Kamis, 25 Agustus 2011

Al Qur'an

Al-Quran  yang  secara  harfiah  berarti  "bacaan  sempurna"
merupakan  suatu  nama  pilihan  Allah  yang  sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak  manusia  mengenal  tulis
baca  lima  ribu  tahun  yang  lalu  yang  dapat  menandingi
Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
 
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan  juta
orang  yang  tidak  mengerti  artinya  dan  atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal  huruf  demi  huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
 
Tiada   bacaan   melebihi   Al-Quran  dalam  perhatian  yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi  ayat,  baik  dari segi masa, musim, dan saat turunnya,
sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
 
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang  dipelajari  bukan  hanya
susunan  redaksi  dan  pemilihan  kosakatanya,  tetapi  juga
kandungannya yang tersurat, tersirat  bahkan  sampai  kepada
kesan  yang  ditimbulkannya.  Semua  dituangkan dalam jutaan
jilid  buku,  generasi  demi  generasi.  Kemudian  apa  yang
dituangkan   dari   sumber   yang  tak  pernah  kering  itu,
berbeda-beda   sesuai   dengan   perbedaan   kemampuan   dan
kecenderungan  mereka,  namun  semua  mengandung  kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah  permata  yang  memancarkan  cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
 
Tiada   bacaan   seperti   Al-Quran   yang  diatur  tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan,  dipertebal
atau  diperhalus  ucapannya,  di mana tempat yang terlarang,
atau boleh, atau harus memulai dan berhenti,  bahkan  diatur
lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
 
Tiada  bacaan  sebanyak  kosakata  Al-Quran  yang  berjumlah
77.439 (tujuh  puluh  tujuh  ribu  empat  ratus  tiga  puluh
sembilan)  kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu  lima  belas)  huruf  yang  seimbang  jumlah
kata-katanya,  baik  antara  kata  dengan padanannya, maupun
kata dengan lawan kata dan dampaknya.
 
Sebagai contoh  -sekali  lagi  sebagai  contoh-  kata  hayat
terulang  sebanyak  antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115  kali  sebanyak  kata  dunia;  malaikat
terulang   88   kali   sebanyak   kata   setan;  thuma'ninah
(ketenangan)  terulang   13   kali   sebanyak   kata   dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
 
Kata  infaq  terulang  sebanyak kata yang menunjuk dampaknya
yaitu ridha (kepuasan) masing-masing  73  kali;  kikir  sama
dengan  akibatnya  yaitu  penyesalan  masing-masing 12 kali;
zakat  sama  dengan   berkat   yakni   kebajikan   melimpah,
masing-masing   32  kali.  Masih  amat  banyak  keseimbangan
lainnya, seperti kata yaum  (hari)  terulang  sebanyak  365,
sejumlah   hari-hari   dalam  setahun,  kata  syahr  (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah  bulan-bulan  dalam  setahun.
Demikian
 
  "Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran
   dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
 
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk  seperti  itu?  Al-Quran
menantang:
 
  "Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk
   menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan 
   berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja
   sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).
 
Orientalis H.A.R. Gibb  pernah  menulis  bahwa:  "Tidak  ada
seorang   pun  dalam  seribu  lima  ratus  tahun  ini  telah
memainkan 'alat' bernada nyaring  yang  demikian  mampu  dan
berani,  dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,
seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)."  Demikian  terpadu
dalam    Al-Quran    keindahan   bahasa,   ketelitian,   dan
keseimbangannya,  dengan  kedalaman  makna,   kekayaan   dan
kebenarannya,  serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.
 
  "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
   Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
   Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia
   dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
   belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
 
Mengapa iqra,  merupakan  perintah  pertama  yang  ditujukan
kepada  Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai
membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
 
Iqra' terambil dari akar  kata  yang  berarti  "menghimpun,"
sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis
dengan aksara tertentu."
 
Dari  "menghimpun"  lahir   aneka   ragam   makna,   seperti
menyampaikan,  menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
 
Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?  "Ma  aqra'?"
tanya  Nabi  -dalam  suatu riwayat- setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
 
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki  agar
beliau  dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
 
Iqra'  berarti  bacalah,  telitilah,  dalamilah,  ketahuilah
ciri-ciri  sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,
sejarah, diri sendiri, yang  tertulis  dan  tidak  tertulis.
Alhasil  objek  perintah  iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.
 
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam  cara  yang
dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.
 
Pengulangan  perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak  diperoleh
kecuali  mengulang-ulangi  bacaan,  atau  membaca  hendaknya
dilakukan sampai mencapai batas maksimal  kemampuan,  tetapi
juga  untuk  mengisyaratkan  bahwa  mengulang-ulangi  bacaan
Bismi  Rabbika  (demi  karena   Allah)   akan   menghasilkan
pengetahuan  dan  wawasan  baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.
 
Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran
baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta
kesejahteraan batin.  Berulang-ulang  "membaca"  alam  raya,
membuka   tabir  rahasianya  dan  memperluas  wawasan  serta
menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang  kita  baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang
dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,
namun   pemahaman,   penemuan   rahasianya,  serta  limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan  itulah  pesan  yang
dikandung   dalam  Iqra'  wa  Rabbukal  akram  (Bacalah  dan
Tuhanmulah  yang  paling  Pemurah).  Atas   kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
 
Sungguh,  perintah  membaca  merupakan  sesuatu  yang paling
berharga  yang  pernah  dan  dapat  diberikan  kepada   umat
manusia.   "Membaca"  dalam  aneka  maknanya  adalah  syarat
pertama dan utama pengembangan  ilmu  dan  teknologi,  serta
syarat  utama  membangun  peradaban.  Semua  peradaban  yang
berhasil bertahan  lama,  justru  dimulai  dari  satu  kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer
pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir  dengan  hadirnya
Kitab  Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya
Newton  (1641-1727)  dan  berakhir  dengan  filsafat   Hegel
(1770-1831).   Peradaban   Islam   lahir   dengan  kehadiran
Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita
yakin  bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
 
  "Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang
   diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
   (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang
   memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).
 
Pengetahuan  dan  peradaban  yang  dirancang  oleh  Al-Quran
adalah  pengetahuan  terpadu  yang melibatkan akal dan kalbu
dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran  menjelaskan  dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
 
Setiap  pengetahuan  memiliki  subjek dan objek. Secara umum
subjek  dituntut  berperan  guna   memahami   objek.   Namun
pengalaman   ilmiah   menunjukkan   bahwa   objek  terkadang
memperkenalkan  dirinya  kepada  subjek  tanpa  usaha   sang
subjek.  Komet  Halley,  memasuki  cakrawala,  hanya sejenak
setiap 76 tahun. Dalam kasus  ini,  walaupun  para  astronom
menyiapkan   diri   dan  alat-alatnya  untuk  mengamati  dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan  adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.
 
Wahyu,  ilham,  intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia
yang siap dan suci jiwanya  atau  apa  yang  diduga  sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan  dengan  kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.
 
  "Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui
   manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)
   apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
 
Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran  sejak  dini  memadukan
usaha  dan  pertolongan  Allah,  akal  dan  kalbu, pikir dan
zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa  kalbu  menjadikan  manusia
seperti  robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita  di  tangan  bayi,
sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
 
Al-Quran    sebagai    kitab    terpadu,   menghadapi,   dan
memperlakukan   peserta   didiknya   dengan    memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
 
Ketika  Musa  a.s.  menerima  wahyu  Ilahi,  yang menjadikan
beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:
 
  "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
   (QS Thaha [20]: 17).
 
Musa sadar sambil menjawab,
 
  "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul
   (daun) dengannya untuk kambingku, disamping
   keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
 
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut  dalam  alam
material,  Al-Quran  menggunakan  benda-benda  alam, sebagai
tali penghubung untuk mengingatkan  manusia  akan  kehadiran
Allah  Swt.  dan  bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil
apa  pun-  adalah  di  bawah  kekuasaan,  pengetahuan,   dan
pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
 
  "Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia
   mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
   kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
   kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
   jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).
 
  "Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi
   Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)
   kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
 
Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat  yang  membentuk
tenunan  kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan
jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran  berbicara
tentang  satu  persoalan  menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya  akan
menemukan  keserasian  hubungan  yang amat mengagumkan, sama
dengan  keserasian  hubungan  yang  memadukan  gejolak   dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi
atau aspek yang tadinya terkesan  kacau,  menjadi  terangkai
dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.
 
Salah satu tujuan  Al-Quran  memilih  sistematika  demikian,
adalah  untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah  satu  kesatuan  terpadu
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
 
Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap
yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,
kewajiban  menegakkan  hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan  suami-istri,  dikemukakan  Al-Quran  secara
berurut   dalam   belasan  ayat  surat  Al-Baqarah.  Mengapa
demikian? Mengapa  terkesan  acak?  Jawabannya  antara  lain
adalah,  "Al-Quran  menghendaki  agar  umatnya  melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah  babi  lebih  dianjurkan
untuk  dihindari  daripada  keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak  pula  lebih  penting  daripada  menegakkan
hukum  dan  keadilan.  Wasiat sebelum mati dan menunaikannya
tidak kalah dari  berpuasa  di  bulan  Ramadhan.  Puasa  dan
ibadah  lainnya  tidak  boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu  adalah  hubungan  seks
antara    suami-istri.    Demikian    terlihat   keterpaduan
ajaran-ajarannya.
 
Al-Quran  menempuh  berbagai  cara  guna  mengantar  manusia
kepada   kesempurnaan   kemanusiaannya  antara  lain  dengan
mengemukakan  kisah  faktual  atau  simbolik.   Kitab   Suci
Al-Quran  tidak  segan  mengisahkan  "kelemahan  manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan  kalimat  indah  lagi  sopan
tanpa  mengundang  tepuk  tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan
itu,  atau  menggambarkan  saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.
 
Ketika Qarun  yang  kaya  raya  memamerkan  kekayaannya  dan
merasa  bahwa  kekayaannya  itu adalah hasil pengetahuan dan
jerih payahnya, dan setelah  enggan  berkali-kali  mendengar
nasihat,  terjadilah  bencana longsor sehingga seperti bunyi
firman Allah:
 
 
  "Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"
   (QS Al-Qashash [28]: 81).
 
  Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan
  kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan
  rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki  dari  hamba-
  hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak
  melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
  dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-
  orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).
 
Dalam konteks  menggambarkan  kelemahan  manusia,  Al-Quran,
bahkan    mengemukakan    situasi,   langkah   konkret   dan
kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang  dimabuk
cinta   oleh   kegagahan  seorang  pemuda  yang  tinggal  di
rumahnya,
 
Maksudnya,
 
  "(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai
   cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat
   rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
   kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari
   lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).
  
Demikian,  tetapi  itu  sama  sekali  berbeda  dengan   ulah
sementara  seniman,  yang  memancing  nafsu  dan  merangsang
berahi. Al-Quran  menggambarkannya  sebagai  satu  kenyataan
dalam  diri  manusia  yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi
tidak  juga  dibuka   lebar,   selebar   apa   yang   sering
dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
 
Al-Quran  kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,
anak muda yang dirayu wanita itu, juga  dengan  tiga  alasan
penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
 
Yang pertama dan kedua adalah,
 
  "Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu
   adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"
   (QS Yusuf [12]: 23).
 
Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.
 
  "Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang
   yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).
 
Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut  bersatunya  kata
dengan  sikap.  Karena  itu,  keteladanan  para pendidik dan
tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.
 
Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati  orangtuanya,
pada   saat   itu  pula  ia  mewajibkan  orang-tua  mendidik
anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati  Rasul
dan  para  pemimpin,  pada  saat  yang  sama  Rasul dan para
pemimpin diperintahkan menunaikan  amanah,  menyayangi  yang
dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.
 
Demikian    Al-Quran    menuntut    keterpaduan   orang-tua,
masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat
tercapai  tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu  pihak,  atau
hanya   ditangani   oleh  guru  dan  dosen  tertentu,  tanpa
melibatkan seluruh unsur kependidikan.
 
Dua puluh dua  tahun  dua  bulan  dan  dua  puluh  dua  hari
lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama
itu pula  Nabi  Muhammad  Saw.  dan  para  sahabatnya  tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya,  mereka  berhasil  membangun  masyarakat  yang  di
dalamnya  terpadu  ilmu  dan iman, nur dan hidayah, keadilan
dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.
 
Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil?  Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian  seorang  guru  besar  Harvard  University,  yang
dilakukannya   pada   40  negara,  untuk  mengetahui  faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.
 
Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar-  adalah
materi  bacaan  dan  sajian yang disuguhkan khususnya kepada
generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun  menjelang
kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para  generasi  muda  dibekali  dengan  sajian  dan   bacaan
tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan
dalam  berbagai  aktivitas,  peranan  yang  pada  hakikatnya
diarahkan  oleh  kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat  setelah  berlalu  dua
puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.
 
Kalau  demikian,  jangan  menunggu  dampak  bacaan  terhadap
anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian.  Siapa  pun  boleh
optimis  atau  pesimis,  tergantung  dari  penilaian tentang
bacaan  dan  sajian  itu.  Namun  kalau  melihat  kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat
mempelajari kandungannya, maka kita  wajar  optimis,  karena
kita  sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang  jaya  selama
sekitar  delapan  ratus  tahun,  adalah karena Al-Quran yang
mereka baca  dan  hayati  mendorong  pengembangan  ilmu  dan
teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.
 
Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.
 
Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan
saja   mencanangkan   "wajib  belajar"  tetapi  juga  "wajib
mengajar."  Bukankah  tawashauw  berarti  saling   berpesan,
saling  mengajar,  sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil
pencarian  ilmu?  Mencari  kebaikan   menghasilkan   akhlak,
mencari  keindahan  menghasilkan seni, dan mencari kebenaran
menghasilkan ilmu. Ketiga  unsur  itulah  yang  menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.
 
Al-Quran  yang  sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan
antara lain:
 
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari
   segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan
   tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian
   alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
   konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
   umat manusia.
 
2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
   yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang
   seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada
   Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
 
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
   antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,
   kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan
   supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
   kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan
   kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik
   dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
   keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
 
4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama
   dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara
   melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh
   hikmah kebijaksanaan.
 
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
   kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta
   pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,
   ekonomi, politik, dan juga agama.
 
6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
   dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial
   sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia
 
7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
   kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,
   menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
   kebaikan dan mencegah kemunkaran.
 
8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
   menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati
   diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
 
Demikian sebagian  tujuan  kehadiran  Al-Quran,  tujuan
yang  tepadu  dan  menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual  atau  mistik,
yang  dapat  menimbulkan  formalitas  dan  kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari  akan
membantu   kita   menemukan   nilai-nilai   yang  dapat
dijadikan pedoman bagi  penyelesaian  berbagai  problem
hidup.  Apabila  dihayati dan diamalkan akan menjadikan
pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada  realitas
keimanan    yang   dibutuhkan   bagi   stabilitas   dan
ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat
 
Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya  yang  merangsang
akal  dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima
dan memberi kasih dan keharuan  cinta,  sehingga  dapat
mengarahkan  kita  untuk memberi sebagian dari apa yang
kita miliki untuk  kepentingan  dan  kemaslahatan  umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan
kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang  telah  tumbuh
subur dalam negara kita. 

Wawasan Al Qur'an
Dr. Quraish Shihab 
 
Sumber: http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/index.html

Menjadi Pemimpin yang Melayani


Pemimpin dalam suatu organisasi maupun dalam pemerintahan memegang peran yang amat penting demi kemajuan organisasi atau institusi tersebut. Dalam perkembangan sekarang ini, orang-orang sangat mendambakan pemimpin yang peduli dan melayani. Harapan terbesar terhadap seorang pemimpin baru oleh masyarakat adalah kepemimpinan yang melayani, apabila gaya kepemimpinan ini berkembang niscaya institusi yang dipimpinnya akan sejahtera , bila ia menjadi seorang pemimpin terhadap sekelompok masyarakat , maka rakyatnya akan makmur.

" Good leaders must first become good servants"
- Robert Greenleaf

Namun di Indonesia , seringkali kita menemukan pemimpin yang justru mau dilayani . Sehingga muncul antipati terhadap pemimpin. Kebanyakan sudut pandang yang salah dari seorang pemimpin adalah dirinya harus dilayani oleh segenap rakyatnya , ibarat seorang anak bayi keinginannya harus dituruti. Hal ini didasari dari keangkuhan dan kesombongan dirinya sebagai seorang yang dianggap berkedudukan tinggi maupun orang istimewa. Sehingga kepemimpinan yang melayani hanya menjadi angan - angan belaka.


Pengertian Pemimpin yang Melayani

Menurut teori tentang pemimpin yang melayani dimulai sejak tahun 1970, ketika R.K. Greenleaf (1904-1990) menulis sebuah essay yang berjudul “The Servant as Leader”. Essay tersebut dikembangkan oleh Greenleaf menjadi sebuah buku yang diterbitkan tahun 1977 berjudul “Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness”. Ide mengenai pemimpin yang melayani ini diperoleh Greenleaf tahun 1960-an ketika membaca novel karya Herman Hessee, “Journey to the East”.

Setelah membaca cerita ini, Greenleaf (2002) menyimpulkan bahwa pemimpin yang hebat diawali dengan bertindak sebagai pelayan bagi orang lain. Kepemimpinan yang sesungguhnya timbul dari motivasi utama untuk membantu orang lain.

Kedua kata “melayani” dan “pemimpin” biasanya dianggap sebagai hal yang berlawanan. Ketika kedua hal yang bertolak belakang disatukan dengan cara yang kreatif dan berarti, sebuah paradoks muncul. Jadi, kedua hal tersebut telah disatukan untuk menciptakan ide paradoksial tentang kepemimpinan yang melayani.

Greenleaf (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani diawali dengan perasaan alami untuk melayani terlebih dahulu. Setelah itu, dengan kesadaran, seseorang ingin memimpin. Greenleaf (2002) mendefinisikan pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya dan komunitasnya dan karenanya ia mendahulukan hal-hal tersebut dibandingkan dengan pencapaian ambisi pribadi atau pola dan kesukaannya saja.

Impiannya ialah agar orang yang dilayani tadi akan menjadi pemimpin yang melayani juga. Greenleaf (2002) menekankan, bila seseorang ingin menjadi pemimpin yang efektif dan berhasil, ia harus lebih dulu memiliki motivasi dan hasrat yang besar untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu mendorong pengikutnya untuk mencapai potensi optimalnya.

Belakangan ini, agar bisa berorientasi pada pelanggan, organisasi membutuhkan pemimpin yang bersedia melayani. Para pemimpin harus memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan internal (para karyawan) sehingga akan berdampak pada pelayanan prima yang didemonstrasikan oleh para pelanggan internal kepada para pelanggan eksternal (Tjiharjadi et al., 2007). Sayangnya, gaya kepemimpinan yang melayani kurang diminati oleh kebanyakan praktisi bisnis. Gaya kepemimpinan yang melayani lebih banyak digunakan di organisasi sektor publik dan pemerintah.


Karakteristik Pemimpin yang Melayani

Menurut Larry C. Spears (1995), mengacu pada pemikiran Greenleaf, terdapat karakteristik seorang pemimpin maupun calon pemimpin yang ditunjukkan dari sikap dan perilaku pemimpin tersebut , yang dipaparkan pada list berikut :

1. Kesediaan untuk menyimak (listening)
Biasanya, seorang pemimpin dinilai berdasarkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan mengambil keputusan. Kemampuan ini juga penting bagi pemimpin yang melayani, pemimpin ini perlu dikuatkan dengan komitmen yang kuat untuk mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh. Pemimpin yang melayani mencoba untuk mengidentifikasikan keinginan dari sebuah kelompok dan membantu mengklarifikasikan keinginan tersebut, dengan cara menyimak.

2. Kuat dalam empati (empathy)
Pemimpin yang melayani berusaha untuk mengerti dan berempati dengan orang lain. Manusia perlu untuk merasa diterima dan diakui atas semangat mereka yang khusus dan unik.

3. Melakukan pemulihan-pemulihan (healing)
Salah satu kekuatan terbesar seorang pemimpin yang melayani adalah kemampuannya untuk melakukan pemulihan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

4. Penyadaran/peningkatan kesadaran (awareness)
Kesadaran umum, dan terutama kesadaran diri, memperkuat pemimpin yang melayani. Kesadaran juga membantu seseorang dalam memahami persoalan yang berhubungan dengan etika dan nilai.

5. Memiliki sifat persuasif (persuasion)
Karakteristik lain dari pemimpin yang melayani adalah mengandalkan persuasi dalam pengambilan keputusan, bukan posisi sebagai otoritas. Pemimpin yang melayani mencoba untuk meyakinkan orang lain, bukan memaksa orang lain untuk patuh.

6. Mampu membuat konsep (conceptualization)
Pemimpin yang melayani mengembangkan kemampuannya untuk “memimpikan hal-hal besar.” Kemampuan untuk melihat permasalahan (atau sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti bahwa seseorang harus berpikir melebihi realitas sehari-hari. Pemimpin yang melayani menyeimbangkan antara pemikiran konseptual dengan pendekatan dengan fokus harian.

7. Mampu membuat perkiraan yang tepat (foresight)
Foresight adalah sebuah karakteristik yang memungkinkan pemimpin yang melayani untuk memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini dan kemungkinan konsekuensi dari sebuah keputusan untuk masa depan. Hal ini juga berakar di dalam pikiran intuitif.

8. Penatalayanannya baik (stewardship)
Peter Block (dalam Spears 2004) telah mendefinisikan stewardship sebagai “memegang sesuatu yang dipercayakan kepadanya oleh orang lain”. Pemimpin yang melayani, seperti stewardship, mengasumsikan komitmen utama untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini juga menekankan pada penggunaan keterbukaan dan persuasi dibandingkan dengan pengendalian.

9. Memiliki komitmen untuk menghasilkan proses pembelajaran (commitment to the growth of people)
Pemimpin yang melayani percaya bahwa orang lain mempunyai nilai intrinsik melebihi kontribusi nyata mereka sebagai karyawan atau pekerja. Sebagai hasilnya, pemimpin yang melayani berkomitmen secara mendalam pada pengembangan dari masing-masing dan setiap individu dalam institusi. Pemimpin yang melayani menyadari tanggung jawab yang luar biasa untuk melakukan semua hal yang memungkinkan untuk membantu pembelajaran sumber daya manusia.

10. Serius dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas (building community)
Pemimpin yang melayani merasakan bahwa banyak hal yang telah hilang dalam sejarah manusia belakangan ini sebagai hasil dari pergeseran dari komunitas lokal menjadi institusi besar sebagai pembentuk utama dalam hidup manusia. Hal ini menyebabkan pemimpin yang melayani untuk mencoba mengidentifikasikan beberapa sarana untuk membangun komunitas di antara mereka yang bekerja di institusi tersebut.

Hal yang perlu dicatat di sini adalah dalam pekerjaannya sehari-hari, seorang pemimpin yang melayani mendahulukan orang lain. Ia juga membuat orang menjadi terinspirasi, terdorong, belajar, dan mengambil alih keteladanannya. Pendekatannya bukanlah pendekatan kekuasaan, akan tetapi pendekatan hubungan atau relasional.

Selain itu Spears juga mengungkapkan indikator tentang pemimpin yang melayani , indikator ini juga merupakan penambahan dari hasil studi pasca Spears. Indikator tersebut antara lain:

1) Pemimpin yang melayani menyadari dan menghayati bahwa ia melayani suatu hal yang lebih besar dari dirinya atau organisasinya.

2) Pemimpin yang melayani memberikan teladan untuk prilaku dan sikap yang ia ingin hadir dan menjadi bagian utama dari hidup pengikutnya. Jadi ia tidak memaksakan orang untuk mengambil alih suatu perilaku atau memaksa dengan berbagai hal-hal yang ia inginkan.

3) Pemimpin yang melayani memiliki pribadi yang otentik yaitu kerendahan hati, dapat diminta pertanggung jawaban, integritas antara nilai, gambar diri dan ambisinya, serta ia tampil sebagai manusia biasa dengan kelemahannya.

4) Pemimpin yang melayani juga mempersoalkan masalah moral dan berani mengambil resiko dalam menegakkan prinsip etika tertentu.

5) Pemimpin yang melayani memiliki visi dan mampu memberdayakan orang.

6) Pemimpin yang melayani mampu memberikan kepercayaan dan pemahaman atas keadaan pengikutnya

7) Pemimpin yang melayani sering bekerja dalam kerangka pikir waktu yang panjang. Ia tidak mengharapkan hasil spektakuler terlalu cepat karena ia menyadari bahwa untuk menggerakkan dan mentransformasi orang diperlukan waktu yang panjang dan proses yang berkesinambungan.

8) Pemimpin yang melayani melakukan komunikasi yang proaktif dan bersifat dua arah.

9) Pemimpin yang melayani juga dapat hidup di tengah perbedaan pendapat, bahkan ia merasa tidak nyaman bila pendapat, paradigma dan gaya kerja sejenis.

10) Pemimpin yang melayani memberikan kepercayaan dan wewenang kepada pengikutnya. Ia memiliki gambaran positif, optimis tentang mereka. Ia memberdayakan mereka melalui sharing pengetahuan, skill dan perspektif.

11) Pemimpin yang melayani menggunakan persuasi dan logika untuk mempengaruhi orang, selain dengan peneladanan.

12) Pemimpin yang melayani tidak berupaya menjadi pahlawan, namun menciptakan dan melahirkan pahlawan-pahlawan.

13) Pemimpin yang melayani mengerjakan banyak hal dan menghindar dari berbagai hal yang orang lain dapat lakukan. Hal yang terpenting bahwa pemimpin yang melayani tidak berarti akan menghindar dari masalah atau konflik. Ia juga menjadi sosok yang tidak dikendalikan oleh berbagai kelompok yang kuat. Dalam pekerjaan sehari-hari seorang pemimpin yang melayani mendahulukan orang lain. Ia juga membuat orang jadi terinspirasi, terdorong, belajar dan mengambil alih keteladanannya. Pendekatannya bukanlah dengan kekuasaan melainkan pendekatan hubungan atau relasional.



Kisah Khalifah Umar Bin Khattab yang Melayani Rakyat-nya

Kisah ini merupakan kisah inspiratif dari khalifah Umar Bin Khattab yang senantiasa melayani rakyatnya , bahkan beliau secara diam - diam melakukan perjalanan keluar masuk kampung untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Beliau tidak ingin satu pun rakyatnya tidak terlayani , hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang dilalaikan.

Suatu malam , bersama salah seorang pembantunya, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Dari sebuah rumah yang tak layak huni, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan pembantunya bergegas mendekati rumah itu. Setelah mendekat, Umar melihat seorang perempuan tengah memasak di atas tungku api. Asap mengepul dari panci, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

“Assalamu’alaikum,” Khalifah Umar memohon izin untuk masuk.
Si Ibu yang tidak mengetahui siapa gerangan tamu nya itu memberi izin untuk masuk.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Si ibu itu menjawab, “Anakku.”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Tapi ia kelaparan.”

Khalifah Umar ingin sekali mengetahui apa yang sedang dimasak oleh ibu itu. Kenapa begitu lama sudah dimasak tapi belum juga matang. Akhirnya khalifah Umar berkata, “Wahai ibu, Apa yang sedang engkau masak?”

Ibu itu menjawab, “Engkau lihatlah sendiri!”

Khalifah umar dan pembantunya segera melihat ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut seraya memastikan Umar berteriak, “Apakah engkau memasak batu?”

Perempuan itu menganggukkan kepala. Dengan suara lirih, perempuan itu menjawab pertanyaan khalifah Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Sementara aku berusaha untuk bekerja tetapi karena kewajiban menjaga anakku, hal itu tidak dapat kulakukan. Sampai waktu maghrib tiba, kami belum juga mendapatkan makanan apapun juga. Anakku terus mendesakku. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci. Kemudian batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Ia tetap saja menangis. Sungguh Khalifah Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, pembantu khalifah Umar ingin menegur perempuan itu. Namun khalifah Umar dengan cepat mencegahnya. Dengan air mata berlinang ia pamit kepada si Ibu dan mengajak pembantunya cepat-cepat pulang ke Madinah. Khalifah Umar langsung menuju gudang baitul mal untuk mengambil sekarung gandum dan memikulnya di punggungnya. Ia kembali menuju ke rumah perempuan tadi.

Di tengah perjalanan sang pembantu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saja yang memikul karung itu.” Khalifah Umar menjawab dengan air mata yang berlinang: “Rasulullah pernah berkata, jika ada seorang pemimpin yang membiarkan rakyatnya mati kelaparan tanpa bantuan apapun, Allah mengharamkan surga untuknya.” Khalifah Umar kemudian melanjutkan, Biarlah beban berat ini yang akan membebaskanku dari siksaan api neraka kelak.”

Dalam kegelapan malam Khalifah Umar berjuang memikul karung gandum itu, hingga akhirnya ia sampai ke rumah sang Ibu. Dengan kaget, sang Ibu bertanya: “Siapakah anda? Bukankah anda yang datang tadi?” Khalifah Umar tersenyum dan menjawab, “Benar. Saya adalah seorang hamba Allah yang diamanahkan untuk mengurus seluruh keperluan rakyat saya. Maafkan saya telah mengabaikan anda.”


Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa seorang pemimpin tidak seharusnya termanjakan untuk pelayanan dari bawahan maupun instansinya . Melainkan seorang pemimpin harus melayani bawahannya maupun rakyatnya . Tentunya pimpinan merupakan amanah yang diberikan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas .

Dan tentunya bila kita ingin menentukan seorang pemimpin , dapatlah kita melihat pada karakteristik dan indikator yang telah saya paparkan diatas. Kini sebagai rakyat kita harus cerdas dalam melihat seorang pemimpin, jangan sampai kita salah pilih pemimpin!. Tentunya bagi pembaca yang termasuk para pemuda/i penerus bangsa dapat mempersiapkan diri sejak sekarang untuk memimpin , baik memimpin diri sendiri maupun memimpin organisasi , bahkan dapat memimpin Indonesia.

Patutlah kita menjadikan khalifah Umar Bin Khattab sebagai pemimpin adil , bertanggung jawab , dan melayani. Beliau merupakan salah satu contoh pemimpin yang sejati yang memberikan suri tauladan yang baik bagi pemimpin - pemimpin lainnya . Demikian penjelasan dari saya , setelah membaca tulisan ini ada baiknya anda membaca juga definisi pemimpin dan juga tugas dan fungsi pemimpin. Semoga tulisan ini bermanfaat buat pembaca sekalian.


Sumber: http://tjuk-emet.blogspot.com

Memelihara Kekuatan dan Keteguhan Iman Kepada Allah SWT

Tak seorangpun bisa menjamin dirinya akan tetap terus berada dalam keimanan sehingga meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Untuk itu kita perlu merawat bahkan senantiasa berusaha menguatkan keimanan kita.

Tsabat (kekuatan keteguhan iman) adalah tuntutan asasi setiap muslim. Karena itu tema ini penting dibahas. Ada beberapa alasan mengapa tema ini begitu sangat perlu mendapat perhatian serius. Pertama, pada zaman ini kaum muslimin hidup di tengah berbagai macam fitnah, syahwat dan syubhat dan hal-hal itu sangat berpotensi menggerogoti iman. Maka kekuatan iman merupakan kebutuhan muthlak, bahkan lebih dibutuhkan dibanding pada masa generasi sahabat, karena kerusakan manusia di segala bidang telah menjadi fenomena umum.

Kedua, banyak terjadi pemurtadan dan konversi (perpindahan) agama. Jika pada awal kemerdekaan jumlah umat Islam di Indonesia mencapai 90 % maka saat ini jumlah itu telah berkurang hampir 5%. Ini tentu menimbulkan kekhawatiran mendalam. Untuk menga-tasinya diperlukan jalan keluar, sehingga setiap muslim tetap memiliki kekuatan iman.

Ketiga, pembahasan masalah tsabat berkait erat dengan masalah hati. Padahal Nabi bersabda: "Dinamakan hati karena ia (selalu) berbolak-balik. Perumpamaan hati itu bagaikan bulu yang ada di pucuk pohon yang diombang-ambingkan oleh angin." (HR. Ahmad, Shahihul Jami' no. 2361)

Maka, mengukuhkan hati yang senantiasa berbolak-balik itu dibutuhkan usaha keras, agar hati tetap teguh dalam keimanan.
Dan sungguh Allah Maha Rahman dan Rahim kepada hambaNya. Melalui Al Qur'an dan Sunnah RasulNya Ia memberikan petunjuk bagaimana cara mencapai tsabat. Berikut ini penjelasan 15 petunjuk berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah untuk memelihara kekuatan dan keteguhan iman kita.

1. Akrab dengan Al Qur'an

Al Qur'an merupakan petunjuk utama mencapai tsabat. Al Qur'an adalah tali penghubung yang amat kokoh antara hamba dengan Rabbnya. Siapa akrab dan berpegang teguh dengan Al Qur'an niscaya Allah memeliharanya; siapa mengikuti Al Qur'an, niscaya Allah menyelamatkannya; dan siapa yang menda’wahkan Al Qur'an, niscaya Allah menunjukinya ke jalan yang lurus. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Orang-orang kafir berkata, mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami teguhkan hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)." (Al Furqan: 32-33)

Beberapa alasan mengapa Al Qur'an dijadikan sebagai sumber utama mencapai tsabat adalah: Pertama, Al Qur'an menanamkan keimanan dan mensucikan jiwa seseorang, karena melalui Al Qur'an, hubungan kepada Allah menjadi sangat dekat. Kedua, ayat-ayat Al Qur'an diturunkan sebagai penentram hati, menjadi penyejuk dan penyelamat hati orang beriman sekaligus benteng dari hempasan berbagai badai fitnah. Ketiga, Al Qur'an menunjukkan konsepsi serta nilai-nilai yang dijamin kebenarannya. Karena itu, seorang mukmin akan menjadikan Al Qur'an sebagai ukuran kebenaran. Keempat, Al Qur'an menjawab berbagai tuduhan orang-orang kafir, munafik dan musuh Islam lainnya. Seperti ketika orang-orang musyrik berkata, Muhammad ditinggalkan Rabbnya, maka turunlah ayat: "Rabbmu tidaklah meninggalkan kamu dan tidak (pula) benci kepadamu." (Adl Dluha: 3) (Syarh Nawawi,12/156).
Orang yang akrab dengan Al Qur'an akan menyandarkan semua perihalnya kepada Al Qur'an dan tidak kepada perkataan manusia. Maka, betapa agung sekiranya penuntut ilmu dalam segala disiplinnya menjadikan Al Qur'an berikut tafsirnya sebagai obyek utama kegiatannya menuntut ilmu.


2. Iltizam (komitmen) terhadap syari'at Allah

Allah berfirman:
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akherat. Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim. Dan Allah berbuat apa saja yang Ia kehendaki." (Ibrahim: 27)

Di ayat lain Allah menjelaskan jalan mencapai tsabat yang dimaksud.
"Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan (hati mereka di atas kebenaran)." (An Nisa': 66)

Karena itu, menjelaskan surat Ibrahim di atas Qatadah berkata: 
"Adapun dalam kehidupan di dunia, Allah meneguhkan orang-orang beriman dengan kebaikan dan amal shalih sedang yang dimaksud dengan kehidupan akherat adalah alam kubur." (Ibnu Katsir: IV/421)

Maka jelas sekali, sangat mustahil orang-orang yang malas berbuat kebaikan dan amal shaleh diharapkan memiliki keteguhan iman. Karena itu, Nabi senantiasa melakukan amal shaleh secara kontinyu, sekalipun amalan itu sedikit, demikian pula halnya dengan para sahabat. Komitmen untuk senantiasa menjalankan syariat Islam akan membentuk kepribadian yang tangguh, dan iman pun menjadi teguh.


3. Mempelajari Kisah Para Nabi

Mempelajari kisah dan sejarah itu penting. Apatah lagi sejarah para Nabi. Ia bahkan bisa menguatkan iman seseorang. Secara khusus Allah menyinggung masalah ini dalam firman-Nya:
"Dan Kami ceritakan kepadamu kisah-kisah para rasul agar dengannya Kami teguhkan hatimu dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran , pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman." (Hud: 120)

Sebagai contoh, marilah kita renungkan kisah Ibrahim yang diberitakan dalam Al Qur'an:
"Mereka berkata, bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak. Kami berfirman, hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim maka Kami jadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi." (Al Anbiya': 68-70)

Bukankah hati kita akan bergetar saat merenungi kronologi pembakaran nabi Ibrahim sehingga ia selamat atas izin Allah? Dan bukankah dengan demikian akan membuahkan keteguhan iman kita? Lalu, kisah nabi Musa yang tegar menghadapi kezhaliman Fir'aun demi menegakkan agama Allah. Bukankah kisah itu mengingatkan kekerdilan jiwa kita dibanding dengan nabi Musa? Tak sedikit umat Islam sudah merasa tak punya jalan karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan misalnya, sehingga mau saja saat diajak kolusi dan berbagai praktek syubhat lain oleh koleganya. Lalu mereka mencari-cari alasan mengabsahkan tindakannya yang keliru. Dan bukankah karena takut gertakan penguasa yang tiranik lalu banyak di antara umat Islam (termasuk ulamanya) yang menjadi tuli, buta dan bisu sehingga tidak melakukan amar ma'ruf nahi mungkar?

Bahkan sebaliknya malah bergabung dan bersekongkol serta melegitimasi status quo (menganggap yang ada sudah baik dan tak perlu diubah). Bukankah dengan mempelajari kisah-kisah Nabi yang penuh dengan perjuangan menegakkan dan meneguhkan iman itu kita menjadi malu kepada diri sendiri dan kepada Allah? Kita mengharap Surga tetapi banyak hal dari perilaku kita yang menjauhinya. Mudah-mudahan Allah menunjuki kita ke jalan yang diridhaiNya.


4. Senantiasa Berdo'a Kepada Allah 

Di antara sifat hamba-hamba Allah yang beriman adalah mereka memohon kepada Allah agar diberi keteguhan iman, seperti do'a yang tertulis dalam firmanNya:
"Ya Rabb, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami." (Ali Imran: 8)

"Ya Rabb kami, berilah kesabaran atas diri kami dan teguhkanlah pendirian kami serta tolonglah kami dari orang-orang kafir." (Al Baqarah: 250).

Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya seluruh hati Bani Adam terdapat di antara dua jari dari jemari Ar Rahman (Allah), bagaikan satu hati yang dapat Dia palingkan ke mana saja Dia kehendaki." (HR. Muslim dan Ahmad)

Agar hati tetap teguh maka Rasulullah banyak memanjatkan do'a berikut ini terutama pada waktu duduk takhiyat akhir dalam shalat.

"Wahai (Allah) yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada din-Mu."
(HR. Tirmidzi)

Banyak lagi do'a-do'a lain tuntunan Nabi agar kita mendapat keteguhan iman. Mudah-mudahan kita senantiasa tergerak hati untuk berdo'a utamanya agar iman kita diteguhkan saat menghadapi berbagai ujian kehidupan.


5. Dzikir kepada Allah

Dzikir kepada Allah merupakan amalan yang paling ampuh untuk mencapai tsabat. Karena pentingnya amalan dzikir maka Allah memadukan antara dzikir dan jihad, sebagaimana tersebut dalam firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, bila kamu memerangi pasukan (musuh) maka berteguh-hatilah kamu dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya." (Al Anfal: 45)

Dalam ayat tersebut, Allah menjadikan dzikrullah sebagai amalan yang amat baik untuk mencapai tsabat dalam jihad.
Ingatlah Yusuf ! Dengan apa ia memohon bantuan untuk mencapai tsabat ketika menghadapi fitnah rayuan seorang wanita cantik dan berkedudukan tinggi? Bukankah dia berlindung dengan kalimat ma'adzallah (aku berlindung kepada Allah), lantas gejolak syahwatnya reda? Demikianlah pengaruh dzikrullah dalam memberikan keteguhan iman kepada orang-orang yang beriman.


6. Menempuh Jalan Lurus

Allah berfirman:
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan mengikuti jalan-jalan (lain) sehingga menceraiberaikan kamu dari jalanNya." (Al An'am: 153)

Dan Rasulullah mensinyalir bahwa umatnya bakal terpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk Neraka kecuali hanya satu golongan yang selamat (HR. Ahmad, hasan)

Dari sini kita mengetahui, tidak setiap orang yang mengaku muslim mesti berada di jalan yang benar. Rentang waktu 14 abad dari datangnya Islam cukup banyak membuat terkotak-kotaknya pemahaman keagamaan. Lalu, jalan manakah yang selamat dan benar itu? Dan, pemahaman siapakah yang mesti kita ikuti dalam praktek keberaga-maan kita? Berdasarkan banyak keterangan ayat dan hadits , jalan yang benar dan selamat itu adalah jalan Allah dan RasulNya. Sedangkan pemahaman agama yang autentik kebenarannya adalah pemahaman berdasarkan keterangan Rasul kepada para sahabatnya. (HR. Turmudzi, hasan). Itulah yang mesti kita ikuti, tidak penafsiran-penafsiran agama berdasarkan akal manusia yang tingkat kedalaman dan kecerdasannya maje-muk dan terbatas. Tradisi pemahaman itu selanjutnya dirawat oleh para tabi'in dan para imam shalihin. Paham keagamaan inilah yang dalam terminologi (istilah) Islam selanjutnya dikenal dengan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah . Atau sebagian menyebutnya dengan pemahaman para salafus shalih.

Orang yang telah mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah akan tegar dalam menghadapi berbagai keanekaragaman paham, sebab mereka telah yakin akan kebenaran yang diikutinya. Berbeda dengan orang yang berada di luar Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka akan senantiasa bingung dan ragu. Berpindah dari suatu lingkungan sesat ke lingkungan bid'ah, dari filsafat ke ilmu kalam, dari mu'tazilah ke ahli tahrif, dari ahli ta'wil ke murji'ah, dari thariqat yang satu ke thariqat yang lain dan seterusnya. Di sinilah pentingnya kita berpegang teguh dengan manhaj (jalan) yang benar sehingga iman kita akan tetap kuat dalam situasi apapun.


7. Menjalani Tarbiyah

Tarbiyah (pendidikan) yang semestinya dilalui oleh setiap muslim cukup banyak. Paling tidak ada empat macam. Tarbiyah Imaniyah , yaitu pendidikan untuk menghidupkan hati agar memiliki rasa khauf (takut), raja' (pengharapan) dan mahabbah (kecintaan) kepada Allah serta untuk menghi-langkan kekeringan hati yang disebabkan oleh jauhnya dari Al Qur'an dan Sunnah. Tarbiyah ‘Ilmiyah, yaitu pendidikan keilmuan berdasarkan dalil yang benar dan menghindari taqlid buta yang tercela.

Tarbiyah Wa'iyah, yaitu pendidikan untuk mempelajari siasat orang-orang jahat, langkah dan strategi musuh Islam serta fakta dari berbagai peristiwa yang terjadi berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar. Tarbiyah Mutadarrijah, yaitu pendidikan bertahap, yang membimbing seorang muslim setingkat demi setingkat menuju kesempurnaannya, dengan program dan perencanaan yang matang. Bukan tarbiyah yang dilakukan dengan terburu-buru dan asal jalan.
Itulah beberapa tarbiyah yang diberikan Rasul kepada para sahabatnya. Berbagai tarbiyah itu menjadikan para sahabat memiliki iman baja, bahkan membentuk mereka menjadi generasi terbaik sepanjang masa.


8. Meyakini Jalan yang Ditempuh

Tak dipungkiri bahwa seorang muslim yang bertambah keyakinannya terhadap jalan yang ditempuh yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah maka bertambah pula tsabat (keteguhan iman) nya. Adapun di antara usaha yang dapat kita lakukan untuk mencapai keyakinan kokoh terhadap jalan hidup yang kita tempuh adalah: Pertama, kita harus yakin bahwa jalan lurus yang kita tempuh itu adalah jalan para nabi, shiddiqien, ulama, syuhada dan orang-orang shalih. Kedua, kita harus merasa sebagai orang-orang terpilih karena kebenaran yang kita pegang, sebagai-mana firman Allah:
"Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hambaNya yang Ia pilih." (An Naml: 59)

Bagaimana perasaan kita seandainya Allah menciptakan kita sebagai benda mati, binatang, orang kafir, penyeru bid'ah, orang fasik, orang Islam yang tidak mau berda’wah atau da'i yang sesat? Mudah-mudahan kita berada dalam keyakinan yang benar yakni sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sesungguhnya.


9. Berda’wah

Jika tidak digerakkan, jiwa seseorang tentu akan rusak. Untuk menggerakkan jiwa maka perlu dicarikan medan yang tepat. Di antara medan pergerakan yang paling agung adalah berda’wah. Dan berda’wah merupakan tugas para rasul untuk membebaskan manusia dari adzab Allah.

Maka tidak benar jika dikatakan, fulan itu tidak ada perubahan. Jiwa manusia, bila tidak disibukkan oleh ketaatan maka dapat dipastikan akan disibukkan oleh kemaksiatan. Sebab, iman itu bisa bertambah dan berkurang.
Jika seorang da'i menghadapi berbagai tantangan dari ahlul bathil dalam perjalanan da’wahnya, tetapi ia tetap terus berda’wah maka Allah akan semakin menambah dan mengokohkan keimanannya.


10. Dekat dengan Ulama

Rasulullah bersabda:
"Di antara manusia ada orang-orang yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejahatan." (HR. Ibnu Majah, no. 237, hasan)
Senantiasa bergaul dengan ulama akan semakin menguatkan iman seseorang. Tercatat dalam sejarah bahwa berbagai fitnah telah terjadi dan menimpa kaum muslimin, lalu Allah meneguhkan iman kaum muslimin melalui ulama. Di antaranya seperti diutarakan Ali bin Al Madini Rahimahullah: "Di hari riddah (pemurtadan) Allah telah memuliakan din ini dengan Abu Bakar dan di hari mihnah (ujian) dengan Imam Ahmad."

Bila mengalami kegundahan dan problem yang dahsyat Ibnul Qayyim mendatangi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah untuk mendengarkan berbagai nasehatnya. Sertamerta kegundahannya pun hilang berganti dengan kelapangan dan keteguhan iman ( Al Wabilush Shaib, hal. 97).


11. Meyakini Pertolongan Allah

Mungkin pernah terjadi, seseorang tertimpa musibah dan meminta pertolongan Allah, tetapi pertolongan yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung datang, bahkan yang dialaminya hanya bencana dan ujian. Dalam keadaan seperti ini manusia banyak membutuhkan tsabat agar tidak berputus asa. Allah berfirman:
"Dan berapa banyak nabi yang berperang yang diikuti oleh sejumlah besar pengikutnya yang bertaqwa, mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do'a mereka selain ucapan, Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami. Tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akherat. " (Ali Imran: 146-148).


12. Mengetahui Hakekat Kebatilan

Allah berfirman: "Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir yang bergerak dalam negeri ." (Ali Imran: 196)

"Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur'an (supaya jelas jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berbuat jahat (musuh-musuh Islam)." (Al An'am: 55)

"Dan Katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah sirna, sesungguhnya yang batil itu pastilah lenyap." (Al Isra': 81)

Berbagai keterangan ayat di atas sungguh menentramkan hati setiap orang beriman. Mengetahui bahwa kebatilan akan sirna dan kebenaran akan menang akan mengukuhkan seseorang untuk tetap teguh berada dalam keimanannya.


13. Memiliki Akhlak Pendukung Tsabat

Akhlak pendukung tsabat yang utama adalah sabar. Sebagaimana sabda Nabi :
"Tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran." (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Tanpa kesabaran iman yang kita miliki akan mudah terombang-ambingkan oleh berbagai musibah dan ujian. Karena itu, sabar termasuk senjata utama mencapai tsabat.


14. Nasehat Orang Shalih

Nasehat para shalihin sungguh amat penting artinya bagi keteguhan iman. Karena itu, dalam segala tindakan yang akan kita lakukan hendaklah kita sering-sering meminta nasehat mereka. Kita perlu meminta nasehat orang-orang shalih saat mengalami berbagai ujian, saat diberi jabatan, saat mendapat rezki yang banyak dan lain-lain. Bahkan seorang sekaliber Imam Ahmad pun, beliau masih perlu mendapat nasehat saat menghadapi ujian berat oleh intimidasi penguasa yang tirani. Bagaimana pula halnya dengan kita?


15. Merenungi Nikmatnya Surga

Surga adalah tempat yang penuh dengan kenikmatan, kegembiraan dan suka-cita. Ke sanalah tujuan pengembaraan kaum muslimin.
Orang yang meyakini adanya pahala dan Surga niscaya akan mudah menghadapi berbagai kesulitan. Mudah pula baginya untuk tetap tsabat dalam keteguhan dan kekuatan imannya.

Dalam meneguhkan iman para sahabat, Rasulullah sering mengingatkan mereka dengan kenikmatan Surga. Ketika melewati Yasir, istri dan anaknya Ammar yang sedang disiksa oleh kaum musyrikin beliau mengatakan: "Bersabarlah wahai keluarga Yasir, tempat kalian nanti adalah Surga." (HR. Al Hakim/III/383, hasan shahih).

Mudah-mudahan kita bisa merawat dan terus-menerus meneguhkan keimanan kita sehingga Allah menjadikan kita khusnul khatimah. Amin

Sumber : arcapasa3.blogspot.com