Kamis, 17 Februari 2011

Siapa JIL?

 


Tgk. H. Helmi, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN

Dari satu sisi, beragamnya aliran dan kelompok dalam kancah pemikiran islam itu, menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.

Namun dari semua aliran dan kelompok yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya kelompok-kelompok yang mengusung ide-ide yang berbeda jauh dari apa yang dianut oleh kebanyakan ummat islam, baik muslim secara umum, maupun dalam wilayah tertentu.

Untuk wilayah Indonesia khususnya, pada pertengahan tahun 2001 muncul sekelompok anak-anak muda yang membawa semboyan sebagai kelompok “islam yang membebaskan”. Kelompok tersebut kemudian menamakan organisasi mereka dengan sebutan “Jaringan Islam Liberal”, yang disingkat dengan kata JIL. Kehadiran JIL saat itu cukup menyita perhatian masyarakat khususnya ummat islam, sehingga melahirkan pro dan kontra mengenai keberadaan dan eksistensinya. Hal ini tidak terlepas dari gagasan-gagasan mereka yang dianggap begitu berani melawan arus pemikiran ummat islam secara umum.

Berdasarkan uraian diatas, maka yang ingin dibahas dalam makalah ini adalah apa latar belakang lahirnya Jaringan Islam Liberal, bagaimana AD/ART mereka, realitas perkembangannya, serta prediksi perkembangan mereka.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Jaringan Islam Liberal

Istilah Islam Liberal disusun dari dua kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam, yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal artinya adalah kebebasan. Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga  secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.

Dalam konteks global, Islam liberal muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada al-Qur`an dan sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.

Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris.

Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis. Ia menggagas tafsir al-qur`an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern.

Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur`an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur`an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.

Adapun dalam konteks regional Indonesia, wacana meliberalkan islam pertama kali dipelopori oleh Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago), dan Harun Nasution (lulusan Mc Gill University Kanada), disamping terdapat juga tokoh-tokoh lain saat itu, seperti Djohan Efendi, dan Ahmad Wahib. Nurcholis Madjis telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun 1970-an.

Pada saat itu, Nurcholis Madjid telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini, dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama”. Nurcholis mempromosikan gagasan-gagasanya ke masyarakat kelas menengah ke atas lewat Paramadinanya.

Sedangkan Harun Nasution berhasil mempengaruhi institusi perguruan tinggi islam, setelah pada tahun 1973, bukunya Islam ditinjau dari Berbagai Aspek ditetapkan sebagai buku utama mahasiswa IAIN se-Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1974 itu, dijadikan bahan bacaan pokok untuk mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama Islam”, melalui rapat kerja Rektor IAIN se-Indonesia di Ciumbuluit Bandung tahun 1973.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nurcholis Madjid dan Harun Nasution merupakan “pioner” pertama dalam melahirkan faham Islam Liberal di Indonesia, karena melalui keduanyalah wacana meliberalkan islam dikenal di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, ide-ide Nurcholis dan Harun selanjutnya dikembangkan oleh kader-kader godokan keduanya, sehingga pada akhir tahun 1990 muncullah sekelompok anak muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. latar belakang kemunculan gerakan ini adalah untuk menolak gerakan islam garis keras, dan menurut mereka untuk menampilkan islam dengan wajah baru.

Kondisi inilah yang kemudian mendorong beberapa aktivis muda untuk melakukan berbagai diskusi di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur. Kemudian dengan merujuk kepada tempat itulah maka beberapa tokoh muda Islam mendirikan Komunitas Islam Utan Kayu yang merupakan cikal bakal berdirinya JIL. Beberapa nama yang terlibat  untuk membentuk Komunitas Utan Kayu itu dan kemudian mendirikan JIL antara lain Ulil Abshar-Abdalla, Nong Darol Mahmada, Burhanuddin, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Saiful Mujani, dan Luthfi Assaukanie.

Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara lain: maraknya kekerasan atas nama agama, gencarnya tuntutan penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Harun Nasution.

Selanjutnya secara lebih nyata para anak-anak muda tersebut mendirikan sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis (Islamliberal@yahoo.com).
Sejak saat itulah mereka menamakan diri dengan sebutan Jaringan Islam Liberal. Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik.

Pengelolaan JIL ini dipimpin oleh beberapa pemikir muda seperti Luthfi Assyaukani (Universitas Paramadina), Ulil Abshar Abdala (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam). Untuk memusatkan organisasi, para pemimipin JIL mendirikan markas yang terletak di jalan Utan kayu Jakarta, serta menetapkan Ulil Abshar Abdala sebagai kordinator.

Bila dilihat dari latar belakang sejarah lahirnya diatas, maka JIL didirikan antara lain karena kondisi sosial keagamaan pasca Orde Baru yang menurut para pendiri JIL dirasakan seakan islam menampilkan wajah yang tidak ramah. Publik saat itu diwarnai dengan pemahaman masalah sosial keagamaan yang radikal dan anti-pluralisme. Tentu saja analisis ini terlepas dari ideologi yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran para pendiri JIL dan latar belakang pendidikan mereka.


B. AD/ART Jaringan Islam Liberal

Setelah menelusuri dari beberapa sumber yang membahas tentang Jaringan Islam Liberal, penulis tidak menemukan satupun sumber yang secara tegas memuat tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang dianut kelompok JIL. Namun dalam website resmi milik JIL yaitu www.islamlib.com/id/, dicantumkan beberapa landasan sebagai pijakan kelompok JIL.  Menurut pemahaman penulis, mungkin saja landasan tersebut merupakan AD/ART bagi mereka.

Dalam websitenya disebutkan bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).


b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.


c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.

Dalam situs tersebut mereka mengemukakan juga alasan penamaan kelompok mereka dengan JIL sebagai berikut:
Nama “Islam liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Tujuan utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.

Lebih lanjut, terdapat tiga misi yang diemban oleh JIL, yaitu: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Untuk memuluskan misinya, JIL melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:
  1. Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender;
  2. Membentuk intllectual community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;
  3. Menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.
Ditempat lain, Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL menyebutkan, ada tiga kaedah yang hendak dilakukan oleh JIL, yaitu: pertama, membuka ruang diskusi, meningkatkan daya kritis masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang berbeda. Kedua, ingin merangsang penerbitan buku yang bagus dan riset-riset. Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangun semacam lembaga pendidikan yang sesuai dengan visi JIL mengenai islam.

Adapun mengenai tujuan, mereka merumuskannya ke dalam empat hal, yaitu: pertama, memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme, dan humanisme. Kedua, membangun kehidupan keberagaman yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan. Ketiga, mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya: islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis. Keempat, mencegah agar pandangan-pandangan keagamaan yang militan dan pro kekerasan tidak menguasai wacana publik.

Bila diteliti lebih jauh, sebenarnya wacana-wacana dan konsep-konsep yang dikumandangkan oleh para aktivis JIL, telah pernah dikembangkan sebelumnya  oleh kalangan orientalis barat dan misionaris kristen dalam proses sekularisasi dan liberalisasi islam. Atas dasar ini, maka sekilas sudah terlihat persamaan gagasan antara orientalis barat dengan apa yang sedang diusung JIL. Hal ini menimbulkan kecurigaan tentang misi yang sedang diperjuangkan JIL, apakah misi tersebut murni untuk merubah wajah islam, atau misi ini hanya sebuah pesanan.

Apalagi tokoh-tokoh yang sering dibanggakan oleh JIL adalah orang-orang yang telah mencatat sejarah hitam dalam islam dengan menjadi perpanjangan tangan dari kaum orientalis dalam upaya menggeroti islam dari dalam. Oleh karena itu sangat wajar bila mayoritas muslim Indonesia menyambut gerakan JIL dengan sikap yang kontra.


C. Realitas Perkembangan Jaringan Islam Liberal

Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta, dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Disamping itu mereka juga gencar memuat ide-ide mereka melalui artikel-artikel yang disajikan kepada publik. Diantara artikel-artikel yang dianggap sangat kontroversi adalah tulisan Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL, ia menulis di media massa mengenai beberapa hal yang tergolong mendobrak tradisi beragama ummat islam saat itu. antara lain: menyegarkan kembali pemahaman islam, tidak ada hukum Tuhan di dunia ini, Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, dan lain-lain 

Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.

Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.

Ide-ide yang dikemukakan kelompok JIL pada dasarnya berpijak pada AD/ART yang mereka anut. Tetapi dalam realitasnya, saat mereka menyampaikan ide-ide tersebut terkadang telah menampilkan suatu sikap ekstrim yang menurut mereka sendiri harus dihilangkan dari wacana publik. Karena mereka secara membabi buta menyerang habis-habisan apa yang telah dianut oleh ummat islam. Sampai saat ini sudah sangat banyak gagasan yang  dimunculkan JIL ke publik. Dalam uraian berikut ini, penulis hanya akan mengemukakan beberapa hal saja diantaranya,  yaitu  masalah-masalah yang sangat menyentuh tentang dasar-dasar agama, dan masalah yang telah sepakati ummat islam. Antara lain:

1.    Semua Agama Sama.
Menurut JIL, Islam tidak beda dengan agama kufur dan syirik manapun,  semuanya masuk surga. Semua orang beragama adalah mukmin, oleh karena itu semua bersaudara dan halal saling menikahi. Meyakini Islam satu-satunya agama yang benar tidak boleh. Oleh karena itu dakwah islamiyah pun tidak boleh. Wajib diganti dengan dialog, tukar menukar pengalaman dan kerja sama dalam bidang sosial keagamaan. Mereka disini cenderung mengartikan islam bukan nama sebuah agama, tetapi islam dalam pengertian etimologi yaitu tunduk dan patuh.

Karena ideologi ini, para tokoh JIL meyakini tentang kebebasan beragama. Menurut mereka, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Karena ini pula mereka menghalalkan pernikahan antar agama, sesorang muslim baik laki-laki maupun perempuan boleh saja menikah dengan non muslim.

Bila diteliti terhadap ide yang dilontarkan kelompok JIL diatas, jelas sekali terlihat bahwa sebenarnya ide tersebut tidak layak keluar dari mulut seorang muslim. Paham ini sebenarnya merupakan warisan pemikiran Harvey Cox, seorang pemikir barat yang menggagas paham sekularisme. Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox mendapat sambutan hangat dari para pemikir kristen lainnya, seperti Robert N.bellah yang sebelumnya telah terpengaruh dengan gagasan marxist.

Dengan mantapnya konsep sekularisme, seseorang manusia tidak mengakui lagi kebenaran islam yang mutlak. Mereka akan menolak semua konsep-konsep islam yang bersifat pasti (Qath’i) karena semua hal dianggap relatif. Makna kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku dalam masyarakat, dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Qur’an.

Bagi seseorang muslim, islam sebagai satu-satunya agama yang benar merupakan suatu keyakinan yang sudah final. Meskipun agama-agama samawi semuanya mentauhidkan Allah, namun dengan kedatangan Risalah Nabi Muhammad SAW, semua agama samawi dibatalkan pemberlakuannya, serta pemeluknya diwajibkan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Muhammad.

Jika memang semua agama itu sama, lantas mengapa dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa satu-satunya agama yang diterima Allah hanyalah islam (Q.S.2:19). Mengapa Nabi Muhammad diperintahkan memerangi orang-orang yang tidak mau memeluk islam, dan mengapa Allah memberi ancaman neraka kepada mereka yang tidak mau menganut islam?.

Dalam hadits yang bersumber dari Umar bin Khathab, suatu hari ketika Rasulullah sedang berkumpul dengan para sahabatnya, lalu  Jibril datang dan bertanya pada Rasulullah tentang islam, iman, dan ihsan. Rasullah menjawab tentang islam dengan  sabdanya yang berbunyi:

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتى الزكاة...(رواه مسلم)

Artinya: Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah, dan kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat…(H.R.Muslim).

Dalam hadits lain yang bersumber dai Ibnu Umar Rasulullah bersabda:

أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله...(رواه البخارى ومسلم)

Artinya: Saya diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah…(H.R.Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits pertama, secara tegas Rasulullah mengatakan bahwa baru dinamakan islam seseorang mesti mengucap dua kalimat syahadat. Ini tentu bukan islam dengan diikutkan kepada dua orang tua.

Dengan demikian, orang yang tidak mengucap dua syahadat seperti Yahudi dan Nasrani tidak termasuk muslim. Sedangkan hadits kedua menegaskan bahwa Rasullah diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau mengucap syahadat. Jika orang yang tidak mengucap syahadat dianggap benar oleh JIL, lalu mengapa mereka harus diperangi. Dua hadits ini sudah cukup tegas menjelaskan mengenai siapa muslim sesungguhnya, islam satunya-satunya agama yang benar, dan islam tidak sama dengan agama yang lain. Oleh karena itu pula, dengan sebab salah/batalnya gagasan dasar JIL tentang ini, maka semua masalah yang dikemukakan mereka dengan berpijak kepada dasar diatas secara otomatis juga salah/batal.

2.    Al-Qur’an Adalah Produk Budaya, Bukan Kitab Suci.
Menurut JIL, sejarah al-Qur’an hingga menjadi “kitab suci” dan “autentik” perlu dilacak kembali. Untuk tujuan itu, mereka menawarkan dekontruksi sebagai sebuah strategi terbaik. Karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber muslim tradisionil yang meyakini kesucian kitab al-Qur’an. Menurut mereka, Mushaf Usmani sebenarnya hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat. Mereka juga menyalahkan metodologi ulama dahulu yang mengontrol kebenaran wahyu dengan menggunakan analisis grammar dan yang berhubungan dengan bahasa.
Menurut para aktivis JIL al-Qur’an adalah teks, dan cara terbaik dalam menggali teks adalah pendekatan hermeneutika. Dengan pendekatan hermeneutika kita dapat mengetahui bukan makna literal saja dari al-Qur’an, tetapi juga semua makna al-Qur’an dari berbagai aspek.
Bila diperhatikan sekilas memang tawaran JIL disini termasuk tawaran yang dapat menebar pesona dalam konteks ilmiah. Karena bersifat kritis. Tetapi secara tanpa sadar, para Liberalis dalam hal ini telah mengadopsi pemikiran-pemikiran orientalis yang berupaya memahami al-qur’an dengan pendekatan konflik dan menganggap al-Qur’an itu bukan wahyu. Karena pendekatan hermeneutika merupakan metode yang digunakan oleh para intelektual barat dalam memahami bibel, dimana saat memahaminya seseorang harus berangkat dari keragu-raguan.
Agenda untuk meragukan keabsahan dan keotentikan al-Qur’an sebagai wahyu Allah memang telah lama digarap secara serius oleh kalangan orientalis dan missionaris kristen. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam buku karya Samuel M. Zwemmer yang berjudul Islam: A Challenge to Faith, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970. Ironisnya, upaya untuk meragukan al-Qur’an juga muncul dikalangan aktivis JIL, meskipun dengan cara yang lebih halus dari apa yang dilakukan oleh Zwemmer.  Artinya, dengan menerapkan pendekatan hermeneutika berarti seseorang tidak meyakini lagi kebenaran al-Qur’an.
Sebenarnya mengkaji Al-Quran sebagai teks dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru. Apalagi istilah hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran filosofis, dan ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya, ulama tafsir klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi konteks dari turun¬nya sesuatu ayat. yang dikhawatirkan dalam pendekatan hermeneutika terhadap al-Qur’an ialah sang penafsir akan menerapkan metode kajian bibel untuk al-Qur’an, dan memalingkan arti teks Al-Quran dengan dalih hermeneutika. Padahal terdapat perbedaan sangat kontras antara status teks Al-Quran yang selamanya orisinal sebagai wahyu Tuhan, dan teks bibel yang ditulis oleh orang-orang yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa.

Awalnya, para Teolog Yahudi dan Kristen mempertanyakan apakah bibel itu kalam Tuhan atau produk manusia?. Ini karena banyaknya versi bibel dengan pengarang yang berbeda, dan saling bertentangan. Ketika hermeneutika dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an, persoalannya menjadi lain. Sebab, setidaknya ada tiga persoalan besar ketika hermeneutika diterapkan pada teks al-Qur’an. Hal ini terjadi karena adanya spirit yang inheren dalam hermeneutika itu sendiri.

Tiga hal tersebut ialah: pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis. Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk manusia, dan mengabaikan sifat transedentalnya. Ketiga, hermeneutika sangat plural, karenannya kebenaran tafsir sangat relatif.

Dari uraian diatas, bila dilihat dari sejarah lahir dan metodenya, pendekatan hermeneutika sangat tidak tepat dibawa dalam memahami al-qur’an, karena kebenaran al-qur’an tidak boleh diragukan. Sisi inilah yang membedakan al-qur’an dan bibel, sebab bibel wajar saja diragukan keabsahannya karena kandungan isinya saling kontradiksi akibat ulah pendeta-pendeta nasrani yang merubah-rubah isinya yang dilatarbelakangi oleh sikap dengki terhadap kenabian Muhammad.

Dalam memahami al-Qur’an, kelompok JIL juga  mengajak ummat islam untuk meninggalkan kitab-kitab tafsir klasik. Bila diteliti, ajakan tersebut adalah pertanda kerancuan berpikir yang sangat jelas, karena komunikasi dengan pemikiran para mufasir klasik itu sangat diperlukan justeru antara lain untuk memahami konteksnya, dan memahami konteks masyarakat mereka. Dan pemahaman konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika.    Jadi, kalau kitab-kitab klasik tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan dengan anjuran penggunaan hermeneutika itu sendiri.

Dari berbagai kerancuan yang terdapat dalam gagasan JIL tentang metode memahami al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutika, dan meninggalkan tafsir-tafsir lama, menimbulkan berbagai pertanyaan, siapa sebenarnya mereka, dan apa motif dibalik gerakan mereka?. jangan-jangan kampanye aktivis JIL yang semakin berani dan terbuka ini merupakan pesanan orientalis dan missionaris. Karena sudah jelas metode yang mereka tawar diadopsi dari orientalis dan missionaris. Dan karenanya wajar saja ada fatwa tentang kemurtadan orang-orang JIL karena meragukan kebenaran al-Quran.

Selanjutnya bila dilihat dari ungkapan mereka yang saling bertentangan satu sama lainnya, maka tidak salah kalau sebagian orang mengklaim bahwa sebenarnya orang-orang JIL itu tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan. Atas dasar ini, sangatlah disayangkan sikap sebagian intelektual muslim sekarang ini yang membela dan memuji JIL sebagai kelompok pembaharu islam.

3.    Nabi Muhammad SAW Tokoh Historis Yang Perlu Dikritisi
Menurut tokoh-tokoh JIL, Nabi Muhammad adalah tokoh sejarah yang perlu dikaji secara kritis, sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya.  Komentar diatas merupakan salah satu bentuk penghinaan terhadap Rasulullah yang dilontarkan oleh JIL.

Bila ditelusuri lebih jauh, penghinaan terhadap Rasulullah sudah pernah terjadi semenjak masa Rasulullah sendiri ketika beliau membawa misi tauhid kepada orang-orang kafir. Saat itu penghinaan sering dilontarkan oleh kelompok Munafik dan Musyrik. Kemudian penghinaan terhadap Rasulullah terus dilakukan oleh para kafir sampai pada abad moderen ini, sampai-sampai dengan cara membuat karikatur dan dimuat dalam media massa. Jadi, sejak dulu sampai kini biasanya ejekan-ejekan terhadap Rasulullah selalu dilakukan oleh kafir.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu seorang orientalis kristen yang bernama Robert Morey menulis buku yang diberi judul Islamic Invasion. Dalam buku ini, sebagaimana dikutip Hartono Ahmad Jaiz, Robert menyerang dan menghina Rasulullah secara habis-habisan, sampai ia mengatakan dalam bukunya “kalau kita perhatikan kehidupan Muhammad, kita akan menemukan bahwa dia merupakan manusia biasa yang juga bergelimang dengan dosa seperti halnya dengan kita semua. Dia berbohong, menipu, dipenuhi nafsu birahi, mengingkari janji, membunuh, dan lain-lain”.

Yang aneh disini adalah orang kafir yang sudah jelas-jelas menghina Rasulullah SAW justeru didukung oleh tokoh yang mengaku muslim dan memimpin perguruan tinggi ialam saat itu. Azymardi Azra (salah seorang tokoh JIL) yang saat itu memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberi kata pengantar pada terjemahan buku tersebut yang dalam judul indonesianya “Islam Di Hujat”. Buku yang sekeji ini menghina Rasulullah, bahkan oleh diwajibkan oleh Azymardi Azra untuk dibaca  oleh semua ummat islam.

Ummat islam meyakini bahwa Rasulullah adalah seorang yang terpilahara dari dosa sekecil apapun dan dari kesalahan (ma’shum). Apa yang diucap dan dilakukan beliau semua bersumber dari wahyu, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an tepatnya dalam surat al-najm ayat 3-4. salah satu unsur iman adalah beriman kepada Rasul dan dengan ajaran yang dibawa Rasul. Rasul memang manusia, tetapi kepadanya diberikan sifat-sifat ketinggian dan mukjizat. Mukjizat itu berfungsi membenarkan kerasulannya. Maka orang yang tidak meyakini kebenaran Rasul dan ma’shum nya, maka orang ini dianggap belum beriaman dengan rasul. Tidak beriman dengan Rasul berarti belum memenuhi unsur keimanan. Orang yang tidak memenuhi unsur keimanan berarti masih berada diluar islam. Jadi bila dilihat dari sisi ini, maka orang yang meyakini seperti yang dilontarkan tokoh JIL berarti orang yang tidak beriman.

Dari uraian diatas semakin tampak bahwa JIL menyuarakan dalam islam apa saja yang telah disuarakan oleh kafir terhadap islam. Ini makin memperjelas siapa sebenarnya JIL, dan sepertinya mereka merupakan corong para orientalis untuk mengobok-obok islam dari dalam.

4. Menolak Syari’at Islam
Menurut kelompok JIL, sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Luthfi as-syaukani (dosen universitas Paramadina), bahwa syari’at islam itu sebenarnya tidak ada. Syariat islam hanya karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisme yang berlebihan terhadap islam. Semua hukum yang diterapkan oleh sebuah masyarakat pada dasarnya adalah hukum positif, termasuk yang diberlakukan oleh Nabi. Kalaupun sumber konstitusinya berasal dari al-Qur’an, hal ini karena Muhammad adalah seorang Rasul dan tidak memiliki sumber konstitusi yang lebih baik dari al-Qur’an saat itu.
Pada dasarnya penolakan terhadap syari’at islam merupakan isu yang diangkat oleh kalangan orientalis dengan dalih pelanggaran HAM. Hal ini pernah terangkat dalam satu diskusi antar agama yang diadakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat itu, Prof. Olaf Schumann dari Universitas hamburg Jerman yang sekaligus seorang pendeta gereja luteran menyatakan, bahwa penerapan syari’at islam dalam suatu negara islam merupakan ketidakadilan terhadap pemeluk agama lain, dan ini bertentangan dengan konsep pluralisme dan humanisme.

Selanjutnya penolakan terhadap syari’at islam sangat gencar dikampanyekan oleh para aktivis JIL. Menurut mereka, penerapan syariat oleh negara berarti melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi dan equality (kesamaan) di antara seluruh warga negara. JIL bersikeras memisahkan agama dari negara. Karena negara dalam pandangan mereka, harus netral dari pengaruh agama apa pun. Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat.
Apa yang mereka katakan ini sebenarnya hanya membuka kedok mereka yang sama sekali buta terhadap Islam. Mereka mengatasnamakan Islam (dengan embel-embel liberal) namun tidak tahu apa itu Islam dan bagaimana sejarah Islam. Karena apa yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak terbukti. Sebab, sebagai agama dan negara, Islam sangat menjunjung tinggi asas egaliter dan menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi. Islam tidak pernah pilih kasih dalam menegakkan keadilan dan menerapkan hukumnya. Semua warga negara sama di mata hukum, baik itu muslim ataupun non-muslim.

Menolak penerapan syariat Islam berarti sama saja dengan menganggap agama ini tidak lengkap dan sempurna. Selain itu, upaya memisahkan agama dari negara yang mereka usung sungguh berbahaya, karena ujung-ujungnya adalah ingin memisahkan agama dari kehidupan manusia. Inilah yang sejatinya merupakan proyek sekularisme. Alasan penolakan mereka hanya dibuat-buat, diputar-putar, dan apologis, agar terkesan ilmiah.

Dari uraian diatas, jelas bahwa ide penolakan syari’at islam merupakan warisan yang diambil JIL dari kalangan yang selalu dipujinya, yaitu orientalis barat. Sebab, dalam ummat islam, ketakutan pada Islam ini sejatinya tidak akan muncul kecuali dari mereka yang sudah terlanjur cinta pada peradaban Barat. Atau, bisa jadi mereka yang sudah diasuh dan lama menyusu kepada Barat. Apa yang dinilai oleh Barat baik, dia juga katakan baik, dan sebaliknya.

5. Penghalalan Yang haram, dan Pengharaman yang halal.
Menurut tokoh-tokoh JIL, semua masalah yang ada dalam islam tetap terbuka ruang untuk ijtihad ulang, meskipun masalah tersebut telah disepakati oleh semua ummat islam sejak zaman dahulu. Reijtihad menurut mereka tidak terbatas pada masalah-masalah hukum amali saja, tetapi juga berlaku pada masalah-masalah ketuhanan yang sudah berstatus qath’i.

Karena pijakan ini, para tokoh JIL tidak segan-segan untuk menetapkan kehalalan suatu kasus, sekalipun sudah disepakati ummat islam tentang keharamannya. Begitu juga mereka mengharamkan suatu kasus, kendatipun ummat islam meyepakati kehalalannya. Seperti poligami yang dihalalkan dalam islam, tetapi menurut JIL hukumnya adalah haram. Sementara perkawinan muslim dengan non muslim yang telah diharamkan, namun JIL menghalalkannya.

Tidak berhenti disitu, malah para tokoh JIL juga menghalalkan perkawinan sesama jenis (homosex/lesbian). Seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, Menurutnya, homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. Ia memuat tulisannya ini dalam Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) Islam 'recognizes homosexuality' (Islam mengakui homoseksualitas).  Saat berita itu dimuat,  semua tokoh-tokoh JIL memuji keberanian Musdah.

Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama. Saat itu semua tokoh-tokoh JIL memuji keberanian Musdah.

Bagi kaum Yahudi dan Kristen liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai “ortodoks”, “konservatif” dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual.

Bagi ummat islam secara umum, hukum tentang homosexual bukan lah suatu hukum yang samar-samar (khafi), tetapi sudah jelas keharamannya. Bahkan sebelum islam datang, karena praktik homosexual merupakan perbuatan yang dikutuk. Al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A'raf:80-84).
Karena sering mengemukakan gagasa-gagasan yang aneh dan menjadi corong orientalis, para tokoh-tokoh JIL sering mendapat penghargaan dari pihak-pihak dunia barat. pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan 'pembaruan hukum Islam' – termasuk – undang-undang perkawinan. Selanjutnya pada 27 Nopember 2009 lalu, ia kembali meraih anugerah International Prize of The Women of The Year 2009, di Italia, setelah menyisihkan 36 finalis dari 27 negara.

Dari beberapa contoh permasalahan yang digagas dan diperjuangkan JIL sebagaimana uraian diatas, terlihat jelas tidak satupun yang terlepas dari hubungannya dengan apa yang dikampanyekan oleh kalangan orientalis dan missionaris kristen. Isu semua agama sama, kebebasan beragama, al-Qur’an produk budaya, penghinaan terhadap Rasulullah, penolakan syari’at islam, sampai perkawinan sesama jenis, merupakan tema-tema yang sejak dulu diperjuangkan dengan gigih oleh kalangan orientalis dan missionaris kristen, dan secara terus-menerus ditanamkan dalam pemikiran generasi muda islam. Tujannya tak lain untuk menjauhkan generasi islam dari pemahaman agama yang sebenaranya.

Dari berbagai data yang berhasil dihimpun mengenai sepak terjang JIL, setelah dianalisis dapat di ajukan beberapa hasil temuan sebagai berikut: Pertama, kelompok JIL merupakan perpanjangan tangan orientalis dan missionaris kristen untuk merusak islam dari dalam, dan memecah belahkan ummat islam, sebab kalangan barat sangat takut jika ummat islam bersatu. Sejak berakhirnya perang salib, pihak Barat senantiasa menyimpan rasa takut pada agama yang satu ini.

Karena, dalam keyakinan mereka, Islam ini adalah agama yang menyimpan potensi dahsyat, mampu menggerakkan umatnya untuk melawan apa saja. Ini tidak pernah ada pada ajaran agama lain. Apalagi, kemajuan teknologi persenjataan modern tidak terlalu ampuh untuk menaklukkan umat Islam. Hal ini dipahami betul oleh kalangan Barat. Oleh karena itu, mereka benar-benar mewaspadai Islam, khususnya umat Islam yang tampak berpegang pada ajarannya.  Dengan adanya JIL, para orientalis dan missionaris tidak terlalu sibuk lagi mempengaruhi pemikiran generasi islam. Karena tugas ini sudak diemban oleh generasi sendiri.
Temuan ini didukung oleh realitas perkembangan JIL sendiri, karena dana yang dapatkan untuk tugas ini bersumber dari beberapa LSM barat. Salah satunya ialah Asian foundation, salah satu LSM Amerika yang bergerak dalam bidang demokrasi, sekularisasi, dan pluralisme agama.  Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL terus terang mengakui bahwa Setiap tahun mereka mendapatkan sekitar Rp 1,4 milyar dari Asian foundation. Belum lagi dana dari LSM lainnya seperti TAF, Ulil menyebutkan dana yang paling besar bersumber dari TAF, dengan tanpa menyebutkan angka pasti.

Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo yang merupakan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, secara lantang mengatakan bahwa: “yang dilakukan JIL saat ini adalah menjual islam demi memburu dolar”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa JIL adalah kelompok anak-anak muda yang menjual islam kepada orientalis demi kepentingan materi. Dan mereka merupakan corong orientalis untuk mengkampanyekan kehancuran islam.

Kedua, JIL merupakan kader-kader didikan barat, atau didikan dari mereka yang menjadi kader barat. Maka gagasan mereka tidak akan pernah terlepas dari paradigma barat dalam memandang islam. Ini terbukti dengan melihat kepada latar belakang pendidikan para tokoh-tokoh JIL. mulai dari Nucholis Madjid, Harun Nasution, sampai tokoh-tokoh muda sekarang semuanya orang-orang yang telah telah melalui proses cuci otak yang dilakukan Yahudi, Nasrani, dan orientalis yang menjadi guru mereka.

Barat sudah lama membaca mentalitas orang-orang Timur yang terkagum-kagum pada Barat. Belajar ke Barat melahirkan kebanggaan tersendiri dalam kejiwaan orang-orang Timur. Hal ini dimanfaatkan orientalis dengan berkedok ilmiah dan penelitian. Sehingga, dengan mudah mereka mendoktrin peneliti-peneliti muda yang belajar di universitas-universitas mereka dengan paham dan idiologi mereka. Mahasiswa yang tadinya masih memiliki keteguhan dan kebanggaan pada Islam digoyahkan keyakinannya, dibuat menjadi ragu, dan akhirnya menisbikan segala idiologi. Prinsip-prinsip yang mereka tanamkan biasanya berkedok penelitian dan kejujuran ilmiah.

Pengetahuan para tokoh JIL tentang Al-Qur’an, hadits, serta kitab-kitab klasik, dominannya pada kulit luar saja. Tetapi mau mengarungi samudera yang luas itu. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan. Maka, terjadilah seperti apa yang kita lihat sekarang ini, suara-suara bebas yang sudah tidak lagi mengenal rambu-rambu itu menyerang Islam. Inilah akibat dari mempelajari islam dari kafir.
Ketiga, JIL merupakan kelompok yang sangat minim pengetahuannya tentang seluk-beluk islam dan sumbernya, tetapi mereka berlagak seperti orang yang telah mencapi tingkat mujtahid. Ini terlihat dari kerangka berpikir metodologis yang mereka gunakan. Dalam mengemukakan berbagai gagasan kontroversialnya, JIL tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu.

Akibatnya antara ucapan mereka sebelumnya sering kontradiksi dengan apa yang mereka kemukakan sesudahnya. Dan mereka sering terlihat tidak mengerti terhadap apa yang mereka kemukakan. Sebagi contoh, JIL juga mengumandangkan kebebasan dengan slogannya yang rancu, “Menuju Islam yang Membebaskan.” Apa yang mereka maksud dengan kebebasan di sini dan membebaskan dari apa juga tidak jelas. Karena mereka hanya mau bebas sendiri dan tidak memberi kebebasan kepada kelompok lain. Mereka membebaskan orang Kristen menyebarkan agamanya dengan cara-cara yang licik, bahkan tidak jarang memaksakan agamanya kepada orang lain yang sudah beragama. Mereka sama sekali tidak pernah peduli dengan maraknya Kristenisasi di mana-mana yang sangat meresahkan umat Islam.

Sementara ketika ada sekelompok umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara kaffah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, justru mereka gerah. JIL merasa kepanasan terhadap orang Islam yang dianggap ‘bertingkah.’ Lalu, mereka pun tidak memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk mengekspresikan keislamannya, baik dalam sikap maupun pemikiran. Dan kemudian, JIL memvonis orang-orang Islam seperti ini sebagai fundamentalis, militan, radikal, garis keras, dan sebagainya. Oleh karena itu, fatwa murtad dan sesat-menyesatkan yang ditetapkan kepada tokoh-tokoh JIL, rasanya sangat pantas dan tidak berlebihan.


D. Prediksi Perkembangan Jaringan Islam Liberal

Saat ini, para tokoh JIL di Indonesia menjadi orang-orang yang memegang peranan penting hampir dalam semua aspek, mereka tersebar dalam beberapa instansi penting termasuk instansi pemerintahan. Namun yang dominan kegiatan mereka adalah dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan tingkat perguruan tinggi. Dalam ranah perguruan tinggi islam tercatat sejumlah nama-nama yang kini menduduki jabatan-jabatan tinggi, seperti Rektor, pembantu Rektor, dekan, dan dosen. Disamping itu, diantara mereka terdapat juga tokoh yang masih aktif dalam jabatan publik di departemen-departeman pemerintahan, politisi, lembaga survei, dan lain-lain.

Berangkat dari realitas ini, maka menimbulkan prediksi bahwa pemikiran-pemikiran kontroversial JIL akan terus mewarnai dinamika permasalahan ummat islam khususnya di indonesia. Sejarah membuktikan, sebelum Nurcholis Madjid dan Harun Nasution berhasil mempengaruhi institusi perguruan tinggi islam, maka di IAIN saat itu tidak terdapat pemikiran-pemikiran yang dapat merusak islam. Tetapi setelah kedua tokoh ini eksis dan mendapat sambutan, langsung saja cara pandang orientalis terhadap islam begitu menggejala dan menguat di IAIN Indonesia, yang saat itu khususnya IAIN Jakarta.

Keduanya saat ini memang sudah mati, tetapi pemikiran-pemikiran keduanya masih tetap hidup dan diyakini oleh sebagian para pendidik IAIN dan mahasiswanya. Sebagai bukti, pada 27 September 2004 di Fakultas Ushuluddin IAIN Bandung menyeruak sebuah kasus ajaib. Hari itu di adakan acara ta’aruf mahasiswa baru. Banyak mahasiswa terbelalak oleh aksi sebagian mahasiswa Bandung. Sejak mahasiswa baru memasuki ruangan Fakultas ini dan menaiki panggung, seorang mahasiswa yang menjadi pembawa acara untuk fakultas itu, memulai dengan perkataan “selamat bergabung di area bebas tuhan”.

Lain lagi dengan mahasiswa jurusan sosiologi agama yang menyambut yuniornya dengan ungkapan “kami tidak ingin punya tuhan yang takut pada akal manusia”. Tetapi ini tidak begitu menggelikan bila dibandingkan dengan sikap seorang mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat, yang sambil mengepalkan tangannya ia berteriak, “kita berzikir bersama anjing hu akbar”.  Realitas lainnya, saat ini tidak hanya di UIN dan IAIN pulau jawa saja terdapat pemikiran liberal, tetapi virus liberal juga sudah merambah ke seluruh IAIN di Indonesia, tidak terkecuali IAIN Ar-Raniri Banda Aceh.

Berangkat dari sejarah dan realita diatas, sekali lagi dapatlah diprediksi bahwa pemikiran liberal akan semakin tumbuh khususnya di perguruan tinggi islam bila institusi ini semakin berkiblat kepada pendidikan barat. Oleh karena itu, para ulama, cendikiawan, pejabat, serta tokoh masyarakat perlu mengambil langkah-langkah tertentu untuk menghadapi tantangan besar ini. Karena masalah ini menyangkut dengan hal-hal yang sangat menyentuh dasar-dasar agama.



BAB III
KESIMPULAN

Dari berbagai uraian diatas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
  1. Agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat. Dan mereka sebenarnya merupakan agen-agen yahudi dan Nasrani untuk merusak islam dari dalam demi memburu materi.
  2. JIL telah mengaburkan konsep Tauhid melalui upaya liberalisasi dalam bidang akidah, liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Qur’an, dan liberalisasi dalam bidang syari’at dan akhlak.
  3. Kelemahan-kelemahan pokok pemikiran JIL karena tidak punya landasan/dalil yang benar, tidak punya paradigma ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan, tidak mengakui realita yang tampak nyata, tidak mengakui sejarah yang valid, dan tidak punya rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan.
  4. JIL kelompok berbahaya bagi kelangsungan islam, kebanyakan mereka merupakan intelektual murtad karena tidak percaya kepada al-Qur’an, menghina Rasulullah, dan menghalalkan yang telah diharamkan secara ijma’.
 

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Cet I, Jakarta: Gema Insani, 2002

Adian Husaini, Hegemoni kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, cet I, Jakarta: Gema Insani Press, 2006

Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, Cet I, Jakarta: Gema Insani Press, 2003

Ahmad ibn syeikh Hijazi, al-Majalis al-Saniyah fi Kalam ‘ala al-Arba’in al-Nawawiyah, Semarang: Usaha Keluarga, 1994

Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook, Judul Indonesia: Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (Terjm: Bahrul Ulum dkk), Jakarta: Paramadina, 2001

Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002

Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Cet I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005

Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Cet I, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2004

Herry Nurdi, Belajar Islam dari Yahudi, Cet I, Jakarta: Cakrawala Publising, 2006

http://antijil.multiply.com/journal/item/2/JIL_Menjual_Islam_Demi_Dolar

http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/

http://embassyofindonesia.it/prof-siti-musdah-mulia-raih-penghargaan-woman-of-the-year-dari-italia/

http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg00357.html

http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/1722/prof-uin-jakarta-halalkan-homoseksual

http://www.asiafoundation.org/program/

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, Cet I, Jogyakarta: UII Press, 2004

M. Atho Mudzhar, Makalah; Gerakan Islam Liberal di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Internasional Tajdid Pemikiran Islam, dengan  tema: “Menyatukan Khazanah Pemikiran Umat Islam di Era Globalisai dan Liberalisasi,” yang diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Dakwah Islam Malaysia-Indonesia (YADMI), dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tanggal 21 Oktober 2009.



Sumber: al-aziziyah.com

Mengenal Jaringan Islam Liberal

“Pada akhir zaman, akan muncul sekelompok anak muda usia yang bodoh akalnya.
Mereka berkata menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar dari Islam, bagai keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tak melewati tenggorokan. Di mana pun kalian jumpai mereka, bunuhlah mereka. Orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala di hari kiamat.”


KUTIPAN bernada provokatif di atas terpampang sebagai moto sebuah buku mungil yang judulnya menyiratkan peringatan keras: Bahaya Islam Liberal. Buku saku setebal 100 halaman itu ditulis Hartono Ahmad Jaiz, 50 tahun, seorang mantan wartawan. Meski kecil, buku tersebut bisa berdampak besar karena mengandung pesan “penghilangan nyawa”.

Moto itu bukan sembarang untaian kata. Melainkan terjemahan hadis Nabi Muhammad SAW, yang tersimpan dalam kitab Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari. Mayoritas kaum muslim menilai hadis hasil seleksi Bukhari memiliki kadar kesahihan amat tinggi. Jadi, perintah membunuh dalam hadis itu bisa dipahami sebagai kewajiban syar’i (bemuatan agama) yang bernilai ibadah.

Buku itu terbit Januari 2002, bersamaan dengan maraknya pemberitaan tentang komunitas anak muda yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL). Penempatan hadis riwayat Ali bin Abi Thalib tersebut sebagai moto buku mengundang pertanyaan: apakah Islam liberal yang dikupas buku itu, dengan demikian, sudah masuk kriteria kelompok yang dimaksud isi hadis, sehingga wajib dibunuh?

Sang penulis tak menjawab ya atau tidak. “Itu harus diputuskan lewat mekanisme hukum,” ujar Hartono. Hadis tersebut, kata alumnus IAIN Yogyakarta ini, bersifat umum. Karena itu, Hartono menyadari, penerapannya bisa menimbulkan fitnah dan perselisihan. Maka perlu pelibatan aparat hukum untuk meredam sengketa. Sesuai dengan kaidah fikih: hukm al-hakim yarfa’u al-khilaf (putusan pihak berwenang berfungsi menyudahi polemik).

Pada akhir buku, Hartono menyerukan pengadilan atas Islam Liberal yang ia nilai “jauh dari kebenaran”. Namun, secara tersirat, ia tetap menyarankan sanksi bunuh, ketika menutup buku dengan menampilkan kisah Umar bin Khattab yang membunuh orang yang menolak berhukum dengan syariat Islam. Di antara dosa JIL, di mata Hartono, juga menolak syariat Islam.

Ibn Hajar al-Asqalani, dalam bukunya, Fathul Bari –sebuah elaborasi (syarah) atas Shahih Bukhari– menjelaskan, hadis tersebut diwartakan Ali ketika hendak menumpas pembangkangan kaum Khawarij (Haruriyah). Yakni kelompok yang sangat literal memahami Al-Quran dan menilai Ali telah kafir.
Khawarij dikenal mudah mengafirkan sesama muslim, dan tak segan membunuh muslim yang mereka vonis kafir. Komunitas jenis inilah yang dimaksud hadis tersebut saat itu. Pada awal 2002, Hartono memakai hadis itu untuk buku tentang komunitas liberal, bukan kelompok literal sejenis Khawarij.

Dengan demikian, berita gempar fatwa mati yang pernah menimpa JIL pada akhir 2002 telah mendapat pengantar “akademik” dari buku Hartono, 11 bulan sebelumnya. Bila di awal 2002 Hartono mewacanakan eksekusi bunuh terhadap Islam liberal, menjelang akhir tahun, lontaran itu mengkristal dalam bentuk “fatwa mati”.

Sejumlah agamawan yang tergabung dalam Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), pada 30 November 2002, berkumpul di Masjid Al-Fajar, Bandung, dan mengeluarkan pernyataan berisi fatwa itu. Pernyataan FUUI berbunyi, “Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah, umat Islam, dan para ulama.”

Mereka terpicu tulisan provokatif Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL, di Kompas, 18 November 2002, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” , yang dirujuk sebagai contoh penghinaan agama. FUUI menyatakan, “Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati.”

Menurut Ketua FUUI, KH Athian Ali, fatwanya tak hanya untuk Ulil. “Terlalu kecil jika kami hanya menyorot Ulil. Kami ingin membongkar motif di balik Jaringan Islam Liberal yang dia pimpin,” kata Athian. Sepanjang 2002, karena itu, menjadi tahun seruan kematian atas JIL.

Fatwa itu menyulut kontroversi luas. Sikap FUUI menuai banyak kecaman. Inti kecaman itu: berbeda pendapat boleh, tapi jangan menebar maut. Cukuplah sejarah memberi pelajaran pahit: dari Al-Hallaj (Baghdad), Siti Jenar (Demak), Hamzah Fansuri (Aceh), Farag Faudah (Mesir), sampai Mahmoud Taha (Sudan) yang kehilangan nyawa karena pikiran berbeda.

Akhirnya FUUI mengklarifikasi: mereka tak mengeluarkan “fatwa mati”. “Kami hanya menuntut proses hukum,” kata Athian. Ia membuktikan ucapannya dengan mengadukan Ulil ke Mabes Polri, sepekan kemudian. FUUI memang tak menyebut kata “fatwa mati”, tapi Athian menyatakan, dasar hukum sikapnya terhadap JIL sama dengan sikap kepada Pendeta Suradi. Pada Februari 2001, FUUI terang-terangan memakai kata “fatwa mati” untuk Suradi.

Komunitas macam apa sebenarnya JIL ini? Mengapa sampai ada kelompok lain yang menyerukan kematiannya? Setarakah “bahaya Islam Liberal” dengan jargon “bahaya narkoba” atau “bahaya laten komunis” yang pelakunya juga kerap diganjar hukuman mati? GATRA pernah dua kali menggali tuntas komunitas ini: Laporan Khusus Islam “Liberal Hadang Fundamentalisme” (8 Desember 2001) dan Laporan Utama “Fatwa Mati Islam Liberal” (21 Desember 2002). Anggapan dan ancaman terhadap JIL itu agaknya berlebihan.

Kemunculan JIL berawal dari kongko-kongko antara Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001. Tempat ini kemudian menjadi markas JIL. Para pemikir muda lain, seperti Lutfi Asyyaukani, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, dan Saiful Mujani, menyusul bergabung. Dalam perkembangannya, Ulil disepakati sebagai koordinator.

Gelora JIL banyak diprakarsai anak muda, usia 20-35-an tahun. Mereka umumnya para mahasiswa, kolomnis, peneliti, atau jurnalis. Tujuan utamanya: menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya. “Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik,” tulis situs islamlib.com. Lebih jauh tentang gagasan JIL lihat: Manifesto Jaringan Islam Liberal.

JIL mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai “juru kampanye” Islam liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di antara kontributor mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).

Jaringan ini menyediakan pentas –berupa koran, radio, buku, booklet, dan website– bagi kontributor untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Kegiatan pertamanya: diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal.

Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributornya, lewat radio 68H dan 15 radio jaringannya. Tema kajiannya berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.

Dalam situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia. Seperti munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan istilah “jihad” sebagai dalil kekerasan.
JIL tak hanya terang-terangan menetapkan musuh pemikirannya, juga lugas mengungkapkan ide-ide “gila”-nya. Gaya kampanyenya menggebrak, menyalak-nyalak, dan provokatif. Akumulasi gaya ini memuncak pada artikel kontroversial Ulil di Kompas yang dituding FUUI telah menghina lima pihak sekaligus: Allah, Nabi Muhammad, Islam, ulama, dan umat Islam. “Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif,” kata Ulil.

Dengan gaya demikian, reaksi bermunculan. Tahun 2002 bisa dicatat sebagai tahun paling polemis dalam perjalanan JIL. Spektrumnya beragam: mulai reaksi ancaman mati, somasi, teguran, sampai kritik berbentuk buku. Teguran, misalnya, datang dari rekomendasi (taushiyah) Konferensi Wilayah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, 11-13 Oktober 2002.

Bunyinya: “Kepada PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan kepada warga NU mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam Liberal dalam masyarakat. Apabila pemikiran Islam Liberal dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi, baik berupa teguran keras maupun sanksi organisasi (sekalipun dianulir dari kepengurusan).”

Somasi dilancarkan Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia, Fauzan al-Anshari, kepada RCTI dan SCTV, pada 4 Agustus 2002, karena menayangkan iklan “Islam Warna-warni” dari JIL. Iklan itu pun dibatalkan. Kubu Utan Kayu membalas dengan mengadukan Fauzan ke polisi.

Sementara kritik metodologi datang, salah satunya, dari Haidar Bagir, Direktur Mizan, Bandung. Ia menulis kolom di Republika, 20 Maret 2002: “Islam Liberal Butuh Metodologi”. JIL dikatakan tak punya metodologi. Istilah ”liberal”, Haidar menulis, cenderung menjadi ”keranjang yang ke dalamnya apa saja bisa masuk”. Tanpa metodologi yang jelas akan menguatkan kesan, Islam liberal adalah ”konspirasi manipulatif untuk menggerus Islam justru dengan meng-abuse sebutan Islam itu sendiri”.

Reaksi berbentuk buku, selain karya Hartono tadi, ada pula buku Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta, Juni 2002). Ada tiga agenda JIL yang disorot: pengembangan teologi inklusif-pluralis dinilai menyamakan semua agama dan mendangkalkan akidah; isu penolakan syariat Islam dipandang bagian penghancuran global; upaya penghancuran Islam fundamentalis dituding bagian proyek Amerika atas usulan zionis Israel.

Buku lain, karya Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (Jakarta, Agustus 2003). Isinya, kumpulan perdebatan Adnin dengan para aktivis JIL di milis Islam liberal. Energi personel JIL akhirnya memang tersedot untuk meladeni berbagai reaksi sepanjang 2002 itu. Mulai berbentuk adu pernyataan, debat ilmiah, sampai balasan mengadukan Fauzan ke polisi. Tapi, semuanya justru melejitkan popularitas kelompok baru ini.

Menjelang akhir 2003 ini, hiruk-pikuk kontroversi JIL cenderung mereda. Nasib aduan FUUI dan aduan JIL terhadap Fauzan ke Mabes Polri menguap begitu saja. Dalam suasana lebih tenang, JIL mulai menempuh fase baru yang lebih konstruktif, tak lagi meledak-ledak.

“Tahap awal yang menggebrak, kami kira sudah cukup. Kini kami konsentrasi mengembangkan jaringan antarkampus,” kata Nong Darol Mahmada, Wakil Koordinator JIL. Misinya, membendung laju skripturalisme Islam sejenis Hizbut Tahrir yang merasuki kampus-kampus umum. Ada 10 kampus di Jawa yang dimasuki jaringan. Agustus lalu, JIL mengelar SWOT untuk mengevaluasi kinerja dan merumuskan agenda ke depan.

Ramadan ini, JIL mengisi waktu dengan mengkaji kitab-kitab ushul fiqh klasik ala pesantren. Seperti Ar-Risalah karya Imam Syafi’i, Al-Muwafaqat karya Al-Syatibi, tulisan lepas Najmuddin Al-Thufi dan Jam’ul Jawami’ karya Al-Subkhi. Acara bertajuk “Gelar Tadarus Ramadan: Kembali ke Islam Klasik” ini berlangsung di Gedung Teater Utan Kayu. Usai diskusi, acara dilanjutkan dengan tarawih bersama.
Di atas segalanya, aksi-reaksi yang mengiringi perjalanan JIL telah menguakkan kenyataan bahwa JIL mempunyai “konstituen” tersendiri yang justru mendapat pencerahan spiritual dari Islam ala JIL ini.

Misalnya, saat berlangsung talk show radio bersama Prof. Hasanuddin A.F. tentang pidana mati dalam Islam, Desember 2002. Seorang penanya bernama Henri Tan mengeluh akan keluar lagi dari Islam, bila Ulil diancam-ancam fatwa mati. “Islam model Ulil ini yang membuat saya tertarik masuk Islam. Kalau model ini mau dimatikan, lebih baik saya keluar lagi dari Islam,” katanya.

Fakta serupa muncul dalam bedah buku Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal di Universitas Negeri Jakarta, Juni 2003. Seorang peserta, sebut saja Djohan, menyesalkan fatwa mati atas Ulil. “Saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam justru karena keislaman model Mas Ulil. Dia bukan pendangkal akidah, malah menguatkan akidah saya,” kata Djohan. Tuduhan bahwa JIL mendangkalkan akidah, dengan fakta ini, perlu diuji kembali.
Ketika digelar jumpa pers JIL menanggapi fatwa FUUI, di Utan Kayu, Jakarta, Desember 2002, ada seorang penanggap yang mengaku berislam secara “minimal”, alias abangan. Tadinya ia merasa terasingkan dari wadah mayoritas umat Islam, tapi kehadiran JIL seolah merangkulnya, dan mengakuinya sebagai muslim. Ia pun terdorong meningkatkan kualitas keislamannya.

Lepas dari beragam kontroversinya, bagaimanapun, ada segmen masyarakat tertentu yang membutuhkan Islam model JIL dalam merawat spiritualitas mereka. Tentu mereka bukan hanya kalangan mualaf dan abangan, juga para akademisi, peneliti, aktivis, dan mahasiswa yang berpikir kritis, pluralis, dan menjunjung kebebasan. Maka, biarkan JIL melayani konstituennya. (GTR).

Akar Islam Liberal

“Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu ‘Islam liberal’.” ( Asaf ‘Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981] ). 

PERKENALAN istilah “Islam liberal” di Tanah Air terbantu oleh peredaran buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahan buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. Versi Indonesia buku Binder dicetak Pustaka Pelajar Yogyakarta, November 2001.

Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan disertasi Greg Barton di Universitas Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. Namun, dari ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar, membuat peta, dan menyusun alat ukur Islam liberal. Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang lain.

Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf ‘Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah “Islam liberal” dan “Islam Protestan” untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa depan, bukan masa silam.

“Liberal” dalam istilah itu, menurut Luthfi Assyaukanie, ideolog JIL, harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, “Islam liberal” bukan hal baru. “Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai,” tulis Luthfi.

Periode liberasi itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan “liberal age” (1798-1939). “Liberal” di sana bermakna ganda. Satu sisi berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang saat itu menguasai hampir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.

Luthfi menunjuk Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai figur penting gerakan libaral pada awal abad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).

Ada dua kelompok yang dikategorikan “musuh” utama Islam liberal. Pertama, konservatisme yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam pertama kali muncul. Kedua, fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.

Bila Luthfi mengembalikan semangat liberal pada abad ke-19, aktivis JIL yang lain, Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Rujukannya Umar bin Khattab. Dialah figur yang kerap melakukan terobosan ijtihad. Umar beberapa kali meninggalkan makna tekstual Al-Quran demi kemaslahatan substansial. Munawir Sjadzali juga kerap merujukkan pikirannya kepada Umar ketika memperjuangkan kesetaraan hak waris anak laki-laki dan perempuan.

Umar menjadi inspirator berkembangnya mazhab rasional dalam bidang fikih yang dkenal sebagai madrasatu ra’yi. Dengan demikian, Sahal menyimpulkan, Islam liberal memiliki genealogi yang kukuh dalam Islam. Akhirnya, Islam liberal adalah juga anak kandung yang sah dari Islam.

Manifesto Jaringan Islam Liberal

NAMA “Islam liberal” menggambarkan prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Kami percaya, Islam selalu dilekati kata sifat, sebab kenyataannya Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir –dengan demikian juga memilih satu kata sifat– yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam liberal, kami membentuk “Jaringan Islam Liberal”. Landasan penafsiran kami adalah:

1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Kami percaya, ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).

2. Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks.

Ijtihad yang kami kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian peradaban kemanusiaan universal.

3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Kami mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.

4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Kami berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi.

5. Meyakini kebebasan beragama.
Kami yakin, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.

6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. (GTR)

[sumber: hasil SWOT JIL di Ancol, Jakarta, Agustus 2003/swaramuslim]

Sumber: www.fuui.wordpress.com

Lisan Terjaga Kebatilan Sirna

Lisan Terjaga Kebatilan Sirna


Lidahmu adalah harimaumu, begitu kata pepatah. Ini mengandung makna betapa besar dampak dari setiap ucapan yang terlontar. Tak sedikit orang yang terjerumus ke jurang masalah karena mengatakan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Dalam kaitan ini, agama Islam telah memberikan rambu-rambu.

Pada dasarnya, ucapan maupun perkataan merupakan cerminan jiwa. Maka itu, Nabi Muhammad SAW berpesan pilihlah kata-kata yang baik. Dalam hal ini, beliau merupakan teladan terbaik. Setiap saat, Rasulullah senantiasa menggunakan kata yang baik dan halus untuk umatnya.

Sebaliknya, beliau menjauhkan kata-kata yang jelek, kasar, dan keji. Bahkan, Rasulullah sangat membenci jika ada kalimat yang digunakan tidak pada tempatnya yang sesuai. Misalnya, ada kalimat yang baik dan bermakna mulia namun diucapkan kepada orang atau sesuatu yang sebenarnya tidak berhak menyandang kalimat itu.

Juga sebaliknya, jika ada kalimat jelek dan berarti hina, diarahkan untuk orang atau sesuatu yang mulia. "Janganlah kalian memanggil orang munafik dengan panggilan tuan karena jika dia memang seorang tuan, maka dengan panggilan itu kalian telah membuat Tuhan kalian murka." Demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Selain itu, umat diminta menjaga ucapan yang mengandung syirik. Seperti ucapan, "Aku meminta pertolongan kepada Allah dan kepadamu." Sesuai tuntutan Rasulullah, mereka yang mengucapkan kalimat-kalimat semacam itu berarti telah menyekutukan atau sepadan bagi Allah SWT.

Dalam buku Berakhlak dan Beradab Mulia, Contoh-contoh dari Rasulullah,  Saleh Ahmad asy-Syaami menambahkan, kalimat bernada mencela juga sebaiknya dihindari. Peringatan itu juga disampaikan oleh Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Muttafaaq'alaih.

Rasulullah mengatakan, "Allah SWT berfirman, 'Anak keturunan Adam menyakiti-Ku, karena mereka mencela masa, padahal Aku adalah Zat yang menciptakan dan menguasai masa. Aku yang mempergantikan malam dan siang.'' Asy-Syaami menyatakan, perkataan yang mencela melahirkan kesalahan besar.

Menurut dia, celaan yang diucapkan itu sebenarnya akan mengenai diri mereka sendiri. "Mereka telah berkata hal-hal yang tak patut," paparnya.

Asy-Syaami melanjutkan, ucapan-ucapan yang tak baik sama sekali tidak mendatangkan manfaat apa pun. Justru sebaliknya, menjerumuskan seseorang ke jalan kebatilan. Tak hanya itu, ucapan yang buruk itu juga mendatangkan perpecahan dan pertikaian antarsesama.

Termasuk yang perlu dijauhi adalah berkata bohong. Islam tidak memberikan keringanan bagi umatnya yang berbohong. Ibn Qayyim dalam kitab al-Fawa'id mengingatkan umat agar berhati-hati terhadap kebohongan. Sebab, kebohongan akan merusak cara pandang umat terhadap fakta yang sebenarnya.

Menurut pandangan Mahmud al-Mishri melalui bukunya Ensiklopedia Akhlak Muhammad, seorang pembohong akan menyifati sesuatu yang nyata dengan sesuatu yang abstrak dan menyifati yang abstrak dengan yang nyata. Selain itu, mereka menyifati kebenaran dengan kebatilan demikian pula sebaliknya.

Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim mengatakan, kebohongan akan menggiring pelakunya pada kejahatan dan kejahatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Mari kita jauhkan diri kita dari api neraka dengan menjaga lidah kita.

Oleh: Yusuf Assidiq


Sumber: www.republika.co.id

Pemimpin Bijaksana

Pemimpin Bijaksana


Suatu saat ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat selesai melaksanakan shalat berjamaah, Umar bin Khattab salah satu sahabat dekat Rasul yang berada di shaf depan merasa terganggu pikirannya. Setiap gerakan Rasulullah SAW di depan para sahabat terasa berat dan sukar. Terdengar bebunyian yang demikian mencolok seolah persendian beliau saling bergesekan satu sama lain. Shalat kali ini terasa lebih lama dari biasanya.
 
Usai shalat, Umar RA yang begitu khawatir dengan kondisi Rasulullah mendatangi beliau. Dengan hati-hati Umar duduk di sisi beliau yang serta-merta beliau sambut dengan senyuman. "Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah engkau sedang menanggung penderitaan yang sangat berat, sakitkah engkau, ya Rasul?" tanya Umar. Rasulullah SAW tersenyum sambil menggeleng, "Tidak wahai Umar, Alhamdulilah aku sehat."

"Mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuhmu, kami mendengar seolah-olah sendi tubuhmu saling bergesekan?" Umar memperlihatkan ekspresi wajah prihatin, penuh kasih saying, dan khawatir. "Kami yakin engkau sedang sakit wahai Rasul." Meskipun kondisinya agak lemah dan agak pucat, Rasulullah SAW tetap tersenyum. Sepertinya berupaya menjadi pelipur lara dari sesuatu yang tidak beliau katakan meskipun kepada Umar sahabat dekatnya.

Karena jawaban "tidak" atau "aku baik-baik saja" beliau rasakan sudah tidak mencukupi lagi, Rasulullah SAW mengangkat jubahnya hingga bagian perut beliau terlihat nyata. Seketika Umar dan sahabat terpana. Tampak perut beliau begitu kempis, perut itu dililit oleh kain yang membuntal berisi kerikil-kerikil. Kerikil-kerikil yang menimbulkan suara berisik ketika mengimami shalat. Kerikil-kerikil yang memancing keingintahuan Umar dan menyangka beliau sedang dalam kondisi sakit serius.

"Ya Rasul," suara Umar bergetar oleh rasa iba dan penyesalan, "Apakah jika engkau mengatakan sedang lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan menyediakan dan menyiapkannya untuk engkau?"

Beliau menutup kembali perutnya dengan helai jubahnya yang menjuntai seraya menatap Umar dengan tatapan penuh pancaran cinta yang utuh. "Tidak, ya Umar. Aku tahu, apa pun akan kalian korbankan demi aku, akan tetapi apa yang akan aku katakan di hadapan Allah nanti jika sebagai pemimpin aku menjadi beban bagi umatku?"

Beliau mengedarkan pandangan kepada para sahabatnya yang lain seraya berkata, "Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah untukku agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia, terlebih di akhirat." Subhanallah, siapa pun yang mendengar kalimat beliau seketika terdiam, ada yang berdenyar merambat ke bola mata mereka, beberapa terisak haru. Umar maklum bahwa dia tidak akan sanggup melangkah lebih jauh, memaksa beliau untuk mengikuti keinginannya.

Mahasuci Allah yang telah mengutus seorang pemimpin yang begitu mulia akhlak dan perkataannya. Alangkah rindunya kita kepada pemimpin sebijaksana beliau yang tidak mau membebani umatnya. Kelak pemimpin seperti inilah yang akan dinaungi oleh naungan Allah pada saat tidak ada naungan selain dari-Nya.

Oleh: Toha MT


Sumber: www.republika.co.id

Hikmah: Kasih Rasul





Masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang beringas, barbar, dan bersikap keras. Kebanggaan mereka  adalah ketika mampu menyelesaikan segala permasalahan dengan kekerasan dan peperangan. Mereka merendahkan klan yang kalah, lemah, dan sering kalah dalam peperangan. Kuda, pedang, dan anak laki-laki yang kuat merupakan simbol yang dibanggakan masyarakat jahiliah di zaman Rasulullah SAW.

Dalam kondisi seperti itulah Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk mengubah fenomena kekerasan dengan kasih, mengubah kebencian dengan sayang, dan peperangan dengan perdamaian. Rasul menegaskan, "Allah SWT hanya memberikan kasih sayangnya kepada hamba-hambanya yang penuh kasih." (HR ath-Thabrani).

Merupakan kesalahan jika Islam dipersepsikan sebagai agama keras atau mengajarkan kekerasan. Begitu juga tindakan-tindakan sebagian pemeluknya yang dapat mencoreng wajah santun dan lemah lembut Islam. Dalam kitab Mizanul Hikmah Imam al-Baqir pernah berkata, "Agama (Islam) ini tidak lain adalah cinta."

Al-Aqra` ibn Habis at-Tamimin suatu hari melihat Rasulullah SAW mencium kedua cucunya, Hasan dan Husain. Dia heran kemudian berkata kepada Rasulullah, "Aku adalah orang yang punya sepuluh anak, namun aku tidak pernah mencium satu pun di antara mereka." Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Sesungguhnya orang yang tidak punya kasih sayang tidak akan dirahmati (Allah SWT)." (HR Ahmad dan lain-lain).

Al-Aqra` melihat bahwa kelembutan dan kasih sayang hanya tumbuh dari sifat tak berdaya dan kehinaan. Padahal, kekuatan dan kebesaran yang sesungguhnya adalah jika sesorang mampu menampilkan kelembutan dan kasih sayang. Kelembutan dan kasih sayang itulah justru yang mampu menjadi metode ampuh dalam berdakwah dan menyelesaikan permasalahan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Kelembutan yang ada dalam segala sesuatu akan menyeimbangkannya, dan kekerasan dalam segala sesuatu akan memperburuknya." (HR Muslim dan lain-lain).

Rasulallah SAW mampu mengganti fenomena kekerasan dan keberingasan masyarakat jahiliah zaman itu dengan kasih dan kelembutan yang diberikan oleh Allah SWT kepada beliau. Dengan kelembutan itulah dakwah beliau berhasil. Firman Allah SWT: "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [QS Ali Imran (03): 159]

Bangsa kita seharusnya mampu menjadi bangsa yang santun, punya kepedulian dan rasa kasih sayang kepada semua orang yang membutuhkannya, termasuk orang-orang yang membutuhkan bimbingan keagamaan karena akidahnya yang sesat. Berdakwah kepada mereka seharusnya dilakukan dengan santun dan penuh kebijaksanaan (bil hikmah) lalu didukung perkataan baik (mauidhah hasanah) atau dengan dialog (mujadalah). Wallahu a`lam.

Oleh Nur Faizin
 
Sumber: www.republika.co.id
 

Hikmah: Keteladanan Rasulullah


 

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Rasulullah SAW memang suri teladan yang baik. Dan, indikator keteladanan beliau itu berbuat sebelum berucap (bersabda).

Sebagai contoh, beliau bersabda:  
"Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya (nasab), kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah yang karena agamanya, niscaya akan beruntunglah kamu di dunia akhirat." (HR Bukhari, dari Abu Hurairah).

Jauh sebelum mengatakan hadis tunkahu al-Mar'ah tersebut, lalu menekankan pada agama, beliau sudah mengamalkan hadis itu terlebih dahulu. Misalnya, pernikahan beliau dengan Khadijah yang didasari hanya pada akhlak. Khadijah tertarik pada sosok Rasulullah yang mulia itu. Khadijah mendengar perangai pemuda Muhammad yang al-Amin itu dari Maisaroh, pembantunya yang diutus berdagang ke Syam bersama Muhammad. Kejujuran dan akhlak Muhammad yang akhirnya memantapkan hati Khadijah.

Muhammad pun menerima Khadijah bukan karena hartanya (limaaliha). Tapi, semata-mata karena pertimbangan akhlak. Ketinggian akhlak Khadijah ini terbukti selama dia menjadi istri Rasulullah. Meskipun dari sisi finansial Khadijah lebih tinggi kedudukannya dari Rasulullah, keponakan Waraqah bin Naufal itu tetap menjadi istri secara utuh, yakni menghormati dan memuliakan Muhammad sebagai suaminya.

Maka itu, dikatakan oleh siroh nabawiyah, pernikahan Rasulullah dan Khadijah adalah pernikahan yang paling indah dalam sejarah umat manusia. Sebab, pernikahan keduanya didasari pada akhlak (agama). Bukan kekayaan, kecantikan, maupun keturunan.

Pantaslah apabila beliau bersabda sebagaimana hadis di atas. Rasul SAW mengatakan hal itu yaitu menekankan agama atau akhlak sebagai dasar cinta dan pernikahan karena beliau sudah melakukan atau berbuat seperti yang beliau katakan. Beliau sudah membuktikan kata-katanya itu terlebih dahulu.

Inilah kunci utama dari keteladanan (uswah) Rasulullah SAW, yaitu memberi contoh (berbuat) sebelum menyuruh (mengatakan). Dan, ini pulalah 'hakikat keteladanan' yang harus melekat pada diri setiap umatnya.

Sebagai kepala keluarga, misalnya, kita harus berbuat dulu sebelum menyuruh anggota keluarga kita agar mereka mau menjalankannya. Sang ayah harus memberi contoh untuk tidak menonton sinetron terlebih dahulu, umpamanya, sebelum menyuruh anaknya. Insya Allah, sang anak akan meniru tidak menonton sinetron yang telah dicontohkan ayahnya.

Pemimpin negara demikian pula. Seorang presiden harus memberi contoh hidup sederhana terlebih dahulu sebelum menyerukannya kepada seluruh rakyat.

Marilah kita masing-masing mengaktualisasikan 'batasan keteladanan' ini, agar kita benar-benar menjadi 'teladan sejati' seperti halnya Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam.

Oleh: Achmad Sjamsudin


www.republika.co.id

Hikmah: Karakter Umat

Hikmah: Karakter Umat

Jemaah berdoa bersama dalam pengajian majelis taklim di Masjid Attin, 
TMII, Jakarta, Jumat (31/12)


Mengkaji Alquran ayat terakhir dari surah al-Fath [48] yaitu ayat ke-29, akan memberikan pemahaman kepada kita tentang dua hal penting, yaitu siapa sebenarnya Muhammad SAW, dan apa karakteristik umat Muhammad SAW. Siapakah Muhammad itu? Muhammad itu adalah utusan Allah (Muhammadurrasulullah). Jawaban Allah ini juga terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 40, Muhammad adalah utusan Allah dan penutup para Nabi (rasuulallah wa khaatama an-nabiyyiin).

Selanjutnya melalui ayat 29 dari surah al-Fath tersebut, Allah menginformasikan tentang empat karakteristik umat Muhammad SAW. Pertama, memiliki kualitas iman yang kokoh. "Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) bersikap keras terhadap orang-orang kafir". Hanya dengan iman yang  kokoh, orang Islam akan memiliki sikap tegas terhadap segala sifat, perilaku orang-orang kafir, dan menolak segala hal yang berlawanan dengan keimanan. Dengan kekuatan iman dan akhlak, Allah SWT melarang kita bersifat lemah dan selalu berdamai dengan orang kafir (QS Muhammad [47]: 35).

Kedua, penuh kasih sayang. "Tetapi berkasih sayang di antara mereka",  yaitu kasih sayang dalam persaudaraan yang dilandasi oleh ikatan iman yang hak, yaitu iman kepada seluruh rukun iman. Karakter ini juga dijelaskan Allah SWT; "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat."  (QS al-Hujurat [49] : 10).

Ketiga, tekun beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. "Mereka rukuk dan sujud (shalat) mencari karunia Allah dan keridaan-Nya."  Ikhlas adalah ruh setiap ibadah dalam Islam, tanpa keikhlasan maka segala amal ibadah akan menjadi sia-sia. Imam Nawawi menjelaskan dengan baik, tiga bentuk ibadah yang masih bernilai ikhlas, yaitu ibadah yang dikerjakan dengan niat takut kepada siksa Allah SWT, mengharap pahala dari Allah SWT, dan yang utama adalah berniat untuk mensyukuri nikmat yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Karakter keempat adalah selalu tampil dengan akhlak mulia. "Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud." Bekas itu bisa berarti efek, dampak, pengaruh atau buah dari suatu perbuatan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT: "… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar …" (QS al-Ankabut [29]: 45). Buah dari shalat adalah lahirnya akhlak mulia, yaitu kemampuan menghindarkan diri dari  perbuatan keji dan munkar.

Karena itu, maka umat Muhammad SAW tidak cukup hanya memiliki keimanan yang kuat, rasa kasih sayang sesama Muslim dan ketekunan beribadah kepada Allah SWT semata. Umat Muhammad SAW mesti tampil dan berkarakter akhlak mulia, mulia lisannya, mulia pikirannya, mulia hatinya, dan mulia perilaku hidupnya sehari-hari, sebagai buah dari keimanan dan ibadahnya kepada Allah SWT.

Ketika karakter akhlak mulia telah menjadi panglima, maka kesuksesan dan kebahagiaan hidup menanti kita, dan Muhammad SAW telah membuktikannya. Bagaimana dengan kita umatnya?
Wallahu a'lam.

Oleh: Mucharom Noor



Sumber: republika.co.id