Kemerdekaan Palestina dan menjadi keanggotaan PBB adalah berita yang
akhir-akhir ini cukup hangat terkait persoalan Palestina. Banyak Negara
baik di Asia dan Eropa dan dari benua Amerika yang menyatakan pengakuan
dan dukungan bagi kemerdekaan palestina serta dukungan akan bergabungnya
palestina menjadi bagian dari anggota tetap dewan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) seperti negara Turki, Mesir, China, India,
Indonesia, Pakistan, Jerman, Prancis, Rusia, chile, dan Inggris. Inggris
menjadi negara yang terang-terangan mendukung langkah Palestina ini,
meskipun bukan mendukung keanggotan di DK PBB, melainkan mendukung
sebagai anggota tidak tetap PBB. Dan Negara yang menolak adalah dua
Negara yang sudah tidak asing lagi yakni Amerika dan Israel itu sendiri.
Mereka mengatakan kedaulatan baru akan diberikan melalui perundingan
damai dengan Israel.
Sesungguhnya persoalan Palestina adalah
satu diantara persoalan umat Islam tatkala lenyapnya institusi politik
umat Islam yakni system khilafah yang di hapuskan oleh seorang
pengkhianat, musuh Islam dan seorang yang murtad yakni Mustafa Kamal
Ataturk. Sehingga ketika khilafah terakhir di Turki tersebut di
hapus,maka mulailah umat Islam menderita berbagai macam keterpurukan
dari berbagai bidang termasuk di sekat-sekatnya kaum muslim menjadi
beberapa negeri termasuk negeri Palestina.
Pada Juni tahun 1896
M, datanglah pemimpin Yahudi Internasional Theodore Herzl ditemani
Neolanski kepada Khalifah Abdul Hamid di Konstantinopel. Kedatangan
mereka adalah meminta Khalifah memberikan tanah Palestina kepada Yahudi.
Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberi iming-iming, “Jika kami
berhasil menguasai Palestina, maka kami akan memberi uang kepada Turki
(Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami pun akan
memberi hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara kami. Sebagai
balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untuk membereskan
masalah keuangan Turki”.
Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang
keras. Beliau menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam
tanah ini (palestina), Karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak
umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka
telah menyiraminya dengan darah mereka..Yahudi silahkahkan menyimpan
harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, Maka
mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara
Aku hidup, Aku lebih rela menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah
Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan
adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan
tubuh kami selama kami masih hidup!”
Kesungguhan sang Khalifah
itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang dikeluarkannya pada tahun 1890
M: “Wajib bagi semua menteri (wazir) untuk melakukan studi beragam
serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah
Yahudi tersebut”
akibat dari ketegasan Khalifah Abdul Hamid
tersebut menjadikan Herzl tak berdaya menghadapinya. Dia pun
menyampaikan, “Sesungguhnya saya kehilangan harapan untuk bisa
merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya
orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk kedalam tanah yang
dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk
di atas kursinya.”
Kemudian pada Tahun 1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah tawaran seperti :
1. memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan,
2. membayar semua utang pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Pounsterling,
3. membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank,
4. memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan,
5. membangun sebuah universitas Utsmani di Palestina.
Namun, semua tawaran itu, ditolak oleh Sultan Hamid II.
Beberapa catatan menyebutkan setidaknya ada 6 kali delegasi yahudi
mendatangi istana khalifah untuk meloloskan proposal ini. Diantaranya
dialog yang “menyarankan” agar orang-orang yahudi “membeli” palestina
terjadi antara sir moses haim montefiore dengan Shah Nasr ad Dhin.
kemudian Khalifah Abdul Hamid II menolaknya dan mengatakan kepada delegasi tersebut:
“Nasehatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru
dalam masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci
(Palestina) ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah
milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku
telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya
dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan
uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin
mendapatkan Palestina tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun patut
diingat, bahwa hendaknya pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan
raga kami. Namun, tentu aku tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama
hayat masih di kandung badan.”
Apa yang dikatakan Khalifah
Abdul hamid tersebut akhirnya terbukti dengan nyata. Setelah
negeri-negeri kaum muslim tercabik-cabik menjadi lebih dari 50 negara
termasuk di dalamnya Palestina, saat itulah Zionist Israel dengan sangat
mudah mendapatkan dan menguasai tanah kharajiah tersebut hingga detik
ini.
Berharap Pada PBB?
Sejarah memberikan pelajaran
berharga kepada kita. Keluarnya resolusi PBB ditentukan oleh sikap
negara pemilik hak Veto terutama AS. Selama ini banyak resolusi terhadap
Israel yang kandas karena diveto AS termasuk resolusi terhadap Israel
atas invasi ke Gaza yang menewaskan lebih dari 1300 orang termasuk
banyak diantaranya wanita, anak-anak dan orang tua.
Tercatat
sejak tahun 1972 sampai tahun 2009, sudah lebih dari 68 resolusi PBB
yang berhubungan dengan eksistensi israel di palestina diveto amerika.
Ini belum termasuk resolusi setelah tahun tersebut plus resolusi
terakhir saat israel melancarkan agresinya di gaza.
Dan Amerika
Serikat pun dengan tegas meyatakan bahwa mereka akan menveto usulan
Palestina tersebut yang diungkapkan oleh Perdana menteri Israel benyamin
Netanyahu, “Upaya Palestina untuk meraih dukungan dari PBB akan gagal,
setelah Amerika Serikat (AS) berniat untuk memveto dukungan itu,” jelas
Netanyahu seperti dikutip MENAFN, Senin (19/9/2011).
Artinya, sebuah aktivitas yang sia-sia ketika berharap kepada PBB, termasuk di dalamnya keinginan untuk menjadi anggota PBB.
Sebenarnya solusi atas persoalan palestina haruslah melihat status dari
tanah palestina itu sendiri. Inilah fakta yang harus dijadikan sebagai
objek berfikir seluruh umat yang ingin benar-benar melihat kemerdekaan
sejati bagi bangsa Palestina, bukan malah menjadikan persoalan palestina
sebagai sumber pemikiran itu sendiri.
Status Tanah Palestina
Palestina merupakan negeri Islam yang ditaklukkan secara damai oleh
Daulah Khilafah Islamiyyah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hâfidz Abu Qâsim Ibnu ‘Asâkir di
dalam al-Mustaqshâ fi Fadhail al-Masjid al-Aqsha, setelah menaklukkan
Damsyiq beliau kemudian mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu
Ubaidah ke daerah Iliya (Palestina) dan mengepung daerah tersebut selama
beberapa hari hingga penduduk negeri tersebut meminta damai kepada kaum
Muslimin dengan syarat Umar bin Khattab menjumpai mereka.
Abu
Ubaidah kemudian mengirim surat untuk meminta pendapat Umar bin Khattab.
Umar lalu berunding dengan sejumlah sahabat tentang hal tersebut.
Utsman r.a. mengusulkan agar beliau tidak ke Iliyâ dengan maksud untuk
menghinakan mereka. Sementara Ali bin Abu Thalib meminta beliau tetap ke
wilayah tersebut untuk meringankan pengepungan yang dilakukan oleh kaum
muslimin. Umar lantas memilih pendapat Ali dan memintanya menjadi
pengganti beliau di Madinah. Setelah sampai di wilayah tersebut Umar
bertemu dengan Abu Ubadah dan sejumlah pemimpin pasukan kaum muslimin
seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu Sofyan. Abu Ubaidah bermaksud
mencium tangan Umar atas kemenangan ini namun Umar malah bermaksud
mencium kaki Abu Ubaidah. Namun masing-masing menolak untuk diberi
penghormatan demikian. Umar lalu menyetujui perdamaian dengan
orang-orang Nashrani (al-Bidâyah wa an-Nihâyah: V/65-66).
Adapun isi perjanjian antara Umar bin Khattab dengan Penduduk ‘Iliyâ
yang dikenal dengan perjanjian ‘Umariyah atau ‘Iliyâ adalah:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah apa yang
diberikan oleh hamba Allah, Umar, amirul mukminin kepada penduduk Iliyâ
di Ammân. Saya memberikan keamanan atas jiwa dan harta mereka,
gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan
yang tidak bersalah dan seluruh agama mereka. Gereja mereka tidak boleh
ditempati dan dihancurkan, tidak boleh diambil bagiannya ataupun isinya,
demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak boleh
dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari mereka
tidak boleh dimudharatkan. Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh
tinggal di Iliyâ. Penduduk Iliyâ harus membayar jizyah sebagaimana
halnya dengan penduduk kota lain. Mereka harus mengeluarkan orang-orang
Romawi dan Lashut. Barangsiapa yang keluar dari mereka maka jiwa dan
harta mereka aman serta perniagaan dan salib-salib mereka dibiarkan. Dan
barangsiapa di antara mereka yang menetap maka mereka aman. Dan mereka
harus membayar jizyah sebagaimana halnya penduduk Iliyâ. Dan siapa saja
dari penduduk Iliyâ yang pergi dengan hartanya ke Romawi dan dan membawa
perniagaan dan salib mereka maka mereka aman hingga mereka tiba
ditempat mereka. Dan penduduk al-Ardh yang berada di Iliyâ sebelum
terbunuhnya Fulan maka mereka boleh menetap namun mereka wajib
memberikan jizyah sebagaimana penduduk Iliyâ. Dan siapa yang mau maka
mereka boleh pergi dengan orang-orang Romawi. Dan siapa saja yang mau
kembali kepada kelurganya maka tidak diambil apapun dari mereka hingga
mereka memanen hasil pertanian mereka. Dan apa yang ada di dalam tulisan
ini merupakan janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para Khalifah dan
kaum muslimin jika mereka memberikan jizyah. (Perjanjian) ini
disaksikan oleh Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Auf
dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk: II/307)
Bertolak dari kenyataan tersebut, tanah Palestina termasuk dalam
katagori ardh al-shulhi (tanah yang diperoleh melalui perundingan
damai). Sedangkan status ardh al-shulhi sesuai dengan isi perjanjian
yang disepakati antara pemerintahan Islam dengan penduduk negeri yang
ditaklukkan. Selama tidak bertentangan dengan syara’, kaum Muslim pun
wajib menaati klausul perjanjian yang telah disepakati itu. Rasulullah
saw bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Perjanjian damai itu boleh antara kaum Muslim kecuali perjanjian damai
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR Abu Dawud
dan al-Tirmidzi).
Di dalam kitab ‘Awn al-Ma’bûd dijelaskan
bahwa kata bayna al-muslimîn memberikan makna kharaja makhraj al-ghâlib
(mengikuti adat kebiasaan). Alasannya, perjanjian damai antara kaum
Muslim dan kaum kafir diperbolehkan. Pada ghalibnya, yang diseru dengan
hukum adalah kaum Muslim. Sebab, merekalah yang bersedia tunduk
terhadapnya.
Rasulullah saw juga bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum Muslim tunduk dengan syarat-syarat mereka (HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).
Berkaitan dengan tanah Palestina, terdapat klausul yang jelas mengenai
status Yahudi. Di situ termaktub: Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi
boleh tinggal di Iliyâ.
Ketentuan ini berlaku hingga hari
kiamat. Berdasarkan klausul tersebut, kaum Yahudi tidak boleh tinggal di
Palestina. Terlebih dengan cara merampas dari pemiliknya, mengusir
penduduknya, dan mendirikan negara yang berkuasa di atasnya.
Dukungan yang diberikan oleh penguasa-penguasa negeri Islam eksistensi
negara Israel dan dukungan berdirinya negara Palestina jelas merupakan
tindakan yang dzalim sekaligus merupakan pengkhiatan terhadap kaum
muslimin. Mereka tanpa malu meridhai eksistensi negara yang berdiri di
atas tanah yang dirampas dari kaum muslim. Sikap ini sekaligus
menunjukkan bahwa tidak lain adalah agen-agen Barat (’umalâ) yang terus
mendukung berbagai strategi negara-negara penjajah untuk menghancurkan
Islam dan kaum muslimin. Padahal Allah Swt telah mengingatkan:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
Allah tidak
melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang yang
tidak memerangi kalian dan tidak mengusir kalaian dari neger- kalian.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil. Namun Allah melarang
kalian untuk membantu orang-orang yang telah memerangi kalian,
mengeluarkan kalian dari negeri kalian dan berupaya untuk mengeluarkan
kalian. Barangsiapa yang menolong mereka mereka adalah orang-orang yang
dzalim.” (QS al-Mumtahanah: 8-9)
Kemerdekaan Hakiki Hanya Dengan Khilafah
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa persoalan Palestina
adalah satu diantara persoalan yang mendera umat Islam tatkala system
khilafah di bubarkan pada 3 maret 1924. Oleh karena itu hanya
Khilafah-lah yang dapat melindungi kehormatan Islam dan kaum muslimin,
menjaga perbatasan negeri-negeri Islam, menyatukan potensi ummat Islam
dan mengumandangkan jihad fi sabilillah melawan negara-negara kafir
seperti Israel dan mengusir mereka dengan penuh kehinaan dari
tanah-tanah kaum muslimin.
Sungguh tepat sekali ungkapan
al-Imam al-’Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika menggambarkan
Khilafah ini dengan gambaran yang sangat akurat, seraya mengatakan,
“Khilafah adalah arus utama Islam, dan apa yang selalu dikelilingi,
Dengannya, agama akan terjaga, dan Islam pun akan terlindungi. Hudud
akan bisa ditegakkan. Berbagai kejahatan akan bisa dicegah. Dengannya
perbatasan akan bisa dijaga. Wilayah yang dilindungi akan tetap terjaga,
dan tidak akan dilanggar.”
Namun, “arus utama” ini nyaris
ditinggalkan oleh kaum Muslim, seiring dengan terpisahnya mereka dengan
negara Khilafah, yang telah runtuh pada tanggal 28 Rajab 1342 H,
bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M di tangan seorang Yahudi,
Freemasonry, Mustafa Kamal Attaturk, antek Inggeris. Dengan
menyingkirkan pemerintahan Islam, mengusir khalifah dan keluarga
‘Utsmani untuk meninggalkan ibukota Istambul dengan arahan dan dukungan
penjajah Inggeris-Kafir. Semuanya itu untuk melaksanakan apa yang
ditetapkan oleh Menlu Inggeris kala itu, Lord Curzon, sebagai
persyaratan busuk yang ditetapkan kepada bangsa Turki dalam Konferensi
Lausanne, yang dipenuhi kebusukan. Setelah penandatanganan Perjanjian
Lausanne pada tanggal 24 Juli 1923, tentara Inggeris meninggalkan
Istambul dan Madzahiq.
Dengan bangga, Curzon menyatakan di
depan Parlemen Iggeris ketika itu, “Turki telah dihancurkan, dan tidak
akan pernah bisa bangkit kembali, karena kita telah menghancurkan
kekuatan moralnya, yaitu Khilafah dan Islam.”
Dan sesungguhnya berita tentang kebinasaan kaum yahudi tersebut kelak akan terbukti . Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ
الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ
مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ
يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ
فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak akan datang Hari
Kiamat hingga kaum muslim memerangi Yahudi. Maka kaum muslim memerangi
mereka hingga mereka bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Namun batu
atau pohon itu berkata: Ya muslim, ya Abdullah ini Yahudi di belakang
saya, kemarilah dan bunuhlah dia kecuali pohon gharqad karena ia adalah
pohonnya orang Yahudi. (HR. Muslim dan Ahmad)
Dan semua itu
akan terwujud tatkala kelak kaum mulim berhasil mendirikan khilafah
Islamiyyah yang insya Allah sebentar lagi berdiri Wallahu A’lam bishowab.
Oleh : Adi Victoria
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merencanakan akan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Intelijen di tengah pembahasan yang sangat tertutup.
Publik tak tahu apa yang diperbincangkan oleh ang¬gota Dewan.
Pembahasannya di DPR memang agak aneh. Seolah semua akses ditutup.Tak
boleh ada yang tahu. Apakah benar ada perdebatan di dalam sidang-sidang
komisi atau memang sudah dirancang langsung disahkan, tak ada yang tahu.
Sejak awal RUU intelijen ini menuai banyak protes. Soalnya banyak
pasal-pasal yang dikhawatirkan menjadi alat bagi penguasa untuk
bertindak represif dan di luar koridor hukum terhadap warga negara yang
dianggap lawan politik bagi pemerintah.
Misalnya saja, di
dalamnya ada kewenangan khusus seperti penyadapan dan penangkapan oleh
Badan intelijen Negara (BIN). Ini dianggap berpotensi melanggar hak
asasi manusia. Tak hanya itu, RUU intelijen ini juga telah jauh
melenceng dari semangat reformasi yang digembor-gemborkan setelah
runtuhnya Rezim Orde Baru.
Selain itu di dalamnya ada pasal
yang mengatur kewenangan BIN melakukan pencegahan dan pemeriksaan
terhadap orang yang diduga terkait terorisme, separatisme, spionase,
subversi dan sabotase. Pemeriksaan intensif itu berlangsung selama 7 x
24 jam.
Polemik pun muncul terhadap posisi Badan intelijen
Negara. seperti yang tertuang jelas dalam draf RUU intelijen itu bahwa
intelijen merupakan lembaga pemerintah (Pasal 1 ayat 2 RUU intelijen),
bukan lembaga negara. Belum lagi polemik muncul perdebatan terhadap
pasal-pasal karet dan multitafsir.
Jika DPR mengesahkan RUU ini
menjadi UU sesuai draft pertama yang diserahkan pemerintah, bukan tidak
mungkin akan membangkitkan lagi gaya pemerintahan Orde Baru yang
represif. Lembaga intelijen bisa 'dipakai' untuk menggilas musuh-musuh
politik pemerintah yang berkuasa tanpa bisa dikontrol lagi.
Direktur Program Imparsial Al Araf berharap parlemen tak buru-buru
mengesahkan RUU intelijen ini. "Harus dibuka ruang seluas mungkin bagi
masyrakat sesuai UU no 10/2004 tentang tata aturan perundangan,”
tuturnya.
Menurut Al Araf, benar ada pertarungan kepentingan politik
praktis terhadap RUU intelijen. Menurutnya, sejauh ini pembahasan yang
dilakukan panitia kerja (Panja) Komisi 1 DPR belum pernah
menginformasikan perkembanganya kepada publik terkait masih adanya
beberapa pasal dalam RUU intelijen ini yang dianggap bermasalah.
Ia menegaskan, penting bagi parlemen untuk memahami bahwa proses
pembuatan dan pembahasan undang-undang harus melibatkan partisipasi
publik. "Tertutupnya pembahasan ini justru menimbulkan kecurigaan, bahwa
ada ada udang di batik batu,” terangnya.
Kewenangan Intelijen
Ketika intelijen tidak memiliki kewenangan seperti yang diminta dalam
RUU ini saja, ba¬nyak tindakannya sewenang-wenang, bagaimana kalau
mereka nantinya diberikan kewenangan oleh UU? Kekhawatiran tersebut
muncul di tengah masyarakat.
RUU Intelijen membuka ruang
selebar-lebarnya kepada Badan intelijen dan lembaga-lembaga intelijen
untuk menyikat habis orang-orang yang dianggap sebagai ancaman tanpa
alasan. Di mana 'kaum Muslimin' yang hanya diduga sebagai teroris, sudah
diambil tindakan hukum secara keji. Lihatlah kisah Bahrun Naim yang
diciduk secara paksa oleh Densus 88 tanpa perikemanusiaan dan proses
hukum yang mengada-ada. (Media Umat Edisi 57/Fokus).
Itu hanya
segelintir kisah dari prilaku buruk kebijakan yang tidak sama sekali
menunjukkan kebijakan yang menguntungkan terhadap masyarakat. Apalagi
dengan adanya lagi hak khusus yang diusulkan dalam draf RUU Intelijen.
Untuk menambah wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan dan penangkapan
tanpa pengacara.
Menurut penelitian yang dilakukan Media
Survei Nasional (Median) dan Future Institute, publik tidak setuju
dengan penambahan dua hak khusus untuk intelijen itu. Terdapat 60,5
persen publik menolak, dan hanya 10 persen yang setuju selebihnya 28,7
persen tidak tahu.
Sedangkan terhadap wewenang lembaga
intelijen untuk melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku terorisme
serta pemeriksaan tanpa didampingi pengacara ada 62 persen publik yang
tidak setuju, 14 persen yang setuju dan 23 persen tidak tahu. Dalam
penelitian ini juga, 40,4 persen publik mengkhawatirkan penyalahgunaan
kewenangan dalam hal penyadapan.
Menjadi Taring Pemerintah
Sidarto Danusubroto Anggota Komisi 1 Fraksi PDIP saat ditemui Media
Umat di ruang kerjanya Gedung Nusantara 1 DPR-RI menyatakan bahwa masih
ada beberapa pasal yang masih didiskusikan, terutama pasal penyadapan
dan penangkapan. Pasal penangkapan itu dianggap bertabrakan dengan KUHP
Sebagian anggota Dewan berpendapat, penyadapan hanya untuk kepentingan
perkara hukum."Dari sisi dan kondisi Rancangan Undang-Undang ini banyak
ber¬tabrakan dengan UUD dan UU, maka sikap Fraksi menolak dua pasal yang
kontroversi ini," paparnya.
Untuk penguatan intelijen, Sidarto
menyetujui hal-hal yang dirancang dalam RUU itu. Penguatan intelijen
dengan sistem penguatan sumberdaya manusia, jaringan, networking,
anggaran dan sebagainya. "Tapi jangan sampai berbenturan dengan UUD dan
UU dan harus diterima oleh publik, harus filosofis memberikan rasa
keadilan pada masyarakat. Ini kan buat masyarakat dan keamanan jangan
sampai yang malahan meresahkan masyarakat,"jelasnya.
Ia
berharap, RUU ini menjadi alat kepentingan pemerintah dan masyarakat pun
menjadi ancaman. "Apalagi jika terpolitisasi dan tidak independen. Lalu
bisa juga mengancam lawan politik yang berbeda politik dalam tanda
kutip menjadi ancaman buat pemerintah," terangnya. "Kalau undang-undang
ini gol maka akan terbaca bahwa pemerintah akan represif," lanjutnya.
Bagi Sidarto, pengesahan RUU ini menjadi UU jika dipaksakan bisa
menunjukkan adanya kepentingan pemerintah untuk memperkuat taringnya.
"Pemerintah butuh taring untuk lebih kuat, karena dengan adanya
suara-suara yang menyerang dari pers, dan tokoh-tokoh nasional
betul-betul membuat boring Pemerintah, "katanya.
Menghadang Islam
Munculnya RUU Intelijen ini tak bisa dilepaskan dari Global war on
Terrorism (GWOT)-nya Amerika. Situasi akan bisa kembali di mana Orde
Baru di mana kalangan Islam menjadi target sasarannya. Umat Islam akan
dibungkam karena dianggap membahayakan kepentingan Barat dan
antek-anteknya.
Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir
Indonesia menyatakan bahwa umat harus menolak dengan tegas RUU Intelijen
itu, serta meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan poin-poin
yang akan membahayakan kehidupan rakyat, khususnya aktifitas dakwah.
Dalam perspektif RUU tersebut, rakyat dianggap sebagai ancaman negara.
Padahal, lanjutnya, justru yang sudah terbukti merusak negeri ini adalah
kapitalisme sekuler dan orang-orang yang mengusungnya. Mereka itu malah
dianggap sebagai tokoh.
Pihak-pihak yang tak suka dengan Islam
terus berusaha mencari jalan untuk membangun perangkat hukum (aspek
legal) yang bisa menghadang dakwah Islam yang kian marak. Mereka tak
peduli dengan ide mulia yang diusung oleh Islam. Yang ada di benaknya,
Islam harus dihentikan. Inilah tabiat asli yang dipelajari dan dianut
dari Barat.
Oleh : Fatih Mujahid