Sabtu, 09 Juli 2011

Tasawuf Dapat Meningkatkan Akhlak Mulia

Tasawuf Dapat Meningkatkan Akhlak Mulia



Oleh Marsudi Fitro Wibowo*

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS An-Nisaa': 69)

Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawuf atau sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam)." (HR Muslim)

Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid'ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda, "Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta." (HR Bukhari-Muslim)

Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan hadits dengan tujuan utamanya amar makruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi SAW, tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada. Namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat kerohanian.

Kontribusi Ilmu Tasawuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan Al-Bashri, Abu Hasyim Shufi Al-Kufi, Al-Hallaj bin Muhammad Al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id Ats-Tsauri, Abu Sulaiman Ad-Darani, Abu Hafs Al-Haddad, Sahl At-Tustari, Al-Qusyairi, Ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir Al-Haris, As-Suhrawardi, Ain Qudhat Al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.

Dalam praktek realisasi ilmu sufi, khususnya tempo dulu, mutasawwif (orang sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT.

Di sisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah SWT dalam beribadah. Di sinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau berma'rifat. Selain itu berintrospeksi diri, siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu, (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)."

Jelas bahwa Ilmu Tasawuf dan sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk diilmiahkan dan diterangkan secara konkret. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab "Al-Islaamu 'ilmiyyun wa 'amaliyyun, (Islam adalah ilmiah dan amaliah)" (HR Bukhari)

Karena halusnya ilmu ini, persoalan-persoalan di dalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam, berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.

Dalam kitab Ta'yad Al-Haqiqtul 'Aliyya hal. 57, salah seorang ulama fiqh dan ahli tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi berkata, "Tasawuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti sunnah Nabi dan meninggalkan bid'ah."

Sedangkan Al-Junaid, seorang pimpinan tokoh sufi mazhab moderat yang berasal dari Baghdad, menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya, "Ilmu sufi (tasawuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya, kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya."

Ilmu Tasawuf dan sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.

Menurut Imam Malik (94-179 H/716-795 M), "Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq, (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fiqh dia meraih kebenaran)." Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.

Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT itu ada dan memercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan tauhidullah sebagai esensi akidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf.

Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya Al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori Al-Hulul atau penitisan (penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia).

Perkataan dan perbuatan Al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang waliyullah yaitu Syeikh Siti Jenar yang mirip dengan teori Al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.

Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawuf ini. Dengan bertasawuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridhaan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).

Menurut Prof DR Hamka, tasawuf Islam telah timbul sejak timbulnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur'an sendiri. (Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad).

Adapun ciri sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam risalahnya Al-Maqasid At-Tawhid ada lima, yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, Ilmu Tasawuf khususnya di Indonesia, haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan Muslim lainnya untuk diselidiki dan dikupas secara luas, agar dapat menciptakan mental yang islami dan pemahaman spriritual Islam yang jauh dari sifat-sifat tercela dan munafik. Wallahua'lam.


* Penulis adalah Alumni Universitas Langlangbuana Bandung (Yayasan Brata Bhakti POLRI Jawa Barat).

Sumber: Pustaka Media
 
www.republika.co.id

Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri

Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri





oleh Komaruddin Hidayat *

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah  jadi, sehingga  masih  harus  berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan  ini  amat  dimungkinkan  karena  pada  naturnya manusia  itu  fitri,  hanif  dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial  ini  masih  ditambah  lagi dengan  datangnya  Rasul  Tuhan  pembawa  kitab  suci  sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174).

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat  yang  berbunyi: Man 'arafa nafsahu  faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan  diri  adalah  tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki  ke  jenjang  yang  lebih  tinggi  dalam  rangka mengenal Tuhan.

Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin  seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah  menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada  akhirnya akan  menuntut  imbalan  pahala  atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.

Demikianlah,  bila  ilmu  fiqih  cenderung  mengenalkan  Tuhan sebagai  Maha  Hakim,  maka  ilmu  kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan  sebagai  Maha  Akal,  sementara  ilmu  tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.

Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia,  di  mana  manusia  itu lahir,  tumbuh  dan  berkembang  dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi,   bila  langkah  pertama  untuk  mengenal  Tuhan  adalah mengenal diri  sendiri  terlebih  dahulu  secara  benar,  maka langkah   pertama  yang  harus  kita  tempuh  ialah  bagaimana mengenal diri kita secara benar.

Bagi  mereka  yang  berpandangan  atau  terbiasa dengan metode berpikir  empirisme-materialistik  akan  sulit  diajak   untuk menghayati  makna  penyempurnaan  kualitas  insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan  para  sufi.  Kritik  terhadap aliran  materialisme  akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai  pada  berbagai  bidang  studi  keilmuan  Barat kontemporer  dengan  dalih,  antara  lain,  faham  ini  telah mereduksi keagungan  manusia  yang  dinyatakan  Tuhan  sebagai
moral and religious being.

Pandangan  yang  begitu  dangkal  tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut  doktrin  Al-Qur'an,  manusia adalah   wakil   Tuhan   di   muka   bumi  untuk  melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3).  Lebih  dari  itu  dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa  manusia  sengaja  diciptakan  Tuhan karena   dengan   penciptaan   itu   Tuhan  akan  melihat  dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
 
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni
—Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.

Terlepas  apakah  riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits  tersebut,  namun  dengan  beberapa penafsiran  yang  berbeda.  Meski  demikian,  mereka cenderung sepakat  bahwa  manusia  adalah  microcosmos   yang   memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan  (Bandingkan  QS.  41:53).  Dalam  QS.  15:29, misalnya,  Allah  menyatakan  bahwa  dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi  yang  dalam  Al-Qur'an  beristilah  "min ruhi."  Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut  dari  bawah  unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.

Dari jenjang pertama sampai ketiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam  lingkup  dunia  materi  dan  dunia materi  selalu  menghadirkan  polaritas  atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks  inilah yang  dimaksud  bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah  berkeping-keping.  Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia,  dan  makin  jauh  pula  manusia  untuk  mampu mengenal dirinya secara utuh.

Dalam   kaitan   definisi,  tradisi  tasawuf  belum  mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf  adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai  seseorang  bukanlah  terletak   pada   wujud   fisiknya melainkan  pada  kesucian  dan  kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin  dengan  Tuhan  yang  Maha  Suci. 

Ajaran spiritualitas  seperti  ini  tidak  hanya  terdapat pada Islam melainkan pada agama  lain,  bahkan  dalam  tradisi  pemikiran filsafat  akan  mudah  pula  dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak  terlalu  salah  bila   ada   yang   berpendapat   bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah  kehidupan  mistik  bersifat  natural  dan  universal.

Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan)  karena dalam  kontak  dan  kedekatan  antara  nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling  prima. 

Kalangan sufi  yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan  merupakan  natur manusia   yang   paling   dalam,  yang  pertumbuhannya  sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan  hewani yang  melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"  bagi  kendaraan "jasad"  kita  ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya  sebagai  master. 

Bila  hal   ini   terjadi   maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada  prestasi  akumulasi dan  konsumsi  materi.  Artinya,  jiwa  yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya  yang  mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci  dan Abstrak,  lalu  turunlah  tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf  adalah  membantu  seseorang bagaimana  caranya  seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia  merasa  damai  dan juga  kembali  ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27).

Secara garis besar tahapan seorang mukmin  untuk  meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran  hati  dan  pikiran  kita  kepada  Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir   untuk   Tuhannya  (QS.  3:191).  Dari  dzikir  ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu,  secara  sadar meniru  sifat-sifat  Tuhan  sehingga  seorang  mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa  juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."

Maqam   ketiga   tahaqquq.   Yaitu,   suatu   kemampuan  untuk mengaktualisasikan kesadaran  dan  kapasitas  dirinya  sebagai seorang  mukmin  yang  dirinya  sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.  Maqam  tahaqquq  ini  sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi  yang  menyatakan  bahwa  bagi  seorang mukmin  yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya  dengan  Tuhan  maka  Tuhan  akan  melihat  kedekatan hamba-Nya.

Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau  hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan  dan  anggotanya bagai  istana  dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.

Dalam sebuah hadits Qudsi  disebutkan  bahwa  meskipun  secara fisik  hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun  luasnya  hati  Insan  Kamil  (qalb  al-'arif)  melebihi luasnya  langit  dan  bumi  karena  ia  sanggup menerima Arsy Tuhan,  sementara  bumi  langit  tidak  sanggup.  Menurut  Ibnu Arabi,  kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan.  Taqallub-nya  hati sang  sufi,  kata  'Arabi,  adalah  seiring dengan tajalli-nya Tuhan. 

Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam  pengertian  metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang  paling mampu  menangkap  lalu  memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam  konteks  inilah,  menurut  Ibnu Arabi, yang dimaksudkan dengan  ungkapan  siapa  yang  mengetahui  jiwanya,  ia   akan mengetahui  Tuhannya  karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana Arsy Tuhan berada di  situ,  tetapi  Tuhan bukan  pengertian  huwiyah-Nya  atau  "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan  dalam  sifat-Nya  yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.
 
Bila  upaya  penyucian  jiwa  merupakan  inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati  dan  menggapai  kasih  Tuhan, maka  tasawuf  bisa  dikatakan  sebagai  inti  keberagaman dan karenanya setiap  muslim  semestinya  berusaha  untuk  menjadi sufi.

Melalui   tahapan  ta'alluq,  takhalluq,  dan  tahaqquq,  maka seorang mukmin akan mencapai  derajat  khalifah  Allah  dengan kapasitasnya  yang  perkasa  tetapi  sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang  saleh  adalah sekaligus  juga  wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print  dan  proyek untuk  memakmurkan  bumi,  dan  bukankah  hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai  mandataris-Nya?  Jadi,  secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di  hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.


* Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


Sumber: www. republika.co.id

Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani

Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani


oleh: Jalaluddin Rakhmat

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini.  Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan madzaz (penampakan atau tempat  kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS Al-Hijr: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi  rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya bukanlah jasad lahir  yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani  atau jantung (al-qalb).

 
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)


Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan  jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi.  Tetapi para ahli sufi  membedakan  ruh  dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula.  Ia  selalu  dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia  tetap  suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji,  maka  lain  halnya  dengan  jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS Ar-Ra'd: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang  tenang  (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa  puas  lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu  jiwa  yang  telah menjadi  tumpukan  sifat-sifat  yang  tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan  jiwa  yang telah  mencapai  tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu  sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen.  Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS Asy-Syams: 7-8).  Artinya,  dalam  jiwa  terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

 
Akal


Akal yang dalam bahasa Yunani disebut  nous  atau  logos  atau intelek  (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati"  adalah  daya  jiwa (nafs  nathiqah).  Daya  jiwa  berpikir  yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada   disebut   rasa  (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati  (ma'rifat  qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi—akal  perolehan  (akal   mustafad)—ia dapat mengetahui  kebahagiaan  dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian  akan  menjadikan  jiwanya  kekal  dalam  kebahagiaan (surga).  Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa  yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang  tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.

 
Hati Sukma (Qalb)


Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah  biasa.  Hati  adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian  ini  bukanlah  objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya  bisa  lebih  luas, misalnya  hati binatang, bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada  pada  hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut  dengan rasa (dzauq),  yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)

Dari  uraian  di  atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia  itu jiwa  yang  berfikir  (nafs  insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan  manusia.  Bagi  para filsuf,  kesempurnaan  manusia  diperoleh  melalui pengetahuan akal (ma'rifat  aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan  hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah  sebagai  wadah atau  sumber  ma'rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah  bersih dari  pencemaran  hawa  nafsu  dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta  menggantikan  moral  yang  tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu  ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan  demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang  sesuai  dengan  tabiat  terpuji adalah  sebagai  kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh  luar hanya  akan  membuat  hilangnya  kehidupan  di dunia ini saja, sementara  penyakit  hati  nurani   akan   membuat   hilangnya kehidupan  yang  abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang  banyak  dan  akan  berubah  menjadi hati dzulmani—hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)

Hati nurani bagaikan cermin, sementara  pengetahuan  adalah pantulan  gambar  realitas  yang  terdapat  di  dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa  nafsunya  yang  tumbuh. Sementara  ketaatan  kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah  yang  justru  membuat  hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.

Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada  seseorang,  tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis  terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah  segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dzulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa  nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.

Sumber: Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah-Pustaka Media
 
www.republika.co.id

Kisah Bijak Para Sufi: Tiga Ekor Ikan

Kisah Bijak Para Sufi: Tiga Ekor Ikan



Suatu kali di sebuah kolam hiduplah tiga ekor ikan. Si Pandai, Si Agak Pandai, dan Si Bodoh. Mereka hidup biasa-biasa saja sebagaimana ikan-ikan yang hidup di tempat lain, sampai suatu hari datanglah seorang manusia.

Manusia itu membawa jala, dan Si Pandai melihatnya dari dalam air. Mengingat kembali pengalamannya, cerita-cerita yang pernah didengarnya, dan kecerdikannya, Si Pandai memutuskan untuk bertindak. "Hampir tak ada tempat untuk bersembunyi di kolam ini," pikirnya. "Aku sebaiknya pura-pura mati."

Si Pandai rnengerahkan seluruh tenaganya dan melompat keluar kolam, Ia jatuh persis di kaki penjala ikan, yang tentu saja terkejut. Namun karena Si Pandai menahan nafas, si penjala ikan mengira bahwa ikan itu sudah mati, lalu melemparnya kembali ke kolam. Si Pandai pelan-pelan meluncur ke lubang kecil di dasar tepi kolam.

Ikan kedua, Si Agak Pandai, tidak begitu paham tentang apa yang sedang terjadi. Ia lantas berenang mendekati Si Pandai dan bertanya tentang segala sesuatunya.

"Sederhana saja," kata Si Pandai, "Aku pura-pura mati, dan ia melemparku kembali."

Si Agak Pandai pun segera melompat keluar air, jatuh dekat kaki penjala ikan itu. "Aneh," pikir penjala itu, "Ikan-ikan ini berloncatan keluar dari kolam."

Karena Si Agak Pandai lupa menahan napas, tahulah penjala ikan itu bahwa ikan itu masih hidup dan menaruhnya dalam keranjang.

Ia kembali mengamati kolam, dan karena masih bingung akan perilaku ikan-ikan yang berloncatan ke tanah kering di dekatnya, ia pun lupa menutup keranjangnya.

Si Agak Pandai, begitu menyadarinya, berjumpalitan berulang kali, lagi dan lagi, hingga berhasil masuk kembali ke kolam. Ia mencari ikan pertama dan dengan terengah-engah bersembunyi di sampingnya.

Ikan ketiga, Si Bodoh, tak mampu memetik pelajaran dari semuanya, bahkan setelah ia mendengarkan cerita ikan pertama dan kedua. Mereka terpaksa kembali bercerita, menegaskan pentingnya menahan napas, untuk berpura-pura mati.

"Terima kasih banyak, saya sudah mengerti," ujar Si Bodoh. Selesai berkata, ia melentingkan tubuhnya keluar air, mendarat tepat di sebelah kaki penjala ikan itu.

Penjala ikan itu, yang telah kehilangan dua ekor ikan sebelumnya, menaruh ikan yang satu itu ke dalam keranjang tanpa mau repot rnemastikan apakah ikan itu hidup atau mati. Ia menebar jalanya lagi ke kolam, namun kedua ikan yang pertama telah aman bersembunyi di dasar kolam. Kali ini keranjang itu benar-benar tertutup rapat.

Akhirnya, penjala ikan itu berhenti. Ia membuka keranjang, dilihatnya ikan bodoh itu tidak bernapas, dan membawanya pulang untuk santapan kucing.

Sumber: www.republika.co.id

Kisah Bijak Para Sufi: Makanan dari Surga

Kisah Bijak Para Sufi: Makanan dari Surga


Yunus, putra Adam, suatu hari memutuskan untuk tidak melulu berpasrah pada takdir, namun ia akan mencari tahu cara dan alasan penyediaan kebutuhan manusia.

"Aku adalah seorang manusia," ia membatin. "Sebagai manusia aku memperoleh bagian dari kebutuhan dunia, setiap hari. Bagian ini datang, padaku dengan usahaku sendiri, digabung dengan usaha orang lain juga. Dengan menyederhanakan proses ini, aku tentu akan menemukan cara makanan mencapai manusia, dan belajar sesuatu tentang bagaimana dan mengapa. Untuk itu, aku akan menelusuri jalan religius, yang mendesak manusia bergantung pada Allah Yang Maha Kuasa untuk kelangsungan hidupnya. Daripada hidup dalam dunia kacau-balau ini, di mana makanan dan kebutuhan lainnya tersedia melalui masyarakat, aku lebih baik menyerahkan diriku pada pemenuhan langsung dari Sang Kuasa yang mengatur segala sesuatu."

Sesudah berkata begitu, ia berjalan memasuki wilayah pedalaman, berserah diri sepenuhnya kepada kekuatan tak kasat mata dengan keyakinan serupa seperti ketika ia menerima bantuan dari yang kasat mata, saat ia masih menjadi guru di sebuah sekolah.

Ia tertidur, yakin bahwa Allah akan memenuhi semua kebutuhannya, sama seperti burung-burung dan binatang buas dipelihara di alam mereka sendiri.

Ketika subuh, kicau burung membangunkannya, dan putra Adam itu terbangun, menunggu makanannya datang. Sekalipun ia telah memasrahkan diri kepada kuasa tak tampak dan percaya bahwa ia akan bisa memahami cara kerjanya ketika kuasa itu mulai bekerja di tempat itu, ia segera sadar bahwa berpikir untung-untungan untuk mendapatkan sesuatu tidak akan banyak membantunya di tempat yang asing itu.

Ia berbaring di tepi sungai, menghabiskan waktunya untuk memperhatikan alam, mengamati ikan di air, dan bersembahyang. Dari waktu ke waktu, orang kaya dan berkuasa lewat, diiringi pengawal yang duduk di atas kuda-kuda terbaik dengan hiasan pelananya yang berbunyi gemerincing, dentingan yang penuh wibawa seolah-olah menandakan jalan itu adalah milik mereka sepenuhnya, dan menyerukan salam ketika melihat ikat kepala Yunus. Kelompok-kelompok peziarah beristirahat dan mengunyah roti kering dan keju, yang membuat air liurnya menetes membayangkan makanan yang paling sederhana.

"Ini hanya sebuah ujian, pasti akan segera berlalu," pikir Yunus, seusai menunaikan shalat Isya hari itu dan merenung menurut cara yang pernah diajarkan padanya oleh seorang darwis yang berbudi luhur dan mulia.

Malam pun berlalu. Ketika Yunus sedang duduk menikmati cahaya matahari terpendar di atas Sungai Tigris yang anggun, lima jam setelah fajar hari kedua, terlihatlah olehnya sesuatu tersangkut di alang-alang. Ternyata itu adalah sesuatu yang dibungkus dengan daun dan diikat dengan serat palem. Yunus, putra Adam, turun ke sungai dan mengambil bungkusan asing itu.

Beratnya sekitar tiga perempat pon. Segera saja aroma sedap menyerbu hidung Yunus saat bungkusan itu dibukanya. Ternyata isinya halwa Baghdad. Halwa ini terbuat dari buah almon, air mawar, madu, kacang, dan bahan eksotis lainnya, berharga karena rasanya yang enak dan khasiatnya untuk kesehatan. Putri-putri Harem menggigitnya pelan-pelan karena cita rasanya; para prajurit membawanya ke medan perang karena bisa meningkatkan ketahanan tubuh, itu digunakan untuk mengobati berbagai penyakit.

"Keyakinanku terbukti," seru Yunus. "Dan kini saatnya menguji. Bila halwa dengan jumlah sama, atau hampir sama, tiba padaku melalui air setiap hari atau secara teratur pada selang waktu berbeda, aku akan tahu cara yang digunakan oleh Sang Pemenuh untuk memenuhi kebutuhanku, dan selanjutnya memakai akalku untuk menemukan sumbernya."

Selama tiga hari berikutnya, tepat pada jam yang sama, sebungkus halwa terapung lagi sampai ke tangan Yunus. Hal ini, pikirnya, adalah penemuan pertama yang sangat penting. Tetapi kemudian, ia sadar bahwa ia tidak tahu; ia hanya mengalami. Langkah berikutnya adalah menyelusuri arus pembawa halwa itu ke hulu hingga ia tiba di sumbernya. Dengan begitu, ia tidak hanya bisa mengetahui asal-usulnya, tetapi juga bagaimana makanan itu disiapkan untuk digunakan olehnya.

Berhari-hari lamanya Yunus menelusuri arus sungai. Setiap hari dengan keberaturan yang sama, tetapi pada saat yang lebih awal, halwa serupa muncul, dan ia memakannya.

Akhirnya, Yunus melihat bahwa sungai itu tidak menyempit di hulu, malahan semakin melebar. Di tengah-tengah sungai yang membentang luas itu terdapat sebidang pulau yang sangat subur. Di atas pulau itu berdiri sebuah istana yang kokoh nan indah. Dari sanalah, pikir Yunus, makanan surga itu berasal.

Saat sedang menimbang langkah berikutnya, Yunus melihat seorang darwis yang tinggi dan lusuh, dengan rambut acak-acakan bak pertapa dan pakaian penuh tambalan warna-warni, berdiri di hadapannya.

"Salam, Baba, Bapak!" sapa Yunus.

"Ishq, Hoo!" balas pertapa itu nyaring. "Dan apa pula urusanmu di sini?"

"Aku sedang melakukan suatu pencarian suci," putra Adam itu menjelaskan, "Untuk menyelesaikannya aku harus mencapai benteng di seberang sana. Adakah Bapak punya nasihat agar saya bisa ke sana?"

"Karena tampaknya engkau tak tahu apa-apa mengenai benteng itu, sekalipun sangat menaruh minat padanya. Akan kuceritakan padamu apa yang kutahu," jawab pertapa itu.

"Pertama, putri seorang raja tinggal di sana, terasing dan terpenjara, dilayani oleh para pelayan jelita, namun dibatasi geraknya. Ia tak mampu lari sebab lelaki yang menangkapnya dan menawannya di situ—sebab ia menolak menikahinya—telah memasang rintangan-rintangan sakti dan sangat sulit ditembus, tak tampak oleh mata telanjang. Engkau harus terlebih dahulu melewati halangan itu untuk bisa masuk benteng dan mencapai maksudmu."

"Kalau begitu halnya, bisakah Bapak menolong aku?"

"Aku sedang hendak memulai perjalanan khusus demi pengabdian. Tetapi kusampaikan padamu suatu mantra, Wadzifah, yang bila engkau layak, akan memanggil bagimu kekuatan gaib para jin kebajikan, makhluk api, satu-satunya yang ampuh menangkal kekuatan sihir di sekeliling benteng itu. Semoga engkau berhasil." Kemudian pertapa itu pergi, setelah merapal suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak dengan gesitnya, sungguh mengagumkan bagi sosoknya yang pantas dimuliakan itu.

Yunus duduk bersila berhari-hari melatih Wadzifah dan mengamati munculnya halwa. Kemudian, suatu sore saat matanya sedang menikmati mentari senja menari-nari di atas menara benteng itu, dilihatnya sesuatu yang aneh. Di sana, berdirilah seorang gadis dengan cahaya kecantikan yang tiada tara, yang tentu saja adalah putri yang diceritakan oleh darwis itu. Gadis itu terpaku sejenak menatap mentari, lalu menjatuhkan sebungkus halwa ke bawah, ke ombak riuh yang berulang-ulang menghantam dinding benteng. Inilah rupanya sumber karunia itu.

"Sumber makanan surga!" seru Yunus. Kini, ia merasa berada di ambang kebenaran. Cepat atau lambat pemimpin jin, yang dipanggilnya terus dengan mantra Wadzifah darwis, pasti datang, dan membantunya mencapai benteng, putri itu, dan kebenaran.

Tak lama setelah berpikir demikian, ia mendapati dirinya dibawa menembus langit menuju alam roh, yang penuh dengan rumah-rumah indah nan mengagumkan. Ia masuk ke salah satunya, dan di dalamnya berdiri suatu makhluk menyerupai seorang manusia, tetapi bukan manusia: penampilannya masih muda, namun bijaksana dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk itu, "Adalah pemimpin bangsa jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sebagai jawaban atas panggilan Tuan dan karena Tuan menggunakan Nama Agung yang diberikan pada Tuan oleh Darwis Yang Agung. Apa yang Tuan ingin hamba lakukan?"

"Wahai Pemimpin kaum Jin yang perkasa," sahut Yunus, "Aku adalah seorang Pencari Kebenaran, dan jawaban yang kucari hanya bisa kutemukan di dalam benteng mengharumkan di dekat tempatku berada ketika engkau membawaku kemari, Berilah padaku, aku mohon, kekuatan untuk menerobos benteng dan berbicara dengan putri yang terpenjara di sana."'

"Jadilah menurut permohonanmu!" kata pemimpin Jin. "Namun ingatlah, di atas segalanya, bahwa seorang manusia memperoleh jawab atas pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dan mengolahnya sendiri."

"Kebenaran adalah kebenaran," balas Yunus, "Dan aku akan mendapatkannya, tak masalah apa itu bentuknya. Berikan padaku karunia itu."

Segera saja Yunus dikirim kembali dalam wujud tak terlihat (dengan kekuatan sihir Jin) disertai sekelompok jin kecil-kecil, yang ditugaskan oleh pemimpin mereka untuk menggunakan kemampuan khusus mereka membantu manusia itu dalam pencariannya. Di tangannya, Yunus memegang sebuah cermin batu yang kata pemimpin jin harus diarahkannya ke benteng agar ia dapat melihat rintangan-rintangan tak kasat mata.

Yunus berhasil memasuki benteng. Seorang pengawal gerbang segera membawanya kepada putri, yang sungguh jauh lebih mempesona dibandingkan kali pertama terlihat olehnya.

"Kami sangat berterima kasih pada Tuan karena Tuan telah menghancurkan rintangan-rintangan yang melingkupi benteng ini," kata putri itu. "Dan aku kini bisa kembali kepada ayahandaku dan ingin sekali memberikan hadiah atas kepahlawanan Tuan. Mintalah apa saja yang Tuan mau, niscaya akan dikabulkan."

"Hanya satu hal yang kuidamkan, kebenaran," kata Yunus. "Dan sudah sepantasnya bagi mereka yang memiliki kebenaran untuk mengaruniakannya kepada siapa pun yang bisa memetik manfaat darinya. Hamba mohon pada Paduka Putri, sudilah kiranya Paduka mengaruniakan kebenaran itu kepada hamba."

"Katakanlah Tuan, kebenaran yang sekiranya bisa kusampaikan, niscaya akan kusampaikan."

"Baiklah, Yang Mulia. Bagaimana dan dengan aturan apa Makanan Surga, yaitu halwa menakjubkan yang Paduka kirimkan pada hamba setiap hari, ditakdirkan dikirimkan dengan cara demikian?"

"Yunus, putra Adam," jawab putri itu, "Halwa itu, begitulah engkau menyebutnya, kulempar ke sungai setiap hari sebenarnya sisa-sisa bahan riasan yang kupakai setelah mandi susu."

"Akhirnya aku paham, bahwa pengertian manusia terkondisi sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti. Bagi Paduka, halwa adalah sisa-sisa bahan perawatan tubuh setiap hari. Tetapi bagi hamba, itu adalah Makanan Surga," kata Yunus.

Sumber: www.republika.co.id

Kisah Bijak Para Sufi: Isa dan Orang-Orang Bimbang

   
sacredsites.com
Kisah Bijak Para Sufi: Isa dan Orang-Orang Bimbang
 
 
Diceritakan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Maryam, berjalan-jalan di padang pasir dekat Baitul Maqdis bersama-sama  sekelompok orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.

Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada mereka 'Kata  Rahasia' yang telah dipergunakannya untuk menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu padamu, kau pasti menyalahgunakannya."

Mereka berkata, "Kami sudah siap dan sesuai untuk pengetahuan semacam itu;  tambahan lagi, hal itu akan menambah keyakinan kami."

"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," kata Isa. Namun ia memberitahukan juga Kata Rahasia itu.

Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu tempat yang terlantar dan  mereka melihat seonggok tulang yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan 'Kata' itu," kata mereka., Dan diucapkanlah Kata itu.

Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itu pun segera terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar yang kelaparan, yang kemudian  merobek-robek  mereka  sampai menjadi serpih-serpih daging.

Mereka yang dianugerahi nalar akan mengerti. Mereka yang nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.

Sumber: www.republika.co.id

Kisah Bijak Para Sufi: Batas Dogma

Kisah Bijak Para Sufi: Batas Dogma



Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada di sebuah jalan di Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebongkah batu di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, "Jatuhkan batu itu, wahai kuli!" katanya memerintah.

Sang kuli langsung melaksanakan titah sang raja, menjatuhkan batu di tengah jalan. Batu yang teronggok di tengah jalan itu menjadi gangguan bagi siapa pun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga memohon kepada raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.

Namun Mahmud, yang menyadari kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab.
"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu
itu di situ."

Oleh karenanya, batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa  pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal pun batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.

Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu  dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Mereka yang menentang penguasa beranggapan bahwa kisah itu  merupakan bukti ketololan  penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya. Mereka yang menghormati  kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.

Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasihat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada di sana,  Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi—dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapa pun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan.

Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju kebenaran.

CatatanKisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Akhlaq-i-Mohsini (Akhlak  Dermawan) karya Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada  dalam versi ini.

Versi ini merupakan bagian ajaran Syekh Sufi Daud dari Kandahar, yang meninggal pada 1965. Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan;  masing-masing orang akan menilainya berdasarkan  pendidikannya.

Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut para Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar!"

Sumber: www.republika.co.id

Kisah Bijak Para Sufi: Keperluan yang Makin Mendesak

Kisah Bijak Para Sufi: Keperluan yang Makin Mendesak



Pada suatu malam seorang penguasa tiran Turkistan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis, ketika ia tiba-tiba bertanya tentang Khidir.

"Khidir," kata darwis itu, "Datang kalau diperlukan. Tangkaplah, jubahkan kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik Paduka."

"Apakah itu bisa terjadi atas siapa pun?"

"Siapa pun bisa," kata darwis itu.

"Siapa pula lebih 'bisa' dariku?" pikir Sang Raja. Dan ia mengeluarkan pengumuman: "Siapa yang bisa menghadirkan Khidir yang gaib di hadapanku, akan kujadikan orang kaya."

Seorang lelaki miskin dan tua yang bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar  pengumuman itu, menyusun akal. Katanya kepada istrinya, "Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun itu tak apalah, sebab kekayaan kita akan bisa menghidupimu seterusnya."

Kemudian Bakhtiar menghadap raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat puluh hari, kalau raja bersedia memberinya seribu keping uang emas.

"Kalau kau bisa menemukan Khidir," kata Raja, "Kau akan mendapat sepuluh kali
seribu keping uang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung di tempat ini  sebagai peringatan kepada siapa pun yang akan mencoba mempermainkan rajanya."

Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan uang itu kepada istrinya, sebagai jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari  itu dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.

Pada hari keempat puluh ia menghadap raja. "Yang Mulia," katanya, ”Kerakusanmu telah menyebabkanmu berpikir bahwa uang akan bisa mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan."

Sang Raja sangat marah. "Orang celaka, kalau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan seorang raja?"

Bakhtiar berkata, "Menurut dongeng, semua orang bisa bertemu Khidir, tetapi  pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui orang selama ia bisa memanfaatkan saat kunjungan
itu. Itulah hal yang kita tidak menguasainya."

"Cukup ocehan itu," kata Sang Raja, "Sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasehatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu."

Ia menoleh ke Menteri Pertama dan berkata, "Bagaimana cara orang itu mati?"

Menteri Pertama menjawab, "Panggang dia hidup-hidup, sebagai peringatan!"

Menteri Kedua, yang berbicara sesuai urutannya berkata, "Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya!"

Menteri Ketiga berkata, "Sediakan kebutuhan hidup orang itu, agar ia tidak lagi mau  menipu demi kelangsungan hidup keluarganya."

Sementara pembicaraan itu berlangsung, seorang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki ruang pertemuan. Orang itu mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi dalam dirinya.

"Apa maksudmu?" tanya Raja.

"Maksudku,” kata orang itu, “Menteri Pertama itu aslinya tukang roti, jadi ia berbicara tentang panggang-memanggang. Menteri Kedua dulu tukang daging, jadi ia bicara tentang   potong-memotong daging. Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini.”

“Catat dua hal ini. Pertama, Khidir muncul melayani setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini—yang kuberi nama Baba karena pengorbanannya—telah didesak oleh keputusasaan untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun muncul di depanmu."

Ketika orang-orang memerhatikannya, orang tua yang bijaksana itu pun lenyap  begitu saja. Sesuai dengan yang diperintahkan Khidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan kedua dipecat, dan seribu keping uang  emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya.

Catatan
Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang sufi bijaksana yang hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Khurasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi.

Kisah ini, dikatakan juga terjadi atas sejumlah besar Syekh sufi  lain, menggambarkan  pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan "makhluk" lain. Khidir merupakan penghubung antara keduanya.

Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaludin Rumi:
Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan
menuntutnya.
Karenanya, O manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak,
sehingga kau bisa mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi.


Sumber: www.republika.co.id

Kisah Bijak Para Sufi: Mimpi dan Sepotong Roti

Kisah Bijak Para Sufi: Mimpi dan Sepotong Roti


Tiga orang musafir menjadi sahabat dalam suatu perjalanan yang jauh dan  melelahkan; mereka bergembira dan berduka bersama, mengumpulkan kekuatan dan tenaga bersama.

Setelah berhari-hari lamanya mereka menyadari bahwa yang mereka miliki tinggal  sepotong roti dan seteguk air di kendi. Mereka pun bertengkar tentang siapa yang berhak memakan dan meminum bekal tersebut. Karena tidak berhasil mencapai kesepakatan, akhirnya mereka memutuskan untuk membagi saja makanan dan  minuman itu menjadi tiga. Namun, tetap saja mereka tidak sepakat.

Malam pun turun, salah seorang mengusulkan agar tidur saja. Kalau besok mereka  bangun, orang yang telah mendapatkan mimpi yang paling menakjubkan akan menentukan apa yang harus dilakukan.

Pagi berikutnya, ketiga musafir itu bangun ketika matahari terbit.

"Inilah mimpiku," kata yang pertama. "Aku berada di tempat-tempat yang tidak bisa digambarkan, begitu indah dan tenang. Aku berjumpa dengan seorang bijaksana yang
berkata kepadaku, 'Kau berhak makan makanan itu, sebab kehidupan masa lampau dan masa depanmu berharga, dan pantas mendapat pujian."

"Aneh sekali," kata musafir kedua. "Sebab dalam mimpiku, aku jelas-jelas melihat  segala masa lampau dan masa depanku. Dalam masa depanku, kulihat seorang lelaki  maha tahu berkata, 'Kau berhak akan makanan itu lebih dari kawan-kawanmu, sebab kau lebih berpengetahuan dan lebih sabar. Kau harus cukup makan, sebab kau ditakdirkan untuk menjadi penuntun manusia."

Musafir ketiga berkata, "Dalam mimpiku aku tak melihat apa pun, tak berkata apa pun. Aku merasakan suatu kekuatan yang memaksaku bangun, mencari roti dan air  itu, lalu memakannya di situ juga. Nah, itulah yang kukerjakan semalam."
 
Catatan

Kisah ini dianggap salah satu karya Syah Mohammad Gwath Syatari, yang meninggal tahun 1563. Ia menulis risalah terkenal, Lima Permata, yang menggambarkan cara pencapaian taraf lebih tinggi manusia dalam terminologi sihir dan tenaga gaib, yang didasarkan pada model-model kuno. Ia merupakan guru yang telah melahirkan lebih dari 14 kaum dan sangat dihargai oleh Maharaja India, Humayun.

Meskipun dipuja-puja beberapa kalangan sebagai orang suci, beberapa tulisannya  dianggap oleh golongan pendeta menyalahi aturan suci, dan oleh karenanya mereka menuntutnya agar dihukum. Ia akhirnya dibebaskan dari tuduhan murtad, karena hal-hal yang dikatakan dalam keadaan pikiran yang istimewa tidak bisa dinilai dengan ukuran pengetahuan biasa. Makamnya di Gwalior merupakan tempat ziarah sufi yang sangat penting.

Sumber: www.republika.co.id

Aliran-Aliran Tarekat: Empat Tarekat Utama

Aliran-Aliran Tarekat: Empat Tarekat Utama
 
 
1. Tarekat Chisytiyah
Khwaja ('Guru') Abu Ishaq Chisyti adalah orang Suriah, lahir di awal abad ke-10. Ia dianggap keturunan Nabi Muhammad SAW dan dinyatakan sebagai 'keturunan spritual' ajaran-ajaran batiniah Keluarga (Bani) Hasyim. Pengikut-pengikutnya berkembang dan berasal dari Garis para Guru, yang kemudian dikenal menjadi Naqsyabandiyah ('Orang-orang Bertujuan').

Komunitas Chisytiyah ini, berawal di Chisyt, Khurasan, khususnya menggunakan musik dalam latihan-latihan mereka. Kaum darwis pengelana dari tarekat ini, dikenal sebagai Chist atau Chisht. Mereka akan memasuki sebuah kota dan meramaikan suasana dengan seruling dan genderang, untuk mengumpulkan orang-orang sebelum menceritakan dongeng atau legenda. Ini adalah sebuah permulaan yang penting.

Jejak tokoh ini ditemukan pula di Eropa, di mana Chist Spanyol ditemukan dengan pakaian dan instrumen serupa—semacam pelawak atau komedi keliling.

Sebagaimana tarekat Sufi lainnya, metodologi khusus kaum Chisyti segera mengalami kristalisasi menjadi kecintaan sederhana terhadap musik; pembangkitan emosional yang dihasilkan musik dikacaukan dengan 'pengalaman spiritual'.

Pengaruh kaum Chisyti paling lama di India. Selama 900 tahun terakhir, musisi mereka dihargai di seluruh benua.


2. Tarekat Qadariyah


'Jalan' ini diadakan oleh para pengikut Abdul Qadir dari Gilan, yang lahir di Nif, distrik Gilan, sebelah selatan Laut Kaspia. Dia meninggal dunia pada 1166, dan menggunakan terminologi sangat sederhana yang kemudian hari digunakan oleh orang-orang Rosicrucia di Eropa.

Hadrat Syekh Abdul Qadir, khususnya dalam pengaruhnya terhadap keadaan-keadaan spiritual, disebut 'Ilmu Pengetahuan Keadaan'. Pekerjaannya telah digambarkan dalam istilah yang berlebih-lebihan oleh para pengikutnya.

Semangat untuk mengerjakan yang berlebihan terhadap teknik-teknik menggembirakan hampir pasti menjadi sebab keadaan yang memburuk dari tarekat Qadiriyah. Hal ini mengikuti suatu pola umum dalam diri para pengikut, apabila hasil dari suatu kondisi pikiran yang berubah menjadi suatu tujuan dan bukan suatu cara atau alat yang diawasi oleh seorang ahli.


3. Tarekat Suhrawardiyah


Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi—mengikuti disiplin sufi kuno Junaid Al-Baghdadi—dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad ke-11 Masehi. Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh pengikut Naqsyabandi dan lainnya.

India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi aktikitas mistik mereka melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati pengikut Suhrawardi ada di antara pecahan terbesar kelompok-kelompok sufi.

Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan diam secara lengkap untuk 'Persepsi terhadap Realitas'.

Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiran yang sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.


4. Tarekat Naqsyabandiyah


Sekolah darwis yang disebut Khajagan ('Para Guru') muncul di Asia Tengah dan berpengaruh besar terhadap perkembangan kerajaan India dan Turki. Tarekat mengembangkan banyak sekolah khusus, yang mengambil nama-nama individu. Banyak penulis menganggapnya sebagai awal dari seluruh 'mata rantai penyebaran' mistik.

Khaja Bahauddin Naqsyabandi (wafat kira-kira 1389 M) adalah salah seorang dari tokoh-tokoh besar sekolah ini. Bahauddin menghabiskan waktu tujuh tahun sebagai kerabat istana, tujuh tahun memelihara binatang dan tujuh tahun dalam pembangunan jalan.

Ia belajar di bawah bimbingan Baba As-Samasi yang mengagumkan, dan dihargai setelah kembali pada prinsip dan praktek sufisme. Para syekh Naqsyabandi sendiri mempunyai kewenangan untuk menuntun murid ke tarekat-tarekat darwis yang lain.

Karena mereka tidak pernah mengenakan busana aneh di depan umum, dan karena anggota mereka tidak pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik perhatian, para sarjana tidak merekonstruksi sejarah tarekat, dan sering kesulitan mengidentifikasi anggota-anggotanya. Penganut Naqsyabandi di Timur Tengah dan Asia Tengah memperoleh reputasi sebagai umat Muslim yang taat.

Sumber: www.republika.co.id

Fatwa MUI: Kawin Beda Agama, Haram!

Fatwa MUI: Kawin Beda Agama, Haram!
 
 
Sebut saja namanya, Herry. Ia salah seorang eksekutif muda yang masih lajang. Di usianya yang menginjak hampir 40 tahun, lelaki Muslim yang berkarir di bidang advertising ini masih membujang.

Herry bukannya laki-laki yang tak laku, apalagi terkena penyakit, sehingga ia belum juga menyempurnakan separuh agamanya. Bujangan berkulit putih dan berparas rupawan ini justru menjadi incaran wanita rekan-rekan sekerjanya. Di perumahan tempat tinggalnya pun tak sedikit gadis yang naksir padanya. Tak hanya gadis bahkan sejumlah wanita STW alias Setengah Tua juga kesengsem pada Herry.

Lantas apa yang membuatnya tak jua menikah? Jodoh yang belum datang, ataukah Herry masih betah menjalani hidup dalam kesendirian?

Padahal kedua orang tuanya sudah hampir putus asa memaksanya untuk segera menikah. Bahkan sejumlah wanita pilihan orang tuanya ia tolak, karena mengaku tiada kecocokan. "Saya tidak sreg, kalau urusan jodoh diatur-atur," ujarnya. "Saya lebih baik mencari calon sendiri yang sesuai dengan keinginan saya."

Sebenarnya, hampir lima tahun ini Herry telah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Sayang, kedua orang tuanya menolak keras sang gadis sebagai mantu karena perbedaan agama. Gadis non-Muslim tempat Herry melabuhkan cintanya menjadi penyebab lambatnya pernikahan sang eksekutif muda.

Sebagai keturunan Muslim yang bisa dibilang fanatik dan teguh memegang akidah, kedua orang tua Herry melarang keras putranya menapaki mahligai rumah tangga dengan Serly, sebut saja demikian. "Karena dilarang inilah, hingga kini saya masih terus mencari cara terbaik untuk dapat menikahi pacar saya," kata Herry.

Sementara untuk memaksa Serly masuk Islam, juga bukan perkara enteng. Apalagi kedua orang tua Serly termasuk salah satu tokoh umat yang disegani dan dihormati di kalangan kaumnya. Mereka juga menentang keras Serly menikah dengan pria Muslim. "Kau boleh menikah dengannya (Herry), kalau dia mau masuk agama kita," demikian pesan ayah Serly sebagaimana didengar Herry dari mulut kekasihnya.

Hingga kini keduanya hanya menjalin hubungan cinta tanpa jelas kapan akan dapat diresmikan dalam sebuah biduk rumah tangga. Lantas bagaimana sebenarnya hukum pernikahan beda agama dalam Islam? Benarkah seorang lelaki Muslim boleh menikahi wanita beda agama dari kalangan Ahli Kitab?

Terkait dengan masalah ini, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa. Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram!

Hal ini, jelas MU, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia  supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).

Kemudian firman Allah: “…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maidah: 5).

Dan firman Allah: “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS Al-Mumtahanah:10).

Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).

Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga mendasarkan fatwanya pada hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut: “Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain” (HR Tabrani)

Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i: “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Oleh sebab itu, kata MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim."

MUI menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram!"

Demikian fatwa MUI yang ditandatangi oleh Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi pada 1 Juni 1980 silam. Dan hingga kini fatwa tersebut masih berlaku dan belum dicabut oleh MUI.

Sumber: www.republika.co.id

Fatwa MUI: Hukum Wanita Menjadi Imam Shalat

Fatwa MUI: Hukum Wanita Menjadi Imam Shalat
Amina Wadud, perempuan liberal yang jadi imam shalat berjamaah.
 
 
Masih ingat Amina Wadud? Itu tuh, wanita liberal yang menciptakan sensasi pada 2005 dengan menjadi imam shalat Jumat di gereja Katedral di AS. Yang nyeleneh lagi, makmum yang ikut-ikutan shalat di belakangnya tidak hanya kaum perempuan, tapi banyak juga yang laki-laki. Tentu saja ibadah shalat dengan makmum campur-aduk alias gado-gado ini menimbulkan kecaman dunia Islam.

Tak cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, tokoh kebanggaan kaum liberal yang juga profesor studi Islam di Virginia Commonwealth University ini, kembali berulah. Wadud didapuk sebagai imam shalat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford, Inggris pada 2008. Juga dengan makmum campur-aduk, laki-laki dan perempuan. Hebatnya lagi, bak khatib Jumat beneran, si Wadud juga memberikan khutbah singkat sebelum shalat dua rakaat.

Beragam kecaman dari ulama-ulama Islam dunia menampar muka Wadud, namun ia tak ambil pusing. Untuk menjaga agar kejadian nyeleneh ala Amina ini tidak terjadi di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera mengeluarkan fatwa.

Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.

Hal ini, menurut MUI, perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum wanita menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.

MUI mendasarkan fatwanya pada Kitabullah, sunnah Rasulullah SAW, ijma' ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.

Firman Allah SWT antara lain: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)..." (QS An-Nisaa': 34)

Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:

"Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).

Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)

Rasulullah bersabda, “Saf (barisan dalam shalat berjamaah) terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan).”

Rasulullah bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (keledai).” (HR Muslim)

Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)

Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. "Para sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah," jelas MUI seraya mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya Al-Mubarakfuri.

Dan berdasarkan kaidah fiqh: “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”

Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah).

"Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya wanita dan makmumnya laki-laki," kata MUI.

Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. "Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."

Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.

Sumber: www.republika.co.id

Tiga Jenis Hakim, Hanya Satu yang Masuk Surga

Tiga Jenis Hakim, Hanya Satu yang Masuk Surga
Palu hakim, ilustrasi


Oleh Dr A Ilyas Ismail

Sikap dan perilaku hakim selalu disorot, baik pada masa lalu maupun masa sekarang ini. Pasalnya, selain memiliki otoritas dan kekuasaan yang besar, hakim juga acap kali menghadapi godaan yang juga luar biasa besar, terutama godaan harta dan kekayaan dunia.

Menarik disimak, hadis yang sangat populer yang dirawikan oleh para pengarang kitab Sunan bahwa para hakim itu hanya tiga orang. Satu orang di surga dan dua lainnya di neraka. Seorang yang di surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan hukum dengan kebenaran itu. Ia di surga. Seorang lagi, hakim yang mengetahui kebenaran, tapi culas. Ia tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran. Ia di neraka. Yang satu lagi, hakim yang bodoh, tidak tahu kebenaran, dan menetapkan hukum atas dasar hawa nafsu. Ia juga di neraka. (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Jadi, hakim yang benar dan jujur-berdasarkan hadis di atas-hanya sepertiga, sedangkan dua pertiga sisanya adalah hakim-hakim yang korup dan culas. Hadis ini, menurut pakar hadis, al-Munawi, merupakan teguran dan peringatan bagi para hakim agar mereka menjaga kejujuran dan integritas yang tinggi. Hadis ini, lanjut al-Munawi, berbicara pada tataran realitas (bi hasb al-wujud) dan bukan berdasarkan idealitas-formal (la bi hasb al-hukm).

Dalam Alquran, para penguasa dan semua aparat penegak hukum, termasuk para hakim, dipatok untuk memiliki dua sifat dasar, yaitu adil dan amanah. Tanpa dua sifat ini, para aparat penegak hukum sulit tidak terjebak pada kejahatan dan praktik mafia hukum.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS al-Nisa' [4]: 58).

Ayat ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, sangat penting dan secara khusus ditujukan kepada para penguasa. Adil dalam ayat ini berarti memahami kebenaran (hukum-hukum Allah) dan menetapkan perkara atas dasar kebenaran itu dengan jujur, adil, dan tanpa pandang bulu sesuai prinsip equal before the law. Sedangkan amanat bermakna, antara lain, bertanggung jawab, memegang teguh sumpah jabatan, profesional, serta menjunjung tinggi kemuliaan hakim dan lembaga peradilan.

Menurut Umar Ibnu Abdul Aziz, khalifah yang dikenal sangat adil, integritas para penegak hukum itu sangat ditentukan oleh kompetensi intelektual, moral, dan spiritual mereka dalam 5 hal. Apabila satu saja tak terpenuhi dari lima kompetensi itu, demikian Abdul Aziz, para penegak hukum itu tidak akan selamat dari aib atau keburukan.

Kelima kompetensi itu, secara berturut-turut dikemukakan seperti berikut ini. Pertama, fahiman, yakni memahami dengan baik soal hukum. Kedua, haliman, memiliki hati nurani dan sifat santun. Ketiga, `afifan, memelihara diri dari dosa-dosa dan kejahatan. Keempat, shaliban, sikap tegas memegang prinsip. Kelima, `aliman saulan `an al-`ilm, memiliki ilmu dan wawasan yang luas serta banyak berdiskusi. Hanya melalui penegak hukum dengan moralitas dan integritas yang tinggi, hukum dan keadilan bisa ditegakkan di negeri ini. Lainnya tidak. Wallahu a`lam.

Tulisan ini dimuat di Republika Edisi Senin (4/7) dengan judul asli: Integritas Penegak Hukum

Sumber: www.republika.co.id

Masya Allah… Tunjangan Pejabat DKI Jakarta dan Banten Rp 50 Juta per Bulan

Masya Allah… Tunjangan Pejabat DKI Jakarta dan Banten Rp 50 Juta per Bulan
Sejumlah PNS di lingkungan Pemkab Bojonegoro, Jawa Timur, 
menghitung gaji ke-13 yang mulai disalurkan menjelang Tahun 
Ajaran Baru 2011 ini.

Tunjangan pejabat Provinsi DKI Jakarta dan Banten merupakan yang tertinggi di antara pejabat daerah lainnya. Tunjangan bagi pejabat eselon satu di kedua provinsi tersebut mencapai Rp 50 juta per bulan. Angka ini bahkan lebih tinggi dari pejabat selevel di pemerintah pusat.

Berdasarkan data tunjangan daerah/tambahan penghasilan pegawai negeri sipil daerah (PNSD) provinsi seluruh Indonesia tahun 2009/2010 dari Kemendagri, PNSD DKI eselon dua mendapatkan tunjangan Rp 28 juta per bulan, eselon tiga Rp 10.550.000 per bulan, eselon empat Rp 6.560.000, dan PNSD level staf Rp 5.850.000 per bulan.

Sementara di Provinsi Banten, PNSD eselon dua mendapatkan tunjangan Rp 11.489.362 per bulan, eselon tiga Rp 4.213.953, eselon empat Rp 2.617.450, dan PNSD level staf Rp 950.000 per bulan.

Tunjangan terendah dirasakan oleh PNSD Bengkulu. Di provinsi ini, PNSD mulai dari eselon satu hingga staf hanya mendapatkan tunjangan Rp 220.000 per bulan.




 Ini Dia Daftar Tunjangan Pejabat Daerah Seluruh Indonesia
Sejumlah PNS sedang berjalan, ilustrasi

Ini Dia Daftar Tunjangan Pejabat Daerah Seluruh Indonesia

Pengamat politik Universitas Indonesia, Iberamsjah, menyatakan tunjangan pejabat daerah terlalu berlebihan. Pejabat terlalu dimanja dengan tunjangan-tunjangan melimpah. Dia menilai hal tersebut menandakan Pemerintah tidak memiliki strategi pemanfaatan anggaran.  “Hanya sedikit anggaran belanja yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur,” jelasnya kepada Republika, Kamis (7/7).

Dia menilai semenjak era reformasi, pembangunan tidak direncanakan secara maksimal. Tunjangan pejabat tidak diatur dengan baik sehingga terjadi pembengkakan dan cenderung berlebihan. Dulu ketika orde baru, ada perencanaan pembangunan yang termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belum lagi rencana pembangunan per-pelita. “Semuanya terencana dengan baik, tidak seperti sekarang,” paparnya.

Iberamsjah menjelaskan hal ini mengakibatkan ruas jalan yang rusak belum dapat diperbaiki. Di luar negeri, jelasnya, penambahan jalan mencapai 10 ribu kilometer persegi. Sementara Indonesia diprediksikan hanya membangun 500 kilometer persegi.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) beberapa waktu lalu merilis temuan 124 dari 526 kabupaten/kota se-Indonesia yang terancam bangkrut karena anggaran belanja pegawainya di atas 60 persen dari APBD, sementara belanja modalnya hanya 1 hingga 15 persen.

Berikut daftar jumlah tunjangan pejabat daerah di seluruh Indonesia tahun 2009/2010 dari Kemendagri:

PROVINSI
ESS I
ESS II
ESS III
ESS IV
STAF
 
 
 NAD
  17,500,000
  12,500,000
    7,500,000
  4,500,000
  4,000,000
 
 Sumatera Utara
  25,000,000
    6,000,000
    2,500,000
  1,500,000
  1,000,000
 
 Sumatera Barat
    5,600,000
    4,880,000
    2,290,000
  1,178,200
     750,000
 
 Riau
    9,400,000
    6,900,000
    5,700,000
  5,400,000
  4,400,000
 
 Kepulauan Riau
  22,000,000
  16,000,000
  10,500,000
  7,000,000
  2,500,000
 
 Jambi
    3,000,000
    2,500,000
    2,000,000
  1,800,000
  1,120,000
 
 Bengkulu
220,000
220,000
220,000
220,000
220,000
 
 Sumatera Selatan
       500,000
       500,000
       500,000
     500,000
     500,000
 
 Bangka Belitung
    5,000,000
    3,000,000
    2,000,000
  1,750,000
  1,250,000
 
 Lampung
    5,000,000
    3,500,000
    2,000,000
  1,500,000
  1,000,000
 
 DKI Jakarta
  50,000,000
  28,000,000
  10,550,000
  6,560,000
  5,850,000
 
 Jawa Barat
  40,000,000
  30,000,000
  11,000,000
  7,000,000
  5,000,000
 
 Banten
  50,000,000
  11,489,362
    4,213,953
  2,617,450
     950,000
 
 Jawa Tengah
    6,470,000
    3,970,000
    1,575,000
  1,125,000
     825,000
 
 DIY
       600,000
       600,000
       600,000
     600,000
     600,000
 
 Jawa Timur
  13,800,000
  10,272,000
    9,565,200
  6,158,000
  4,800,000
 
 Kalimantan Barat
    1,150,000
       856,000
       797,100
     738,250
     600,000
 
 Kalimantan Tengah
    3,250,000
    2,000,000
    1,500,000
  1,000,000
     500,000
 
 Kalimantan Selatan
  12,000,000
    8,500,000
    5,000,000
  3,500,000
  1,400,000
 
 Kalimantan Timur
  30,000,000
  10,000,000
    3,600,000
  3,325,000
  2,350,000
 
 Sulawesi Utara
  17,750,000
  12,750,000
    3,250,000
  1,750,000
  1,250,000
 
 Gorontalo
  15,000,000
    7,000,000
    3,000,000
  1,750,000
  1,100,000
 
 Sulawesi Tengah
  20,000,000
  15,000,000
    1,700,000
  1,500,000
     750,000
 
 Sulawesi Selatan
       500,000
       500,000
       500,000
     500,000
     500,000
 
 Bali
  14,000,000
  12,000,000
    3,000,000
  2,000,000
  1,150,000
 
 Nusa Tenggara Barat
  15,000,000
    4,275,000
    1,750,000
  1,100,000
     582,686
 
 Nusa Tenggara Timur
    1,020,000
    1,020,000
    1,020,000
  1,020,000
  1,020,000
 
 Maluku
       895,000
       895,000
       895,000
     895,000
     895,000
 
 Maluku Utara
  15,000,000
    7,500,000
0
0
0
 
 Papua
  10,000,000
    7,500,000
    5,000,000
  3,500,000
  2,000,000
 
 Papua Barat
    9,000,000
    7,000,000
    4,000,000
  3,000,000
  2,000,000
 


Dari seluruh provinsi di Indonesia, masih terdapat dua daerah yang sampai saat ini belum memberikan tambahan penghasilan kepada PNSD (pegawai negeri sipil daerah), yakni Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.


Istana: Besarnya Tunjangan Pejabat Daerah Bentuk Korupsi Gaya Baru

Besarnya tunjangan pejabat di sejumlah daerah bisa masuk dalam modus korupsi gaya baru jika besarannya tidak wajar. Apalagi jumlah tunjangan itu tidak memperhitungkan kemampuan anggaran daerah.

Demikian dikatakan Staff Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, di Kompleks Istana Negara, Jumat (8/7). "Kalau itu berlebihan dan penetapannya tidak sesuai dengan aturan dan melebihi kewajaran memperkaya dirinya sendiri maka itu bisa masuk dalam korupsi," ujarnya.

Menurut Denny penentuan besaran tunjangan pegawai atau pejabat daerah harus berdasarkan penalaran logik. Dengan memperhitungan kemampuan di daerah. Tidak hanya berdasarkan keinginan dari pejabat tertentu. Sehingga memperlihatkan rasa keadilan di masyarakat

Harus diakui dengan bergesernya kewenangan dari pusat ke daerah, tindak pidana korupsi juga mengalami pergeseran. Korupsi di tingkat lokal, lanjut Denny, perlu diwaspadai dan diantisipasi.

Ada yang beralasan pemberian tunjangan besar akan mengurangi korupsi di pemerintahan. Padahal tidak selalu demikian, karena bukan sekadar persoalan tunjangan tetapi bagaimana membangun suatu sistem anti korupsi tersebut. "Tunjangan tidak akan menyelesaikan masalah, tapi bagaimana membangun suatu sistem," jelasnya.

Sabtu, 8 Sya'ban 1432 / 09 Juli 2011 

Sumber: www.republika.co.id