Senin, 29 Agustus 2011
Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?
oleh Inamul Haqqi Hasan
Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyatdalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya ringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidakbisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak meng-cover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelahtimur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan:
“Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
Sumber: http://immugm.web.id
Analisis Visibilitas Hilal untuk Usulan Kriteria Tunggal di Indonesia
Thomas Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
(Publikasi di buku ilmiah “Matahari dan Lingkungan Antariksa”, Seri -4, 2010, hlm. 67 – 76, Dian Rakyat, Jakarta)
Abstrak. Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria. Saat ini sudah ada kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Untuk itu kajian ilmiah perlu dilakukan untuk memberikan masukan alternatif kriteria yang nantinya perlu dikaji untuk dipilih menjadi kriteria tunggal yang disepakati. Makalah ini membahas beberapa alternatif kriteria berdasarkan analisis data rukyat di Indonesia dan internasional. Kriteria harus memperhatikan dalil-dalil syar’i yang disepakati para ulama serta didasarkan pada kemudahan aplikasinya dan kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa benar-benar setara dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat. Berdasarkan analisis yang dibahas makalah ini diusulkan ”Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut: Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o dan beda tinggi bulan-matahari > 4o.
Kata kunci: Kriteria visibilitas hilal, Hisab-Rukyat, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.
1. Pendahuluan
Persoalan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walau saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan ketidaktentraman di masyarakat. Jika tidak segera diatasi itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas massal dalam skala luas. Satu sisi kemajuan teknologi informasi membantu menyebarkan informasi ke seluruh penjuru dunia, pada sisi lain teknologi itu juga dengan cepat menyebarkan keresahan ketika terjadi perbedaan penetapan.
Perkembangan pemahaman astronomi kini telah memasuki semua lapisan masyarakat, termasuk juga ormas-ormnas Islam yang memanfaatkannya untuk penentuan awal bulan Islam, khususnya terkiat dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Momentum ini sangat baik untuk digunakan dalam upaya mencari solusi perbedaan hari raya. Perdebatan dalil syar’i (hukum agama) antarormas atau kelompok masyarakat yang selama ini mendikhotomikan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) cenderung tak terselesaikan karena masing-maisng menganggap dalil yang diyakininya yang paling shahih dan kuat. Perdebatan semacam itu sudah saatnya diakhiri dan cukup dijadikan khazanah keberagaman pemikiran hukum. Sebaliknya, pemahaman astronomi yang semakin luas perlu terus dibangun untuk mencari titik temu antarormas tanpa mempermasalahkan perbedaan rujukan dalil syar’i.
Dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi, karena keduanya saling melengkapi. Hanya persoalannya adalah cara mempersatukan hisab dan ruyat tersebut. Secara astronomi hisab dan rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (ketampakan bulan sabit pertama) atau imkanur rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Kriteria itu didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga dua pendapat hisab dan rukyat dapat terakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat akan selalu seragam. Makalah ini mengkaji berbagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia dan internasional untuk digunakan sebagai dasar penyusunan kriteria tunggal hisab rukyat di Indonesia.
2. Pokok Masalah Perbedaan Hari Raya
Perbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada perbedaan: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia), sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2o). Di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.
Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2 derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Tabel 2.1. menunjukkan ketinggian hilal pada awal Ramadhan, Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijjah (untuk penentuan Idul Adha) saat terjadinya perbedaan pada beberapa tahun lalu dan potensi pada beberapa tahun mendatang. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Maka hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah (yang secara teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama).
Tabel 2.1.
Bulan-Bulan Rawan Terjadi Perbedaan
3. Kriteria Visibilitas Hilal Internasional
Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon).
Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon (1932, 1936, di dalam Schaefer, 1991) yang berdasarkan ekstrapolasi data pengamatan menyatakan bahwa pada jarak bulan-matahari < 7o hilal tak mungkin terlihat. Batas 7o tersebut dikenal sebagai limit Danjon. Dengan model, Schaefer (1991) menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas sensitivitas mata manusia yang tidak bisa melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada Gambar 3.1 Schaefer (1991) menunjukkan bahwa kecerlangan total sabit hilal akan semakin berkurang dengan makin dekatnya bulan ke matahari. Pada jarak 5o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada posisi 50o kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata manusia, sekitar magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak sekitar 7,5o. Pada jarak tersebut hanya titik bagian tengah sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur sabit yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10o busur sabit sampai sekitar 50o dari pusat sabit ke ujung tanduk sabit (cusps).
Gambar 3.1. Kurva kuat cahaya sabit bulan. Semakin dekat ke arah matahari (dinyatakan dalam derajat di masing-masing kurva), kuat cahaya semakin redup (angka magnitudonya semakin besar), dan semakin ke arah tanduk sabit (Cusps) juga semakin redup.
Pada Gambar 3.2. ditunjukkan perbandingan hasil model dan ekstrapolasi empiris limit Danjon (Schaefer, 1991) dengan limit jarak terdekat bulan-matahari (sun-moon angle) sekitar 7o. Hasil model tersebut menunjukkan bahwa batasan limit Danjon disebabkan oleh batas sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya sangat mungkin untuk mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan senitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik seperti yang diperoleh oleh Odeh (2006) yang mendapatkan limit Danjon 6,4o.
Gambar 3.2. Perbandingan limit Danjod dari hasil ekstrapolasi pengamatan dibandingkan dengan model (Schaefer, 1991). Ekstrapolasi jarak sudut bulan-matahari (Sun-Moon Angle) pada besar busur hilal (crescent arc length) 0o merupakan limit Danjon sekitar 7o.
Beberapa peneliti membuat kriteria berdasarkan beda tinggi bulan-matahari dan beda azimutnya. Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4o untuk beda azimut yang besar dan 10,4o untuk beda azimut 0o (lihat Gambar 3.3). Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan pengamatan mata telanjang dan dengan bantuan alat optik. Pada Gambar 3.4 Caldwell dan Laney memberikan kriteria beda tinggi minimum 4o untuk semua cara pengamatan pada beda azimut yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6,5o untuk beda azimut 0o untuk pengamatan dengan alat optik. Beda tinggi minimum untuk beda azimut 0o identik dengan limit Danjon dengan alat optik (Odeh, 2006).
Gambar 3.3. Ilyas (1988) memberikan criteria visibilitas hilal dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4o untuk beda azimuth yang besar dan 10,4o untuk beda azimuth 0o.
Gambar 3.4. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001) membuat kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih). Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o.
Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik hilalnya, tanpa memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di ufuk barat. Dengan memperhitungkan arc of light (beda tinggi bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk barat sudah diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung diwakili oleh beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung jarak sudut minimal bulan-matahari. Odeh melakukan pendekatan sedikit berbeda dengan menggunakan aspek fisik hilal lebih khusus dengan kriteria lebar sabit (W) dalam satuan menit busur (’) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1, yang dipisahkan dengan alat optik (ARCV1), dengan alat optik, tetapi masih mungkin dengan mata telanjang (ARCV2), dan dengan mata telanjang (ARCV3).
Tabel 3.1. Kriteria Visibilitas Hilal Odeh (2006) dengan (1) alat optik, (2) alat optik, masih mungkin dengan bata telanjang, atau (3) dengan mata telanjang.
4. Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000) mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o. (3). Beda tinggi > 3o (tinggi hilal > 2o) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o (Lihat Gambar 4.1). Kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2o, tanpa memperhitungkan beda azimut.
Gambar 4.1. Kriteria visibilitas hilal berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI (Djamaluddin, 2000).
Kriteria tersebut sebenarnya lebih rendah dari kriteria visibilitas hilal internasional yang dibahas di bagian 3. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan terpencil secara statistik sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan, maka kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di sekitar Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) menunjukkan sebaran data beda tinggi bulan-matahari > 6o (Sudibyo, 2009).
Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkna kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.
Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisab-rukyat yang membantu menganalisis mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu masuknya awal bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas bawah.
Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4o dari Odeh dapat kita pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006) tampaknya kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Aspek kontras latar depan di ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo (2009), yaitu minimal 4o. Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) dapat disempurnakan menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):
Gambar 4.2. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” diusulkan sebagai kriteria tunggal hisab rukyat Indonesia. Dua kriteria berikut digunakan bersama-sama: jarak matahari – bulan > 6,4o dan beda tinggi bulan – matahari > 4o.
5. Pembahasan
Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.
“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), kriteria wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis). Jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara astronomi, sehingga hanya akan menjadi ‘olok-olok’ komunitas astronomi internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia. Penyempurnaan pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru.
6. Kesimpulan
Dengan menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji ulang kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), diusulkan kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di Indonesia. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut:
Daftar Pustaka
Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.
Djamaluddin, T. 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137 – 136.
Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.
Sudibyo, MM, Arkanuddin, M., dan Riyadi, ARS 2009, “Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas Di Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional: Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalendar Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah, Obs. Bosccha, 19 Desember 2009
Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.
Schaefer, BE, 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astr. Soc., Vol. 32, p. 265 – 277.
Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
(Publikasi di buku ilmiah “Matahari dan Lingkungan Antariksa”, Seri -4, 2010, hlm. 67 – 76, Dian Rakyat, Jakarta)
Abstrak. Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria. Saat ini sudah ada kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Untuk itu kajian ilmiah perlu dilakukan untuk memberikan masukan alternatif kriteria yang nantinya perlu dikaji untuk dipilih menjadi kriteria tunggal yang disepakati. Makalah ini membahas beberapa alternatif kriteria berdasarkan analisis data rukyat di Indonesia dan internasional. Kriteria harus memperhatikan dalil-dalil syar’i yang disepakati para ulama serta didasarkan pada kemudahan aplikasinya dan kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa benar-benar setara dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat. Berdasarkan analisis yang dibahas makalah ini diusulkan ”Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut: Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o dan beda tinggi bulan-matahari > 4o.
Kata kunci: Kriteria visibilitas hilal, Hisab-Rukyat, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.
1. Pendahuluan
Persoalan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walau saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan ketidaktentraman di masyarakat. Jika tidak segera diatasi itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas massal dalam skala luas. Satu sisi kemajuan teknologi informasi membantu menyebarkan informasi ke seluruh penjuru dunia, pada sisi lain teknologi itu juga dengan cepat menyebarkan keresahan ketika terjadi perbedaan penetapan.
Perkembangan pemahaman astronomi kini telah memasuki semua lapisan masyarakat, termasuk juga ormas-ormnas Islam yang memanfaatkannya untuk penentuan awal bulan Islam, khususnya terkiat dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Momentum ini sangat baik untuk digunakan dalam upaya mencari solusi perbedaan hari raya. Perdebatan dalil syar’i (hukum agama) antarormas atau kelompok masyarakat yang selama ini mendikhotomikan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) cenderung tak terselesaikan karena masing-maisng menganggap dalil yang diyakininya yang paling shahih dan kuat. Perdebatan semacam itu sudah saatnya diakhiri dan cukup dijadikan khazanah keberagaman pemikiran hukum. Sebaliknya, pemahaman astronomi yang semakin luas perlu terus dibangun untuk mencari titik temu antarormas tanpa mempermasalahkan perbedaan rujukan dalil syar’i.
Dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi, karena keduanya saling melengkapi. Hanya persoalannya adalah cara mempersatukan hisab dan ruyat tersebut. Secara astronomi hisab dan rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (ketampakan bulan sabit pertama) atau imkanur rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Kriteria itu didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga dua pendapat hisab dan rukyat dapat terakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat akan selalu seragam. Makalah ini mengkaji berbagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia dan internasional untuk digunakan sebagai dasar penyusunan kriteria tunggal hisab rukyat di Indonesia.
2. Pokok Masalah Perbedaan Hari Raya
Perbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada perbedaan: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia), sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2o). Di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.
Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2 derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Tabel 2.1. menunjukkan ketinggian hilal pada awal Ramadhan, Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijjah (untuk penentuan Idul Adha) saat terjadinya perbedaan pada beberapa tahun lalu dan potensi pada beberapa tahun mendatang. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Maka hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah (yang secara teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama).
Tabel 2.1.
Bulan-Bulan Rawan Terjadi Perbedaan
Tahun(Hijriyah/Masehi) | Derajat Tinggi Bulan di Bandung pada Awal Bulan | ||
Ramadhan | Syawal | Dzulhijjah | |
1422/2001-2002 | 1,7 | 2,5 | |
1423/2002-2003 | 1,2 | 1,3 | |
1427/2006 | 0,9 | ||
1428/2007 | 0,7 | ||
1431/2010 | 1,7 | ||
1432/2011 | 2,0 | ||
1433/2012 | 2,0 | ||
1434/2013 | 0,7 | ||
1435/2014 | 0,8 | 0,8 |
3. Kriteria Visibilitas Hilal Internasional
Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon).
Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon (1932, 1936, di dalam Schaefer, 1991) yang berdasarkan ekstrapolasi data pengamatan menyatakan bahwa pada jarak bulan-matahari < 7o hilal tak mungkin terlihat. Batas 7o tersebut dikenal sebagai limit Danjon. Dengan model, Schaefer (1991) menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas sensitivitas mata manusia yang tidak bisa melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada Gambar 3.1 Schaefer (1991) menunjukkan bahwa kecerlangan total sabit hilal akan semakin berkurang dengan makin dekatnya bulan ke matahari. Pada jarak 5o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada posisi 50o kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata manusia, sekitar magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak sekitar 7,5o. Pada jarak tersebut hanya titik bagian tengah sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur sabit yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10o busur sabit sampai sekitar 50o dari pusat sabit ke ujung tanduk sabit (cusps).
Gambar 3.1. Kurva kuat cahaya sabit bulan. Semakin dekat ke arah matahari (dinyatakan dalam derajat di masing-masing kurva), kuat cahaya semakin redup (angka magnitudonya semakin besar), dan semakin ke arah tanduk sabit (Cusps) juga semakin redup.
Pada Gambar 3.2. ditunjukkan perbandingan hasil model dan ekstrapolasi empiris limit Danjon (Schaefer, 1991) dengan limit jarak terdekat bulan-matahari (sun-moon angle) sekitar 7o. Hasil model tersebut menunjukkan bahwa batasan limit Danjon disebabkan oleh batas sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya sangat mungkin untuk mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan senitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik seperti yang diperoleh oleh Odeh (2006) yang mendapatkan limit Danjon 6,4o.
Gambar 3.2. Perbandingan limit Danjod dari hasil ekstrapolasi pengamatan dibandingkan dengan model (Schaefer, 1991). Ekstrapolasi jarak sudut bulan-matahari (Sun-Moon Angle) pada besar busur hilal (crescent arc length) 0o merupakan limit Danjon sekitar 7o.
Beberapa peneliti membuat kriteria berdasarkan beda tinggi bulan-matahari dan beda azimutnya. Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4o untuk beda azimut yang besar dan 10,4o untuk beda azimut 0o (lihat Gambar 3.3). Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan pengamatan mata telanjang dan dengan bantuan alat optik. Pada Gambar 3.4 Caldwell dan Laney memberikan kriteria beda tinggi minimum 4o untuk semua cara pengamatan pada beda azimut yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6,5o untuk beda azimut 0o untuk pengamatan dengan alat optik. Beda tinggi minimum untuk beda azimut 0o identik dengan limit Danjon dengan alat optik (Odeh, 2006).
Gambar 3.3. Ilyas (1988) memberikan criteria visibilitas hilal dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4o untuk beda azimuth yang besar dan 10,4o untuk beda azimuth 0o.
Gambar 3.4. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001) membuat kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih). Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o.
Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik hilalnya, tanpa memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di ufuk barat. Dengan memperhitungkan arc of light (beda tinggi bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk barat sudah diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung diwakili oleh beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung jarak sudut minimal bulan-matahari. Odeh melakukan pendekatan sedikit berbeda dengan menggunakan aspek fisik hilal lebih khusus dengan kriteria lebar sabit (W) dalam satuan menit busur (’) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1, yang dipisahkan dengan alat optik (ARCV1), dengan alat optik, tetapi masih mungkin dengan mata telanjang (ARCV2), dan dengan mata telanjang (ARCV3).
Tabel 3.1. Kriteria Visibilitas Hilal Odeh (2006) dengan (1) alat optik, (2) alat optik, masih mungkin dengan bata telanjang, atau (3) dengan mata telanjang.
4. Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000) mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o. (3). Beda tinggi > 3o (tinggi hilal > 2o) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o (Lihat Gambar 4.1). Kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2o, tanpa memperhitungkan beda azimut.
Gambar 4.1. Kriteria visibilitas hilal berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI (Djamaluddin, 2000).
Kriteria tersebut sebenarnya lebih rendah dari kriteria visibilitas hilal internasional yang dibahas di bagian 3. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan terpencil secara statistik sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan, maka kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di sekitar Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) menunjukkan sebaran data beda tinggi bulan-matahari > 6o (Sudibyo, 2009).
Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkna kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.
Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisab-rukyat yang membantu menganalisis mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu masuknya awal bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas bawah.
Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4o dari Odeh dapat kita pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006) tampaknya kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Aspek kontras latar depan di ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo (2009), yaitu minimal 4o. Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) dapat disempurnakan menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):
- Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
- Beda tinggi bulan-matahari > 4o.
Gambar 4.2. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” diusulkan sebagai kriteria tunggal hisab rukyat Indonesia. Dua kriteria berikut digunakan bersama-sama: jarak matahari – bulan > 6,4o dan beda tinggi bulan – matahari > 4o.
5. Pembahasan
Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.
“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), kriteria wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis). Jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara astronomi, sehingga hanya akan menjadi ‘olok-olok’ komunitas astronomi internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia. Penyempurnaan pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru.
6. Kesimpulan
Dengan menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji ulang kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), diusulkan kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di Indonesia. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut:
- Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
- Beda tinggi bulan-matahari > 4o.
Daftar Pustaka
Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.
Djamaluddin, T. 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137 – 136.
Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.
Sudibyo, MM, Arkanuddin, M., dan Riyadi, ARS 2009, “Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas Di Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional: Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalendar Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah, Obs. Bosccha, 19 Desember 2009
Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.
Schaefer, BE, 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astr. Soc., Vol. 32, p. 265 – 277.
Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com
Hilal dan Masalah Beda Hari Raya
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi badat) haji... (QS 2:189)
Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat islam yang menggunakan bulan sebagai penentu waktu kegiatan keagamaan. Umat Hindu menggunakan bulan mati sebagai penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka bulan purnama sebagai penentu waktu Waisak. Umat Kistiani menggunakan purnama pertama setelah vernal equinox (21 Meret) sebagai penentu hari Paskah.
Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat dihitung (QS 55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim (seperti pertanian, pelayaran, perikanan, migrasi) tentu menggunakan kalender matahari.
Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal untuk kegiatan agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk kegiatan agama kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada kalender bulan mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan hilalnya). Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali menjadi sabit lagi (QS 36:39).
Rasulullah SAW memberi pedoman praktis tentang penggunaan hilal sebagai penentu waktu: "Berpuasalah bila melihatnya dan beridul fitri-lah bila melihatnya, bila tertutup awan sempurnakan bulan Sya'ban 30 hari" (HR Bukhari-Muslim). Dan dalam hadits lain, "Bila tertutup awan perkirakan" (HR Muslim). Karena umur rata-ratanya 29,53 hari, satu bulan hanya mungkin 29 atau 30 hari, jadi mudah diperkirakan atau amannya genapkan saja menjadi 30 hari.
Pedoman yang diberikan Rasulullah SAW sangat sederhana. Karena memang Allah dan Rasulnya tidak hendak menyulitkan ummatnya. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukan menghendaki kesulitan" (QS 2:185). Dalam pelaksanaan ibadah shaumnya Allah memberikan keringanan-keringanan bagi yang mengalami kesulitan (sedang sakit atau dalam perjalanan), mestinya dalam penentuan waktunya pun tentu tidak menghendaki kesulitan.
Kini penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal (pengamatan hilal), ada alternatif lain yang juga sederhana: ilmu hisab (perhitungan astronomi). Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak yang teramati, sampai detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan.
Hisab dan rukyat punya kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasul. Hisab pun dijamin eksistensinya, karena Allah menjamin peredaran bulan dan matahari dapat dihitung (QS 55:5). Sumber perbedaan terletak pada keterbatasan manusia dalam mengatasi masalah atmosfer bumi.
Keberhasilan rukyat tergantung kondisi atmosfer. Akurasi hisab terbentur pada formulasi faktor atmosfer bumi untuk kriteria hilal agar teramati. Tidak ada superioritas di antara keduanya. Superioritas justru sering muncul dari para penggunanya.
Sifat Ijtihadiyah
Dalan diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat, sering terlontar pernyataan bahwa rukyat bersifat qath'i (pasti) hisab bersifat Dzhanni (dugaan) atau sebaliknya ada yang menyatakan hisab bersifat qath'i rukyat bersifat Dzhanni. Sifat qath'i atau dzhanni berkaitan dengan penetapan hukumnya. Ini berkaitan dengan ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh para ulama dengan mengunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum ditetapkan secara tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga sesudah Alquran dan Assunnah. Hal yang dianggap qath'i sudah dianggap pasti benarnya, tidak ada lagi interpretasi.Sebenarnya, kesaksian melihat hilal (ru'yatul hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadhan dan hari raya oleh pemimpin ummat semuanya adalah hasil ijtihad, sifatnya dzhanni. Kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.
Kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya, karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis atau sekadar titik cahaya. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan pada pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulangi oleh orang lain.
Hisab pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari (tepatnya, peredaran bumi mengelilingi matahari) (Q. S. 6:96). Makin lama, hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan makin banyak faktor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti kuat tentang ketepatannya, seperti hisab gerhana matahari yang demikian teliti sampai orde detik. Gerhana matahari pada hakikatnya adalah ijtimak (bulan baru) yang teramati. Maka jaminan kebenarannya lebih kuat dari pada rukyat, karena orang lain bisa mengujinya dan pengamatan posisi bulan bisa membuktikannya. Namun, dalam hal penetapan awal bulan hisab tergantung kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan. Ada yang berdasarkan wujudul hilal (hilal di atas ufuk), ada juga yang berdasarkan imkan rukyat (syarat-syarat hisab untuk terlihatnya hilal berdasarkan pengalaman pengamatan).
Keputusan penetapan awal Ramadan dan hari raya itu pun hasil ijtihad. Berdasarkan kesaksian ru'yatul hilal atau hisab yang dianggap sah, pemimpin ummat (pemerintah, ketua organisasi Islam, atau imam masjid) kemudian menetapkannya. Karena pemimpin ummat di dunia ini tidak tunggal, keputusannya pun bisa beragam, hal yang wajar dalam proses ijtihad. Akibatnya, perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha semestinya dianggap hal yang wajar juga.
Sumber perbedaan
Sifat ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur gerakannya pun satu, sunnatullah. Tetapi, interpretasi orang atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan pengamatan juga tidak mungkin disamakan.Semula para ulama mempertentangkan hisab dengan rukyat saja. Kini hisab pun dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab mana yang akan dijadikan pegangan. Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut. Ada yang berdasarkan kriteria wujudul hilal, asalkan bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh Muhammadiyah. Kriteria lainnya adalah imkanur ru'yat, berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat. Kriteria ini digunakan oleh Depag RI.
Perintah operasional puasa dan beridul fitri dalam hadits didasarkan pada rukyatul hilal. Di dalam Alquran walaupun bulan dan matahari disebut sebagai alat untuk perhitungan waktu (Q. S. 6:96), tetapi dalam prakteknya, hilal yang dijadikan acuan (Q. S. 2:189), bukan posisi bulan. Karenanya orang awam sekali pun bisa menentukan ada tidaknya hilal walaupun tidak mengerti seluk beluk peredaran bulan.
Wujudnya bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan manusia. Hilal bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan hilal (imkanur rukyat). Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkan rukyat (walau pun masih terus disempurnakan, seperti lazimnya riset ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar'i daripada kriteria wujudul hilal.
Sesama pengguna rukyat pun keputusannya pun bisa berbeda antara penganut rukyat "murni" dan rukyat terpandu hisab. Dalam beberapa kali kesaksian rukyat murni (bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya penyelesaiannya adalah dengan sumpah. Secara syar'i itu sah. Apalagi para pengamat itu umumnya orang yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi keimanannya dan kejujurannya. Tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkannya.
Bukti ilmiah yang bisa menguatkan kesaksian akan rukyatul hilal antara lain posisi hilal, bentuknya, serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. Bukti ilmiah itu bisa diuji kebenarannya dengan rukyat hari-hari berikutnya. Bagi kalangan yang mempercayai rukyat terpandu hisab, bukti ilmiah itu bisa ditambah dengan hasil hisabnya. Hasil rukyat bisa segera dicocokkan dengan hasil hisabnya. Dengan kriteria hisabnya, kalangan ini bisa menolak kesaksian hilal bila dianggap meragukan. Misalnya, bulan semestinya (menurut hisab yang akurat) telah terbenam tidak mungkin bisa dirukyat.
Perlukah bukti ilmiah itu? Saya berpendapat sangat perlu. Untuk saat ini, sumpah saja belum cukup. Pengamat hilal ternyata banyak juga yang belum memahami hilal dan belum bisa membedakannya dengan objek terang lainnya. Gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan. Objek terang pada arah pandang saat ini juga bisa beragam. Tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial.
Perbedaan hari raya akibat perbedaan metode dan kriteria itu tampak jelas pada penentuan Idul Fitri 1418.
Saat ini pertama kalinya, Menteri Agama tidak memberikan keputusan tegas dengan menyatakan bahwa pemerintah berhari raya pada 30 Januari 1998, namun mempersilakan ummat yang meyakini hari raya 29 Januari untuk shalat ied. Waktu itu Muhammadiyah yang menggunakan hisab wujudul hilal beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan Pemerintah dan Persis yang mempertimbangkan hisab dengan imkanur rukyat beridul fitri pada 30 Januari. NU di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah menerima kesaksian di Bawean dan Cakung sehingga beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan, PB NU sepakat untuk beridul fitri 30 Januari karena rukyat itu dianggap tidak mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan hisab dengan imkanur rukyat.
Sumber perbedaan lainnya adalah masalah rukyat lokal dan rukyat global yang dipicu berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita tentang penetapan awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya, kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan diturut.
Dasar hukum rukyat lokal adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Sedangkan penampakan hilal bersifat lokal, tidak bisa secara seragam terlihat di seluruh dunia. Demi keseragaman hukum di suatu wilayah, pemimpin umat bisa menyatakan kesaksian di mana pun di wilayah itu berlaku untuk seluruh wilayah.
Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadits Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah.
Tetapi, sebagian ulama lainnya berpendapat tidak ada batasan tempat kesaksian hilal. Di mana pun hilal teramati, itu berlaku bagi seluruh dunia. Dasarnya, karena hadits Nabi sendiri tidak memberi batasan keberlakukan rukyatul hilal itu, jadi mestinya berlaku untuk seluruh dunia. Namun mereka tidak merinci teknis pemberlakuan di seluruh dunia yang sebenarnya tidak sederhana. Belakangan di antara pengikut pendapat ini ada yang merumuskan, bila ada kesaksian hilal di mana pun, maka wilayah yang belum terbit fajar wajib menjadikannya sebagai dasar untuk berpuasa atau beridul fitri.
Kedua pendapat itu hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang dianggapnya kuat. Hadits yang digunakannya sama. Penganut rukyat lokal bisa berargumentasi Nabi tidak memerintahkan bertanya tentang kesaksian hilal di wilayah lain. Penganut rukyat global bisa berargumentasi Nabi tidak membatasi keberlakukan kesaksian hilal. Manakah yang sebaiknya diikuti?
Di dalam Q. S. 2:185 yang berkaitan dengan puasa Allah memberikan pedoman umum, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu". Bila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyat tidak bisa dipastikan di mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah maghrib.
Untuk mendukung argumentasinya, ada yang berpendapat rukyat global lebih menjamin keseragaman daripada rukyat lokal. Tetapi analisis astronomi membantah pendapat itu. Baik rukyat global maupun rukyat lokal tidak mungkin menghapuskan perbedaan.
T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
Sumber: http://media.isnet.org
Konsekuensi Menggunakan Metode Rukyat (Melihat)
oleh Sterie Fierlianantyo
2. Rukyat tidak dapat dilakukan secara normal pada kawasan lintang tinggi di atas 60ยบ LU dan LS (lihat keterangan no. 2)
3. Rukyat tidak bisa membuat sistem penanggalan yang akurat karena penanggalan harus dibuat jauh hari ke depan, sementara dengan rukyat tanggal (awal bulan baru) baru bisa diketahui sehari sebelumnya.
4. Rukyat menimbulkan problem puasa Arafah karena tidak dapat menyatukan hari Arafah di Mekah dan kawasan lain pada bulan Zulhijah tertentu.
Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Temu Pakar II di Maroko menyatakan bahwa penyatuan kalender Islam se dunia tidak mungkin dilakukan kecuali dengan berdasarkan hisab. Memang, sebagaimana dikemukakan oleh Nidhal Guessoum, adalah suatu ironi yang memilukakan bahwa setelah hampir 1,5 milenium perkembangan peradaban Islam, umat Islam belum mampunyai suatu sistem penanggalan terpadu yang akurat, pada hal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, sebab umat Islam tidak mampu membuat kalender terpadu adalah karena mereka terlalu kuat berpegang kepada rukyat.
Kini dalam rangka mewujudkan kalender Islam tunggal (terpadu) yang dapat menyatukan selebrasi umat Islam sedunia, sedang dilakukan perumusan kalender Islam yang dibuat dan diuji selama kurang lebih satu abad ke muka hingga akhir tahun 2100. Ada empat rancangan yang diuji dan telah sering diberitakan. Perkembangan paling mutakhir tentang uji validitas ini adalah bahwa uji tersebut telah mencapai 93 tiga tahun, dan akan segera diadakan Temu Pakar III untuk membahas hasil uji validitas tersebut.