Senin, 13 Juni 2011

Analisis Ekonomi: Salah Urus Sumber Daya Alam

1307928879441685519
Ilustrasi/Admin (KOMPAS/Rony Ariyanto Nurgroho)


Berdasarkan laporan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terakhir, Indonesia tidak tergolong di dalam kelompok 12 eksportir utama (top exporters), tetapi berada pada urutan buncit (ke-30) di kelompok middle-leading exporters.


Kalau khusus untuk sumber daya alam, tadinya saya menduga Indonesia masuk dalam kelompokleading exporter. Saya terbelalak. Ternyata sebaliknya, Indonesia berada di dalam kelompok leading importer untuk produk-produk sumber daya alam. Persisnya di urutan ke-14 dari 15 negara.

Ironisnya, Singapura yang tak punya sumber daya alam justru bertengger di kelompok leading exporter untuk sumber daya alam pada urutan ke-14.

Niscaya ada yang salah urus dalam pengelolaan sumber daya alam. Kita produsen minyak mentah, tetapi menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Asia. Sudah puluhan tahun kapasitas produksi kilang minyak kita tak bertambah, padahal konsumsi BBM naik cukup tinggi.

Pada tahun 2010, neraca perdagangan minyak mentah kita hanya surplus sebesar 1,5 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan BBM defisit sebesar 13 miliar dollar AS. Defisit BBM tahun ini diperkirakan bakal lebih besar lagi.

Salah urus terlihat pula pada hasil tambang bauksit. Seluruh produksi bauksit kita ekspor. Sementara itu, kita mengimpor seluruh alumina—yang notabene adalah produk turunan dari bauksit—untuk diolah lebih lanjut menjadi aluminium. Lebih dari separuh aluminium yang kita hasilkan dijual ke pasar luar negeri, sementara industri pengguna aluminium memenuhi kebutuhannya lebih banyak dari luar negeri.

Luar biasa kerugian ekonomi yang kita alami: kita menjual produk-produk sumber daya alam yang masih mentah seraya membeli produk-produk olahannya dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara bisa membuka era baru karena memberlakukan kewajiban untuk membangun fasilitas industri hilir di dalam negeri bagi usaha tambang. Undang-undang yang baru ini juga mengatur penyesuaian terhadap kontrak-kontrak tambang sebelumnya yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Sejumlah penyesuaian harus dilakukan untuk mengakomodasikan kepentingan nasional sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Perbedaan mendasar dari undang-undang yang lama dan yang baru adalah perubahan dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan.

Pemerintah tetap mengakui kontrak-kontrak yang telah dibuat di masa lalu. Namun, dengan undang-undang yang baru, pemerintah berhak melakukan negosiasi ulang terhadap ketentuan kontrak lama.

Pemerintah mulai melakukan negosiasi ulang dengan sejumlah perusahaan pemegang kontrak. Sejauh ini masih banyak persoalan yang belum disepakati. Namun, tampaknya kewajiban untuk mengolah lebih lanjut produk-produk pertambangan di dalam negeri bukan merupakan persoalan yang sangat krusial.

Masalahnya lebih pada kesiapan pemerintah mendukung perwujudan tekad itu, juga pengaturan kalau target pengolahan di dalam negeri mulai tahun 2014 tidak tercapai. Kesiapan infrastruktur pendukung merupakan salah satu masalah yang bisa menghambat. Rencana pendirian fasilitas pengolahan memang cukup banyak. Namun, tampaknya target masih sulit terwujud.

Oleh karena itu, agaknya pemerintah perlu menyusun rencana aksi dengan prioritas yang jelas, yang merupakan bagian dari rencana strategis jangka panjang agar sumber daya alam kita benar-benar dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan bagi keuntungan orang seorang atau kelompok orang, apalagi yang ”itu-itu” saja.

Apakah persoalan inti terletak pada isi kontrak semata sehingga harus dilakukan negosiasi ulang? Kontrak bagi hasil di sektor perminyakan diakui oleh kalangan internasional sebagai model kontrak yang baik. Bagi hasil pemerintah mencapai 85 persen, sedangkan perusahaan kontraktor hanya 15 persen. Penerapan cost recovery juga dipandang memadai karena pemerintah tidak ikut menanggung risiko bisnis. Persoalan banyak muncul dalam pelaksanaan, interpretasi, dan cakupan cost recovery serta pengawasan. Tak jarang pula muncul tarik-menarik kepentingan antara BP Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kecurigaan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan besar boleh jadi juga karena pengawasan yang lemah dan masalah transparansi.

Yang juga kerap menimbulkan sengketa antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar serta antara perusahaan dan pemerintah daerah adalah karena formula bagi hasil yang dirasakan kurang adil. Pemerintah pusat hanya membagi hasil dari royalti, tetapi tidak untuk pajak. Karena itu, boleh jadi persoalannya terletak pada ketimpangan fiskal vertikal, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ketidakpuasan sejumlah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten inilah yang ditengarai memunculkan hasrat pemerintah daerah untuk turut memiliki saham di perusahaan pertambangan. Karena pemerintah daerah tak punya kemampuan fiskal untuk membeli saham, mereka dirangkul oleh pengusaha pemburu rente.
Ironisnya, pengusaha swasta tersebut tak mengeluarkan uang satu sen pun, melainkan berutang dengan mengalihkan saham yang didivestasi, tetapi bisa menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan konsorsium pemerintah daerah-pengusaha.

Memang, hak untuk menentukan saham yang didivestasikan ada pada pemerintah pusat. Namun, alangkah eloknya jika pemerintah pusat mendorong perusahaan tambang milik negara yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan tambang. Lebih baik lagi dengan mengakomodasikan aspirasi daerah. Dengan demikian, lambat laun ada alih teknologi dan manajemen yang meningkatkan kompetensi anak bangsa untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri.

Jangan-jangan lebih banyak masalah di internal pemerintah sendiri ketimbang isi kontrak. Lalu, renegosiasi jadi alat untuk menutupi salah urus di dalam pemerintah sendiri. Renegosiasi jadi pekikan yang heroik, tetapi mengaburkan substansi permasalahan.

Faisal Basri
Mengajar di UI. Memulai karir sebagai peneliti. Berharap lebih banyak mencurahkan waktu untuk menulis. Lahir di Bandung, 6 November 1959.
 
Sumber: www.kompasiana.com

Menelusuri Jejak Rumah Kelahiran Bung Karno





Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan Jalan Pandean, Surabaya masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial. Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun akhir - akhir ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.

Tidak hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya. Bukan di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.

Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40. Ayahnya Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan ibunya Ida Ayu Rai seorang perempuan bangsawan Bali.

"Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya," ujar Ketua Umum "Soekarno Institute", Peter A Rohi.

Ukuran bangunan rumah itu 6x14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua kamar. Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk menjemur pakaian.

"Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi," ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.

Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu, ia ikut kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H. Zaenal Arifin juga menetap rumah itu.

Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orang tua Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat. "Kami tidak menyangka bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia," tutur Choiri, suami Djamilah.

"Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan," ujar Peter A. Rohi.

"Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," katanya, menambahkan.


Pasang Prasasti

Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Peter menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional ditegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.

Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka" karya Bob Hering, "Ayah Bunda Bung Karno" karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, "Kamus Politik" karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.
Lainnya, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1955, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1985, dan "Im Yang Tjoe" tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul "Soekarno Sebagi Manoesia" pada tahun 2008.

"Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya. Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.





"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya," papar Peter.

Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim surat ke Pemerintah Pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis pemerintah mengakuinya.

"Kami masih menunggu respon dari Pemerintah Pusat. Tapi tahun 2010, walikota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat," tutur Tri Rismaharini.


Jadi Museum

Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri, agar bersedia menjualnya dan akan dijadikan museum atau tempat cagar budaya.

"Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah," ujar Tri Rismaharini ketika ditemui di sela pemasangan prasasti dan peresmian rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6).

Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan anggaran yang dikeluarkan. "Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan," tutur Risma.
Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof. Haryono Sigit, mengakui bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola rumah tersebut. "Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya serahkan ke Pemkot," tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.

Direktur Utama Surabaya Herritage, Freddy H Istanto mengatakan, jika nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum maka yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.

Choiri, selaku pemilik rumah mengatakan, secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya. Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan harga yang pas. "Tapi kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu," timpal Djamilah.

Foto atas: Antara/Eric Ireng
Foto tengah: Antara/M Risyal Hidayat

Sumber: www.republika.co.id

Sejarah Jam Gadang di Bukittinggi

Dari Jerman ke Bukittinggi


Oleh Famega Syavira Putri

Penjajahan Belanda di Indonesia meninggalkan jejaknya di Bukittinggi. Kenang-kenangan itu berupa Jam Gadang yang menjadi ciri khas kota.

Jam ini dibangun pada 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada sekretaris kota. Hingga kini menara Jam Gadang masih menjadi bangunan tertinggi di Bukittinggi.



Jam Gadang dilengkapi lonceng besar di bagian atasnya. Di lonceng itu tertera pabrik pembuat jam: “Vortmann Relinghausen, I.W Germany”. Vortman adalah nama belakang pembuat jam ini, Benhard Vortmann. Recklinghausen adalah nama kota tempat mesin jam diproduksi di Jerman pada 1892.

Karena uniknya mesin jam ini, tidak ada montir yang bisa memperbaiki. “Jadi kalau rusak atau macet, kami perbaiki sendiri,” kata Yusrizal, satu dari empat petugas penjaga jam.Para penjaga tak pernah belajar memperbaiki mesin jam secara formal. Pengetahuan teknis mengenai jam ini diajarkan secara turun-temurun dan terbukti berhasil karena kerusakan kecil pada jam selalu berhasil diperbaiki oleh mereka.



“Kecuali saat gempa tahun 2007. Bandul jam sempat patah dan harus diganti,” kata Andre, petugas jaga yang lain. Gempa di Padang tahun 2010 juga membuat dinding menara retak, namun tak merusak mesin jam.

Andre dan Yusrizal sedang bertugas jaga siang, bergantian dengan dua orang petugas yang akan berjaga pada malam hari. Empat orang itulah yang melakukan seluruh pemeliharaan. Mereka bertugas merawat jam, menjaga keamanan, hingga menyapu lantai. Kecuali telah mendapatkan izin, pengunjung dilarang memasuki bagian dalam menara.

Bagian dalam menara terdiri dari beberapa tingkat. Tingkat paling atas adalah tempat penyimpanan lonceng. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah. Menaiki tangga kecil ke atas cukup menguras tenaga. Tetapi perjuangan menaiki anak tangga itu tentunya terbayar.


Bagian dalam jam yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Foto: Famega Syavira


Mesin jam yang keahlian memperbaikinya dipelajari secara turun-temurun. Foto: Famega Syavira

Dari atas menara, tampaklah kota yang dikeliligi tiga gunung: Singgalang, Merapi dan Sago.

Jam Gadang menjadi pusat penanda kota Bukittinggi. Acara-acara kota biasanya diselenggarakan di lapangan dekat menara ini. Salah satunya sebagai titik dimulainya etape ke-4 Tour de Singkarak pada 9 Juni 2011.



Tempat ini juga menjadi ruang interaksi favorit warga. Pada hari kerja pun lapangan di sekitar Jam Gadang tampak ramai. Anak-anak berlarian dan bermain dengan gelembung sabun, sementara orangtua mereka duduk-duduk di keteduhan. Sebuah ruang publik gratis yang seharusnya ada di setiap kota di Indonesia.

Sumber: id.travel.yahoo.com