Sabtu, 10 September 2011
Nasi Pindang Kudus
Menyambung tulisan perihal makanan Semarangan, sekalian aja aku nulis soal Nasi Pindang Kudus. Sebenarnya nasi pindang merupakan makanan khas Kudus tetapi di Semarang juga banyak yang berjualan makanan ini. Masih berada di jalan Gajah Mada Semarang juga ada sebuah warung yang menjual Nasi Pindang Kudus. Nama warungnya Nasi Pindang Kudus Tanah Mas.
Ngomongin nasi pindang jangan Anda bayangkan nasi dengan ikan pindang lho. Sebab tak ada hubungannya sama sekali dengan ikan pindang yang biasa dimasak sarden atau nasi kucing itu. Pindang Kudus merupakan salah satu masakan yang hampir mirip rawon. Jadi berbahan dasar daging sapi dimasak rawon tetapi menggunakan santan. Hampir mirip dengan sayur brongkos tetapi tidak menggunakan cabe. Jika Anda memesan nasi pindang kudus di warung nasi pindang kudus Tanah Mas ini maka mereka akan menyajikan dalam piring dengan alas daun pisang. Kuahnya berwarna hitam keabuan. Isinya nasi, kuah, beberapa potong daging dan daun so/belinjo. Rasa kuahnya agak manis. Bila suka pedas, tinggal menambah sambel cabe rawit yang dicairkan dengan air yang sudah tersedia di meja.
Biasanya pembeli bisa memesan pula tambahan lauk yaitu jerohan, paru, babat, iso dan lain-lain yang dimasak seperti bacem dan rasanya manis. Mereka juga menjual aneka lauk seperti perkedel, tempe goreng dan krupuk. Jika Anda tak begitu suka nasi pindang kudus, Anda bisa memesan soto daging yang juga mereka jual.
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
Nasi Godog Pak Doel, Semarang
Walaupun sebenarnya sudah sejak lama penasaran tetapi baru kemarin aku berani mencoba memesan menu Nasi Godog saat kembali bertugas di Semarang. "Nasi Godog satu mas, tapi nasinya sedikit saja dan pedas "begitu pesanku pada pelayan warung yang berseragam orange. "Pakai telur atau tidak," tanyanya balik padaku. "Jelas pakai dong," sahutku sembari tersenyum. Lalu aku pun menunggu mereka menyajikan nasi godog pesenanku sembari minum teh botol. Tak berapa lama pesenanku disajikan. Yang muncul ternyata, seperti nasi sop, berisi nasi, sawi, kubis, telur, irisan ayam dan kekian serta kuah yang kecoklatan. Saat aku mulai memakannya, kesan pertama tidak salah.Benar-benar maknyus. Sueger, tidak terlalu asin atau manis.
Apalagi jika dipanas-panas tambah nikmat. Aku jadi bertanya-tanya seperti apa sih membuatnya, apa nasinya digoreng dulu dengan telur baru diguyur kuah? atau bikin kuahnya dulu baru dimasukkan nasi? wah kenapa tidak kuikuti ya cara membuatnya. Lain kali saja deh diulang makan disini lagi. Pokoke rasanya bikin aku ketagihan. Apalagi jika memakannya sembari menyantap sate ati ampela yang sudah dibakar tambah lezat lagi. Tidak percaya? Coba saja sendiri kalo datang ke Semarang.
Warung Mi Jawa Pak Doel Numeni ini sudah buka dari jam 10 pagi sampai 12 malam. Pemiliknya sudah buka di beberapa tempat yaitu di depan kantor Balaikota Semarang jl. Pemuda dan jalan Thamrin. Tetapi kalau di kedua tempat tersebut jam bukanya dari jam 3 sore hingga jam 12 malam. Selain itu juga menerima pesanan via telepon. Enak to?
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
Soto Ayam Pak Din Semarang
Sesudah sempat istirahat beberapa waktu, jumat malam aku mulai travelling lagi. Kota pertama yang jadi tujuanku adalah Semarang. Aku naik travel malam dari Surabaya menuju Semarang supaya bisa tidur nyenyak di kendaraan. Adzan Subuh baru saja bergema saat aku sampai penginapan. Setelah sempat istirahat sebentar aku langsung berangkat kerja. Sebelum terjebak seharian dengan pekerjaan di PRPP, kusempatkan dulu sarapan.
Kebetulan aku sedang kangen makan soto Semarang makanya aku langsung saja menuju ke warung Soto Ayam Pak Din di jalan Tanjung. Kebetulan beberapa bulan lalu aku sudah pernah makan soto ayam di warung ini dan cocok makanya aku ingin mengulanginya lagi. Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi waktu aku masuk ke warung yang berada tepat di belakang kantor PLN jalan Pemuda itu.
Tampaknya pak Din baru saja sampai tetapi beberapa orang pembeli sudah tampak duduk dan menunggu makanan di sajikan. Lalu pak Din pun mulai bertanya berapa mangkuk pada pembeli. Aku langsung pesan "Satu pak tanpa nasi," Tak berselanglama semangkuk kecil soto ayam panas diberikan padaku. Mangkuknya kecil banget. Tapi isinya buanyak. Kelihatan dari luar sudah menggoda selera. Kuahnya tampak mengepul menandakan masih puanas banget. Isinya suun, suwiran ayam ditaburi seledri, rajangan pre, bawang merah goreng dan bawang putih goreng. Kuahnya putih agak keruh. Rasanya mantap, tak terlalu asin, pas dilidah. Tapi jika Anda merasa kurang asin bisa menambah garam yang sudah disediakan di meja.Jika suka kecap, jeruk nipis atau pre juga tinggal nambahin sendiri. Semua pernak pernik itu disiapkan di tiap mejanya. Sambal juga ada buat yang suka pedas. Sambalnya berwarna hijau, sepertinya terbuat dari cabe rawit hijau yang dihaluskan dan ditambah air dan bumbu-bumbu.
Sedangkan bila ingin tambah lauk, pak Din sudah siapkan tempe goreng kering yang uenak dan agak asin, dan perkedel kentang yang lezat. Jika ingin tambah ikan ada sate potongan daging ayam dan jerohan serta sate kerang yang jadi khas Semarang. Pokoke uenak deh dan tak terlalu mahal. Setelah kenyang menyantap soto langsung minum teh nasgitel, manis kentel manis tentu tambah uenak.
Soto ayam sepertinya memang menu sarapan yang paling banyak di jual di Semarang. Selain Soto ayam pak Din masih banyak warung soto ayam yang ngetop di Semarang seperti Soto ayam Bangkong di Sukun Banyumanik, dan Soto ayam pak No di Jl. Indraprasta. Semua punya ciri khas rasa berbeda. Bila Anda ke Semarang bisa pilih sesuai selera deh.
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
Soto Ayam Kudus Mbak Lin, Semarang
Salah satu menu yang paling cocok disantap setiap saat adalah soto. Makanya saat salah satu relasiku di Semarang menawariku mencoba soto kudus, aku langsung menyetujuinya. Kami pun langsung menuju warung soto kudus mbak Lin yang berada di Jl. Ki Mangun Sarkoro no 15 Semarang. Lokasi tepatnya adalah depan stadiun Diponegoro Semarang.
Saat aku memasuki warung soto ini sudah cukup banyak pembeli yang sedang makan di sana. Yang membuat terlihat khas karena mereka masing menggunakan angkringan sebagai tempat panci soto dan nasinya. Pembeli bisa memilih duduk di bagian dalam atau luar. Jika di luar, sebagian kursinya menggunakan bangku dan meja kayu panjang. Di atas meja tertata aneka ragam kerupuk, sate kerang, paru goreng kering, sate telur puyuh, tempe goreng garing dan perkedel kentang.
Sembari menunggu soto dihidangkan kami pun mencicipi tempe goreng dulu. Hm kres gurih banget. Ketika soto dihidangkan aku langsung terpana. Soalnya menggunakan mangkuk kecil. Mangkuk kecil ini mengingatkanku pada soto kudus blok M yang pernah kucoba makan di Jakarta. Sepertinya sudah jadi tradisi untuk soto kudus menggunakan mangkuk kecil. Dalam semangkuk soto kudus ini berisi nasi, suun, kubis, ayam suwir dan dengan taburan seledri, dan bawang merah goreng. Kuahnya bening tanpa santan. Rasanya pas di lidah, tidak terlalu asin. Dimakan menggunakan sambal cabe. Hm tambah maknyus. Apalagi jika tambah lauk sate kerang dan paru goreng lebih enak lagi.
Umumnya bila pembelinya cowok bakal perlu nambah semangkuk lagi karena masih kurang kenyang. Tetapi tak perlu khawatir sebab semangkuk nasi soto kudus mbak Lin hanya seharga 4000 perak. Murah kan. Makanya jika Anda main ke Semarang silakan mencobanya.
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
Mie Kopyok Pak Dhuwur, Semarang
Seringkali aku tugas ke Semarang tetapi sayangnya hingga kini belum bisa menemukan hotel dan penginapan yang cocok. Hal ini ditinjau dari segi harga dan kenyamanan. Entah mengapa tak semudah di Solo atau Jogya ya. Makanya terkadang aku memilih menginap di Solo meski tugas di Semarang. Tapi konsekwensinya aku mesti pulang pergi Solo Semarang selama dua hari berturut-turut. Resikonya jelas capek. Ya sudahlah yang penting nyaman. Makanya begitu sampai di tengah kota Semarang aku langsung kelaparan. Rencana mau makan soto pak Din lagi tapi kok makan itu itu lagi.
Kulihat disebrang warung soto pak Din jalan tanjung ada warung mi kopyok. Aku langsung bayangin makan mi telur rebus panas. Hm pasti nikmat nih. Makanya aku langsung masuk ke warung mi kopyok ini. "Mi kopyok satu pak" pesanku pada penjualnya. Tak berselang lama makanan siap dihidangkan. Dan aku kaget sebab jauh di luar bayanganku. Sebab yang muncul ternyata bukan mi telur rebus. Mi kopyok di Semarang mirip tahu kupat atau lontong balap Surabaya. Wah terkecoh aku. Tapi karena lapar aku pun langsung menyantapnya. Mi kopyok khas Semarang ini isinya mi kuning, kecambah, rajangan seledri, bawang merah goreng, irisan tahu goreng dan kuah panas yang sepertinya terdiri dari bawang putih , kecap dan entah apalagi. Jika suka sambal kita tinggal nambahkan sambal yang sudah tersedia di meja. Ohya ada remesan krupuknya juga. Kerupuknya mirip krupuk puli atau karak. Rasa mi kopyok ini perpaduan manis, asin. Lezat juga kok. Yang bikin nikmat karena menggunakan kuah panas. Kupikir menggunakan kaldu ayam ternyata tidak. Hanya air panas biasa yang juga digunakan untuk merebus kecambah sebentar. Biasanya bila merasa kurang kenyang, pembeli suka memesan tambah lontong. Jadi beneran mirip lontong balap. Bila Anda tertarik bisa coba ke warung Mi Kopyok pak Dhuwur yang berada di Jl. Tanjung Semarang. Warung ini sudah buka dari pagi hari.
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
Lumpia Express dari Semarang
Jalan-jalan ke Semarang, rasanya kurang afdoll bila tak pulang membawa oleh-oleh khas Semarangan. Makanya ketika berkunjung ke Semarang hari Minggu yang lalu, aku dan temanku menyempatkan diri mampir ke kawasan jalan Panandaran. Di sepanjang jalan Pandanaran kami menyusuri satu persatu toko. Ada toko roti Dryna yang menjual beranekaragam roti, proltape, cake, kue basah. Lalu ada bandeng juwana yang sudah terkenal sejak lama menjual aneka ragam bandeng presto, otak-otak, bandeng duri lunak dan sebagainya. Serta ada pula toko yang menjual lumpia, bakso tahu goreng. Aku tak tahu yang mana lumpia yang paling enak di Semarang. Tapi aku ingat salah seorang teman pernah merekomendasikan aku untuk mencoba lumpia Express. Akhirnya kami pun naik becak menuju resto Lumpia Express yang berada di Jl. Gajah Mada 1 42 AA Semarang.
Sebenarnya resto Lumpia Express ini baru berdiri sejak tahun 2004 tetapi jadi yang paling ngetop sekarang. Hal ini karena mereka berani membuat konsep baru dalam menyajikan lumpianya. Tak lagi dibungkus dalam besek tetapi di kotak (karton) dan bisa bertahan selama beberapa hari. Pemilik Lumpia Express ini yaitu Max Sugi Winarso mengklaim Lumpia Express ini merupakan keturunan ketiga dari Lumpia Mataram dan keturunan ke 5 dari Lumpia Semarang. Tak heran meski sudah modern dalam penyajian tapi soal rasa berani diadu. Yaitu tetap tradisional dan khas.
Kami pun memesan lumpia untuk dimakan di sana. Mereka menyediakan beberapa meja dan kursi sehingga kami bisa menyantapnya disana dengan nyaman. Kami boleh memilih lumpia basah atau goreng sesuai selera. Isinya boleh original atau crab (kepiting). Yang pasti rasanya sedap. Isinya rebung, ayam, mi dengan bumbu yang pas sehingga nikmat di lidah. Kulitnya tak terlalu asin jadi cocok dan bisa disantap buat penderita darah tinggi. Lumpia basah jelas lebih nikmat menurutku. Tapi buat yang suka lumpia goreng juga lumayan gurih kok. Saosnya juga enak. Disajikan dengan cabe dan daun bawang. Wow mantap. Harga perbijinya sekitar 9 -12 ribu rupiah. Hm mahal juga tapi sepandan dengan rasa enaknya. Sembari menyantap lumpia semarang aku
Bila mau dibawa ke luar kota jika dibeli dalam bentuk mentah bisa bertahan 12 jam tanpa di kulkas. Kalau di simpan di kulkas bisa tahan lama. Cocoklah dibawa ke luarkota. Tak heran bila salah seorang relasi dari Jakarta bela-belain beli 3 kardus seharga 1,5 juta untuk dibawa pulang ke Jakarta. Jadi silakan mampir kesana jika ingin membeli oleh-oleh lumpia Semarang dan rasakan bedanya.
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
Menikmati Lezatnya Kepiting di Depot Rejeki, Semarang
Salah satu seafood yang paling disukai banyak orang adalah kepiting. Jika di Porong dan Surabaya ada kepiting Cak Gundul yang terkenal sejak dulu kala, di Semarang ada Kepiting Depot Rejeki. Ketika aku ditawari mencoba kepiting di depot rejeki. "Kepiting depot Rejeki Semarang itu top deh. Biasanya pilot-pilot Garuda kalau pas ke Semarang sering bawa pulang kepiting dari depot ini," kata Fidelia, salah satu relasi baikku yang asli orang Semarang.
Makanya aku pun mengiyakan tawaran menarik ini dan ikut mereka menuju ke Depot Makan Rejeki. Aku membayangkan sebuah rumah makan besar di jalan utama. Ternyata meleset. Lokasinya di tengah perumahan padat dan jalannya pun tak besar. Depot Makan Rejeki ini beralamat di Jl. Puspowarno no 54 Semarang. Tak jauh dari pasar Karang Ayu Semarang.
Tampak dari depan, Depot Rejeki ini seperti rumah tinggal. Tetapi begitu masuk di dalam, sudah terlihat meja dan kursi yang ditata rapi. Meski sederhana tapi bagus. Keistimewaan dari rumah makan ini, kepitingnya merupakan hasil budidaya dari pemilik rumah makan ini sendiri. Dari tambak kepiting ini dipindahkan dulu ke kolam yang berada di samping depot Rejeki. Jadi ditanggung bersih.
Berbagai menu makanan yang dijual utamanya berbahan dasar kepiting tetapi ada juga menu seafood yang lain. Ada pepes telur kepiting, kepiting asam manis, kepiting saos padang, kepiting lada hitam, kepiting saus mentega, fuyunghai kepiting dan sebagainya. Kami perlu bersabar menunggu makanan siap disajikan. Sebab ternyata memang lama sekali mereka memasaknya. "Biasanya kami pesan lewat telepon dulu, jadi kalau datang ke sini makanannya sudah siap," terang Fidelia, pelanggan setia depot Rejeki ini.
Sesudah menunggu kurang lebih satu jama, semua makanan siap ditata di atas meja. Wow ada pepes telur kepiting, kepiting asam manis,ca kangkung seafood dan fuyunghai kepiting. Semuanya enak. Kepitingnya lunak. Pepes telur kepitingnya maknyus. Dimasak dengan bermacam bumbu nan pas sehingga menggoyang lidah. Kepiting asam manisnya juga lezat. Meski menurutku lebih terasa manisnya daripada asamnya. Fuyunghainya yang berisi telur dan kepiting itu enak juga. Diguyur dengan saos. Lagi-lagi menurutku manis rasanya. Ca kangkungnya terdiri dari kangkung, cumi-cumi, udang dimasak dengan bawang dan cabe. Lumayan sedap sedap meski tak pedas.
Yang pasti makanan dari depot Rejeki cocok untuk semua orang, baik dewasa maupun anak-anak. Para selebritis dari ibukota yang berkunjung ke Semarang juga amat menggemari makanan di sini. Buktinya banyak dipasang foto-foto mereka di dinding depot rejeki. Silakan mencoba jika Anda ke Semarang.
Sumber: http://rachmira.blogspot.com
RM "13064 - 13061" Boga Bogi Solo
Alhamdulillah rasanya senang juga bisa nulis lagi di blog kesayangan ini. Setelah disibukkan dengan berbagai kegiatan dan kini menyempatkan diri berbagi cerita lagi pada teman-teman. Enaknya cerita tentang kuliner di daerah mana dulu ya? Ok, kuputusin cerita berburu makanan enak di kota Solo aja ya. Saat aku mampir di Solo beberapa waktu yang lalu, aku dijamu oleh seorang teman, salah satu sahabat baikku untuk makan siang di sebuah rumah makan di kawasan Solo bagian Barat. Tepatnya di rumah makan Boga Bogi.
Rumah makan Boga Bogi ini berada di Jl. Adi Sucipto Solo. Tempatnya menyenangkan.
Yang membuat uni adalah penulisan rumah makan tersebut adalah tertulis: 13064 - 13061< sebuah penulisan dalam angka, yang kalau dibaca menjadi BOGA BOGI.
Kita bisa memilih makan sembari duduk di meja kursi biasa atau lesehan. Suasananya adem bikin krasan. Rumah makan ini sebenarnya belum terlalu lama berdiri tetapi sudah jadi salah satu tempat makan favorit warga Solo. Buktinya jarang sepi. Apalagi kalau musim lebaran atau liburan, lebih ramai lagi. Sebab cocok untuk acara keluarga atau kantor.
Makanan yang disajikan di rumah makan Boga Bogi juga beragam. Mulai ayam bakar, ikan gurami bakar/goreng, kakap goreng kering, ca kangkung, urap, hingga asem-asem daging juga ada. Selain itu minumannya juga beragam mulai es campur, es degan hingga es jeruk tersedia disini. Makanan pembuka seperti pisang keju bakar juga ada. Pokoke rasanya enak semua deh. Pas di lidah. Harganya juga standard. Layak dicoba jika Anda ke Solo.
Ngerangan, Desa Cikal Bakal Angkringan (Hik)
Warga
Yogyakarta biasa menyebutnya angkringan. Sementar warga Solo lebih
akrab menyebutnya sebagai Hik. Apapun namanya, keduanya merupakan usaha
untuk memperbaiki kesejahteraan hidup lapis bawah masyarakat.
Namun, pernahkah terpikir, dari mana asal warung dengan gerobak bertenda yang biasa menyajikan menu khas nasi kucing dan wedang jahe ini? Ngerangen adalah jawabannya. Salah satu desa di Kecamatan Bayat, Klaten yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunungkidul ini adalah wilayah asal para pengelola warung angkringan.
Kering berbukit
Tekstur tanah Ngerangen, kering berbukit. Pertanian di desa itu mengandalkan air tadah hujan. Jika musim kemarau, tanah di desa ini kekeringan. Bahkan, para petani selalu mengalami gagal panen karena lahan pertaniannya kekurangan air.
“Tanah kami kering. Tanaman padi kami selalu puso. Untuk itu, kami memilih sebagai pedagang angkringan atau Hik di kota. Hasilnya, tidak ada cerita pedagang angkringan bangkrut. Mereka semuanya sukses dan banyak yang menjadi juragan. Sesuatu yang tidak akan kami dapatkan jika masih tetap bertani,” papar Samson, 72, salah seorang pengelola warung angkringan yang menggelar dagangan di halaman rumahnya, Dukuh Sidorejo Desa Ngerangan Kecamatan Bayat, Klaten, Sabtu (16/1).
Sambil mengipasi cakar ayam yang dibakarnya di atas bara, Samson berkisah. Sejak membuka usaha sebagai pedagang angkringan pada tahun 1973, perekonomiannya terangkat. Dia tidak menyangka, dengan modal Rp 20.000 kala itu, kini dia bisa membangunkan empat rumah bagi anak-anaknya, satu unit toko kelontong serta memiliki jutaan rupiah tabungan di bank.
Kepala Desa Ngerangan, Sri Hardoko, mengatakan pedagang angkringan di Desa Ngerangan dipelopori oleh tiga orang warga bernama Wiryo, Kromo, dan Samto Miyo. Sekitar tahun 1950-an, ketiganya menjajakkan hidangan berkeliling keluar masuk kampung dengan cara dipanggul. Lampu teplok serta suara pedagang menawarkan dagangannya menjadi ciri yang paling khas. Kota Solo menjadi tujuan pertama mereka sebelum akhirnya memperluas daerah sasaran ke Yogyakarta pada tahun 1970-an.
“Kemandirian usaha warga Ngerangen cukup tinggi. Saat ini, hampir 80% warga Ngerangan berprofesi sebagai pedagang angkringan di kota-kota besar. Sebagian besar mereka adalah tamatan SLTA. Mereka memilih menetap di luar kota dengan berjualan angkringan.”
Seiring berjalannya waktu. Kini, pedagang angkringan di Kota Solo maupun Yogyakarta telah menjamur. Pedagangnya tidak hanya berasal dari Desa Ngerangan, tetapi juga warga “pribumi”. Mereka telah mempelajari kemandirian usaha warga Ngerangan tersebut. Sudah sepantasnya mereka berterima kasih kepada para pelopor warung jenis ini.
Moh Khodiq Duhri
Sumber: http://klatenonline.com
Sejarah Angkringan (Jogja) dan Hik (Solo)
Angkringan adalah semacam warung makan yang berupa gerobag kayu yang ditutupi dengan kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Dengan kapasitas sekitar 8 orang pembeli, angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senthir dibantu terangnya lampu jalan.
Makanan khas yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telor puyuh, kripik dan lain-lain. Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada angkringan. Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Bagi kaum laki-laki mungkin bisa menghabiskan 3-5 bungkus. Saya saja pernah menghabiskan 4 bungkus. Entah karena nasinya memang enak atau saya yang doyan makan, saya sendiri bingung. Minuman yang dijual pun beraneka macam seperti teh, es jeruk, kopi, wedang tape, wedang jahe, susu, atau campuran beberapa yang anda suka. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Tapi sekarang kalau dirasa-rasa, harga hidangan angkringan ikut melambung gara-gara kenaikan harga. Tetapi tetap saja angkringan banyak penggemar.
Mungkin hampir setiap 100 meteran, kita dapat menemukan angkringan. Bagaimana awalnya usaha ini bisa begitu menjamur di Jogja? Sebagai mahasiswa yang cukup hobi ngangkring, saya kerap mengobrol dengan pedagangnya setiap kali ngangkring. Ternyata setiap kali saya tanya “Pak njenengan asline king pundi?”, jawabannya hampir selalu sama, “Kula king Klaten”. Pedagang angkringan di Jalan Herman Yohanes tempat saya membeli Jasu (jahe susu) pernah saya tanya, “Wis suwe po Mas bukak angkringan?”, dan dia menjawab, “Lha wong mbahku wae bukak angkringan kok”. Sebenarnya sejak kapan angkringan muncul di Jogja?
Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan. Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta.
Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.
Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula.
Boleh jadi angkringan merupakan stereotipe kaum marjinal berkantung cekak yang beranggotakan sebagian mahasiswa, tukang becak dan buruh maupun karyawan kelas bawah. Namun, peminat angkringan kini bukan lagi kaum marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan saja, tetapi juga orang berduit yang bisa makan lebih mewah di restoran.
Dari semua angkringan yang pernah saya coba, saya jatuh cinta pada jadah bakar dan teh nasgitel (panas, legi, kentel) racikan Lik Man, angkringan legendaris Jogja. tidak jarang warung angkring Lik Man kedatangan orang-orang terkenal dari berbagai jenis pekerjaan. Djadug Feriyanto misalnya, kakak kandung Butet Kartaradjasa yang juga leader kelompok musik Sinten Remen ini pun jatuh cinta kepada angkringan Lik Man di Stasiun Tugu sana. Tidak hanya Djadug, beberapa sastrawan, budayawan, atau olahragawan ternama seperti Cak Nun (Emha Ainun Najib), Butet Kartaradjasa, Marwoto Kawer hingga Jammie Sandoval pemain PSIM asal Chilie pun sering meluangkan waktu malamnya untuk jajan di angkringan.
Menyenangkan sekali melepas kepenatan bersama teman atau orang lain yang baru ketemu disana, lalu ngobrol ngalor-ngidul, gojeg kere, main plesetan kata-kata, menggoda bencong lewat, sampai tertawa lepas melepaskan beban pikiran. Tak perlu minder dengan apa status anda, karena di angkringan semuanya adalah sama.
Rekomendasi Angkringan Enak Solo-Jogja:
- Angkringan Tugu (kopi Jozz) Jog
- Angkringan PDAM Jogja Sleman
- Angkringan Kali Code (Sepanjang Kali Code Jogja)
- Hik Pak Kumis (Manahan Solo)
- Hik Bladu (Kantor KB Karanganyar Solo)
- Hik Gaul (Karanganyar Solo)
Dan masih banyak lagi angkringan / hik di solo-jogja yang mestinya kamu samperin..yang jumlahnya hampir ribuan di kedua kota itu.
Sumber: http://mysukmana.wordpress.com