahaman kelompok Islam Liberal dan Sekuler tentang agama Islam sungguh bertolak belakang dengan paradigma Islam tersebut di atas. Islam dianggap hanya mengajarkan cara beritual, bagian dari ajaran Islam yang oleh mereka masih (lumayan) diakui keberadaannya, sedang diluar itu Islam dianggap tidak mengajarkan konsep cara menjalani kehidupan, apakah cara berkeluarga dan berbangsa-bernegara. Mereka berpendapat bahwa Cara berkeluarga dan bernegara berada di luar ranah agama Islam (kalau pandangan agama lain tentu bukan urusan orang Islam) dan boleh seenaknya dikemas menurut hasrat pribadi. Pemikiran seperti ini jelas sesatnya karena bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
- Kehadiran Rasulullah yang berhasil secara nyata mendatangkan rahmat pada wilayah dan masyarakat Mekah-Madinah dan sekitarnya terjadi karena Rasulullah mengetrapkan syariat Islam terkait pengelolaan wilayah dan Negara sewaktu beliau menjadi Kepala Negara di sana. Tatkala Rasulullah masih mengajarkan Ritual Islam dan berkeluarga Islam di Mekah selama 13 tahun, di penghujung masa itu kondisi wilayah dan masyarakat Mekah tetap rusak, perempuan dihinakan, bayi perempuan dibunuh hidup-hidup, kriminal merajalela, akhlak penduduk hancur, kemaksiatan marak, ekonomi penduduk bangkrut sarat ketimpangan oleh penindasan dan praktek eksploitasi. Ritual dan berkeluarga melulu tidak akan menghantar datangnya rahmat pada alam. Politik Islamlah yang akan menghantar datangnya Rahmat bagi alam.
- Paradigma bahwa Islam mendatangkan rahmat bagi alam semesta juga tidak boleh disempitkan maknanya dalam skala individual. Tatkala seorang sopir muslim memberi sedekah pada peminta di jalan raya jelas itu bukan yang dimaksud dengan konsep bahwa “Islam itu Rahmat bagi Alam Semesta” karena agama si sopir bisa apa saja, bahkan orang atheispun bisa melakukan itu. Tatkala ada kecelakaan menimpa seseorang, atau bahkan tatkala ada pesawat jatuh lalu orang ramai menolong korban juga belum masuk kategori bahwa “Islam itu Rahmatan lil ‘Alamin” karena siapapun yang masih punya nurani akan melakukan hal yang sama. JANGAN SEKALI-KALI MENGKERDILKAN MAKNA SEBENARNYA DARI “ISLAM ITU RAHMATAN LIL ‘ALAMIN” apalagi jika pengkerdilan itu dilakukan hanya untuk menutupi kehendak syahwat politik yang menjadi lawan politik Islam.
- Kalau di masa Rasulullah praktek Politik Islam itu diterapkan di Negara Madinah, maka bagi umat Islam Indonesia harusnya pengetrapan Politik Islam dilakukan di negeri ini agar Indonesia bisa segera menjadi maju seperti Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Tapi anehnya mengapa justru banyak tokoh Islam dan ulama Islam Indonesia yang menolak Politik Islam dan malah berfihak atau mendukung Politik Sekuler? Astaghfirullah. Mereka senangnya hanya pada Ritual Islam belaka dan Politiknya menganut Politik Ghoirul Islam, politik yang membuang ajaran Islam terkait masalah sosial-kenegaraan. Akibatnya sudah bisa dirasakan saat ini, kekayaan alam bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim itu semakin menipis terhisap oleh rekayasa ekonomi orang lain, akhlak bangsa semakin rusak, ekonomi bangsa terpuruk-puruk, kriminalitas tinggi, kemaksiatan merajalela, utang menumpuk. Ironisnya lagi, justru ketaatan Ritual Islam umat Islam Indonesia sendiri malah terus merosot, proporsi pemeluk Islam di negeri ini juga semakin rendah. Tokoh dan ulama Islam yang berpandangan sempit semacam itu pasti harus bertanggung jawab di hadapan Allah SWT nanti di alam barzah karena terjerembabnya Islam dan umat Islam di negeri ini.
- Politik Islam di Indonesia sesungguhnya sudah hadir sejak menjelang dan awal kemerdekaan negeri ini. Berdirinya Masyumi, NU, PSII, Perti yang merupakan Partai Politik berasas Islam menunjukkan tingginya kesadaran tokoh/ulama Islam untuk mengusung Politik Islam, bukan berislam hanya ritualnya belaka. Politik Islam yang bermakna berpolitik sesuai ajaran Islam (sedang Ritual Islam adalah beritual sesuai ajaran Islam) mengandung misi utama “MENGELOLA NEGERI SESUAI SYARIAT SOSIAL-KENEGARAAN ISLAM”. Politik Islam tentunya harus diperjuangkan oleh WADAH POLITIK (PARTAI POLITIK) yang berASAS Islam. Mana bisa wadah politik yang tidak berasas Islam mampu mengarah pada perjuangan untuk mengelola Indonesia sesuai syariat Islam? Wadah yang tidak berasas Islam (wadah ‘netral’) semacam itu akan tidak memiliki legitimisasi keIslaman dalam politik formal, walau dibentuk oleh komunitas muslim atau Ormas Islam sekalipun, sehingga akan kehilangan acuan Islam dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan nasionalnya. Wadah tidak berasas Islam seperti itu mudah TERSERET ATAU DIBELOKKAN MENDUKUNG KE POLITIK SEKULER YANG MENJADI LAWAN IDEOLOGI ISLAM. Apakah umat Islam Indonesia belum juga sadar sehingga terus memilih-mendukung Partai Sekuler, bukan Partai Islam? Semoga Ramadhan kali ini lebih membuka hati nurani umat, khususnya tokoh/muballigh/ulama Islam. Amien.
Adakah Politik Anti-Syariat di balik Isu Kemajemukan Agama di Indonesia?
Pluralitas Agama ataukah Mayoritas Muslim
Mengapa kini makin marak saja isu adanya pluralitas agama di Indonesia padahal di negeri ini sejak dalam masa penjajahan oleh bangsa Belanda yang Protestan dan diteruskan oleh penjajahan Jepang yang menganut Budha dan Kong Hu Cu itu sudah ada kemajemukan agama. Mana pula yang lebih relevan dibicarakan dalam kaitannya dengan upaya membangun bangsa-negara Indonesia untuk menjadi bangsa-negara yang maju dalam percaturan internasional, isu pluralitas agama atau isu Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di Indonesia?Sejak dahulu kala, bukan di era reformasi ini saja telah ada pluralitas agama di Indonesia. Bahkan tidak ada satupun negara di dunia yang warga negaranya hanya memeluk satu agama, tidak pula di negara Madinah masa Rasulullah di mana di sana juga ada Yahudi dan Nasrani/Kristen. Tapi kemudian mengapa sepertinya di Indonesia ini, khususnya mulai di masa Orde Baru lalu dan berlanjut di era reformasi sekarang ini ada histeria bahwa di negeri ini ada pluralitas agama (baca: tidak hanya orang Islam saja).
Mengapa pula sepertinya Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di negeri ini tidak menjadi isu sosial politik, bahkan nampak ingin ditenggelamkan. Mengapa ada upaya untuk tidak menonjolkan bahwa strukrur sosial bangsa ini didominasi oleh muslim (sekitar 90%), sedang pemeluk agama lain, seperti Katholik, Protestan, Budha, Hindu, Kong Hu Cu membagi sekitar 10% sisanya? Bukankah proporsi seperti itu lebih layak diungkapkan, dikemukakan, dan ditonjolkan sewaktu bangsa ini sedang berupaya mencari strategi pembangunan yang efektif bisa menghantar bangsa menjadi bangsa yang besar? Mengapa pula ada upaya sistematis untuk meyakinkan semua orang di Indonesia (baca: umat Islamnya) bahwa faktor mayoritas agama itu tidak penting untuk diperhitungkan dalam proses pengelolaan bangsa dan negara.
Sebetulnya teramat mudah untuk dipahami bahwa maraknya isu pluralitas agama dan penenggelaman fakta muslim sebagai mayoritas di Indonesia memiliki tujuan politik dan rekayasa sosial terselubung. Jelas tiupan atau bisikan sosio-kultural adanya pluralitas agama seperti itu mempunyai maksud politis, agenda politik, yakni berupaya ‘mendiskreditkan’ eksistensi orang Islam di negeri ini. Apakah umat Islam di Indonesia terlalu lengah untuk tidak mengerti bahwa tiupan seruling pluralitas agama di negeri ini bermaksud ‘memerintahkan’ kaum muslimin Indonesia agar mau menerima saja bila kebijakan sosial-politik yang diberlakukan atas mereka itu tidak bersumber dari ajaran Islam.
Hembusan itu juga merayu (atau ‘memaksa’) agar orang Islam di negeri ini tidak protes bila kepada mereka diberlakukan kebijakan nasional yang berbeda bahkan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mereka anut, seperti misalnya diterapkannya kebijakan nasional yang mendukung atau membiarkan maraknya: lokalisasi pelacuran, kesetaraan gender yang bias, kebebasan ganti-ganti agama ala HAM Barat, legalisasi klab malam dan dugem, promosi seks bebas, gay, dan buka aurat, budaya mabuk karena peredaran miras, hidup glamor penuh pemborosan di tengah kemiskinan rakyat. Bahkan misi politik hembusan adanya pluralitas agama itu bisa menjurus yang lebih menyakitkan lagi bagi umat Islam, yakni hendaknya orang Islam di Indonesia ini mau menerima bila dipimpin oleh orang yang beragama lain dalam proses kehidupan sosial-politiknya, seperti layaknya zaman penjajahan dulu di mana orang Islam diperintah oleh penguasa Belanda yang Protestan-Katholik atau penguasa Jepang yang menganut Budha-Kong Hu Cu.
Isu pluralitas agama di Indonesia amat jelas arah sasarannya, dan sudah banyak memakan korban, termasuk di kalangan ulama, santri, kyai, bahkan di kelompok sarjana atau cendekiawan Muslim sekalipun. Propaganda adanya pluralitas agama ini ternyata memang efektif mengubah pola pikir dan aqidah umat, khususnya pada masa orde baru dahulu, di mana umat Islam dipojokkan isu mau mendirikan negara Islam, mau menghidupkan piagam Jakarta, dan pada saat bersamaan ‘musuh’ Islam rajin menyusun kebijakan sosial yang bertentangan dengan ajaran sosial Islam dan pelan-pelan menguasai posisi strategis dalam pemerintahan di negeri ini. Umat Islam di awal orde baru tampak begitu tidak berdaya terhadap rekayasa sosial-politik secanggih itu, apalagi pada saat tersebut mereka sekaligus ditekan pula secara fisik-militer untuk tidak protes dengan alasan demi menjaga stabilitas negara, kebutuhan pembangunan, keutuhan bangsa, keamanan dan ketertiban, dan semacamnya. Apakah di era reformasi sekarang ini umat Islam Indonesia masih juga terperangkap oleh isu seperti itu? Masya Allah.
Banyak sudah disiapkan forum yang menseminarkan adanya pluralitas agama di negeri ini, ironisnya juga termasuk oleh lembaga Islam sendiri. Apa gerangan targetnya? Apakah umat sudah terbawa oleh isu pluralitas agama sehingga mereka siap menjadi warga negara yang ‘baik-baik’ yang nantinya diam saja walau kebijakan sosial-politik di negeri ini bervisi non-Islami atau bahkan mereka akan oke saja bila dipimpin oleh orang lain dalam kehidupan sosial-politiknya (dengan alasan orang lain itu lebih mampu di bidang manajemen, sedang kita ini masih bodoh di bidang itu). Allahu Akbar. Mengapa tidak ada upaya umat, khususnya cendekiawan muslim atau ulama dan aktifis Islam menseminarkan makna mayoritas muslim di negeri ini terhadap implikasi kebijakan sosial-politik di negerinya. Mengapa belum satupun lembaga Islam, apalagi lembaga pemerintahan, yang membuat seminar nasional-internasional: ‘Implikasi Kebijakan Sosial-politik bagi Negara yang Mayoritas Penduduknya Muslim” agar bisa ditimbang secara rasional bentuk-bentuk kebijakan dan kepemimpinan nasional mana yang efektif bagi kemajuan bangsa-negara semacam itu (buat pula komparasi dengan negara yang mayoritas penduduknya beragama lain, seperti Barat, Cina, Jepang, dll yang membangunan negerinya dengan pola sekuler).
Masalah Teori Dan Paradigma Pembangunan Yang Membuat Indonesia Menjadi Negara Maju Dan Jaya
Semua orang di Indonesia ini kalau ditanya dalam suatu poling pendapat (akhir-akhir ini populer sekali survey seperti itu) tentu nyaris semua akan mengaku ingin membuat bangsa-negara Indonesia ini menjadi maju dan besar. Tapi mari coba ditanya atau ditelusuri teori dan paradigma pembangunan apa yang akan mereka pakai untuk membuat Indonesia ini menjadi bangsa-negara yang maju dan jaya. Bisakah negeri ini menjadi negeri maju bila kepada mayoritas penduduknya yang muslim itu diberlakukan kebijakan sosial-politik yang non-Islami? Bukankah cara seperti itu seperti jauh panggang dari api. Mayoritas bangsa akan kehilangan identitas diri mereka, dan akhirnya mereka akan menjadi gerombolan munafik yang kehilangan kepercayaan dan kepribadian sehingga menjadi makanan lunak bagi serigala hedonis berskala internasional. Bangsa mana yang berhasil menjadi bangsa besar bila mayoritas warganya bersifat munafik, tidak berkepribadian, dan lemah dalam aqidah-syariahnya.Kualitas suatu bangsa itu ditentukan oleh kualitas mayoritas penduduknya, bukan oleh kualitas minoritasnya. “When majority gets empowered, the minority will be carried away (NOT THE REVERSE), and the nation will be powerful“. Tatkala mayoritas bangsa yang muslim itu menjadi maju maka minoritas akan terikut maju (TIDAK SEBALIKNYA), dan negarapun akan menjadi kokoh-kuat. Ini tantangan. Mungkinkah mayoritas penduduk Indonesia yang muslim itu bisa maju jika diberlakukan pada mereka model pembangunan yang non-syar’i? Mari kita menjadi rasional, jangan antipati atau menolak syariat sosial-kenegaraan yang diajarkan Allah swt untuk membangun bangsa-negara Indonesia tercinta ini.
Sumber fuadamsyari.wordpress.com
Yang Khas dari Betawi, Kerak Telor
Kerak Telor
Jika anda warga Jakarta mungkin nama Kerak Telor sudah tidak asing lagi di telinga anda, apabila anda baru mendengar ataupun belum pernah mencoba makanan ini mungkin namanya terdengar aneh. Kerak telor bukanlah telor yg hangus di wajan kemudian dihidangkan.
Tetapi itu adalah sebuah nama untuk makanan yang terbuat dari beras ketan putih, telur ayam atau telur bebek, ebi (udang kering) yang disangrai kering ditambah dengan bawang merah goreng, lalu diberi tambahan bumbu halus yang berupa kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica, garam, dan gula pasir. Dalam proses memasaknya pun cukup unik. Kerak telor di masak di atas anglo (menggunakan panas dari arang), ketika kerak telor terlihat sudah setengah matang maka wajannya dibalikkan dan kerak telor dibiarkan terkena panas dari anglo nya sehingga kemudian menjadi agak hangus. Nah mungkin dari sini lah istilah kerak nya.
Sekarang kerak telor hanya bisa ditemukan di beberapa sudut kota Jakarta. Kehadirannya mungkin hanya dapat kita temui saat ulang tahun kota Jakarta saat Pekan Raya Jakarta digelar. Tetapi jika pada hari2 biasa kita ingin menikmati kelezatan kerak telor, kita hanya bisa menemukannya di Setu Babakan (kampung Betawi) dan di daerah Kota Tua.
Setu Babakan, Perkampungan Budaya Betawi
Rumah adat betawi
Setu Babakan – Perkampungan Budaya Betawi
Ada yang pernah tau Setu Babakan? Disana terletak sebuah perkampungan budaya Betawi dimana seluruh bangunan dan jajanannya bergaya Betawi
Perkampungan ini terletak di samping sebuat danau yang cukup besar di daerah srengseng sawah lenteng agung. Perjalanan ketempat ini memang cukup jauh jika anda belum terbiasa dan juga melelahkan. Namun semua itu bisa terobati dengan sejuknya duduk di bawah pepohonan yang cukup rindang sambil menikmati jajan betawi seperti sotomie, kerak telor, roti buaya bahkan soto betawi pun di jajakan disini. Cukup banyak keluarga yang menghabiskan siang dan sorenya ditempat ini
Selain sebagai sarana rekreasi tempat ini juga menampilkan arsitektur betawi. Rumah-rumah yang dibangun di daerah ini menggunakan konsep ala betawi tempo dulu namun menggunakan bahan modern. Meskipun begitu tempat ini bisa dijadikan sarana belajar bagi mereka yang ingin mengetahui budaya betawi lebih lanjut karena ditempat ini juga dilaksanakan pementasan budaya betawi setiap Sabtu atau Minggu.
Jadi, sebagai warga jakarta anjuran saya adalah kenali budaya tempat tinggalmu ini lebih dekat lagi sehingga kamu bisa bercerita kepada keluargamu pada saat mudik lebaran
Kampung Betawi, Situ Babakan, Ciganjur
Sumber: ngegaulnyok.blog.com
Rempeyek (Peyek)
Kalau orang Jawa Timur, biasa menyebut makanana ini Peyek, tetapi kalau orang Jawa Tengah akan menyebutnya Rempeyek.
Rempeyek adalah makanan khas aseli negeri kita yg tidak akan ditemukan di tempat lain di dunia. berbahan dasar tepung beras dan santan, dengan topping kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, udang, ebi, dll. disajikan sebagai tambahan untuk makanan atau sebagai camilan
Rempeyek adalah makanan khas aseli negeri kita yg tidak akan ditemukan di tempat lain di dunia. berbahan dasar tepung beras dan santan, dengan topping kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, udang, ebi, dll. disajikan sebagai tambahan untuk makanan atau sebagai camilan
Rumah Panggung Kajang Lako
Rumah Panggung Kejang Lako merupakan tempat tinggal masyarakat Marga Bathin, sebuah suku yang berasal dari sebelah barat pegunungan Bukit Barisan (Sumatra Barat). Masyarakat suku ini teguh memegang nilai-nilai luhur kebudayaannya. Keteguhan dalam memegang nilai-nilai budaya tercermin dari kesetiaan mereka memelihara tradisi yang diwariskan oleh pendahulu mereka secara turun-temurun, seperti melestarikan rumah panggung Kejang Lako yang menjadi ciri khas masyarakat Marga Bathin.
Banyak rumah-rumah tradisional yang diwariskan oleh pendahulu Marga Bathin yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, walaupun bangunan tersebut telah berumur ratusan tahun. Salah satunya adalah bangunan Rumah Panggung Kejang Lako yang terdapat di Rantau Panjang dan Kampung Baruh, yang sampai sekarang telah berusia 300 tahun lebih.
Untuk melestarikan keberadaan Rumah Panggung Kejang Lako, Pemerintah Daerah Provinsi Jambi mengukuhkan bangunan ini sebagai rumah adat khas masyarakat Jambi. Untuk mendukung upaya tersebut, maka corak arsitektur bangunan kantor-kantor pemerintahan yang ada di Provinsi Jambi mengadopsi konstruksi bangunan Kejang Lako, seperti yang terdapat pada kantor gubernur, kantor-kantor dinas, kantor-kantor bupati, dan museum.
Rumah Kejang Lako oleh masyarakat Marga Bathin dibangun dengan tipologi bangunan rumah panggung yang berbentuk empat persegi panjang. Rata-rata bangunan dibuat dalam ukuran 9 m x 12 m dengan menggunakan kayu ulim yang banyak tumbuh di daerah Jambi. Untuk merangkai kayu-kayu pada bagian rumah, masyarakat Marga Bathin mengandalkan teknik tradisional, seperti teknik tumpuan, sambung kait, dan pengait menggunakan pasak.
Keunikan bangunan rumah panggung Kejang Lako terletak pada struktur konstruksi dan ukiran yang menghiasi bangunan. Konstruksi bangunan terdiri dari beberapa bagian, seperti:
* Bubunganatap dibuat seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas yang sering disebut lipat kejang, atau potong jerambah.
* Kasau Bentuk adalah atap bagian atas yang berfungsi untuk mencegah air hujan tidak masuk ke dalam rumah.
* Penteh, bagian ini berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda yang jarang dipergunakan.
* Tebar layar, bagian ini berfungsi sebagai dinding penutup ruang atas yang menahan rembesan tempias air hujan.
* Pelamban merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk ruang tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk oleh tuan rumah.
* Masinding dinding, terbuat dari papan yang diukir.
Pintu pada rumah panggung Kejang Lako terdiri dari 3 pintu, yaitu: pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Rumah ini juga memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.
Tiang rumah panggung Kejang Lako berjumlah 30 yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang pelamban. Tiang utama panjangnya 4,25 m yang berfungsi sebagai tonggak untuk menopang kerangka bangunan. Di samping sebagai penopang, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pemisah antara satu ruang dengan ruangan yang lain menjadi 8 bagian. Adapun nama-nama ruang tersebut adalah pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas penteh, dan ruang bawah bauman.
Bangunan rumah panggung Kejang Lako menjadi lebih indah dengan hiasan beraneka ragam motif ukiran khas masyarakat Jambi. Motif ukiran pada rumah panggung tersebut diinspirasi dari aneka ragam flora dan fauna. Untuk motif flora antara lain motif /bungo tanjung (bunga tanjung), tampuk manggis, dan bungo jeruk (bunga jeruk). Motif bungo tanjung biasanya diukir pada masinding dinding bagian depan, sementara motif tampuk manggis biasanya diukir pada bagian atas pintu masuk. Untuk motif ukiran bungo jeruk, diukir pada bagian luar rasuk (belandar) rumah. Sementara itu, motif ukiran fauna hanya menggunakan satu motif ukiran saja, yaitu motif ikan. Motif ikan diukir pada bagian bendul (jendela) gaho dan pada pintu balik melintang.
Rumah Panggung Kejang Lako Marga Bathin terdapat di Rantau Panjang dan Kampung Baruh, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Indonesia.
Sumber: mamas86.info.com
Banyak rumah-rumah tradisional yang diwariskan oleh pendahulu Marga Bathin yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, walaupun bangunan tersebut telah berumur ratusan tahun. Salah satunya adalah bangunan Rumah Panggung Kejang Lako yang terdapat di Rantau Panjang dan Kampung Baruh, yang sampai sekarang telah berusia 300 tahun lebih.
Untuk melestarikan keberadaan Rumah Panggung Kejang Lako, Pemerintah Daerah Provinsi Jambi mengukuhkan bangunan ini sebagai rumah adat khas masyarakat Jambi. Untuk mendukung upaya tersebut, maka corak arsitektur bangunan kantor-kantor pemerintahan yang ada di Provinsi Jambi mengadopsi konstruksi bangunan Kejang Lako, seperti yang terdapat pada kantor gubernur, kantor-kantor dinas, kantor-kantor bupati, dan museum.
Rumah Kejang Lako oleh masyarakat Marga Bathin dibangun dengan tipologi bangunan rumah panggung yang berbentuk empat persegi panjang. Rata-rata bangunan dibuat dalam ukuran 9 m x 12 m dengan menggunakan kayu ulim yang banyak tumbuh di daerah Jambi. Untuk merangkai kayu-kayu pada bagian rumah, masyarakat Marga Bathin mengandalkan teknik tradisional, seperti teknik tumpuan, sambung kait, dan pengait menggunakan pasak.
Keunikan bangunan rumah panggung Kejang Lako terletak pada struktur konstruksi dan ukiran yang menghiasi bangunan. Konstruksi bangunan terdiri dari beberapa bagian, seperti:
* Bubunganatap dibuat seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas yang sering disebut lipat kejang, atau potong jerambah.
* Kasau Bentuk adalah atap bagian atas yang berfungsi untuk mencegah air hujan tidak masuk ke dalam rumah.
* Penteh, bagian ini berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda yang jarang dipergunakan.
* Tebar layar, bagian ini berfungsi sebagai dinding penutup ruang atas yang menahan rembesan tempias air hujan.
* Pelamban merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk ruang tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk oleh tuan rumah.
* Masinding dinding, terbuat dari papan yang diukir.
Pintu pada rumah panggung Kejang Lako terdiri dari 3 pintu, yaitu: pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Rumah ini juga memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.
Tiang rumah panggung Kejang Lako berjumlah 30 yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang pelamban. Tiang utama panjangnya 4,25 m yang berfungsi sebagai tonggak untuk menopang kerangka bangunan. Di samping sebagai penopang, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pemisah antara satu ruang dengan ruangan yang lain menjadi 8 bagian. Adapun nama-nama ruang tersebut adalah pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas penteh, dan ruang bawah bauman.
Bangunan rumah panggung Kejang Lako menjadi lebih indah dengan hiasan beraneka ragam motif ukiran khas masyarakat Jambi. Motif ukiran pada rumah panggung tersebut diinspirasi dari aneka ragam flora dan fauna. Untuk motif flora antara lain motif /bungo tanjung (bunga tanjung), tampuk manggis, dan bungo jeruk (bunga jeruk). Motif bungo tanjung biasanya diukir pada masinding dinding bagian depan, sementara motif tampuk manggis biasanya diukir pada bagian atas pintu masuk. Untuk motif ukiran bungo jeruk, diukir pada bagian luar rasuk (belandar) rumah. Sementara itu, motif ukiran fauna hanya menggunakan satu motif ukiran saja, yaitu motif ikan. Motif ikan diukir pada bagian bendul (jendela) gaho dan pada pintu balik melintang.
Rumah Panggung Kejang Lako Marga Bathin terdapat di Rantau Panjang dan Kampung Baruh, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Indonesia.
Sumber: mamas86.info.com
Kalesong yang Khas dari NTT
Mungkin Anda semua masih ada yang belum familiar dengan makanan ini.
Makanan ini akan banyak ditemui di daerah NTT ketika bulan Ramadhan. Makanan ini bisa dibilang juga sebagai alternatif lontong.
Namun rasanya yang sangat gurih sungguh sangat tidak tertandingi dan sangat tidak sama dengan jenis lontong lainnya. karena makanan ini memang khas dari NTT.
Min penampakan dari Lentog:
Makanan ini akan banyak ditemui di daerah NTT ketika bulan Ramadhan. Makanan ini bisa dibilang juga sebagai alternatif lontong.
Namun rasanya yang sangat gurih sungguh sangat tidak tertandingi dan sangat tidak sama dengan jenis lontong lainnya. karena makanan ini memang khas dari NTT.
Min penampakan dari Lentog:
Lentog, Satu Lagi Makanan dari Kudus
Satu lagi makanan khas dari kota kretek Kudus, yakni Lentog.
Lentog adalah makanan khas Kudus yang merupakan campuran lontong dan sayur lodeh. Lentog banyak dijual oleh pedagang kaki lima di Kudus.
Biasanya Lentog dijual pada pagi hari sampai siang. Mantep banget deh..
Lentog adalah makanan khas Kudus yang merupakan campuran lontong dan sayur lodeh. Lentog banyak dijual oleh pedagang kaki lima di Kudus.
Biasanya Lentog dijual pada pagi hari sampai siang. Mantep banget deh..
Nagasari & Klepon Jajanan Tradisional Jawa
NAGASARI
Nagasari adalah kue yang berasal dari tepung beras, tepung sagu, santan dan gula yang diisi pisang. Kue ini biasanya dibungkus daun pisang dan kemudian dikukus. Selain bahan yang disebut diatas, nagasari sering juga dimasak dengan daun pandan, yang menjadi sebab harumnya yang khas.
Variasi
* Nagasari putih - tanpa pewarna, hanya dengan santan.
* Nagasari merah - menggunakan gula merah.
* Nagasari biru - menggunakan kembang telang (Clitoria ternatea) sebagai pewarna. Nagasari yang dihasilkan akan berwarna kebiruan.
* Nagasari hijau - menggunakan daun suji (Pleomele angustifolia syn. Dracaena angustifolia) sebagai pewarna.
KLEPON
Klepon atau kelepon adalah sejenis makanan tradisional Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok jajan pasar. Terbuat dari tepung beras ketan yang dibentuk seperti bola-bola kecil dengan isi gula kelapa (gula Jawa) kemudian direbus dalam air mendidih lalu disajikan dengan parutan kelapa.
Klepon biasa dijajakan bersama getuk dan cenil (juga disebut cetil) sebagai camilan sore atau pagi hari. Warna klepon biasanya putih atau hijau tergantung selera. Untuk klepon dengan warna hijau perlu ditambahkan pewarna dari daun suji atau daun pandan.
mantaf ni kue, manis nya laziiizzz
Nagasari adalah kue yang berasal dari tepung beras, tepung sagu, santan dan gula yang diisi pisang. Kue ini biasanya dibungkus daun pisang dan kemudian dikukus. Selain bahan yang disebut diatas, nagasari sering juga dimasak dengan daun pandan, yang menjadi sebab harumnya yang khas.
Variasi
* Nagasari putih - tanpa pewarna, hanya dengan santan.
* Nagasari merah - menggunakan gula merah.
* Nagasari biru - menggunakan kembang telang (Clitoria ternatea) sebagai pewarna. Nagasari yang dihasilkan akan berwarna kebiruan.
* Nagasari hijau - menggunakan daun suji (Pleomele angustifolia syn. Dracaena angustifolia) sebagai pewarna.
KLEPON
Klepon atau kelepon adalah sejenis makanan tradisional Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok jajan pasar. Terbuat dari tepung beras ketan yang dibentuk seperti bola-bola kecil dengan isi gula kelapa (gula Jawa) kemudian direbus dalam air mendidih lalu disajikan dengan parutan kelapa.
Klepon biasa dijajakan bersama getuk dan cenil (juga disebut cetil) sebagai camilan sore atau pagi hari. Warna klepon biasanya putih atau hijau tergantung selera. Untuk klepon dengan warna hijau perlu ditambahkan pewarna dari daun suji atau daun pandan.
mantaf ni kue, manis nya laziiizzz