Kamis, 18 Agustus 2011
Politik Kepartaian Merusak Moral
Kalau melihat kenyataan yang ada, sejak jaman Orde Baru sampai sekarang ini, politik kepeartaian cenderung merusak moral para pelaku politik dan bahkan moral bangsa, hal ini disebabkan karena politik kepartaian berbiaya mahal, gaya hidup para pelaku politiknya yang borjuis sehingga dengan berbagai daya dan upaya berusaha untuk senantiasa eksis demi mempertahankan kekuasaan, dengan demikian Korupsipun dilakukan. Pada mas Orde Baru secara mencolok Golkar berkuasa, dan di jaman reformasi ini setiap partai yang mendapat giliran berkuasa, juga melakukan hal yang sama, para politisinya menghidupkan partai dengan cara menjadi Komisioner dan bahkan pengelola proyek-proyek negara.
Pada tahun 1960, Bung Hatta pernah memberikan sebuah gambaran tentang Demokrasi dan politik kepartaian. Sebagai sosok Negarawan yang memiliki Integritas dan rasa Nasionalisme yang tinggi, beliau sangat khawatir dengan politik kepartaian. Karena politik kepartaian itu hanya akan melunturkan karakter, orang masuk partai bukan karena ideologi tapi karena ingin mendapatkan jaminan. Dan pada kenyataannya sekarang ini memanglah demikian, sesorang bisa pindah dari partai satu ke partai lainnya hanya karena ingin lebih terjamin. Lihatlah apa yang dikatakan salah satu Proklamator RI dibawah ini:
“Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, tapi dgn politik kepartaian itu orang menghidupkan yg sebaliknya, mengasuh orang luntur karakter. Akhirnya orang yg masuk partai bkn krn keyakinan melainkan krn ingin memperoleh jaminan. Suasana politik semacam itu memberi kesempatan kpd berbagai jenis PETUALANG politik dan ekonomi serta manusia profetir maju ke muka.” [BUNG HATTA, 1960]
Bayangkan tahun 1960 beliau sudah memberikan prediksi semacam itu, lebih dari 50 tahun yang lalu kondisi sekarang ini sudah tergambarkan demikian. Politik kepentingan dan kepentingan politik, dianggap Bung Hatta sebagai penyebabnya demoralisasi. Dan besarnya muatan kepentingan politik yang menyebabkan anarki dalam politik, menghalalkan segala cara demi pemuasan syahwat politik yang akhirnya melakukan tindak korupsi untuk kepentingan partai. Lihatlah apa yang dikatakan Bung Hatta tentang semua itu :
“Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalatkan mereka, partai2 politik yg ditungganginya, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dlm politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela.” [BUNG HATTA, dlm Demokrasi Kita, 1960]
Tentang demokrasi Bung Hatta juga punya pandangan yang sangat memprihatinkan. Pada tahun-tahun itu di gambarkan beliau demokrasi sudah kebablasan, demokrasi tak kenal batas, sehingga demokrasi dimatanya dalam keadaan krisis. Gambaran dimasa lalu itu rasanya sangatlah sama dengan gambaran demokrasi saat ini. Demokrasi yang dikatakan berjalan sangat demokratis, sedang berjalan meniti perjalanan panjang menuju pada kekuasaan diktator. Kalau sistem politik tidak segera berubah, kondisi ini akan kembali ke zaman Orde Baru. Lihatlah penegakan hukum, hukum sudah menjadi kekuasaan itu sendiri, hukum hanya diterapkan bagi rakyat kecil tidak bagi penguasa dan kroni-kroninya. Apa yang dikatakan Bung Hatta di tahun 1960 tentang demokrasi dan kekuasaan, padahal saat itu beliau ada didalam sistem.
“Apa yang terjadi sekarang adalah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat2 hidupnya dan melulu menjadi anarki, lambat laun akan digantikan oleh diktatur. Ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia!!” [BUNG HATTA, dlm Demokrasi Kita, 1960]
Adakah yang dikatakan Bung Hatta tersebut sangat sama dengan kondisi kita saat ini ? Apakah memang demokrasi dan sistem politik kita dari tahun 1960 sampai sekarang ini tidak berkembang lebih baik ? Semua hanya bisa kita rasakan.
Ajinatha
Sumber: www.kompasiana.com
Catatan Sejarah Kesultanan Banten
PANDEGLANG (20/04), Dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, dan berita Cina, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Sebutan ini setidak-tidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan bahwa Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran yang dibuat Mao’Kun pada sekitar tahun 1421. Rute pelayaran itu adalah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak; Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
Dalam catatan orang Eropa yang berasal dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik karena terletak di sebuah teluk dan muara sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis makanan lainnya.
Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis beridirnya Kesultanan Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya.
Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten.
Kekuatan kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong kantong permukiman orang-orang muslim.
Masalahnya sekarang adalah siapakah yang mendirikan Kesultanan Banten? Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat sampai saat ini masih terdapat dua versi. Versi pertama yang mendirikan Kesultanan Banten adalah Maulana Hasanudin dan versi kedua menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri Kesultanan Banten bersamaan dengan Kesultanan Cirebon.
Menurut pendapat pertama, Pangeran Hasanudin atas petunjuk ayahnya, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), mendirikan Kota Surosowan sebagai ibukota kerajaan. Setelah kota itu selesai dibangun, Maulana Hasanudin kemudian diangkat sebagai penguasa pertama Banten, yang pada waktu itu belum berdaulat karena masih berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Sunda. Pendapat ini didasarkan pada sebuah teks yang berbunyi :
Menurut pendapat pertama ini, pengangkatan Maulana Hasanudin sebagai penguasa Banten terjadi tahun 1552, tepat ketika usianya menginjak 27 tahun.
Pendapat ini ditolak oleh Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa pendiri Kerajaan Banten bukanlah Maulana Hasanudin, melainkan Sunan Gunung Jati. Selain mendirikan Kerajaan Banten, ia pun mendirikan Kerajaan Cirebon. Sunan Gunung Jati merupakan orang yang mengangkat anaknya, Maulana Hasanudin, sebagai Raja Banten Ke-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada mulanya Banten merupakan tempat kedudukan Sunan Gunung Jati selaku raja dan Cirebon dikatakan sebagai mandalanya. Ketika Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, Banten seolah-olah hanya menjadi suatu kabupatian saja atau seolah-olah hanya merupakan bagian dari Kerajaan Cirebon. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati membawahi Banten dan Cirebon sekaligus.
Dalam sumber tradisional, penguasa Banten Girang yang bernama Pucuk Umun putra Prabu Seda berhasil ditaklukan oleh Syeh Nurullah (Sunan Gunung Jati). Dengan penaklukan itu, Syeh Nurullah menjadi penguasa baru di Banten dan telah meletakkan dasar Kerajaan Banten sehingga ia bisa dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten.
Suksesi kekuasaan di Banten pertama kali terjadi sekitar tahun 1552 yang diawali oleh peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana, Sultan Demak Ke-3, dalam serangan Demak ke Panarukan tahun 1546. Peristiwa ini berdampak pada melemahnya pengawasan Demak atas Banten. Peristiwa lain yang mendorong terjadinya suksesi di Banten adalah wafatnya Pangeran Pasarean pada 1552. Ia merupakan putera Sunan Gunung Jati yang dipercaya memegang tahta Cirebon mewakili dirinya. Pada tahun itu juga, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon dan seiring dengan itu, Sunan Gunung Jati menyerahkan tahta Banten kepada Hasanudin, puteranya dari hasil perkawinan dengan Nyai Kawunganten, puteri Pajajaran.
Meskipun Sunan Gunung Jati dapat dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten, tetapi Pangeran Hasanuddin merupakan orang pertama yang menyusun kekuatan dan kekuasaan Banten sebagai negara yang berdiri sendiri. Pangeran Hasanudin-lah yang memerdekan Banten dari Demak sehingga menjadi kerajaan yang merdeka. Sementara pada masa Sunan Gunung Jati (1525-1552), Banten merupakan kerajaan vazal Kesultanan Demak.
Dalam membangun Kerajaan Banten, Hasanudin menekankan pada bidang spiritual dan material. Bidang spiritual ditempuh dengan penyebaran agama Islam yang dilakukannya dari tahun 1515 hingga 1552. Sementara itu, bidang material dilakukan dengan memelihara dan mengembangkan kegiatan perniagaan dan pertanian yang telah ada serta mempertahankan kedudukan dan peranan Banten sebagai kota pelabuhan. Hal ini dimungkinkan oleh karena Banten telah menjadi pelabuhan tempat persinggahan saudagar-saudagar yang sedang menempuh jalan niaga Asia tradisional.
Para saudagar ini membeli rempah-rempah dari wilayah Indonesia bagian timur untuk dibawa ke negara-negara di Asia Barat dan Eropa. Dalam melakukan aktivitas perniagaannya, para saudagar ini menggunakan jalur perairan Nusa Tenggara, pantai utara Pulau Jawa, Selat Sunda, pantai Barat Sumatera, dan terus ke India. Jalur niaga ini semakin banyak dipergunakan oleh para saudagar, terutama saudagar Islam, seiring dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Oleh karena Portugis menganggap musuh terhadap para saudagar Islam, mereka tidak mau berlabuh di Malaka. Bahkan lebih dari itu, saudagar saudagar Islam yang telah menetap di Malaka pun banyak yang pindah ke kota kota pelabuhan lain, di antaranya ke Banten dan Cirebon. Meskipun Banten dan Cirebon menjadi tempat menetap para saudagar Islam, namun hanya Banten-lah yang mengalami kemajuan yang pesat karena kedudukannya lebih strategis dibandingkan dengan Cirebon.
Ketika Sunan Gunung Jati masih memegang kekuasaan atas Banten, ia bersama-sama dengan Fatahillah dan Pangeran Hasanudin berhasil merebut pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda, yakni Sunda Kalapa, pada 1527. Keberhasilan ini ditandai dengan diubahnya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Nilai strategis dari peristiwa ini adalah pertama, Banten memegang peranan lebih penting dan dapat menarik perdagangan lada ke pelabuhannya; kedua, Banten telah menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme yang hendak merealisasikan perjanjian dengan Raja Sunda.
Selain menaklukan Sunda Kalapa, beberapa daerah di luar Pulau Jawa yakni Lampung, Bengkulu, dan Selebar yang berbatasan dengan Sumatera Barat berhasil dimasukkan juga ke dalam wilayah kekuasaan Banten. Ekspansi ini dilakukan agar Banten dapat menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten serta bertujuan untuk memperluas kebun lada.
Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten. Maulana Hasanudin merupakan orang yang membangun Keraton Surosowan dan dikenal oleh rakyatnya sebagai penguasa yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, setelah ia wafat, rakyatnya memberikan gelar anumerta Pangeran Surosowan Panembahan Sabakingkin. Julukan ini memiliki makna filosofis bahwa pendiri Keraton Surosowan adalah Maulana Hasanudin yang sangat bijaksana. Dengan wafatnya Maulana Hasanudin, rakyat Banten merasakan duka cita yang amat mendalam dan merindukan adanya kebijaksanaan.
Maulana Hasanuddin kemudian digantikan oleh Maulana Yusuf, putra pertamanya, sebagai penguasa Banten kedua yang memerintah tahun 1570-1580. Masa pemerintahannya lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan, dan pertanian, di samping melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Dalam upaya perluasan wilayah, daerah pedalaman kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya (Pakuan Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu oleh Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya runtuh. Para ponggawa yang ditaklukkan lalu diislamkan dan masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula. Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan pertanian. Proses selanjutnya adalah ditetapkannya batas wilayah kekuasaan antara Banten dengan Cirebon, yaitu Sungai Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).
Dengan demikian, pada masa Maulana Yusuf-lah wilayah Kesultanan Banten membentang dari pesisir utara sampai ke wilayah pedalaman. Menurut sumber setempat, diceritakan bahwa pada masa ini, daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Lebak, dikenal dengan nama daerah Jagat Kidul. Daerah ini masih belum aman karena masih sering terjadi kekacauan. Untuk mengamankan Jagat Kidul, penguasa Banten memerintahkan Dalem Jasinga, Rd. Mas Tirta Kusumah, untuk mengamankan daerah selatan ini. Untuk melaksanakan perintah penguasa Banten itu, Dalem Jasinga pindah dari Jasinga (Bogor) ke Bayah yang diikuti oleh seluruh perangkat pemerintahannya. Sementara itu, dengan pindahnya Dalem Jasinga ke Bayah, Jasinga berubah status hanya menjadi setingkat kademangan. Jadi, menurut sumber lokal ini, cikal-bakal Kabupaten Lebak itu berasal dari Jasinga dan pertama kali memerintah Jagat Kidul di daerah Bayah. Saat ini, di daerah Bayah terdapat petilasan yang diyakini sebagai makam Rd. Mas Tirta Kusumah.
Kegagalan Pangeran Jepara untuk menduduki tahta Banten berdampak secara politik karena Banten mulai dapat menegakkan kedudukannya dengan sedikit demi sedikit membebaskan dari pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa Tengah. Pergolakan serta pergeseran kekuasaan di Jawa Tengah yakni Demak dapat ditundukkan oleh Pajang (1581) dan kemudian Pajang oleh Mataram merupakan faktor pendorong kedua berdaulatnya Kesultanan Banten. Demikianlah, Maulana Muhammad menduduki tahta Banten menggantikan Maulana Yusuf yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (1580-1596.
Maulana Muhammad berkehendak untuk mengembangkan perniagaan Kesultanan Banten dengan cara menguasai rute pelayaran dari dan ke Selat Malaka. Untuk mewujudkan kehendaknya itu, ia kemudian melakukan upaya untuk mengusai Palembang yang memang terletak tidak terlalu jauh dari rute pelayaran tersebut. Meskipun demikian, kehendak mengusai rute pelayaran itu tidaklah murni keinginan Maulana Muhammad, karena ia pun mendapat pengaruh kuat dari Pangeran Mas yang berambisi menduduki tahta di Palembang. Untuk menundukan Palembang, Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas mengerahkan sekitar 200 kapal perang. Selain itu, Maulana Muhammad pun memerintahkan Lampung, Seputih, dan Semangka untuk mengerahkan tentaranya melakukan serangan dari darat. Dalam pertempuran beberapa hari di sekitar Sungai Musi, Maulana Muhammad tewas dan tidak lama kemudian pasukan Banten kembali ke negaranya tanpa membawa hasil apapun. Setelah dikebumikan di serambi Masjid Agung Banten, Maulana Muhammad kemudian dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Sepeninggal Maulana Muhammad, sejak tahun 1596, tahta Kesultanan Banten diserahkan kepada Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan. Ia merupakan anak satu-satunya Maulana Muhammad dari pernikahannya dengan Ratu Wanagiri, putri Mangkubumi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Mangkubumi Jayanagara ditunjuk sebagai walinya hingga ia meninggal dunia tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi, pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya konflik di antara pangeran dan pembesar kerajaan, perwalian atas diri sultan diserahkan sepenuhnya kepada Nyai Gede Wanagiri. Selain itu, jabatan mangkubumi pun dihapuskan dari struktur kekuasaan Kesultanan Banten, karena jabatan ini pun menjadi rebutan di kalangan pangeran dan pembesar kerajaan.
Pada bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten, karena ia dipandang sudah cukup dewasa. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan oleh Pangeran Arya Ranamanggala39 sebagai mangkubumi terakhir Kesultanan Banten. Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Selain itu, Ia pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Pada 1636, penguasa Arab di Mekkah memberikan sultan kepada dirinya sehingga dialah penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul Mufakhir bersikap tegas terhadap siapapun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin menajam, seiring dengan semakin kuatnya kedudukan VOC di Batavia yang dikuasai mereka sejak 1619. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC dengan cara menjadi “perompak” di laut dan “perampok” di darat. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan Nopember 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.
Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik ekspansi ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan tujuan untuk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yang dilakukan dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untuk melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian damai yang dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa usul itu ditolak karena selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak akan mendatangkan keuntungan bagi Banten.
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Dalam mengembangkan negaranya, Sultan Banten bukan tidak menghadapi kesulitan dan tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menimbulkan persaingan di kalangan kelompok-kelompok pedagang yang kadang-kadang merugikan dan menyulitkan Banten. Orang Belanda termasuk pedagang yang sering mendatangkan kesulitan bagi Banten. Armada Belanda yang berpangkalan di Batavia beberapa kali melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten untuk memaksakan kehendaknya guna menjalankan monopoli perdagangan, seperti terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun antara pasukan Banten dan VOC di daerah Angke, Tangerang, dan di perairan Banten. Selain itu, hubungan Banten dengan Mataram pun sering diwarnai oleh ketegangan, akibat besarnya keinginan Mataram untuk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya pada tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu semua memaksakan Banten harus meningkatkan kekuatan militernya dan sering mengirimkan kelompok pasukan ke daerah perbatasan dengan Batavia dan Mataram.
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Banten membuka pintu kepada siapa pun yang mau berhubungan baik dan kerja sama dengan Kesultanan Banten. Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tidak bersahabat, bila mengganggu kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik.
Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini, Cirebon pernah membantu Banten dengan mengirim pasukan militer dalam upaya menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan Banten dengan Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara Banten dengan Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun kadang-kadang Banten mendesak Cirebon agar memihak kepadanya dan kadang-kadang Mataram mendesak Cirebon agar berpihak kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten dalam membebaskan dan mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini berlangsung sampai tahun 1681, ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerjasama dengan VOC.
Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa diwarnai pula dengan konflik antara Banten dengan VOC yang semakin memuncak. Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untuk secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang telah menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Ageng Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram dengan VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan sendiri dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji untuk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh karena dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak hanya berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga sebagai simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa Istana Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang telah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untuk menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang; Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah Serang; 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan; sebanyak 500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa; dan sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara dan Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa dan membujuknya untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten masih melakukan perlawanan walaupun semuanya tidaklah begitu berarti. Tidak lama setelah itu, dengan restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya sebagai berikut.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi karena sultan harus membayar biaya perang, tetapi juga karena monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, dan Denmark diusir dari Banten dan pindah ke Bangkahulu, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhoff turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC. Sering terjadi, VOC membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, kain, beras, dan lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul Arifin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota, atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan sebagai Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Di bawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang diterapkan oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang adalah membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas untuk melakukan penyerangan ke Kota Surasowan. Sementara itu, Ki Tapa memimpin kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten dan menjadikan Sajira yang terletak di Lebak sebagai salah satu pusat pertahanannya.
Untuk menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. Selain itu, Jacob Mossel pun segera mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, dan pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan seranganserangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773).
Perlawanan rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC, perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19, daerah Banten terus menerus dilanda konflik senjata antara pasukan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Sir Stamford Raflles terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten. Sejak tahun 1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
Sumber: http://humaspdg.wordpress.com
Dalam catatan orang Eropa yang berasal dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik karena terletak di sebuah teluk dan muara sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis makanan lainnya.
Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis beridirnya Kesultanan Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya.
Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten.
Kekuatan kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong kantong permukiman orang-orang muslim.
Masalahnya sekarang adalah siapakah yang mendirikan Kesultanan Banten? Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat sampai saat ini masih terdapat dua versi. Versi pertama yang mendirikan Kesultanan Banten adalah Maulana Hasanudin dan versi kedua menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri Kesultanan Banten bersamaan dengan Kesultanan Cirebon.
Menurut pendapat pertama, Pangeran Hasanudin atas petunjuk ayahnya, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), mendirikan Kota Surosowan sebagai ibukota kerajaan. Setelah kota itu selesai dibangun, Maulana Hasanudin kemudian diangkat sebagai penguasa pertama Banten, yang pada waktu itu belum berdaulat karena masih berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Sunda. Pendapat ini didasarkan pada sebuah teks yang berbunyi :
Pada waktu itu di Banten sedang timbul huru hara yang disebabkan oleh
Pangeran Sabakingkin, putera Susuhunan Jatipurba dengan para
pengikutnya … orang-orang muslim dan para muridnya, bertambahtambah
dengan kedatangan angkatan bersenjata Demak dan Cirebon
yang telah berlabuh di Pelabuhan Banten, kemudian menyerang dan
memukul … angkatan bersenjata Budha-prawa. Adipati Banten dan
para pengikutnya melarikan diri masuk ke hutan belantara menuju ke
arah tenggara ke kota besar Pakuan Pajajaran. Setelah itu dinobatkanlah
Pangeran Sabakingkin di Negeri Banten dengan gelar Pangeran
Hasanudin oleh ayahnya dipertuan bagi seluruh Daerah Sunda yang
berpusat di Paserbumi yaitu negeri Cirebon atau Carage …”
Menurut pendapat pertama ini, pengangkatan Maulana Hasanudin sebagai penguasa Banten terjadi tahun 1552, tepat ketika usianya menginjak 27 tahun.
Pendapat ini ditolak oleh Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa pendiri Kerajaan Banten bukanlah Maulana Hasanudin, melainkan Sunan Gunung Jati. Selain mendirikan Kerajaan Banten, ia pun mendirikan Kerajaan Cirebon. Sunan Gunung Jati merupakan orang yang mengangkat anaknya, Maulana Hasanudin, sebagai Raja Banten Ke-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada mulanya Banten merupakan tempat kedudukan Sunan Gunung Jati selaku raja dan Cirebon dikatakan sebagai mandalanya. Ketika Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, Banten seolah-olah hanya menjadi suatu kabupatian saja atau seolah-olah hanya merupakan bagian dari Kerajaan Cirebon. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati membawahi Banten dan Cirebon sekaligus.
Dalam sumber tradisional, penguasa Banten Girang yang bernama Pucuk Umun putra Prabu Seda berhasil ditaklukan oleh Syeh Nurullah (Sunan Gunung Jati). Dengan penaklukan itu, Syeh Nurullah menjadi penguasa baru di Banten dan telah meletakkan dasar Kerajaan Banten sehingga ia bisa dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten.
Suksesi kekuasaan di Banten pertama kali terjadi sekitar tahun 1552 yang diawali oleh peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana, Sultan Demak Ke-3, dalam serangan Demak ke Panarukan tahun 1546. Peristiwa ini berdampak pada melemahnya pengawasan Demak atas Banten. Peristiwa lain yang mendorong terjadinya suksesi di Banten adalah wafatnya Pangeran Pasarean pada 1552. Ia merupakan putera Sunan Gunung Jati yang dipercaya memegang tahta Cirebon mewakili dirinya. Pada tahun itu juga, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon dan seiring dengan itu, Sunan Gunung Jati menyerahkan tahta Banten kepada Hasanudin, puteranya dari hasil perkawinan dengan Nyai Kawunganten, puteri Pajajaran.
Meskipun Sunan Gunung Jati dapat dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten, tetapi Pangeran Hasanuddin merupakan orang pertama yang menyusun kekuatan dan kekuasaan Banten sebagai negara yang berdiri sendiri. Pangeran Hasanudin-lah yang memerdekan Banten dari Demak sehingga menjadi kerajaan yang merdeka. Sementara pada masa Sunan Gunung Jati (1525-1552), Banten merupakan kerajaan vazal Kesultanan Demak.
Dalam membangun Kerajaan Banten, Hasanudin menekankan pada bidang spiritual dan material. Bidang spiritual ditempuh dengan penyebaran agama Islam yang dilakukannya dari tahun 1515 hingga 1552. Sementara itu, bidang material dilakukan dengan memelihara dan mengembangkan kegiatan perniagaan dan pertanian yang telah ada serta mempertahankan kedudukan dan peranan Banten sebagai kota pelabuhan. Hal ini dimungkinkan oleh karena Banten telah menjadi pelabuhan tempat persinggahan saudagar-saudagar yang sedang menempuh jalan niaga Asia tradisional.
Para saudagar ini membeli rempah-rempah dari wilayah Indonesia bagian timur untuk dibawa ke negara-negara di Asia Barat dan Eropa. Dalam melakukan aktivitas perniagaannya, para saudagar ini menggunakan jalur perairan Nusa Tenggara, pantai utara Pulau Jawa, Selat Sunda, pantai Barat Sumatera, dan terus ke India. Jalur niaga ini semakin banyak dipergunakan oleh para saudagar, terutama saudagar Islam, seiring dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Oleh karena Portugis menganggap musuh terhadap para saudagar Islam, mereka tidak mau berlabuh di Malaka. Bahkan lebih dari itu, saudagar saudagar Islam yang telah menetap di Malaka pun banyak yang pindah ke kota kota pelabuhan lain, di antaranya ke Banten dan Cirebon. Meskipun Banten dan Cirebon menjadi tempat menetap para saudagar Islam, namun hanya Banten-lah yang mengalami kemajuan yang pesat karena kedudukannya lebih strategis dibandingkan dengan Cirebon.
Ketika Sunan Gunung Jati masih memegang kekuasaan atas Banten, ia bersama-sama dengan Fatahillah dan Pangeran Hasanudin berhasil merebut pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda, yakni Sunda Kalapa, pada 1527. Keberhasilan ini ditandai dengan diubahnya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Nilai strategis dari peristiwa ini adalah pertama, Banten memegang peranan lebih penting dan dapat menarik perdagangan lada ke pelabuhannya; kedua, Banten telah menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme yang hendak merealisasikan perjanjian dengan Raja Sunda.
Selain menaklukan Sunda Kalapa, beberapa daerah di luar Pulau Jawa yakni Lampung, Bengkulu, dan Selebar yang berbatasan dengan Sumatera Barat berhasil dimasukkan juga ke dalam wilayah kekuasaan Banten. Ekspansi ini dilakukan agar Banten dapat menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten serta bertujuan untuk memperluas kebun lada.
Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten. Maulana Hasanudin merupakan orang yang membangun Keraton Surosowan dan dikenal oleh rakyatnya sebagai penguasa yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, setelah ia wafat, rakyatnya memberikan gelar anumerta Pangeran Surosowan Panembahan Sabakingkin. Julukan ini memiliki makna filosofis bahwa pendiri Keraton Surosowan adalah Maulana Hasanudin yang sangat bijaksana. Dengan wafatnya Maulana Hasanudin, rakyat Banten merasakan duka cita yang amat mendalam dan merindukan adanya kebijaksanaan.
Maulana Hasanuddin kemudian digantikan oleh Maulana Yusuf, putra pertamanya, sebagai penguasa Banten kedua yang memerintah tahun 1570-1580. Masa pemerintahannya lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan, dan pertanian, di samping melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Dalam upaya perluasan wilayah, daerah pedalaman kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya (Pakuan Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu oleh Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya runtuh. Para ponggawa yang ditaklukkan lalu diislamkan dan masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula. Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan pertanian. Proses selanjutnya adalah ditetapkannya batas wilayah kekuasaan antara Banten dengan Cirebon, yaitu Sungai Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).
Dengan demikian, pada masa Maulana Yusuf-lah wilayah Kesultanan Banten membentang dari pesisir utara sampai ke wilayah pedalaman. Menurut sumber setempat, diceritakan bahwa pada masa ini, daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Lebak, dikenal dengan nama daerah Jagat Kidul. Daerah ini masih belum aman karena masih sering terjadi kekacauan. Untuk mengamankan Jagat Kidul, penguasa Banten memerintahkan Dalem Jasinga, Rd. Mas Tirta Kusumah, untuk mengamankan daerah selatan ini. Untuk melaksanakan perintah penguasa Banten itu, Dalem Jasinga pindah dari Jasinga (Bogor) ke Bayah yang diikuti oleh seluruh perangkat pemerintahannya. Sementara itu, dengan pindahnya Dalem Jasinga ke Bayah, Jasinga berubah status hanya menjadi setingkat kademangan. Jadi, menurut sumber lokal ini, cikal-bakal Kabupaten Lebak itu berasal dari Jasinga dan pertama kali memerintah Jagat Kidul di daerah Bayah. Saat ini, di daerah Bayah terdapat petilasan yang diyakini sebagai makam Rd. Mas Tirta Kusumah.
Sepeninggalnya Maulana Yusuf, Kesultanan Banten dilanda konflik perebutan tahta kesultanan. Dua orang yang memperebutkan tahta Kesultanan Banten adalah Maulana Muhammad Nasrudin dan Pangeran Jepara. Muhammad Nasrudin merupakan putera dari Maulana Yusuf dan baru berusia sembilan tahun ketika Maulana Yusuf meninggal dunia. Oleh karena Maulana Muhammad baru berusia sembilan tahun, Pangeran Jepara merasa dirinya berhak atas tahta Banten karena ia adik Maulana Yusuf. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Pangeran Jepara berusaha menyerang Banten dengan mengerahkan pasukannya dari arah laut. Akan tetapi, serangan tersebut menemui kegagalan dan Pangeran Jepara menghentikan upayanya untuk menduduki tahta Banten. Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan serangan ini adalah dukungan penuh kaum ulama kepada Maulana Muhammad Nasrudin untuk menduduki tahta Banten meskipun usianya belum cukup dewasa. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, segala urusan pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi dan sebagai penguasa Banten, Maulana Muhammad berada di bawah bimbingan seorang kadi (hakim agung).
Maulana Muhammad berkehendak untuk mengembangkan perniagaan Kesultanan Banten dengan cara menguasai rute pelayaran dari dan ke Selat Malaka. Untuk mewujudkan kehendaknya itu, ia kemudian melakukan upaya untuk mengusai Palembang yang memang terletak tidak terlalu jauh dari rute pelayaran tersebut. Meskipun demikian, kehendak mengusai rute pelayaran itu tidaklah murni keinginan Maulana Muhammad, karena ia pun mendapat pengaruh kuat dari Pangeran Mas yang berambisi menduduki tahta di Palembang. Untuk menundukan Palembang, Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas mengerahkan sekitar 200 kapal perang. Selain itu, Maulana Muhammad pun memerintahkan Lampung, Seputih, dan Semangka untuk mengerahkan tentaranya melakukan serangan dari darat. Dalam pertempuran beberapa hari di sekitar Sungai Musi, Maulana Muhammad tewas dan tidak lama kemudian pasukan Banten kembali ke negaranya tanpa membawa hasil apapun. Setelah dikebumikan di serambi Masjid Agung Banten, Maulana Muhammad kemudian dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Sepeninggal Maulana Muhammad, sejak tahun 1596, tahta Kesultanan Banten diserahkan kepada Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan. Ia merupakan anak satu-satunya Maulana Muhammad dari pernikahannya dengan Ratu Wanagiri, putri Mangkubumi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Mangkubumi Jayanagara ditunjuk sebagai walinya hingga ia meninggal dunia tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi, pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya konflik di antara pangeran dan pembesar kerajaan, perwalian atas diri sultan diserahkan sepenuhnya kepada Nyai Gede Wanagiri. Selain itu, jabatan mangkubumi pun dihapuskan dari struktur kekuasaan Kesultanan Banten, karena jabatan ini pun menjadi rebutan di kalangan pangeran dan pembesar kerajaan.
Pada bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten, karena ia dipandang sudah cukup dewasa. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan oleh Pangeran Arya Ranamanggala39 sebagai mangkubumi terakhir Kesultanan Banten. Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Selain itu, Ia pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Pada 1636, penguasa Arab di Mekkah memberikan sultan kepada dirinya sehingga dialah penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul Mufakhir bersikap tegas terhadap siapapun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin menajam, seiring dengan semakin kuatnya kedudukan VOC di Batavia yang dikuasai mereka sejak 1619. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC dengan cara menjadi “perompak” di laut dan “perampok” di darat. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan Nopember 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.
Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik ekspansi ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan tujuan untuk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yang dilakukan dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untuk melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian damai yang dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa usul itu ditolak karena selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak akan mendatangkan keuntungan bagi Banten.
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Dalam mengembangkan negaranya, Sultan Banten bukan tidak menghadapi kesulitan dan tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menimbulkan persaingan di kalangan kelompok-kelompok pedagang yang kadang-kadang merugikan dan menyulitkan Banten. Orang Belanda termasuk pedagang yang sering mendatangkan kesulitan bagi Banten. Armada Belanda yang berpangkalan di Batavia beberapa kali melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten untuk memaksakan kehendaknya guna menjalankan monopoli perdagangan, seperti terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun antara pasukan Banten dan VOC di daerah Angke, Tangerang, dan di perairan Banten. Selain itu, hubungan Banten dengan Mataram pun sering diwarnai oleh ketegangan, akibat besarnya keinginan Mataram untuk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya pada tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu semua memaksakan Banten harus meningkatkan kekuatan militernya dan sering mengirimkan kelompok pasukan ke daerah perbatasan dengan Batavia dan Mataram.
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Banten membuka pintu kepada siapa pun yang mau berhubungan baik dan kerja sama dengan Kesultanan Banten. Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tidak bersahabat, bila mengganggu kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik.
Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini, Cirebon pernah membantu Banten dengan mengirim pasukan militer dalam upaya menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan Banten dengan Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara Banten dengan Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun kadang-kadang Banten mendesak Cirebon agar memihak kepadanya dan kadang-kadang Mataram mendesak Cirebon agar berpihak kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten dalam membebaskan dan mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini berlangsung sampai tahun 1681, ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerjasama dengan VOC.
Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa diwarnai pula dengan konflik antara Banten dengan VOC yang semakin memuncak. Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untuk secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang telah menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Ageng Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram dengan VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan sendiri dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji untuk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh karena dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak hanya berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga sebagai simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa Istana Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang telah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untuk menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang; Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah Serang; 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan; sebanyak 500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa; dan sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara dan Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa dan membujuknya untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten masih melakukan perlawanan walaupun semuanya tidaklah begitu berarti. Tidak lama setelah itu, dengan restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya sebagai berikut.
- Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, dan pasal yang masih dipercayai dan menguntungkan bagi kedua belah pihak akan dipelihara baik-baik tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap sebagai kedua kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya. Tambahan bahwa Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan, demikian pula halnya kepada sahabat VOC dan terutama sunan atau susuhunan atau putera-putera mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melakukan penyerangan atau permusuhan karena ketenangan dan perdamaian di Jawa bagaimanapun harus terlaksana.
- Dan oleh karena penduduk kedua belah pihak harus ada ketenangan dan bebas dari segala macam pembunuhan dan perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan dan pegunungan, maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebaliknya juga bagi orang Jakarta tidak boleh mendatangi daerah dan sungai ataupun anak sungainya yang ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masing-masing diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah, dan kalau tidak maka akan dianggap sebagai musuh yang dapat ditangkap atau dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
- Dan karena harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau telah dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tanggerang akan menjadi milik atau ditempati VOC.
- Dalam hal itu setiap kapal VOC atau kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten dan warganya, jika terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, harus mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barangbarangnya.
- Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan dan kesultanan Banten sebagaimana telah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten dan demikian pula akibat pembunuhan dan perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, dan segala kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada VOC.
- Setelah perjanjian ditandatangani dan disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, jika datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC akan segera ditahan dan kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
- Bahwa karena Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian dan persahabatan ini telah dimengerti oleh kedua belah pihak.
- Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan bahwa VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji, maka menyimpang dari hal itu VOC akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
- Sultan berkewajiban untuk di waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena bertentangan dengan isi perjanjian ini.
- Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya harus menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan dan kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh misi komandan dan Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari atas nama Gubernur Jenderal VOC dan Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal VOC Belanda.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi karena sultan harus membayar biaya perang, tetapi juga karena monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, dan Denmark diusir dari Banten dan pindah ke Bangkahulu, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhoff turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC. Sering terjadi, VOC membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, kain, beras, dan lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul Arifin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota, atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan sebagai Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Di bawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang diterapkan oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang adalah membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas untuk melakukan penyerangan ke Kota Surasowan. Sementara itu, Ki Tapa memimpin kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten dan menjadikan Sajira yang terletak di Lebak sebagai salah satu pusat pertahanannya.
Untuk menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. Selain itu, Jacob Mossel pun segera mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
- Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
- Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan VOC.
- Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
- Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada VOC saja.
- Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, dan pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan seranganserangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773).
Perlawanan rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC, perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19, daerah Banten terus menerus dilanda konflik senjata antara pasukan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Sir Stamford Raflles terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten. Sejak tahun 1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
- Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) yang dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
- Kabupaten Banten Kulon (Banten Barat) diperintah oleh Tubagus Hayudin;
- Kabupaten Banten Tengah yang diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
- Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) yang diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Sumber: http://humaspdg.wordpress.com
Taman Nasional Komodo Keluar dari New Seven Wonder of Nature (N7WN)
Secara resmi Pemerintah Indonesia menarik Taman Nasional Komodo (TNK)
sebagai finalis dalam Ajang Pemilihan Tujuh Keajaiban Alam Baru (New Seven
Wonder of Nature/N7WN) melalui Menbudpar Ir. Jero Wacik, SE. mengumumkan
keputusan itu dalam acara jumpa pers di Balairung Soesilo Soedarman Gedung
Sapta Pesona di kantor Kementerian Budpar Jakarta, Senin (15/8), yang semula
akan dideklarasikan pada 11 November 2011.
Hadir dalam acara tersebut antara lain Dirjen Pemasaran Pariwisata Kemenbudpar,
Dr. Sapta Nirwandar, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konversi Alam Kemenlut, Ir.
Darori, MM., Kuasa hukum Kemenbudpar, Todung Mulya Lubis, Perwakilan
kementerian terkait serta wakil dari pemerintahan Maldives, Mr. Simon Hwakins,
yang sudah lebih dulu secara resmi mengundurkan diri dari kampanye tersebut pada
Mei 2011.
Semula Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata(Kemenbudpar) bulan Agustus
2008, bersedia menjadi Official Supporting Committte (OSC) atau Lead Agency,
agar TNK dapat terpilih sebagai salah satu dari 7 keajaiban alam baru (N7WN)
yang pemilihannya melalui online voting, berdasarkan perjanjian “Standard
Participating Agreement” sebagai dokumen resmi (legal-binding document) yang
ditandatangani bersama pada awal kampanye dimana menyatakan Kemenbudpar
adalah Official Supporting Commitee dari TNK pada kampanye N7WN. Yayasan
New 7 Wonders pada Desember 2010 menyatakan menyetujui Jakarta (Indonesia)
sebagai tuan rumah penyelenggara deklarasi N7WN.
Untuk itu berbagai kegiatan kampanye online dan offline di dalam ataupun luar
negeri untuk promosi hingga TNK masuk sebagai salah satu dari 28 finalis
kampanye N7WN, setelah menyisihkan sekitar 440 nominasi dari 220 negara.
Namun perjalanan TNK menjadi finalis dan Jakarta (Indonesia) sebagai tuan rumah
penyelenggara menjadi polemik.
Pihak yayasan mensyaratkan pemerintah Indonesia membayar license fee sebagai
tuan rumah penyelenggara sebesar USD10 juta dan menyiapkan USD35 juta untuk
biaya penyelenggaraan acara, dimana saat itu Kemenbudpar baru menyatakan
minat untuk menjadi tuan rumah dan belum menanda tangani persetujuan apapun
maupun mendaftarkan pada dokumen “New 7 Wonders Official Worldwode Bidding
Tender” yang diharuskan pihak Yayasan N7WN.
Ternyata permintaan tersebut ditolak Kemenbudpar karena dinilai tidak realistis.
Reaksi penolakan tersebut berbuntut panjang,Yayasan New 7 Wonders pada
Desember 2010 mengancam akan mengeliminasi TNK sebagai finalis N7WN,
padahal menurut Kemenbudpar kedua hal tersebut sangat tidak berhubungan.
Pertama dikarenakan TNK sebagai finalis kampanye N7WN melalui voting dan
kedua penawaran sebagai tuan rumah penyelenggara merupakan penunjukkan, itu
adalah dua hal yang berbeda dan seharusnya tidak memiliki keterkaitan sama
sekali.
Tanggal 7 Februari 2011 pihak N7WF menyatakan melalui press releasenya bahwa
memutuskan untuk tetap mempertahankan TNK sebagai finalis namun menghapus
peran Kemenbudpar sebagai Official Supporting Commitee. Keputusan ini menurut
Kemenbudpar, dianggap sepihak dan tidak adil karena tidak punya dasar yang jelas,
selain itu pihak N7W belum mencabut maupun membatalkan perjanjian “Standard
Participating Agreement” sebagai dokumen resmi (legal-binding document).
Dirjen Pemasaran Pariwisata Kemenbudpar Sapta Nirwandar mengatakan,
dari hasil penelusuran Kemenbudpar dan hasil diskusi berbagai pemangku
kepentingan, pelaksana kampanye N7WN dinilai sangat tidak konsisten dan
transparan, khususnya dalam segi keterbukaan informasi jumlah suara. “Sebagai
Organisasi Internasional,Yayasan N7WN tidak memiliki kantor yang jelas, dikelola
hanya oleh segelintir orang, namun hendak bertransaksi jutaan dolar,” tegas Sapta.
Berdasarkan fact-finding terhadap kegiatan dan keberadaan yayasan N7W,
akhirnya ditemukan beberapa fakta sebagai berikut:
1. Yayasan N7W sangat berorientasi komersil, padahal mereka menyatakan diri
sebagai yayasan non-profit.
2. Pelaksanaan kampanye N7WN sangat tidak konsisten dan transparan,
khususnya dalam segi keterbukaan informasi jumlah vote (suara) yang didapatkan
dari masing-masing finalis.
3. Sebagai sebuah Organisasi Internasional adalah sangat ganjil bahwa yayasan
N7W tidak memiliki domisili atau kantor yang jelas dan hanya dikelola beberapa
orang (kemungkinan hanya merupakan virtual office), namun hendak berurusan
dengan transaksi jutaan dollar.
Elly Maria Silalahi
Sumber: www.kompasiana.com
Rafflessia Ditemukan Mekar di Mukomuko
Kebetulan saya seorang jurnalis, maka dari itu melalui wadah ini saya hanya ingin berbagi informasi tentang daerah saya.
Minggu (7/8) untuk pertamakalinya bunga Raflessia yang selama ini hanya diperkirakan mekar di kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Daun saja juga ditemukan dalam keadaan mekar di salah satu lahan milik warga tepatnya di desa Talang Baru kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Dimana bunga tersebut hingga saat ini juga merupakan salah satu ciri khas provinsi Bengkulu.
Dan Ramil Ipuh, Kapten Inf Edi Prayitno melalui Bakor Malin Deman Serka Yakup Suseno, saat dikonfirmasi membenarkan telah ditemukannya bunga Rafflessia di salah satu lahan milik warga Talang Baru, Wahid, 45 tahun yang masuk dalam kawasan desa Talang Baru. “Bunga tersebut ditemukan Minggu (7/8) sore sekitar pukul 15.30 WIB dan yang pertama kali menemukannya oleh Nur Arifin, 30 tahun alias Comet. Dimana pada waktu itu dia (Comet, red) hendak memikat burung dan baru saja akan memasang jaring sebagai perangkapnya,” ungkap Yakup kepada RU kemarin.
Menurut keterangan Mamet, lanjut Yakup, pada saat akan memasang jaring itulah melihat bunga rafflesia yang sedang dalam keadaan mekar seperti yang terlihat sekarang. Heran dengan temuan tersebut akhirnya Yakup pulang ke pemukiman dan memberitahukannya kepada beberapa warga. “Akhirnya pada Minggu malam datang ke rumah saya juga menceritakan temuan tersebut, pada awalnya dia tidak percaya tapi setelah fotonya diperlihatkan kepada saya dan memastikan jika itu merupakan salah satu jenis Rafflesia barulah mereka pecaya,” kata Yakup.
Untuk memastikannya lagi, sambung Yakup, kemarin beberapa anggota Koramil langsung dipimpin Dan Ramil menuju lokasi ditemukannya bunga Rafflesia tersebut, setelah sampai ternyata cukup banyak juga bongkol-bongkol bunga tersebut. “Bukan itu saja, tampaknya mekarnya bunga rafflesia ini bukanlah kali pertama hal ini dibuktikan dengan keterangan pemilik tanah sendiri pada waktu terdahulu pernah ada yang jauh lebih besar dari sekarang ini ukurannya. Keterangan dari pemilik tanah memang masuk akal karena dilokasi ditemukannya bunga juga ditemukan bekas bunga yang telah membusuk,” terang Yakup.
Terpisah, Kades Tanjung Jaya, M Yusak, juga tidak menapikkan telah ditemukannya bunga Rafflesia oleh warganya saat akan menjaring burung ditengah hutan yang sudah masuk kawasan desa Talang Baru beberapa waktu yang lalu. “Hanya saja saya mengetahui hal ini pertama kali dari cerita antar warga daerah ini, saya baru yakin jika itu benar-benar bunga Rafflesia ketika ada yang menunjukkannya kepada saya. Dan menurut informasinya masih ada 1 buah bunga lagi yang bakal mekar dalam waktu dekat ini di lokasi yang sama,” ujar Yusak.
Semenjak kabar ditemukannya bunga Rafflesia dilokasi tersebut, banyak warga yang berdatangan untuk melihatnya walaupun lokasi tempat ditemukannya bunga cukup curam dengan kemiringan berkisar 70 derajat. Untuk sementara ini bunga Raflesia yang baru mekar hanya satu berukuran sekitar 60 CM dan tinggi sekitar 20 CM dengan warna merah muda pucat, 1 buah bunga lagi diperkirakan bakal mekar dalam waktu dekat ini. Selain itu juga masih banyak puluhan bongkol bunga rafflessia dilokasi tersebut.
Aftarizal Doni
Sumber: www.kompasiana.com
“Perang Dingin” Antara Megawati dan SBY
Ketua umum PDI-Perjuangan, Megawati Soekarno Putri/Tribunnews/Dany Permana
Pastinya kita bertanya-tanya selama ini, ada apa antara Megawati dengan SBY. Karena Megawati tidak pernah hadir kalau di undang dalam pesta HUT RI di Istana Negara. Memangnya ada salah apa Pak SBY sampai Ibu Megawati malas melangkahkan kaki masuk pekarangan Istana Negara. Padahal tempat itu pernah menjadi tempat beliau juga dahulu. Dan HUT RI merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara Ibu Megawati dengan sejarah kemerdekaan Indonesia dan Presiden pertama RI Ir.Soekarno.
Sudah tujuh kali ini Ibu Megawati tidak pernah melihat megahnya kibaran Sang Saka Merah Putih yang di laksanakan oleh Pasukan Pengibar Bendera. Juga sudah tujuh kali ini Ibu Megawati tidak bertemu dengan pejabat-Pejabat Negara dan Para Menteri serta para undangan Tamu Negara Asing.
Sebagai seorang anggota elite politik, sebenarnya moment seperti ini sangat penting untuk pencitraan diri.
Menurut Guruh Soekarno Putra, kakaknya ini lebih senang menghadiri upacara HUT kemerdekaan di tempatnya sendiri. Bahkan tahun lalu beliau memilih berupacara hikmat di kantor PDI-Perjuangan, di Lenteng Agung.
Padahal, Pemerintah selalu mengundang Ibu Megawati untuk menghadiri acara ini di Istana Merdeka. Sampai HUT yang ke 66, belum satukalipun Ibu Megawati memenuhi undangan Pak SBY. Jadi total sudah tujuhkali tidak hadir sejak beliau berhenti menjadi Presiden di tahun 2004.
Namun, ketika Barack Obama datang ke Indonesia tahun 2010, tanpa keberatan dan dengan senang hati Ibu Megawati melangkahkan kaki kembali masuk ke dalam Istana Merdeka. Duduk bersama para tamu negara asing dan para undangan lainnya. Bercengkerama dan menikmati pertemuan tersebut. Kita berpikir, masak Presiden Amerika lebih penting daripada perayaan HUT Kemerdekaan bangsa sendiri. Aneh kan.
Memangnya siapa Barack Obama, sampai meluluhkan kekerasan hati ibu Megawati.
Apakah karena Amerika, Megawati hadir di Istana?
Menurut pengamatan saya dan beberapa pengamat, memang demikian.
Amerika memang sejak dahulu kala tidak pernah lepas dari peta catur perpolitikan Indonesia. Maka tak heran Ibu Megawati hadir ketika “Anak Menteng Dalam” sejenak pulang kampung.
Dan menurut aturan baru, maka sebutan untuk Ibu Megawati bukan “mantan Presiden RI” tetapi “Presiden ke–lima”. (ada yang bisa memberitahu saya mungkin tentang peraturan ini!). Menurut saya kalau berdasarkan urutan kepemimpinan maka memang tepat sebutan Presiden ke-lima RI.
Tetapi kalau “mantan” juga tidak salah. Hanya saja analoginya kalau mantan mengarah pada “bekas atau eks.” Dan sebagai penghormatan kita kepada jasa seseorang yang telah menjadi pemimpin bangsa ini tentunya tidak begitu saja loyal dengan “mantan Presiden.” Akan tetapi Presiden ke-sekian.
> Mungkin saja Megawati mengharapkan bantuan Amerika untuk pesta tarung tahun 2014 nanti. Megawati sendiri sudah lewat usia pencalonan , tetapi mungkin bisa untuk Puan putrinya. Bagaimanapun Amerika rupa-rupanya masih senang dilirik oleh parpol di Indonesia dalam sepak terjang mereka untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Dan Amerika memang tidak lelah-lelahnya menelusup mencari pegangan agar tetap eksis di kawasan Asia Tenggara.
Dengan kasus Nazaruddin ini saja kalau diteliti terus maka “benang merahnya” pasti ada Amerika di dalamnya.
> Atau memang taktik diplomasi Megawati untuk membuktikan dirinya pada Amerika, bahwa beliau sebagai putri dari tokoh Pemimpin Indonesia yang sangat Legendaris – Ir. Soekarno, Presiden pertama RI masih tetap eksis. Baik di tingkat nasional dan tingkat internasional. Masih dipandang oleh bangsa Indonesia
Kesempatan yang mubazir memang kalau sampai Megawati kala itu tidak hadir. Bagaimanapun, figur Barack Obama yang ketika itu pasti masih “bocah ingusan di bilangan Menteng Dalam, dan masih sekolah SD,” belum tahu benar siapa Megawati Soekarno Putri. Mungkin kalau nama Presiden RI yang pertama beliau sudah tahu. Tetapi tidak menyangka kalau putrinya kelak menjadi pemimpin di negeri ini.
Apakah Megawati tidak menghormati HUT RI
Megawati itu sangat menghormati HUT RI. Situasi ini merupakan titik tolak tonggak sejarah RI dimana ayanda beliau adalah pencetusnya atau founding father RI, juga dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Ketidak hadiran beliau tentunya ada sangkut pautnya dengan relasi beliau yang boleh dikatakan “perang dingin” dengan Presiden SBY. Perang dingin dalam soal politik.
Mereka memang sering tidak akur, apalagi ketika tahun 2004 SBY menjadi saingan utama Megawati dalam pemilu CaPres. Dan semakin tidak harmonis lagi ketika SBY mengundurkan diri dari jabatan sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, ketika Megawati masih berkuasa. Jadi memang keduanya sudah lama selalu tidak akur. Masing-masing memiliki prinsip yang tidak mau didahului dan mendahului. Umum katakan, sama-sama oposan dilarang saling mendahului.
Sampai saat ini memang Megawati selalu mengkritik kinerja Presiden SBY:
a. bahwa pemerintahan KIB I dan KIB II ini hanya senang pencitraan saja,
b. banyak kebijakkan pemerintah yang kacau balau,
c. dikritik juga mengapa Satpol PP selalu menggunakan senjata melawan publik,
d. mengkritik bahwa pemerintah tidak teliti mengurus persoalan tabung gas 3kg, dimana rakyat menjadi korbannya.
Kritikan dan keluhan Megawati ini memang buat kesal banyak pejabat pemerintah. Bahkan kritikan ini dianggap angin lalu saja oleh mereka.
Karena masa pemerintahan SBY itu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan masa Megawati, dimana pemerintah dengan APBN nya mampu menembus jumlah 1.100 triliun rupiah. Era Megawati sendiri tidak pernah bisa menembus angka 600 triliun rupiah. (Vivanews.com 5 Agustus 2010).
Rupanya, kerikil-kerikil inilah yang membuat Megawati memang menjaga jarak dengan lingkungan Istana. Seperti pemikirannya untuk perbaikan bangsa ini dianggap angin lalu saja. Jadi, memang dapat dikatakan Ibu Megawati sakit hati dengan Presiden SBY.
Kenyataannya, kita suka atau tidak dengan pemerintahan Presiden SBY ini karena prihatin dengan kondisi negara Indonesia. Ternyata realisasi APBN 2011 jauh lebih baik jika dibandingkan periode yang sama tahun 2010. Peningkatan Belanja Negara 13,9% dari tahun lalu. Hibah Rp.213,8 triliun, atau naik Rp.38,8 triliun dari tahun 2010.(Kompas.com 14 april 2011).
Jadi kritikan kita dan juga kritikan Megawati , sebenarnya jatuh pada tempat yang tidak sebenarnya. Karena memang bukti angka-angka realisasi APBN sampai masuk tahun 2011 bulan maret kemarin adalah jawaban yang valid.
Nah, jadi kritikan Megawati dan publik yang merasa bahwa negara ini dalam kondisi carut marut berdasarkan karena apa? Karena ketidak senangan yang bersifat subjektif atau objektif.
Della Anna
Sumber: www.kompasiana.com
Kemerdekaan Indonesia Kini Untuk Siapa?
Bulan Agustus bisa dikatakan menjadi bulan teristimewa bagi bangsa ini. karena pada bulan Agustus ini, Bangsa Indonesia ini dapat bersatu, membulatkan tekad menjadi bangsa yang mandiri, dan membebaskan diri dari cengkraman penjajah yang telah mendiami bangsa ini sekaligus mengeksploitasi isi perut bumi Indonesia berabad-abad lama nya. melalui sosok dwi Tunggal Ir.Soekarno dan Moh.Hatta bangsa ini mem-proklamasikan kemerdekaannya.
Hari ini tepat tanggal 17 Agustus 2011 bangsa ini merayakan genap ulang Tahun Kemerdekaannya yang ke-66 Tahun. Sebuah perjalanan panjang dan berliku sudah dan akan terus dilalui oleh bangsa ini dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. diawal kemerdekaan bangsa ini harus bersusah payah menyatukan segala sesuatu nya, banyak melakukan rekonsiliasi dalam kehidupan berbangsa. hal ini dapat dimaklumi, karena sebagai bangsa yang baru terlahir, Bangsa Indonesia harus terlebih dahulu menguatkan pondasi kebangsaannya agar dapat kuat menopang kehidupan bernegara di tahun-tahun berikutnya. Hal yang mungkin saja paling kita ingat peristiwa diawal-awal Indonesia merdeka adalah bagaimana langkah Ir.Soekarno yang sangat patriotik untuk melakukan nasionalisasi untuk seluruh asset yang tadi nya milik penjajah yang terkutuk dengan tujuan untuk menggerakkan perekonomian anak Bangsa.
Selepas Rezim heroik khas Ir.Soekarno dan Moh Hatta, datanglah rezim baru yang pada masa nya juga ikut mewarnai perjalanan bangsa ini. Tepatnya pada Tahun 1966, sosok H.M. Soeharto hadir mengisi tampuk kekusaan Republik kita ini. dengan mengusung nama “orde baru” H.M.Soeharto menawarkan gagasan untuk Koreksi total atas semua penyimpangan yang terjadi di masa orde lama dibawah komando Ir.Soekarno. Rezim Orde baru ini berlangsung pada periode 1966 hingga 1998, seperti yang kita ketahui Presiden Soeharto memimpin bangsa ini selama 32 Tahun. Selama kurun waktu inilah warna bangsa Indonesia semakin berwarna-warni dibuatnya. karena, dibawah orde baru pertumbuhan ekonomi bangsa yang tercapai, namun tak dapat dipungkiri pada masa orde baru inilah, bangsa ini memiliki budaya baru yang bernama korupsi. Selain itu, bangsa ini mengalami sebuah fase kemiliteran yang tegas dan keras. berlindung di balik tank-tank militer inilah rezim Soeharto mengambil keputusan terkenal hingga kini, diantara nya pelarangan berekspresi warga keturunan Tionghoa, mereka di anggap sebagai warga negara asing, sehingga menghapus hak-hak mereka sebagai warga negara. selain itu. Di rezim inilah bangsa kita mengalami fase-fase hitam di dunia informasi, dikarenakan kebebasan Pers di kerdilkan, hal ini ditandai dengan banyaknya media massa yang di bredel. ditengah banyak nya noda hitam, tidak bisa dipungkiri oleh Republik ini.
Rezim Orde baru pernah mencapai hal-hal positif untuk rakyatnya, diantaranya: Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$ 70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari US$ 1.560, sukses Transmigrasi, Sukses KB, Sukses mengurangi Buta Huruf, Sukses swasembada pangan, Pengangguran minimum, Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Sukses Gerakan Wajib Belajar, Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh (GN-OTA), Sukses keamanan dalam negeri, Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia, Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Pada periode Tahun 1998, terjadi pergolakkan besar di bangsa ini. dimulai dengan krisis finansial yang mendera bangsa ini pada pertengahan 1997. disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. hal ini lah yang diyakini menjadi awal mula jatuhnya rezim orde baru. melihat negara yang berada dalam titik nadir, para pemerhati nasib bangsa keluar dari sarangnya. disertai perjalanan sejarah yang panjang, dan dimotori oleh kaum akademisi kampus atau biasa sebut dengan Mahasiswa proses penggulingan H.M.Soeharto di mulai. perjuangan para mahasiswa ini ditambah dengan dengan gerak para tokoh bangsa, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 H.M.Soeharto menyatakan mundur sebagai Presiden Indonesia. Selepas pernyataan mundurnya H.M. Soeharto dari tampuk kekuasaan, bangsa Indonesia memasuki periode barunya dalam menjalani kehidupan berbangsa nya. Periode baru ini kita kenal dengan periode Rezim Reformasi. pada rezim Reformasi ini bangsa Indonesia kerap sekali berganti tampuk pimpinan Republik, sehingga memunculkan nama-nama Berikut sebagai pemimpin bangsa. tokoh-tokoh itu ialah: B.J.Habibie, K.H.Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Di masa Reformasi ini, hanya nama Susilo Bambang Yudhoyono yang dapat sukses menjadi pemegang kekuasaan Republik ini terlama. Karena SBY sapaan akrab presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini berhasil duduk sebagai penguasa kekuasaan Republik ini selama 2 Periode berturut-turut. SBY awal naik sebagai Presiden pada tahun 2004-2009. lalu pada periode berikutnya 2009 SBY yang berganti pasangan ini sebagai wakil nya terpilih kembali dalam pemilihan umum 2009 yang konon menjadi pemilu pertama yang memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. selepas pemilu 2009 itu, hingga kini SBY berserta Boediono menguasai rezim Reformasi ini. seperti Rezim-Rezim sebelumnya, Rezim SBY ini juga mengalami fase-fase negatif dan tak jarang hal-hal postif. Di Rezim SBY ini hal positif yang paling dapat dirasakan semakin baiknya kebebasan Pers di Indonesia. Dan melalui Pers inilah Rakyat dapat memantau tingkah laku pemimpinnya. melalui kebebebasan Pers inilah Rakyat dapat melihat hal-hal yang berbau negatif pula dari pengelolaan negara ini. sesuatu yang langka dan bahkan mustahil di lihat di Rezim Sebelumnya.
Rezim Reformasi dibawah kekuasaan SBY, tampaknya menjadi perjalanan terberat Republik. karena, di Bawah kekuasaan SBY inilah tersajikan untuk dikonsumsi Rakyat, hal-hal yang sangat memalukan dan menjijikan dari tingkah para pemegang amanah rakyat. hal-hal tersebut, diantaranya nya adalah: mencuatnya kasus Mafia hukum dimana para pemegang amanah. Di bidang hukum Republik memper-jual belikan hukum, Korupsi semakin sistemik, kasus centuri, mafia pemilu, mafia Pajak dimana para pemegang amanah pengelola pajak Republik ini bermain-main dengan profesi nya, sehingga pemasukkan negara tidak optimal, serta yang terbaru adalah terkuaknya Korupsi sistemik di bidang anggaran dewan, selain itu, di rezim inilah baru diketemukan para politisi pembohong untuk menutupi kebobrokkan yang terjadi, beserta pemimpin yang kerap “curcol” (curhat colongan) , hingga mengusik ketenangan Yogyakarta, dan para pemimpin negeri ini tidak bergeming ketika melihat Kedaulatan negeri ini kerap di injak-injak oleh negeri seberang.
Melalui peran Pers ini pula kita semakin mengetahui, bahwa dibawah Rezim SBY perjalanan kehidupan Rakyat Indonesia juga mengalami hal-hal yang tidak lebih menggembirakan dari rezim-rezim sebelumnya. Rakyat Indonesia mengalami fase-fase dimana biaya kehidupan nya sangat berat, padahal seperti kita ketahui Rezim SBY mengklaim pertumbuhan Ekonomi yang tinggi. Pada Rezim SBY inilah rakyat juga mengalami sebuah ketidak pastian hukum di tanah airnya sendiri, karena pedang hukum hanya tajam ke kaum bawah Republik ini. Di bidang Pendidikan Rezim SBY juga tidak menunjukkan prestasi yang lebih hebat dan visioner ketimbang rezim sebelumnya. Masih banyak gedung-gedung sekolah yang hancur di daerah-daerah, akses menuju sekolah yang masih sulit juga masih kerap ditemui, ditengah-tengah beribu-ribu permasalahan di bidang Pendidikan ini Rezim SBY tetap angkuh untuk menggelar Ujian Nasional sebagai Tolak Ukur Kelulusan siswa. Rezim SBY juga masih belum dapat berperan terdepan untuk meratakan pembangunan Republik. Sehingga banyak daerah yang jenggah dengan realita yang ada sehingga mereka berteriak ingin merdeka, atau ingin kibarkan bendera negara lain di tanah Ibu pertiwi. ditengah kondisi perjalanan rakyat Indonesia yang serba sulit, Rakyat di suguhi pemandangan Pejemputan seorang KORUPTOR menggelontorkan Uang Rakyat sebesar 4 Milyar dengan pertunjukkan yang berlebihan.
Berkaca pada hal ini, sudah seharusnya rakyat Indonesia kembali menyakan esensi kita merdeka. sebuah pertanyaan yang timbul dari tingkah laku negatif yang menjijikan para pemimpin negeri ini. Terutama para penerus tongkat komando pemimpin bangsa dimasa kini., selain itu, tampaknya negeri ini masih belum dapat memberikan perhatian terbaik terhadap seluruh sejarah dan pelaku sejarahnya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh Veteran yang kerap mendapat perlakuan buruk dari negara. Padahal sosok pemimpin saat ini diharapkan dapat merekonstruksi kembali tujuan kita berbangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sekaligus MEWUJUDKAN HAL ITU menjadi nyata bukan sekedar pemanis Kemerdekaan saja.
Untuk itu menjelang detik-detik proklamasi yang ke-66 Tahun kita sebagai bangsa dan negara. sekaligus yang bertepatan dengan 17 RAMADHAN ini, mari kita rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia tertunduklah sejenak sekaligus serentak berteriak:
KEMERDEKAAN INDONESIA KINI UNTUK SIAPA..?? untuk seluruh Rakyat Indonesia kah atau hanya untuk segelintir manusia yang mendiami lingkaran kekuasaan Republik Indonesia…
DIRGAHAYU TANAH AIR KITA, INDONESIA TERCINTA…
TERIMA KASIH UNTUK PARA PENDAHULU BANGSA..Ahmad Zain
Sumber: kompasiana.com
"Dul van Gubug" Pendiri Agrakom (detik.com)
Kawan, berkembangnya dunia internet di tanah air yang kita nikmati sekarang ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari peran wong Grobogan yang bernama Abdul Rahman. Kisah sukses Abdul Rahman yang berasal dari keluarga petani di Gubug itu telah dimuat di Majalah SWA edisi No. 21 bulan Oktober 2009 dan akan dipaparkan disini oleh pgy dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2009.
Sebenarnya banyak kiprah sukses pemuda-pemuda Grobogan.Kali ini Abdul Rahman yang dipilih. Pemuatan kisahnya hanya satu tujuan : Semoga memberi inspirasi bagi pemuda-pemudi Grobogan untuk tidak takut untuk bermimpi besar dan tidak pantang menyerah menghadapi keadaan dalam menggapai mimpinya itu. Kuncinya seperti cerita di bawah nanti adalah tekun belajar dan menyukai tantangan. Kita pasti bisa......
PERJALANAN MENDAKI “Dul van Gubug”
Walau lahir di desa dan dibesarkan di kota kecil, Abdul Rahman mampu mengibarkan diri jadi perintis bisnis modern dotcom di Indonesia. Bagaimana perjalanan sukses pendiri Agrakom ini?
“Wah, Mas Dul bakalan kaya.Liat aja nanti, umur 40-an ”. Abdul Rahman, yang dipanggil Mas Dul itu, Cuma senyum-senyum.Juga teman-teman lain yang diramal rezekinya bakal biasa-biasa saja.Mungkin karena ramal-meramal itu dilakukan di antara beberapa pitcher bir yang telah hampir tandas.Atau mungkin juga, karena peramalnya hanyalah rekan wartawan yang, pada sore di awal tahun 1990-an itu, santai bersama selepas tekanan deadline.
Belasan tahun kemudian, ketika di sebuah kafe di bilangan Pondok Indah diingatkan tentang ramalan tersebut, Mas Dul yang sama cuma bilang, “ Udah lupa.” Lagi pula, lanjutnya cepat, “Aku nggak percaya pada ramalan.”
Bagi AR, demikian Dul kerap disebut,segala sesuatu hanya layak dipercaya kalau dapat diterangkan dengan logika.Padahal, perjalanan sukses AR sendiri terbilang unbelievable. Lompatan yang dia lakukan kelewat besar. Dari segi “ geografi ”, lompatan tersebut dari kampung halaman di pelosok Jawa Tengah bernama Gubug ke perumahan elite Pondok Indah dan, dari segi karier, dari seorang yang tak punya pekerjaan tetap menjadi co-founder,co-owner sekaligus CEO bisnis dotcom terakbar di Indonesia yang terus berkembang pesat : PT Agranet Mulicitra Siberkom alias Agrakom.
Saat ini, AR menyebutkan,jumlah karyawan Agrakom sebanyak 300-an.“Masih kecil…”ujarnya.Lelaki yang hobi menyelam ini jelas merendah.Agrakom, kita tahu, tak lain adalah pemilik Detikcom, kampiun situs berita online.Sebab itu, bisa ditebak, mereka mendominasi pasar iklan internet di Tanah Air.Kalau Detikcom menggengam 30% pasar iklan dunia maya yang pada 2008 bernilai US$ 15-20 juta, ini perkiraan yang cukup konservatif dari bisnis ini saja Agrakom telah meraup pendapatan US$ 5-6 juta, atau Rp. 50-60 miliar.Ditambah pendapatan dari bisnis lain, Salah satunya ring-backtone, pada tahun lalu diperkirakan perusahaan mereka menangguk revenues Rp. 85-100 miliar.
Didirikan pada September 1995,Agrakom bermula dari pertemuan Dul dengan Didi Nugrohadi yang, bersama Winardi (dan seorang mitra lagi bernama Armin), telah menggeluti bisnis creative advertising sejak awal 1994.Memiliki jejaring yang cukup luas,terutama berkat (almarhum) Winardi, mantan fotografer Majalah Tempo dan Editor yang kenal dekat dengan banyak petinggi BUMN, perusahaan yang mereka besut,PT Agra Kreatif Indikom, telah cukup maju.
“Waktu itu kami punya uang cukup banyak,” tutur Didi. Namun Budiono Dharsono, yang bergabung dengan Agra setelah tabloid Detik tempat dia menjadi redaktur pelaksana dibredel pemerintah Soeharto, meyakinkanya, “Kita mesti berbisnis sesuatu yang bagus, yang baru dan orang lain belum punya.” Budiono inilah yang memperkenalkan Didi dengan Dul.Merasa cocok, Dul sepakat memperkenalkan orang-orang Agra dengan Internet yang pada waktu itu, awal 1995, masih baru. “ Bisnis Internet muncul dari Abdul, 100% Abdul,” ujar Didi.
Ketika merencanakan Agrakom, Dul yang Masih menjadi Redaktur Khusus SWA menepati posisi komisaris.Dan Agra, Didi dan Budiono bergabung dibisnis baru ini, sementara Winardi, lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri yang tak begitu tertarik pada teknologi, menjalankan Agra. Untuk menangani masalah teknis, mereka merekut Yayan Sopyan, mantan wartawan Detik.
“Kami punya uang,“ tutur Didi. “Meski uang kami tidak banyak, kami pakai uang sendiri, sekitar Rp 200 juta.” Pada masa prakrisis 1997, dengan kurs Rp. 2500/US$, modal yang “tak banyak” itu cukup buat menyewa kantor kecil Stadion Lebak Bulus, membayar gaji 8 karyawan (termasuk dua programmer dan dua desainer) dan, terutama, membeli peranti lunak Internat yang di Indonesia masih langka.
Mulanya, Dul berpikir ingin membuat bisnis Internet service provider (ISP).Akan tetapi di era Orde Baru itu, perizinan yang memerlukan infrastruktur telekomunikasi ini sangat rumit. “Orang mengira dalam bisnis itu yang sulit adalah modal.” Ujarnya . “Menurut pengalaman, di sini yang rumit justru perizinan.”
Kendala perizinan tersebut, dan munculnya banyak ISP yang didukung perusahaan besar, memaksa Dul mencari bisnis alternative. Dia lalu menyadari bahwa Internet bukanlah tentang teknologi. “Jadi, dari awal aku melihat Internet adalah tentang komunikasi,“ ujarnya. Maka, diarahkannya Agrakom sebagai penyedia solusi komunikasi online. Waktu itu, kalangan ISP juga menyediakan jasa pembuatan situs Web, tetapi Agrakom-lah perusahaan pertama yang menjadi penyedia jasa desain situs Web murni.
Sebagai perusahaan dengan jasa desain sebagai bisnis inti,Agrakom tentu terdorong memberikan desain Web yang terbaik komunikatif, enak dilihat, dan mudah diakses.Tak heran kalau Dul dan kawan-kawan mampu mengalahkan para pesaing yang, karena bisnisnya yang berbasis teknologi, tak terlalu memahami visi para pengguna. “Mereka hanya bikin yang asal mudah diakses saja.” Ujarnya.
Pada 1995 itu, kebanyakan perusahaan belum merasa perlu menyajikan informasi di dunia maya dan baru kalangan media yang menjejakkan kaki kekanal komunikasi yang belum banyak dikenal itu.Sebab itu, tak mengherankan, Agrakom menetapkan Kompas, kampiun industri media massa di Indonesia, sebagai target pertama. Waktu itu, harian dengan tiras terbesar ini telah memiliki situs Web.Kenyataan bahwa mereka menerima desain situs baru yang ditawarkan Agrakom menunjukkan kejelian Dul memilih model bisnis.
Sukses dengan Kompas, raksasa media yang high profile itu, menarik media besar lain,termasuk Bisnis Indonesia dan Infobank, mengetuk pintu Agrakom.Setelah itu, dan sejalan dengan semakin populernya Internet sebagai media komunikasi bisnis, berdatangan pula perusahaan-perusahaan besar lain dari beragam industri menjadi klien Agrakom.Sebut saja Grup Ciputra,PT Timah (Persero) dan Oto Multiartha.
“Segala sesuatu hanya layak dipercaya kalau dapat diterangkan dengan logika.”
Alhasil, menurut catatan Kontan, dalam dua tahun Agrakom berhasil menangguk pendapatan US$ 800.000 (waktu itu sekitar Rp. 20 miliar).Sukses awal ini ditandai dengan pindahnya kantor Agrakom dari lantai 2 ke lantai 1 yang lebih luas, walau masih di gedung yang sama, Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, buat menampung karyawan yang telah bertambah 30-an.Perkembangan bisnis Agrakom yang cepat juga membuat pengusaha lain mencium peluang dan menjajakan jasa situs Web.
Kendati demikian, bukan persaingan yang mengeras yang membuat pendapatan Agrakom terjun bebas. Yang membuat mereka gonjang-ganjing adalah krisis moneter yang melanda Tanah Air pada Oktober 1997. Permintaan klien yang bisnisnya terpuruk untuk mengubah standar biaya dolar yang dikutip Agrakom menjadi rupiah membuat pendapatan menurun, sementara biaya terus membengka.Maka, perusahaan-perusahaan dotcom pun mulai bertumbangan.
Agrakom masih mampu bertahan, karena tertolong oleh jasa pemeliharaan situs Web yang masih terus dibayar oleh klien. “Mereka, para klien itu, tak mau situsnya mati begitu saja,“ ujar Dul.Hal lain yang menolong, Agrakom sempat mendiversifikasi bisnis dengan mendirikan perusahaan public relations.
Namun, order yang merosot drastis membuat banyak tenaga menganggur,tenaga terlatih yang waktu itu cukup langka sehingga sayang kalau dilepas.Maka, para petinggi Agrarom berupaya keras mencari terobosan. Terpikir oleh mereka untuk membangun situs Web milik Agrakom sendiri.Salah satunya, yang terpikir oleh Dul, situs dengan search engine seperti Yahoo! “Tapi, kalau search engine global, pasti nggak bisa bersaing dengan Yahoo!” ujarnya. Dan, Dul tak menemukan bentuk search engine global khusus (yang belakangan sukses melahirkan alibaba.com dan lain-lain di Cina, negeri dengan system informasi tertulis yang unit itu).
Akhirnya, kita tahu, Agrakom meluncurkan situs berita online, pada 8 Juli 1998. “ Ide itu bukan dari aku, melainkan Budiono dan Yayan,” ujar Dul sambil menghirup anggurnya. Budiono juga yang merancang dan mengupayakan namanya, mengambil nama tabloid yang pernah digawanginya : Detikcom.
Awalnya situs yang sejak awal dirancang selalu menampilkan breaking news yang selalu di update ini model CNN tetapi mengambil bentuk media tulis online mencari media yang telah ada sebagai mitra.Karena tak ada yang berminat, mereka merekrut tiga wartawan.
Lagi-lagi, langkah Agrakom tersebut mengundang masuknya pesaing.Bahkan pesaing itu, Astaga.com, menyerbu dengan otot capital yang lebih kuat.Didirikan oleh seorang ekspatriat yang telah memilik jejaring Internasional, astaga.com berhasil menarik modal ventura.Setelah itu Indo.com (e-commerce) dan Jatis (software house) juga berhasil membangun otot capital yang kuat dengan bantuan perusahaan modal ventura dan bank investasi Internasional senilai jutaan dolar AS.
Dari satu sisi, terlihat posisi Agrakom terjepit bak pelanduk di tengah kawanan gajah.Namun Dul justru melihat sebuah peluang : bisnis Dotcom Indonesia telah dilirik oleh pemodal Internasional.Optimisme ini bertambah setelah Detikcom mendapat pinangan dari media asing. “Tawaran itu aku tolak karena mereka mau ambil semuanya,” ujarnya.
Untuk mendapatkan modal yang tepat, Dul melakukan pencarian di Internet. “ Aku kirim e-mail ke beberapa perusahaan keuangan diluar negeri,“ tuturnya, “Baru, setelah ada kecocokan, aku dan Budi(ono) ketemu wakil dari Tech Pacific dari Hongkong, di Singapura.”
Dalam pertemuan pada November 1999 tersebut, Dul membeberkan bahwa Astaga.com berhasil menarik modal ventura US$ 7 JUTA. Artinya, valuasi Astaga.com pasti jauh diatas US$ 7 juta. Lalu, dia menawarkan 16,7% saham Agrakom senilai US$ 1 juta. Artinya, keseluruhan perusahaan yang menjadi perintis bisnis berita online dan telah memiliki situs Web yang terus di update hanya di valuasi US$ 6 juta, jauh lebih kecil dari valuasi Astaga.com yang belum punya produk.
“Pembicaraan hanya berlangsung beberapa menit,” tutur Dul. “Setelah syarat dipenuhi, mereka langsung teken kontrak kerja sama.” Syarat yang diajukan Tech Pacific? Sebagai jaminan bahwa Detikcom akan dijalankan dengan serius, Dul diharuskan in-charge penuh dalam manajemen Agrakom. Agaknya, orang-orang dari boutique distributor teknologi informasi yang didirikan di Melbourne pada1985 itu tahu betul bahwa otak dari Agrakom adalah Abdul Rahman. Didi, salah satu pendiri Agrakom, juga menandaskan peran sentral AR. “Kalau tidak ada Dul,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon dengan SWA, “tidak akan ada Detikcom.” Dialah yang memperkenalkan Internet dan menyakinkan bahwa Internet adalah bisnis masa depan. Bahkan sejak awal, waktu Dul masih di SWA dan cuma ke kantor Agrakom di Lebak Bulus tiga kali seminggu, lanjut Didi, “Setiap pembuatan proposal selalu melibatkan dia. Kami selalu minta opininya.”
Memenuhi komitmen dengan Tech Pacific, pada 2000 Dul menanggalkan baju wartawannya dan menerima jabatan sebagai CEO. “Budi(ono) milih jadi Pemred Detikcom,” tuturnya.
Setelah itu, seperti kata orang, adalah sejarah.Agrakom merekut lebih banyak wartawan dan pada 2001 mulai membukukan laba setelah menderita kerugian kecil pada 1999.Dan sekarang setelah Winardi dan Amin serta Yayan dan Didi keluar, Calvin Lukmantara damn Mitsui masuk, Tech Pacific melepas saham Agrakom ke Tiger Fund Singapura dengan pendapatan menebus Rp. 100 miliar, laba agrakom tentu tak kecil lagi.
Dan laba ini akan terus menggelembung dengan membesarnya kue iklan online serta tumbuhnya produk Detikcom.Kue iklan online misalnya, nilai pasar US$ 15 juta sampai US$ 20 juta itu baru sekitar 0,5 % belanja iklan total. Jadi, kalaupun belanja iklan secara keseluruhan tak bisa tumbuh kelewat bongsor, masih sangat luas ruang bagi kue iklan online untuk mengembang.Sebai gambaran, kue iklan online di Amerika Serikat mencapai 18%. Tak mengherankan, Dul pun optimis, “Pendapatan iklan tahun ini akan tumbuh hamper 100 %.
Apa yang membuat Abdul Rahman, yang berasal dari keluarga petani di Gubug, sebuah kecamatan di pelosok Jawa Tengah yang diapait dua pegunungan kapur, begitu jeli menangkap peluang bisnis yang bahkan tak terdeteksi oleh radar orang-orang pintar dari kota besar? Kalau anda menebak karena Dul van gubug sangat cerdas dan suka tantangan, itu tak salah.Ismed Surachmad, psikolog yang pernah menjadi staf sumber daya manusia Tempo ketika Dul menjadi wartawan disana pada 1983-84, mengatakan bahwa Dul memiliki IQ tinggi. “ Dia, bersama Bambang Harymurti, sudah dijagokan menjadi pemred to be,“ ujarnya. Belakangan, Bambang terbukti menggantikan Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi Tempo.
Dul yang enggan menetap sebagai wartawan tentu saja tak menjadi pemred.Akan tetapi keputusannya, dan terutama keberaniannya untuk tidak terikat pada pekerjaan tetap, itu ikut menempatkannya pada posisi yang tepat ketika peluang datang.Dalam keadaan seperti ini, IQ Dul yang tinggi dan keberaniannya mencari tantangan jadi faktor penentu dalam menangkap peluang bisnis?
Sekali lagi, tak salah, tetapi juga seluruhnya betul, sebab Dul bukanlah satu-satunya wartawan yang cerdas, berani ambil resiko dan mau kerja keras. Banyak faktor yang membuat Dul siap ketika peluang datang dan faktor-faktor tersebut umumnya tak dapat dikontrol, bersifat kebetulan.
Lazimnya, tempat dan lingkungan kelahiran di daerah yang kelewat udik membuat orang terkungkung dalam tempurung keterbelakangan desa.Pada Dul, hal ini tak terjadi karena berkat fackor eksternal seperti itu.Di sekolahnya, satu-satunya SD negeri di Gubug, kebetulan dia memiliki seorang guru yang mampu membukakan cakrawala ke dunia luar. “ Namanya Pak Yadi, ” katanya tanpa menyembunyikan rasa syukur. “ Dia bukan cuma bagus ngajarnya, tapi juga membangkitkan semangat.”
Selain itu,faktor kedua dan yang tak kalah penting, desa yang minim fasilitas tersebut juga memungkinkan imajinasinya berkembang.Pasalnya, di dekat rumah ada taman bacaan, alias kios persewaan buku (umumnya komik dan novel) yang di kota besar semacam Jakarta marak pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, sehingga minat bacanya bisa tumbuh subur. “ Di situ aku mengenal buku-buku Kho Ping Hoo,” tuturnya.
Karena otaknya encer, kegetolan Dul kecil membaca bermacam-macam buku tak menghalangi prestasi sekolahnya.Pada 1971, dia lulus SD dengan nilai sempurna, seluruh mata pelajaran yang diujikan waktu itu Berhitung, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam mendapat nilai 10.
Dul kecil meneruskan SMP di kota yang lebih besar, Kudus.Karena nilai kelulusan SD-nya yang bagus, dia tenang saja ketika didaftarkan di SMP negeri satu-satunya di Kota Keretek itu.Dia tak tahu, karena pindahan dari desa, dia ditempatkan sebagai cadangan. “ Waktu itu ibuku berjuang keras sampai aku dapat kelas, “ tuturnya dengan rasa haru.
Bagi seorang Dul, ibunya yang bernama Siri Muanah adalah segalanya. Memang, Dul juga bercerita tentang ayahnya, Muhammad Karamah, tetapi hanya yang terkait dengan hal-hal yang membuat ibunya menjadi pejuang yang hebat bagi anak-anaknya. “Kakekku orang Arab asli,” tuturnya. Sang kakek bercerai dari neneknya, anak seorang kepala desa di Gubug, ketika ayah Dul masih kecil. “Lalu nenekku itu kawin lagi dengan orang kaya di desa dan punya 2-3 anak lagi.”
Mendapat pendidikan yang cukup baik, Muhammad sempat jadi manajer di sebuah perusahaan rokok kecil. Namun, ayah Dul kemudian memutuskan jadi pedagang. Berpatungan dengan para pedagang tekstil di Solo, semua orang Arab, suatu hari sang ayah kebagian tugas kulakan. Hasilnya? Bangkrut. Karena, tutur Dul, “Gerbong yang mengangkut barang-barang yang dia beli dari Jakarta hilang.” Pada masa perang kemerdekaan itu, gerbong barang memang sering dijarah dalam perjalanan.
Muhammad pun lalu memboyongkan mudik keluarganya. Untungnya, ayah Dul pandai bergaul. Dia bisa main main bridge dan lancar berbahasa belanda maupun arab sehingga cepat akrab dengan pejabat desa dan para pedagang Cina. Hubungan dengan pedagang Cina itu, seorang pedagang beras, nantinya membantu sang ayah membeli lahan dan menata-ulang hidupnya sebagai petani.
Dalam keadaan terpuruk itulah, Siri sang ibu bermetamorfosis dari seorang ibu rumah tangga biasa menjadi pejuang yang gigih bagi anak-anaknya. “ Ibuku dari Kudus,” kata AR. Karena berasal dari daerah yang lebih maju perdagangan, bahkan industri, telah tumbuh dikota yang dekat dengan Demak, pusat kekuasaan baru setelah Majapahit runtuh pada awal abad ke 16 Siri memiliki ketrampilan lebih dibanding kaum perempuan Gubug. Maka, dituntut oleh keadaan, ibu tujuh anak itu lalu membuka usaha jahitan, kemudian juga sebuah toko pakaian kecil. “ waktu itu, jahitan kebaya ibuku dikenal sampai ke Purwodadi.”
Memiliki keberdayaan secara financial, Siri yang sadar pentingnya pendidikan mengirim semua anaknya ke Kudus selulus SD. Di kota itu, Dul dan saudara-saudaranya dititipkan ke neneknya. Kudus membuka lebih luas cakrawala berpikir Dul. Kota yang lebih besar tidak hanya menyediakan fasilitas pendidikan yang lebih baik, tetapi juga lingkungan yang lebih kompetitif, yang memaksa seorang anak berupaya lebih keras dan mengasah bakatnya mendekati batas. Dan Dul mendapatkan lebih dari yang bisa diharapkan dari sebuah kota kabupaten. Faktor plus itu adalah: “Aku ketemu Waskito.”
Pertemanan dengan Waskito ini layak disebut khusus karena teman SMP yang berasal dari keluarga relative kaya ini ayah Waskito yang petinggi Dinas Pertanian setempat menyediakan banyak buku dan kaset musik buat sang anak membukakan Dul akses pada hal yang hanya dapat dinikmati anak-anak yang beruntung di kota besar.Dengan sobat sebaya yang juga memiliki minat luas itu, tuturnya, “ Aku bisa diskusi filsafat, sastra, sejarah, geografi : dengar macam-macam musik, bikin komik…”
Keberuntungan Dul mendapat teman yang secara tak sengaja memperluas cakrawala pengetahuan berlanjut. Temannya di SMA, Nalini yang anak dokter, memungkinkannya melahap beragam buku dalam bahasa Inggris yang langka di sebuah kota kecil.
Alhasil berkat dua “sparing partner” yang luar biasa tersebut. Nalini sekarang dikenal sebagai dr.Nalini Muhdi SpKJ(K), dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Surabaya Dul menjadi mahasiswa yang memiliki bekal yang jauh lebih banyak ketimbang kebanyakan mahasiswa, bahkan yang berasal dari kota besar.Apalagi, latih tanding intelektual dengan Waskito yang kuliah di Yogyakarta terus berlanjut (sampai penyakit yang tak diketahui sebabnya memaksa dia jebol kuliah dari FISIP Universitas Gajah Mada).
Pilihan Dul belajar di Jurusan Fisika F-MIPA UGM, bertentangan dengan keinginan orang tua yang ingin dia jadi insinyur, juga memberi keuntungan sendiri.
“Waktu itu aku mau yang aku senang aja,” ujarnya tentang alasan memilih kuliah di Fakultas yang “kering” itu.Pilihan yang senang-senang ini ternyata memperkenalkan Dul pada komputer pada usia yang cukup dini.Apalagi, dia mengambil spesialisasi fisika teori yang, karena melibatkan perhitungan-perhitungan rumit,mengharuskannya belajar pemrograman secara cukup mendalam.Keuntungan lain, atmosfer “Kampus Ndeso” yang egaliter memperkental gaya kasual dan informal Dul--gaya yang ternyata paling pas buat memimpin orang-orang kreatif di bisnis superkreatif semacam dotcom.Setelah menyabet predikat lulusan tercepat.
“Yang aku lakukan sekarang ini, menjadi kaya, bukanlah obsesiku.”
“Waktu aku lulus pada 1982, belum ada kakak kelas yang lulus…”Dul sempat ingin jadi dosen di almamaternya. Tetapi, keinginan ini langsung pupus begitu dia dihadapkan pada setumpuk formulir litsus (penelitian khusus oleh Orde Baru buat menyaring orang-orang yang kelewat kritis dari system pendidikan) yang harus diisi. “Aku jadi males,” ujarnya.
Kebetulan, Tempo dan IBM pasang iklan lowongan di kampus. Dul melamar dan diterima di dua perusahaan itu. Dia memilih jadi wartawan. Alasannya? “Aku ini agak gagap, sulit berkomunikasi (terutama) dengan orang baru,” katanya mengakui. “Dengan jadi wartawan, aku pikir akan bisa belajar mengatasi kelemahanku.”
Pilihan untuk “belajar berkomunikasi” ini konsisten. Sebelumnya, ketika memilih jadi dosen (yang juga mengharuskan keterampilan komunikasi yang baik), Dul juga pernah melepas peluang masuk ke Schlumberger, perusahaan ekplorasi tambang internasional yang menawarkan gaji jauh lebih besar.
Akan tetapi, kegandrungan Dul belajar hal-hal baru tak membuatnya bisa bertahan lama di Tempo. Belum genap setahun di majalah berita mingguan ini, dia mengundurkan diri pada awal 1984. “Aku waktu itu pengen mengerjakan sesuatu yang lain,” tuturnya, sesuatu yang agaknya menjadi obsesi besarnya sampai saat ini.
Dul enggan menceritakan obsesinya tersebut, tetapi selama dua-tiga bulan dia menggelandang dari satu ke lain perpustakaan dan tempat-tempat bersejarah. Uang yang menipis mungkin mendorongnya untuk balik lagi ke Tempo pada Maret 1984. Pada periode ke-2 Tempo ini dia, atas inisiatif sendiri, meringkas buku-buku menarik – termasuk biografi Albert Einstein dan Jenderal Besar Benitto Musolini – dan diserahkan kepada wartawan senior yang membawahkannya. Tulisan tersebut ternyata dimuat dalam rubrik Selingan Tempo.
Artinya, hanya dalam tempo setahun menjadi wartawan, tulisan Dul telah “layak Tempo.” Tuturnya: “Dulu wartawan Tempo perlu waktu tiga tahun sebelum tulisannya dimuat di situ…”Upaya ekstra membuat Dul menonjol. Namun, seperti kata Malcolm Gladwell dalam Outliers, diperlukan banyak keberuntungan untuk menjadikan seseorang luar biasa menonjol. Lingkungan (ibu, teman-teman) yang kebetulan kondusif telah memungkinkan Dul yang cerdas dan pekerja keras bekal yang cukup untuk untuk mempelajari hal-hal baru. Dan pada periode ke-2 Tempo itu, kebetulan lain menunggu. Ditempatkan satu ruangan dengan beberapa wartawan senior yang ditugaskan mempersiapkan kelahiran sebuah majalah bisnis baru, dia mendapat peluang ikut membantu kelahiran Swasembada.
Maka, ketika pada 1985 Dul hengkang lagi dari Tempo, dia ditawari masuk SWA. Kali ini dia betah karena SWA yang waktu itu terbit bulanan memberikan waktu luang lebih banyak? Tidak juga. Lagi-lagi dengan alasan “Aku pengen mengerjakan sesuatu yang lain”, Dul mengundurkan diri pada 1986, dan hanya bersedia jadi penulis paruh waktu.
Waktu itu industri pers telah melengkapi diri dengan PC sehingga Dul menyentuh computer lagi. Rutinitas rupanya membosankan Dul. Maka, ketika Zaim Uchrowi (mantan wartawan Tempo yang sekarang menjadi Direktur Utama Balai Pustaka) memintanya membantu membenahi Berita Buana yang waktu itu diambilalih Sutrisno Bachir (sekarang menjadi Ketua PAN), dia lompat kapal. Periode harian Berita Buana (1988-90) itu lalu diteruskan dengan periode majalah mingguan bisnis Prospek (1990-93). Kedua media ini memang kandas, tetapi memberikan Dul pengalaman berharga mengelola dan memimpin bisnis baru yang cukup besar – sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya.
Ketika begabung lagi dengan SWA, masih Redaktur Khusus, cikal bakal internet telah tumbuh. Dul yang telah cukup lama memiliki PC (benda pintar ini, pada akhir 1980-an, termasuk barang mahal bagi kantong kebanyakan wartawan) di rumah, mulai berlangganan Bulletin Board Service (BBS),layanan online yang memungkinkan penggunanya mengisi dan mengambil file yang ada di dalamnya (dan lebih mahal lagi bagi kantong wartawan).
“Untuk bayar langganan CompuServe aja US$ 25/jam,” tuturnya. “Itu belum termasuk biaya telepon , karena koneksi melalui dialup dan lambat.” CompuServe, kita tahu, adalah Divisi Layanan Informasi milik AOL, yang merupakan perintis global bisnis online service provider dan ISP.
Dengan demikian,Dul termasuk satu dari sedikit orang di Indonesia yang sejak dini mengenal Internet dan pemrograman.Selain itu , walau tak bisa dikatakan muda dari segi usia-AR lahir pada 13 Januari 1959-Dul waktu itu tak menjadi pegawai tetap institusi bisnis mana pun sehingga, serupa tetapi tak sama dengan Bill Gates atau Steve Jobs yang belum terikat pekerjaan tetap, tak mempertaruhkan sesuatu yang kelewat besar untuk terjun ke bisnis baru yang belum teruji. Apalagi, mitranya juga juga tak keberatan kalau dia juga hanya menjadi komisaris yang ke kantor tiga kali seminggu.
Ada lagi fakor kebetulan yang memungkinkan Dul mencatatkan namanya sebagai perintis bisnis dotcom di Tanah Air? Ya. “Aku kebetulan jadi wartawan,” katanya. Kebetulan yang satu ini, menurut lelaki yang menjaga kesehatannya melalui diet rendah karbohidrat ini, memberinya tiga advantages.
“Aku nggak peduli orang mau ngomong apa, bahkan nggak merasa perlu membuktikan apapun kepada siapa pun bahwa aku bisa sukses.”
ABDUL RAHMAN
Pertama, karena profesi sebagai wartawan memungkinkan Dul mendapat informasi terbaru, dia bisa menangkap arti penting perkembangan teknologi Internet sejak sangat dini. Lead time ini, ditambah pemahamannya yang sangaat cukup bagus tentang pemrograman dan komputer, membuatnya dengan cepat menyadari peluang yang ditawarkan oleh revolusi teknologi yang ternyata sangat disruptif, mengubah total lanskap bisnis itu.
Kedua, jam terbangnya yang cukup tinggi (sekitar 12 tahun) sebagai wartawan, dan di berbagai media pula, bukan Cuma membuat Dul dapat mengatasi kegagapannya. Lebih dari itu, dia juga jadi punya insight bahwa Internet is about communication, not technology. Pendekatan ke arah komunikasi ini terbukti menjadi kunci sukses Agrakom.
Selain itu, ketiga, profesi wartawan juga memungkinkannya memiliki jejaring yang luas ke para petinggi bisnis. Dan, karena dia bekerja di media yang memegang teguh kehormatan profesi – Grup Tempo adalah satu dari sedikit media yang mengaharapkan “amplop” – Dul meyakinkan. “Aku confident menghadapi mereka, para petinggi bisnis yang menjadi calon klien.”
Hal lain yang memberikan Dul kelebihan? “Mungkin karena aku cuek,” ujar lelaki berkulit gelap ini. “Aku nggak peduli orang mau ngomong apa, bahkan nggak merasa perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa aku bisa sukses.”
Kekayaan tampaknya tak mengubah banyak seorang Dul, kecuali mobilnya yang sekarang SUV Lexus, tempat tinggalnya yang dilengkapi kolam renang pondok Indah dan hobi barunya menengok kawanan ikan yang bersliweran di antara terumbu karang di habitat aslinya di lepas pantai Pulau Weh atau Raja Ampat. Seragamnya masih tetap sama – jins belel, kaos polo seadanya, sepatu sandal. Dia juga masih suka menikmati waktu senggangnya dengan aktivitas yang sama : minum bir di kafe sambil membaca The Economist.
“Yang aku lakukan sekarang ini, menjadi kaya, bukanlah obsesiku,” ujar Dul. Alasan ini saja agaknya cukup untuk membuatnya senyum-senyum, dan segera melupakan, ketika pada awal tahun 1990-an diramal bakal jadi kaya raya. Walau tak disampaikan secara eksplisit, dia agaknya lebih suka menjadi intelektual, pemikir atau bahkan saintis.
Kalau pertumbuhan bisnis Agrakom sesuai dengan yang diharapkan, dan Dul yakin akan demikian, pada 2012 perusahaan yang dipimpinnya akan cukup besar untuk menarik professional manajemen yang mumpuni buat membawa perintis bisnis dotcom itu ke tingkat selanjutnya. Saat itu, katanya dengan mata menerawang, “Aku bisa pensiun dan hanya mengerjakan hal-hal yang aku benar-benar suka…”
Sumber: Facebook - Peduli Grobogan Yuk