Senin, 29 Agustus 2011

Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?

 

oleh Inamul Haqqi Hasan


Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyatdalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.


Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya ringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidakbisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak meng-cover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelahtimur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan:  
“Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Sumber: http://immugm.web.id

Analisis Visibilitas Hilal untuk Usulan Kriteria Tunggal di Indonesia

Thomas Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika,  LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
(Publikasi di buku ilmiah “Matahari dan Lingkungan Antariksa”, Seri -4, 2010,  hlm. 67 – 76, Dian Rakyat, Jakarta)




Abstrak. Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria. Saat ini sudah ada kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Untuk itu kajian ilmiah perlu dilakukan untuk memberikan masukan alternatif kriteria yang nantinya perlu dikaji untuk dipilih menjadi kriteria tunggal yang disepakati. Makalah ini membahas beberapa alternatif kriteria berdasarkan analisis data rukyat di Indonesia dan internasional. Kriteria harus memperhatikan dalil-dalil syar’i yang disepakati para ulama serta didasarkan pada kemudahan aplikasinya dan kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa benar-benar setara dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat. Berdasarkan analisis yang dibahas makalah ini diusulkan ”Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut: Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o dan beda tinggi bulan-matahari > 4o.

Kata kunci: Kriteria visibilitas hilal, Hisab-Rukyat, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.

1. Pendahuluan
Persoalan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walau saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan ketidaktentraman di masyarakat. Jika tidak segera diatasi itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas massal dalam skala luas. Satu sisi kemajuan teknologi informasi membantu menyebarkan informasi ke seluruh penjuru dunia, pada sisi lain teknologi itu juga dengan cepat menyebarkan keresahan ketika terjadi perbedaan penetapan.

Perkembangan pemahaman astronomi kini telah memasuki semua lapisan masyarakat, termasuk juga ormas-ormnas Islam yang memanfaatkannya untuk penentuan awal bulan Islam, khususnya terkiat dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Momentum ini sangat baik untuk digunakan dalam upaya mencari solusi perbedaan hari raya. Perdebatan dalil syar’i (hukum agama) antarormas atau kelompok masyarakat yang selama ini mendikhotomikan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) cenderung tak terselesaikan karena masing-maisng menganggap dalil yang diyakininya yang paling shahih dan kuat. Perdebatan semacam itu sudah saatnya diakhiri dan cukup dijadikan khazanah keberagaman pemikiran hukum. Sebaliknya, pemahaman astronomi yang semakin luas perlu terus dibangun untuk mencari titik temu antarormas tanpa mempermasalahkan perbedaan rujukan dalil syar’i.

Dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi, karena keduanya saling melengkapi. Hanya persoalannya adalah cara mempersatukan hisab dan ruyat tersebut.  Secara astronomi  hisab dan rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (ketampakan bulan sabit pertama) atau imkanur rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Kriteria itu didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga dua pendapat hisab dan rukyat dapat terakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat akan selalu seragam. Makalah ini mengkaji berbagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia dan internasional untuk digunakan sebagai dasar penyusunan kriteria tunggal hisab rukyat di Indonesia.


2. Pokok Masalah Perbedaan Hari Raya
Perbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada perbedaan: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah  diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia), sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2o). Di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.

Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2 derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Tabel 2.1. menunjukkan ketinggian hilal pada awal Ramadhan, Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijjah (untuk penentuan Idul Adha) saat terjadinya perbedaan pada beberapa tahun lalu dan potensi pada beberapa tahun mendatang. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Maka hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah (yang secara teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama).

Tabel 2.1.
Bulan-Bulan Rawan Terjadi Perbedaan

Tahun(Hijriyah/Masehi) Derajat Tinggi Bulan di Bandung pada Awal Bulan
Ramadhan Syawal Dzulhijjah
1422/2001-2002 1,7
2,5
1423/2002-2003
1,2 1,3
1427/2006
0,9
1428/2007
0,7




1431/2010

1,7
1432/2011
2,0
1433/2012 2,0

1434/2013 0,7

1435/2014 0,8
0,8


3. Kriteria Visibilitas Hilal Internasional
Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon).
Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon (1932, 1936, di dalam Schaefer, 1991) yang berdasarkan ekstrapolasi data pengamatan menyatakan bahwa pada jarak bulan-matahari < 7o hilal tak mungkin terlihat. Batas 7o tersebut dikenal sebagai limit Danjon. Dengan model, Schaefer (1991) menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas sensitivitas mata manusia yang tidak bisa melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada Gambar 3.1 Schaefer (1991) menunjukkan bahwa kecerlangan total sabit hilal akan semakin berkurang dengan makin dekatnya bulan ke matahari. Pada jarak 5o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada posisi 50o kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata manusia, sekitar magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak sekitar 7,5o. Pada jarak tersebut hanya titik bagian tengah sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur sabit yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10o busur sabit sampai sekitar 50o dari pusat sabit ke ujung tanduk sabit (cusps).


Gambar 3.1. Kurva kuat cahaya sabit bulan. Semakin dekat ke arah matahari (dinyatakan dalam derajat di masing-masing kurva), kuat cahaya semakin redup (angka magnitudonya semakin besar), dan semakin ke arah tanduk sabit (Cusps) juga semakin redup.


Pada Gambar 3.2. ditunjukkan perbandingan hasil model dan ekstrapolasi empiris limit Danjon (Schaefer, 1991) dengan limit jarak terdekat bulan-matahari (sun-moon angle) sekitar 7o. Hasil model tersebut menunjukkan bahwa batasan limit Danjon disebabkan oleh batas sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya sangat mungkin untuk mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan senitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik seperti yang diperoleh oleh Odeh (2006) yang mendapatkan limit Danjon 6,4o.



Gambar 3.2. Perbandingan limit Danjod dari hasil ekstrapolasi pengamatan dibandingkan dengan model (Schaefer, 1991). Ekstrapolasi jarak sudut bulan-matahari (Sun-Moon Angle) pada besar busur hilal (crescent arc length) 0o merupakan limit Danjon sekitar 7o.

Beberapa peneliti membuat kriteria berdasarkan beda tinggi bulan-matahari dan beda azimutnya. Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4o untuk beda azimut yang besar dan 10,4o untuk beda azimut 0o (lihat Gambar 3.3). Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan pengamatan mata telanjang dan dengan bantuan alat optik. Pada Gambar 3.4 Caldwell dan Laney memberikan kriteria beda tinggi minimum 4o untuk semua cara pengamatan pada beda azimut yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6,5o untuk beda azimut 0o untuk pengamatan dengan alat optik. Beda tinggi minimum untuk beda azimut 0o identik dengan limit Danjon dengan alat optik (Odeh, 2006).


Gambar 3.3. Ilyas (1988) memberikan criteria visibilitas hilal dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4o untuk beda azimuth yang besar dan 10,4o untuk beda azimuth 0o.

Gambar 3.4. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001)  membuat kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih). Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o.
Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik hilalnya, tanpa memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di ufuk barat. Dengan memperhitungkan arc of light (beda tinggi bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk barat sudah diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung diwakili oleh beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung jarak sudut minimal bulan-matahari. Odeh melakukan pendekatan sedikit berbeda dengan menggunakan aspek fisik hilal lebih khusus dengan kriteria lebar sabit (W) dalam satuan menit busur (’) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1, yang dipisahkan dengan alat optik (ARCV1), dengan alat optik, tetapi masih mungkin dengan mata telanjang (ARCV2), dan dengan mata telanjang (ARCV3).
Tabel 3.1. Kriteria Visibilitas Hilal Odeh (2006) dengan (1) alat optik, (2) alat optik, masih mungkin dengan bata telanjang, atau (3) dengan mata telanjang.




4. Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000) mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o. (3). Beda tinggi > 3o (tinggi hilal > 2o) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o (Lihat Gambar 4.1). Kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2o, tanpa memperhitungkan beda azimut.



Gambar 4.1. Kriteria visibilitas hilal berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI (Djamaluddin, 2000).


Kriteria tersebut sebenarnya lebih rendah dari kriteria visibilitas hilal internasional yang dibahas di bagian 3. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan terpencil secara statistik sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan, maka kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di sekitar Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) menunjukkan sebaran data beda tinggi bulan-matahari > 6o (Sudibyo, 2009).

Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkna kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.
Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisab-rukyat yang membantu menganalisis mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu masuknya awal bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas bawah.

Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4o dari Odeh dapat kita pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006) tampaknya kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Aspek kontras latar depan di ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo (2009), yaitu minimal 4o. Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) dapat disempurnakan menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):
  1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi bulan-matahari > 4o.


Gambar 4.2. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” diusulkan sebagai kriteria tunggal hisab rukyat Indonesia. Dua kriteria berikut digunakan bersama-sama: jarak matahari – bulan > 6,4o dan beda tinggi bulan – matahari > 4o.


5. Pembahasan
Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), kriteria wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis). Jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara astronomi, sehingga hanya akan menjadi ‘olok-olok’ komunitas astronomi internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia. Penyempurnaan pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru.


6. Kesimpulan
Dengan menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji ulang kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), diusulkan kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di Indonesia. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut:
  1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi bulan-matahari > 4o.
Kriteria baru tersebut hanya merupakan penyempurnaan kriteria yang selama ini digunakan oleh BHR dan ormas-ormas Islam untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.


Daftar Pustaka
Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.
Djamaluddin, T. 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137 – 136.
Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.
Sudibyo, MM, Arkanuddin, M., dan Riyadi, ARS 2009, “Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas Di Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional: Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalendar Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah, Obs. Bosccha, 19 Desember 2009
Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.
Schaefer, BE, 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astr. Soc., Vol. 32, p. 265 – 277.


 Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com

Hilal dan Masalah Beda Hari Raya

 


Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi badat) haji... (QS 2:189)

Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat islam yang menggunakan bulan sebagai penentu waktu kegiatan keagamaan. Umat Hindu menggunakan bulan mati sebagai penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka bulan purnama sebagai penentu waktu Waisak. Umat Kistiani menggunakan purnama pertama setelah vernal equinox (21 Meret) sebagai penentu hari Paskah.

Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat dihitung (QS 55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim (seperti pertanian, pelayaran, perikanan, migrasi) tentu menggunakan kalender matahari.

Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal untuk kegiatan agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk kegiatan agama kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada kalender bulan mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan hilalnya). Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali menjadi sabit lagi (QS 36:39).

Rasulullah SAW memberi pedoman praktis tentang penggunaan hilal sebagai penentu waktu: "Berpuasalah bila melihatnya dan beridul fitri-lah bila melihatnya, bila tertutup awan sempurnakan bulan Sya'ban 30 hari" (HR Bukhari-Muslim). Dan dalam hadits lain, "Bila tertutup awan perkirakan" (HR Muslim). Karena umur rata-ratanya 29,53 hari, satu bulan hanya mungkin 29 atau 30 hari, jadi mudah diperkirakan atau amannya genapkan saja menjadi 30 hari.

Pedoman yang diberikan Rasulullah SAW sangat sederhana. Karena memang Allah dan Rasulnya tidak hendak menyulitkan ummatnya. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukan menghendaki kesulitan" (QS 2:185). Dalam pelaksanaan ibadah shaumnya Allah memberikan keringanan-keringanan bagi yang mengalami kesulitan (sedang sakit atau dalam perjalanan), mestinya dalam penentuan waktunya pun tentu tidak menghendaki kesulitan.

Kini penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal (pengamatan hilal), ada alternatif lain yang juga sederhana: ilmu hisab (perhitungan astronomi). Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak yang teramati, sampai detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan.

Hisab dan rukyat punya kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasul. Hisab pun dijamin eksistensinya, karena Allah menjamin peredaran bulan dan matahari dapat dihitung (QS 55:5). Sumber perbedaan terletak pada keterbatasan manusia dalam mengatasi masalah atmosfer bumi.

Keberhasilan rukyat tergantung kondisi atmosfer. Akurasi hisab terbentur pada formulasi faktor atmosfer bumi untuk kriteria hilal agar teramati. Tidak ada superioritas di antara keduanya. Superioritas justru sering muncul dari para penggunanya.

Sifat Ijtihadiyah

Dalan diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat, sering terlontar pernyataan bahwa rukyat bersifat qath'i (pasti) hisab bersifat Dzhanni (dugaan) atau sebaliknya ada yang menyatakan hisab bersifat qath'i rukyat bersifat Dzhanni. Sifat qath'i atau dzhanni berkaitan dengan penetapan hukumnya. Ini berkaitan dengan ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh para ulama dengan mengunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum ditetapkan secara tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga sesudah Alquran dan Assunnah. Hal yang dianggap qath'i sudah dianggap pasti benarnya, tidak ada lagi interpretasi.

Sebenarnya, kesaksian melihat hilal (ru'yatul hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadhan dan hari raya oleh pemimpin ummat semuanya adalah hasil ijtihad, sifatnya dzhanni. Kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.

Kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya, karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis atau sekadar titik cahaya. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan pada pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulangi oleh orang lain.

Hisab pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari (tepatnya, peredaran bumi mengelilingi matahari) (Q. S. 6:96). Makin lama, hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan makin banyak faktor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti kuat tentang ketepatannya, seperti hisab gerhana matahari yang demikian teliti sampai orde detik. Gerhana matahari pada hakikatnya adalah ijtimak (bulan baru) yang teramati. Maka jaminan kebenarannya lebih kuat dari pada rukyat, karena orang lain bisa mengujinya dan pengamatan posisi bulan bisa membuktikannya. Namun, dalam hal penetapan awal bulan hisab tergantung kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan. Ada yang berdasarkan wujudul hilal (hilal di atas ufuk), ada juga yang berdasarkan imkan rukyat (syarat-syarat hisab untuk terlihatnya hilal berdasarkan pengalaman pengamatan).
Keputusan penetapan awal Ramadan dan hari raya itu pun hasil ijtihad. Berdasarkan kesaksian ru'yatul hilal atau hisab yang dianggap sah, pemimpin ummat (pemerintah, ketua organisasi Islam, atau imam masjid) kemudian menetapkannya. Karena pemimpin ummat di dunia ini tidak tunggal, keputusannya pun bisa beragam, hal yang wajar dalam proses ijtihad. Akibatnya, perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha semestinya dianggap hal yang wajar juga.

Sumber perbedaan

Sifat ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur gerakannya pun satu, sunnatullah. Tetapi, interpretasi orang atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan pengamatan juga tidak mungkin disamakan.

Semula para ulama mempertentangkan hisab dengan rukyat saja. Kini hisab pun dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab mana yang akan dijadikan pegangan. Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut. Ada yang berdasarkan kriteria wujudul hilal, asalkan bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh Muhammadiyah. Kriteria lainnya adalah imkanur ru'yat, berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat. Kriteria ini digunakan oleh Depag RI.

Perintah operasional puasa dan beridul fitri dalam hadits didasarkan pada rukyatul hilal. Di dalam Alquran walaupun bulan dan matahari disebut sebagai alat untuk perhitungan waktu (Q. S. 6:96), tetapi dalam prakteknya, hilal yang dijadikan acuan (Q. S. 2:189), bukan posisi bulan. Karenanya orang awam sekali pun bisa menentukan ada tidaknya hilal walaupun tidak mengerti seluk beluk peredaran bulan.

Wujudnya bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan manusia. Hilal bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan hilal (imkanur rukyat). Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkan rukyat (walau pun masih terus disempurnakan, seperti lazimnya riset ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar'i daripada kriteria wujudul hilal.

Sesama pengguna rukyat pun keputusannya pun bisa berbeda antara penganut rukyat "murni" dan rukyat terpandu hisab. Dalam beberapa kali kesaksian rukyat murni (bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya penyelesaiannya adalah dengan sumpah. Secara syar'i itu sah. Apalagi para pengamat itu umumnya orang yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi keimanannya dan kejujurannya. Tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkannya.

Bukti ilmiah yang bisa menguatkan kesaksian akan rukyatul hilal antara lain posisi hilal, bentuknya, serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. Bukti ilmiah itu bisa diuji kebenarannya dengan rukyat hari-hari berikutnya. Bagi kalangan yang mempercayai rukyat terpandu hisab, bukti ilmiah itu bisa ditambah dengan hasil hisabnya. Hasil rukyat bisa segera dicocokkan dengan hasil hisabnya. Dengan kriteria hisabnya, kalangan ini bisa menolak kesaksian hilal bila dianggap meragukan. Misalnya, bulan semestinya (menurut hisab yang akurat) telah terbenam tidak mungkin bisa dirukyat.

Perlukah bukti ilmiah itu? Saya berpendapat sangat perlu. Untuk saat ini, sumpah saja belum cukup. Pengamat hilal ternyata banyak juga yang belum memahami hilal dan belum bisa membedakannya dengan objek terang lainnya. Gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan. Objek terang pada arah pandang saat ini juga bisa beragam. Tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial.
Perbedaan hari raya akibat perbedaan metode dan kriteria itu tampak jelas pada penentuan Idul Fitri 1418.

Saat ini pertama kalinya, Menteri Agama tidak memberikan keputusan tegas dengan menyatakan bahwa pemerintah berhari raya pada 30 Januari 1998, namun mempersilakan ummat yang meyakini hari raya 29 Januari untuk shalat ied. Waktu itu Muhammadiyah yang menggunakan hisab wujudul hilal beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan Pemerintah dan Persis yang mempertimbangkan hisab dengan imkanur rukyat beridul fitri pada 30 Januari. NU di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah menerima kesaksian di Bawean dan Cakung sehingga beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan, PB NU sepakat untuk beridul fitri 30 Januari karena rukyat itu dianggap tidak mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan hisab dengan imkanur rukyat.

Sumber perbedaan lainnya adalah masalah rukyat lokal dan rukyat global yang dipicu berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita tentang penetapan awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya, kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan diturut.

Dasar hukum rukyat lokal adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Sedangkan penampakan hilal bersifat lokal, tidak bisa secara seragam terlihat di seluruh dunia. Demi keseragaman hukum di suatu wilayah, pemimpin umat bisa menyatakan kesaksian di mana pun di wilayah itu berlaku untuk seluruh wilayah.

Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadits Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah.

Tetapi, sebagian ulama lainnya berpendapat tidak ada batasan tempat kesaksian hilal. Di mana pun hilal teramati, itu berlaku bagi seluruh dunia. Dasarnya, karena hadits Nabi sendiri tidak memberi batasan keberlakukan rukyatul hilal itu, jadi mestinya berlaku untuk seluruh dunia. Namun mereka tidak merinci teknis pemberlakuan di seluruh dunia yang sebenarnya tidak sederhana. Belakangan di antara pengikut pendapat ini ada yang merumuskan, bila ada kesaksian hilal di mana pun, maka wilayah yang belum terbit fajar wajib menjadikannya sebagai dasar untuk berpuasa atau beridul fitri.

Kedua pendapat itu hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang dianggapnya kuat. Hadits yang digunakannya sama. Penganut rukyat lokal bisa berargumentasi Nabi tidak memerintahkan bertanya tentang kesaksian hilal di wilayah lain. Penganut rukyat global bisa berargumentasi Nabi tidak membatasi keberlakukan kesaksian hilal. Manakah yang sebaiknya diikuti?

Di dalam Q. S. 2:185 yang berkaitan dengan puasa Allah memberikan pedoman umum, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu". Bila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyat tidak bisa dipastikan di mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah maghrib.

Untuk mendukung argumentasinya, ada yang berpendapat rukyat global lebih menjamin keseragaman daripada rukyat lokal. Tetapi analisis astronomi membantah pendapat itu. Baik rukyat global maupun rukyat lokal tidak mungkin menghapuskan perbedaan.

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)


Sumber: http://media.isnet.org

Konsekuensi Menggunakan Metode Rukyat (Melihat)

1. Rukyat tidak dapat menyatukan sistem penanggalan (kalender) hijriah sedunia secara terpadu dengan konsep satu hari satu tanggal di seluruh dunia karena rukyat akan selalu membelah muka bumi antara yang bisa merukyat dan yang tidak bisa merukyat krn bayangan bulan tidak sepenuhnya menutupi bumi (lihat gambar). Dari ilustrasi gamabr dapat disimpulkan bahwa bagian kepala/tengah parabola (bayangan bulan) akan melihat hilal 1 hari lebih cepat dari wilayah di atas atau dibawah bayangan bulan

2. Rukyat tidak dapat dilakukan secara normal pada kawasan lintang tinggi di atas 60º LU dan LS (lihat keterangan no. 2)

3. Rukyat tidak bisa membuat sistem penanggalan yang akurat karena penanggalan harus dibuat jauh hari ke depan, sementara dengan rukyat tanggal (awal bulan baru) baru bisa diketahui sehari sebelumnya.

4. Rukyat menimbulkan problem puasa Arafah karena tidak dapat menyatukan hari Arafah di Mekah dan kawasan lain pada bulan Zulhijah tertentu.
Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Temu Pakar II di Maroko menyatakan bahwa penyatuan kalender Islam se dunia tidak mungkin dilakukan kecuali dengan berdasarkan hisab. Memang, sebagaimana dikemukakan oleh Nidhal Guessoum, adalah suatu ironi yang memilukakan bahwa setelah hampir 1,5 milenium perkembangan peradaban Islam, umat Islam belum mampunyai suatu sistem penanggalan terpadu yang akurat, pada hal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, sebab umat Islam tidak mampu membuat kalender terpadu adalah karena mereka terlalu kuat berpegang kepada rukyat.

Kini dalam rangka mewujudkan kalender Islam tunggal (terpadu) yang dapat menyatukan selebrasi umat Islam sedunia, sedang dilakukan perumusan kalender Islam yang dibuat dan diuji selama kurang lebih satu abad ke muka hingga akhir tahun 2100. Ada empat rancangan yang diuji dan telah sering diberitakan. Perkembangan paling mutakhir tentang uji validitas ini adalah bahwa uji tersebut telah mencapai 93 tiga tahun, dan akan segera diadakan Temu Pakar III untuk membahas hasil uji validitas tersebut.



Ilustrasi Bayangan Bulan

Jumat, 26 Agustus 2011

Terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh85aR38xttU3FKy7C1L86tx_LYf3h7wt_HViRF_Yayrw9c5OKyQLRdRj9kA38JZbbqUrfYzoLx38q6mKfjgD1KmTowcNqbsas6ef-tNCwCXOjlJGamF3RefaOxV0_sN5QphY7nFZGwLMty/s1600/al_quran_by_juba_paldf.jpg


Petunjuk penggunaan:
Untuk membuka terjemahan Al Qur'an, silahkan klik untuk setiap Surat Al Qur'an yang diinginkan.


Ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk Abdullah Al-Enazy atas blog yang disediakan untuk terjemahan Al Qur'an ini.

Sumber: http://artiquran.wordpress.com

Kamis, 25 Agustus 2011

Al Qur'an

Al-Quran  yang  secara  harfiah  berarti  "bacaan  sempurna"
merupakan  suatu  nama  pilihan  Allah  yang  sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak  manusia  mengenal  tulis
baca  lima  ribu  tahun  yang  lalu  yang  dapat  menandingi
Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
 
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan  juta
orang  yang  tidak  mengerti  artinya  dan  atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal  huruf  demi  huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
 
Tiada   bacaan   melebihi   Al-Quran  dalam  perhatian  yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi  ayat,  baik  dari segi masa, musim, dan saat turunnya,
sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
 
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang  dipelajari  bukan  hanya
susunan  redaksi  dan  pemilihan  kosakatanya,  tetapi  juga
kandungannya yang tersurat, tersirat  bahkan  sampai  kepada
kesan  yang  ditimbulkannya.  Semua  dituangkan dalam jutaan
jilid  buku,  generasi  demi  generasi.  Kemudian  apa  yang
dituangkan   dari   sumber   yang  tak  pernah  kering  itu,
berbeda-beda   sesuai   dengan   perbedaan   kemampuan   dan
kecenderungan  mereka,  namun  semua  mengandung  kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah  permata  yang  memancarkan  cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
 
Tiada   bacaan   seperti   Al-Quran   yang  diatur  tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan,  dipertebal
atau  diperhalus  ucapannya,  di mana tempat yang terlarang,
atau boleh, atau harus memulai dan berhenti,  bahkan  diatur
lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
 
Tiada  bacaan  sebanyak  kosakata  Al-Quran  yang  berjumlah
77.439 (tujuh  puluh  tujuh  ribu  empat  ratus  tiga  puluh
sembilan)  kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu  lima  belas)  huruf  yang  seimbang  jumlah
kata-katanya,  baik  antara  kata  dengan padanannya, maupun
kata dengan lawan kata dan dampaknya.
 
Sebagai contoh  -sekali  lagi  sebagai  contoh-  kata  hayat
terulang  sebanyak  antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115  kali  sebanyak  kata  dunia;  malaikat
terulang   88   kali   sebanyak   kata   setan;  thuma'ninah
(ketenangan)  terulang   13   kali   sebanyak   kata   dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
 
Kata  infaq  terulang  sebanyak kata yang menunjuk dampaknya
yaitu ridha (kepuasan) masing-masing  73  kali;  kikir  sama
dengan  akibatnya  yaitu  penyesalan  masing-masing 12 kali;
zakat  sama  dengan   berkat   yakni   kebajikan   melimpah,
masing-masing   32  kali.  Masih  amat  banyak  keseimbangan
lainnya, seperti kata yaum  (hari)  terulang  sebanyak  365,
sejumlah   hari-hari   dalam  setahun,  kata  syahr  (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah  bulan-bulan  dalam  setahun.
Demikian
 
  "Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran
   dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
 
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk  seperti  itu?  Al-Quran
menantang:
 
  "Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk
   menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan 
   berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja
   sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).
 
Orientalis H.A.R. Gibb  pernah  menulis  bahwa:  "Tidak  ada
seorang   pun  dalam  seribu  lima  ratus  tahun  ini  telah
memainkan 'alat' bernada nyaring  yang  demikian  mampu  dan
berani,  dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,
seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)."  Demikian  terpadu
dalam    Al-Quran    keindahan   bahasa,   ketelitian,   dan
keseimbangannya,  dengan  kedalaman  makna,   kekayaan   dan
kebenarannya,  serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.
 
  "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
   Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
   Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia
   dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
   belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
 
Mengapa iqra,  merupakan  perintah  pertama  yang  ditujukan
kepada  Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai
membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
 
Iqra' terambil dari akar  kata  yang  berarti  "menghimpun,"
sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis
dengan aksara tertentu."
 
Dari  "menghimpun"  lahir   aneka   ragam   makna,   seperti
menyampaikan,  menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
 
Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?  "Ma  aqra'?"
tanya  Nabi  -dalam  suatu riwayat- setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
 
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki  agar
beliau  dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
 
Iqra'  berarti  bacalah,  telitilah,  dalamilah,  ketahuilah
ciri-ciri  sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,
sejarah, diri sendiri, yang  tertulis  dan  tidak  tertulis.
Alhasil  objek  perintah  iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.
 
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam  cara  yang
dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.
 
Pengulangan  perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak  diperoleh
kecuali  mengulang-ulangi  bacaan,  atau  membaca  hendaknya
dilakukan sampai mencapai batas maksimal  kemampuan,  tetapi
juga  untuk  mengisyaratkan  bahwa  mengulang-ulangi  bacaan
Bismi  Rabbika  (demi  karena   Allah)   akan   menghasilkan
pengetahuan  dan  wawasan  baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.
 
Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran
baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta
kesejahteraan batin.  Berulang-ulang  "membaca"  alam  raya,
membuka   tabir  rahasianya  dan  memperluas  wawasan  serta
menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang  kita  baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang
dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,
namun   pemahaman,   penemuan   rahasianya,  serta  limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan  itulah  pesan  yang
dikandung   dalam  Iqra'  wa  Rabbukal  akram  (Bacalah  dan
Tuhanmulah  yang  paling  Pemurah).  Atas   kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
 
Sungguh,  perintah  membaca  merupakan  sesuatu  yang paling
berharga  yang  pernah  dan  dapat  diberikan  kepada   umat
manusia.   "Membaca"  dalam  aneka  maknanya  adalah  syarat
pertama dan utama pengembangan  ilmu  dan  teknologi,  serta
syarat  utama  membangun  peradaban.  Semua  peradaban  yang
berhasil bertahan  lama,  justru  dimulai  dari  satu  kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer
pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir  dengan  hadirnya
Kitab  Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya
Newton  (1641-1727)  dan  berakhir  dengan  filsafat   Hegel
(1770-1831).   Peradaban   Islam   lahir   dengan  kehadiran
Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita
yakin  bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
 
  "Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang
   diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
   (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang
   memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).
 
Pengetahuan  dan  peradaban  yang  dirancang  oleh  Al-Quran
adalah  pengetahuan  terpadu  yang melibatkan akal dan kalbu
dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran  menjelaskan  dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
 
Setiap  pengetahuan  memiliki  subjek dan objek. Secara umum
subjek  dituntut  berperan  guna   memahami   objek.   Namun
pengalaman   ilmiah   menunjukkan   bahwa   objek  terkadang
memperkenalkan  dirinya  kepada  subjek  tanpa  usaha   sang
subjek.  Komet  Halley,  memasuki  cakrawala,  hanya sejenak
setiap 76 tahun. Dalam kasus  ini,  walaupun  para  astronom
menyiapkan   diri   dan  alat-alatnya  untuk  mengamati  dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan  adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.
 
Wahyu,  ilham,  intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia
yang siap dan suci jiwanya  atau  apa  yang  diduga  sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan  dengan  kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.
 
  "Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui
   manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)
   apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
 
Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran  sejak  dini  memadukan
usaha  dan  pertolongan  Allah,  akal  dan  kalbu, pikir dan
zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa  kalbu  menjadikan  manusia
seperti  robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita  di  tangan  bayi,
sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
 
Al-Quran    sebagai    kitab    terpadu,   menghadapi,   dan
memperlakukan   peserta   didiknya   dengan    memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
 
Ketika  Musa  a.s.  menerima  wahyu  Ilahi,  yang menjadikan
beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:
 
  "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
   (QS Thaha [20]: 17).
 
Musa sadar sambil menjawab,
 
  "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul
   (daun) dengannya untuk kambingku, disamping
   keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
 
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut  dalam  alam
material,  Al-Quran  menggunakan  benda-benda  alam, sebagai
tali penghubung untuk mengingatkan  manusia  akan  kehadiran
Allah  Swt.  dan  bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil
apa  pun-  adalah  di  bawah  kekuasaan,  pengetahuan,   dan
pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
 
  "Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia
   mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
   kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
   kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
   jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).
 
  "Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi
   Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)
   kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
 
Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat  yang  membentuk
tenunan  kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan
jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran  berbicara
tentang  satu  persoalan  menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya  akan
menemukan  keserasian  hubungan  yang amat mengagumkan, sama
dengan  keserasian  hubungan  yang  memadukan  gejolak   dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi
atau aspek yang tadinya terkesan  kacau,  menjadi  terangkai
dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.
 
Salah satu tujuan  Al-Quran  memilih  sistematika  demikian,
adalah  untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah  satu  kesatuan  terpadu
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
 
Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap
yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,
kewajiban  menegakkan  hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan  suami-istri,  dikemukakan  Al-Quran  secara
berurut   dalam   belasan  ayat  surat  Al-Baqarah.  Mengapa
demikian? Mengapa  terkesan  acak?  Jawabannya  antara  lain
adalah,  "Al-Quran  menghendaki  agar  umatnya  melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah  babi  lebih  dianjurkan
untuk  dihindari  daripada  keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak  pula  lebih  penting  daripada  menegakkan
hukum  dan  keadilan.  Wasiat sebelum mati dan menunaikannya
tidak kalah dari  berpuasa  di  bulan  Ramadhan.  Puasa  dan
ibadah  lainnya  tidak  boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu  adalah  hubungan  seks
antara    suami-istri.    Demikian    terlihat   keterpaduan
ajaran-ajarannya.
 
Al-Quran  menempuh  berbagai  cara  guna  mengantar  manusia
kepada   kesempurnaan   kemanusiaannya  antara  lain  dengan
mengemukakan  kisah  faktual  atau  simbolik.   Kitab   Suci
Al-Quran  tidak  segan  mengisahkan  "kelemahan  manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan  kalimat  indah  lagi  sopan
tanpa  mengundang  tepuk  tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan
itu,  atau  menggambarkan  saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.
 
Ketika Qarun  yang  kaya  raya  memamerkan  kekayaannya  dan
merasa  bahwa  kekayaannya  itu adalah hasil pengetahuan dan
jerih payahnya, dan setelah  enggan  berkali-kali  mendengar
nasihat,  terjadilah  bencana longsor sehingga seperti bunyi
firman Allah:
 
 
  "Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"
   (QS Al-Qashash [28]: 81).
 
  Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan
  kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan
  rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki  dari  hamba-
  hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak
  melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
  dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-
  orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).
 
Dalam konteks  menggambarkan  kelemahan  manusia,  Al-Quran,
bahkan    mengemukakan    situasi,   langkah   konkret   dan
kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang  dimabuk
cinta   oleh   kegagahan  seorang  pemuda  yang  tinggal  di
rumahnya,
 
Maksudnya,
 
  "(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai
   cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat
   rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
   kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari
   lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).
  
Demikian,  tetapi  itu  sama  sekali  berbeda  dengan   ulah
sementara  seniman,  yang  memancing  nafsu  dan  merangsang
berahi. Al-Quran  menggambarkannya  sebagai  satu  kenyataan
dalam  diri  manusia  yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi
tidak  juga  dibuka   lebar,   selebar   apa   yang   sering
dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
 
Al-Quran  kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,
anak muda yang dirayu wanita itu, juga  dengan  tiga  alasan
penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
 
Yang pertama dan kedua adalah,
 
  "Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu
   adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"
   (QS Yusuf [12]: 23).
 
Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.
 
  "Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang
   yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).
 
Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut  bersatunya  kata
dengan  sikap.  Karena  itu,  keteladanan  para pendidik dan
tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.
 
Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati  orangtuanya,
pada   saat   itu  pula  ia  mewajibkan  orang-tua  mendidik
anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati  Rasul
dan  para  pemimpin,  pada  saat  yang  sama  Rasul dan para
pemimpin diperintahkan menunaikan  amanah,  menyayangi  yang
dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.
 
Demikian    Al-Quran    menuntut    keterpaduan   orang-tua,
masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat
tercapai  tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu  pihak,  atau
hanya   ditangani   oleh  guru  dan  dosen  tertentu,  tanpa
melibatkan seluruh unsur kependidikan.
 
Dua puluh dua  tahun  dua  bulan  dan  dua  puluh  dua  hari
lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama
itu pula  Nabi  Muhammad  Saw.  dan  para  sahabatnya  tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya,  mereka  berhasil  membangun  masyarakat  yang  di
dalamnya  terpadu  ilmu  dan iman, nur dan hidayah, keadilan
dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.
 
Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil?  Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian  seorang  guru  besar  Harvard  University,  yang
dilakukannya   pada   40  negara,  untuk  mengetahui  faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.
 
Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar-  adalah
materi  bacaan  dan  sajian yang disuguhkan khususnya kepada
generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun  menjelang
kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para  generasi  muda  dibekali  dengan  sajian  dan   bacaan
tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan
dalam  berbagai  aktivitas,  peranan  yang  pada  hakikatnya
diarahkan  oleh  kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat  setelah  berlalu  dua
puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.
 
Kalau  demikian,  jangan  menunggu  dampak  bacaan  terhadap
anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian.  Siapa  pun  boleh
optimis  atau  pesimis,  tergantung  dari  penilaian tentang
bacaan  dan  sajian  itu.  Namun  kalau  melihat  kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat
mempelajari kandungannya, maka kita  wajar  optimis,  karena
kita  sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang  jaya  selama
sekitar  delapan  ratus  tahun,  adalah karena Al-Quran yang
mereka baca  dan  hayati  mendorong  pengembangan  ilmu  dan
teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.
 
Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.
 
Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan
saja   mencanangkan   "wajib  belajar"  tetapi  juga  "wajib
mengajar."  Bukankah  tawashauw  berarti  saling   berpesan,
saling  mengajar,  sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil
pencarian  ilmu?  Mencari  kebaikan   menghasilkan   akhlak,
mencari  keindahan  menghasilkan seni, dan mencari kebenaran
menghasilkan ilmu. Ketiga  unsur  itulah  yang  menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.
 
Al-Quran  yang  sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan
antara lain:
 
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari
   segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan
   tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian
   alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
   konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
   umat manusia.
 
2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
   yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang
   seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada
   Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
 
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
   antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,
   kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan
   supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
   kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan
   kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik
   dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
   keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
 
4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama
   dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara
   melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh
   hikmah kebijaksanaan.
 
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
   kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta
   pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,
   ekonomi, politik, dan juga agama.
 
6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
   dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial
   sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia
 
7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
   kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,
   menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
   kebaikan dan mencegah kemunkaran.
 
8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
   menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati
   diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
 
Demikian sebagian  tujuan  kehadiran  Al-Quran,  tujuan
yang  tepadu  dan  menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual  atau  mistik,
yang  dapat  menimbulkan  formalitas  dan  kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari  akan
membantu   kita   menemukan   nilai-nilai   yang  dapat
dijadikan pedoman bagi  penyelesaian  berbagai  problem
hidup.  Apabila  dihayati dan diamalkan akan menjadikan
pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada  realitas
keimanan    yang   dibutuhkan   bagi   stabilitas   dan
ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat
 
Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya  yang  merangsang
akal  dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima
dan memberi kasih dan keharuan  cinta,  sehingga  dapat
mengarahkan  kita  untuk memberi sebagian dari apa yang
kita miliki untuk  kepentingan  dan  kemaslahatan  umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan
kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang  telah  tumbuh
subur dalam negara kita. 

Wawasan Al Qur'an
Dr. Quraish Shihab 
 
Sumber: http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/index.html

Menjadi Pemimpin yang Melayani


Pemimpin dalam suatu organisasi maupun dalam pemerintahan memegang peran yang amat penting demi kemajuan organisasi atau institusi tersebut. Dalam perkembangan sekarang ini, orang-orang sangat mendambakan pemimpin yang peduli dan melayani. Harapan terbesar terhadap seorang pemimpin baru oleh masyarakat adalah kepemimpinan yang melayani, apabila gaya kepemimpinan ini berkembang niscaya institusi yang dipimpinnya akan sejahtera , bila ia menjadi seorang pemimpin terhadap sekelompok masyarakat , maka rakyatnya akan makmur.

" Good leaders must first become good servants"
- Robert Greenleaf

Namun di Indonesia , seringkali kita menemukan pemimpin yang justru mau dilayani . Sehingga muncul antipati terhadap pemimpin. Kebanyakan sudut pandang yang salah dari seorang pemimpin adalah dirinya harus dilayani oleh segenap rakyatnya , ibarat seorang anak bayi keinginannya harus dituruti. Hal ini didasari dari keangkuhan dan kesombongan dirinya sebagai seorang yang dianggap berkedudukan tinggi maupun orang istimewa. Sehingga kepemimpinan yang melayani hanya menjadi angan - angan belaka.


Pengertian Pemimpin yang Melayani

Menurut teori tentang pemimpin yang melayani dimulai sejak tahun 1970, ketika R.K. Greenleaf (1904-1990) menulis sebuah essay yang berjudul “The Servant as Leader”. Essay tersebut dikembangkan oleh Greenleaf menjadi sebuah buku yang diterbitkan tahun 1977 berjudul “Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness”. Ide mengenai pemimpin yang melayani ini diperoleh Greenleaf tahun 1960-an ketika membaca novel karya Herman Hessee, “Journey to the East”.

Setelah membaca cerita ini, Greenleaf (2002) menyimpulkan bahwa pemimpin yang hebat diawali dengan bertindak sebagai pelayan bagi orang lain. Kepemimpinan yang sesungguhnya timbul dari motivasi utama untuk membantu orang lain.

Kedua kata “melayani” dan “pemimpin” biasanya dianggap sebagai hal yang berlawanan. Ketika kedua hal yang bertolak belakang disatukan dengan cara yang kreatif dan berarti, sebuah paradoks muncul. Jadi, kedua hal tersebut telah disatukan untuk menciptakan ide paradoksial tentang kepemimpinan yang melayani.

Greenleaf (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani diawali dengan perasaan alami untuk melayani terlebih dahulu. Setelah itu, dengan kesadaran, seseorang ingin memimpin. Greenleaf (2002) mendefinisikan pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya dan komunitasnya dan karenanya ia mendahulukan hal-hal tersebut dibandingkan dengan pencapaian ambisi pribadi atau pola dan kesukaannya saja.

Impiannya ialah agar orang yang dilayani tadi akan menjadi pemimpin yang melayani juga. Greenleaf (2002) menekankan, bila seseorang ingin menjadi pemimpin yang efektif dan berhasil, ia harus lebih dulu memiliki motivasi dan hasrat yang besar untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu mendorong pengikutnya untuk mencapai potensi optimalnya.

Belakangan ini, agar bisa berorientasi pada pelanggan, organisasi membutuhkan pemimpin yang bersedia melayani. Para pemimpin harus memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan internal (para karyawan) sehingga akan berdampak pada pelayanan prima yang didemonstrasikan oleh para pelanggan internal kepada para pelanggan eksternal (Tjiharjadi et al., 2007). Sayangnya, gaya kepemimpinan yang melayani kurang diminati oleh kebanyakan praktisi bisnis. Gaya kepemimpinan yang melayani lebih banyak digunakan di organisasi sektor publik dan pemerintah.


Karakteristik Pemimpin yang Melayani

Menurut Larry C. Spears (1995), mengacu pada pemikiran Greenleaf, terdapat karakteristik seorang pemimpin maupun calon pemimpin yang ditunjukkan dari sikap dan perilaku pemimpin tersebut , yang dipaparkan pada list berikut :

1. Kesediaan untuk menyimak (listening)
Biasanya, seorang pemimpin dinilai berdasarkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan mengambil keputusan. Kemampuan ini juga penting bagi pemimpin yang melayani, pemimpin ini perlu dikuatkan dengan komitmen yang kuat untuk mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh. Pemimpin yang melayani mencoba untuk mengidentifikasikan keinginan dari sebuah kelompok dan membantu mengklarifikasikan keinginan tersebut, dengan cara menyimak.

2. Kuat dalam empati (empathy)
Pemimpin yang melayani berusaha untuk mengerti dan berempati dengan orang lain. Manusia perlu untuk merasa diterima dan diakui atas semangat mereka yang khusus dan unik.

3. Melakukan pemulihan-pemulihan (healing)
Salah satu kekuatan terbesar seorang pemimpin yang melayani adalah kemampuannya untuk melakukan pemulihan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

4. Penyadaran/peningkatan kesadaran (awareness)
Kesadaran umum, dan terutama kesadaran diri, memperkuat pemimpin yang melayani. Kesadaran juga membantu seseorang dalam memahami persoalan yang berhubungan dengan etika dan nilai.

5. Memiliki sifat persuasif (persuasion)
Karakteristik lain dari pemimpin yang melayani adalah mengandalkan persuasi dalam pengambilan keputusan, bukan posisi sebagai otoritas. Pemimpin yang melayani mencoba untuk meyakinkan orang lain, bukan memaksa orang lain untuk patuh.

6. Mampu membuat konsep (conceptualization)
Pemimpin yang melayani mengembangkan kemampuannya untuk “memimpikan hal-hal besar.” Kemampuan untuk melihat permasalahan (atau sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti bahwa seseorang harus berpikir melebihi realitas sehari-hari. Pemimpin yang melayani menyeimbangkan antara pemikiran konseptual dengan pendekatan dengan fokus harian.

7. Mampu membuat perkiraan yang tepat (foresight)
Foresight adalah sebuah karakteristik yang memungkinkan pemimpin yang melayani untuk memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini dan kemungkinan konsekuensi dari sebuah keputusan untuk masa depan. Hal ini juga berakar di dalam pikiran intuitif.

8. Penatalayanannya baik (stewardship)
Peter Block (dalam Spears 2004) telah mendefinisikan stewardship sebagai “memegang sesuatu yang dipercayakan kepadanya oleh orang lain”. Pemimpin yang melayani, seperti stewardship, mengasumsikan komitmen utama untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini juga menekankan pada penggunaan keterbukaan dan persuasi dibandingkan dengan pengendalian.

9. Memiliki komitmen untuk menghasilkan proses pembelajaran (commitment to the growth of people)
Pemimpin yang melayani percaya bahwa orang lain mempunyai nilai intrinsik melebihi kontribusi nyata mereka sebagai karyawan atau pekerja. Sebagai hasilnya, pemimpin yang melayani berkomitmen secara mendalam pada pengembangan dari masing-masing dan setiap individu dalam institusi. Pemimpin yang melayani menyadari tanggung jawab yang luar biasa untuk melakukan semua hal yang memungkinkan untuk membantu pembelajaran sumber daya manusia.

10. Serius dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas (building community)
Pemimpin yang melayani merasakan bahwa banyak hal yang telah hilang dalam sejarah manusia belakangan ini sebagai hasil dari pergeseran dari komunitas lokal menjadi institusi besar sebagai pembentuk utama dalam hidup manusia. Hal ini menyebabkan pemimpin yang melayani untuk mencoba mengidentifikasikan beberapa sarana untuk membangun komunitas di antara mereka yang bekerja di institusi tersebut.

Hal yang perlu dicatat di sini adalah dalam pekerjaannya sehari-hari, seorang pemimpin yang melayani mendahulukan orang lain. Ia juga membuat orang menjadi terinspirasi, terdorong, belajar, dan mengambil alih keteladanannya. Pendekatannya bukanlah pendekatan kekuasaan, akan tetapi pendekatan hubungan atau relasional.

Selain itu Spears juga mengungkapkan indikator tentang pemimpin yang melayani , indikator ini juga merupakan penambahan dari hasil studi pasca Spears. Indikator tersebut antara lain:

1) Pemimpin yang melayani menyadari dan menghayati bahwa ia melayani suatu hal yang lebih besar dari dirinya atau organisasinya.

2) Pemimpin yang melayani memberikan teladan untuk prilaku dan sikap yang ia ingin hadir dan menjadi bagian utama dari hidup pengikutnya. Jadi ia tidak memaksakan orang untuk mengambil alih suatu perilaku atau memaksa dengan berbagai hal-hal yang ia inginkan.

3) Pemimpin yang melayani memiliki pribadi yang otentik yaitu kerendahan hati, dapat diminta pertanggung jawaban, integritas antara nilai, gambar diri dan ambisinya, serta ia tampil sebagai manusia biasa dengan kelemahannya.

4) Pemimpin yang melayani juga mempersoalkan masalah moral dan berani mengambil resiko dalam menegakkan prinsip etika tertentu.

5) Pemimpin yang melayani memiliki visi dan mampu memberdayakan orang.

6) Pemimpin yang melayani mampu memberikan kepercayaan dan pemahaman atas keadaan pengikutnya

7) Pemimpin yang melayani sering bekerja dalam kerangka pikir waktu yang panjang. Ia tidak mengharapkan hasil spektakuler terlalu cepat karena ia menyadari bahwa untuk menggerakkan dan mentransformasi orang diperlukan waktu yang panjang dan proses yang berkesinambungan.

8) Pemimpin yang melayani melakukan komunikasi yang proaktif dan bersifat dua arah.

9) Pemimpin yang melayani juga dapat hidup di tengah perbedaan pendapat, bahkan ia merasa tidak nyaman bila pendapat, paradigma dan gaya kerja sejenis.

10) Pemimpin yang melayani memberikan kepercayaan dan wewenang kepada pengikutnya. Ia memiliki gambaran positif, optimis tentang mereka. Ia memberdayakan mereka melalui sharing pengetahuan, skill dan perspektif.

11) Pemimpin yang melayani menggunakan persuasi dan logika untuk mempengaruhi orang, selain dengan peneladanan.

12) Pemimpin yang melayani tidak berupaya menjadi pahlawan, namun menciptakan dan melahirkan pahlawan-pahlawan.

13) Pemimpin yang melayani mengerjakan banyak hal dan menghindar dari berbagai hal yang orang lain dapat lakukan. Hal yang terpenting bahwa pemimpin yang melayani tidak berarti akan menghindar dari masalah atau konflik. Ia juga menjadi sosok yang tidak dikendalikan oleh berbagai kelompok yang kuat. Dalam pekerjaan sehari-hari seorang pemimpin yang melayani mendahulukan orang lain. Ia juga membuat orang jadi terinspirasi, terdorong, belajar dan mengambil alih keteladanannya. Pendekatannya bukanlah dengan kekuasaan melainkan pendekatan hubungan atau relasional.



Kisah Khalifah Umar Bin Khattab yang Melayani Rakyat-nya

Kisah ini merupakan kisah inspiratif dari khalifah Umar Bin Khattab yang senantiasa melayani rakyatnya , bahkan beliau secara diam - diam melakukan perjalanan keluar masuk kampung untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Beliau tidak ingin satu pun rakyatnya tidak terlayani , hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang dilalaikan.

Suatu malam , bersama salah seorang pembantunya, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Dari sebuah rumah yang tak layak huni, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan pembantunya bergegas mendekati rumah itu. Setelah mendekat, Umar melihat seorang perempuan tengah memasak di atas tungku api. Asap mengepul dari panci, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

“Assalamu’alaikum,” Khalifah Umar memohon izin untuk masuk.
Si Ibu yang tidak mengetahui siapa gerangan tamu nya itu memberi izin untuk masuk.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Si ibu itu menjawab, “Anakku.”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Tapi ia kelaparan.”

Khalifah Umar ingin sekali mengetahui apa yang sedang dimasak oleh ibu itu. Kenapa begitu lama sudah dimasak tapi belum juga matang. Akhirnya khalifah Umar berkata, “Wahai ibu, Apa yang sedang engkau masak?”

Ibu itu menjawab, “Engkau lihatlah sendiri!”

Khalifah umar dan pembantunya segera melihat ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut seraya memastikan Umar berteriak, “Apakah engkau memasak batu?”

Perempuan itu menganggukkan kepala. Dengan suara lirih, perempuan itu menjawab pertanyaan khalifah Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Sementara aku berusaha untuk bekerja tetapi karena kewajiban menjaga anakku, hal itu tidak dapat kulakukan. Sampai waktu maghrib tiba, kami belum juga mendapatkan makanan apapun juga. Anakku terus mendesakku. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci. Kemudian batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Ia tetap saja menangis. Sungguh Khalifah Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, pembantu khalifah Umar ingin menegur perempuan itu. Namun khalifah Umar dengan cepat mencegahnya. Dengan air mata berlinang ia pamit kepada si Ibu dan mengajak pembantunya cepat-cepat pulang ke Madinah. Khalifah Umar langsung menuju gudang baitul mal untuk mengambil sekarung gandum dan memikulnya di punggungnya. Ia kembali menuju ke rumah perempuan tadi.

Di tengah perjalanan sang pembantu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saja yang memikul karung itu.” Khalifah Umar menjawab dengan air mata yang berlinang: “Rasulullah pernah berkata, jika ada seorang pemimpin yang membiarkan rakyatnya mati kelaparan tanpa bantuan apapun, Allah mengharamkan surga untuknya.” Khalifah Umar kemudian melanjutkan, Biarlah beban berat ini yang akan membebaskanku dari siksaan api neraka kelak.”

Dalam kegelapan malam Khalifah Umar berjuang memikul karung gandum itu, hingga akhirnya ia sampai ke rumah sang Ibu. Dengan kaget, sang Ibu bertanya: “Siapakah anda? Bukankah anda yang datang tadi?” Khalifah Umar tersenyum dan menjawab, “Benar. Saya adalah seorang hamba Allah yang diamanahkan untuk mengurus seluruh keperluan rakyat saya. Maafkan saya telah mengabaikan anda.”


Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa seorang pemimpin tidak seharusnya termanjakan untuk pelayanan dari bawahan maupun instansinya . Melainkan seorang pemimpin harus melayani bawahannya maupun rakyatnya . Tentunya pimpinan merupakan amanah yang diberikan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas .

Dan tentunya bila kita ingin menentukan seorang pemimpin , dapatlah kita melihat pada karakteristik dan indikator yang telah saya paparkan diatas. Kini sebagai rakyat kita harus cerdas dalam melihat seorang pemimpin, jangan sampai kita salah pilih pemimpin!. Tentunya bagi pembaca yang termasuk para pemuda/i penerus bangsa dapat mempersiapkan diri sejak sekarang untuk memimpin , baik memimpin diri sendiri maupun memimpin organisasi , bahkan dapat memimpin Indonesia.

Patutlah kita menjadikan khalifah Umar Bin Khattab sebagai pemimpin adil , bertanggung jawab , dan melayani. Beliau merupakan salah satu contoh pemimpin yang sejati yang memberikan suri tauladan yang baik bagi pemimpin - pemimpin lainnya . Demikian penjelasan dari saya , setelah membaca tulisan ini ada baiknya anda membaca juga definisi pemimpin dan juga tugas dan fungsi pemimpin. Semoga tulisan ini bermanfaat buat pembaca sekalian.


Sumber: http://tjuk-emet.blogspot.com