Senin, 03 Oktober 2011

Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki bagi Palestina



 
Kemerdekaan Palestina dan menjadi keanggotaan PBB adalah berita yang akhir-akhir ini cukup hangat terkait persoalan Palestina. Banyak Negara baik di Asia dan Eropa dan dari benua Amerika yang menyatakan pengakuan dan dukungan bagi kemerdekaan palestina serta dukungan akan bergabungnya palestina menjadi bagian dari anggota tetap dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti negara Turki, Mesir, China, India, Indonesia, Pakistan, Jerman, Prancis, Rusia, chile, dan Inggris. Inggris menjadi negara yang terang-terangan mendukung langkah Palestina ini, meskipun bukan mendukung keanggotan di DK PBB, melainkan mendukung sebagai anggota tidak tetap PBB. Dan Negara yang menolak adalah dua Negara yang sudah tidak asing lagi yakni Amerika dan Israel itu sendiri. Mereka mengatakan kedaulatan baru akan diberikan melalui perundingan damai dengan Israel.

Sesungguhnya persoalan Palestina adalah satu diantara persoalan umat Islam tatkala lenyapnya institusi politik umat Islam yakni system khilafah yang di hapuskan oleh seorang pengkhianat, musuh Islam dan seorang yang murtad yakni Mustafa Kamal Ataturk. Sehingga ketika khilafah terakhir di Turki tersebut di hapus,maka mulailah umat Islam menderita berbagai macam keterpurukan dari berbagai bidang termasuk di sekat-sekatnya kaum muslim menjadi beberapa negeri termasuk negeri Palestina.

Pada Juni tahun 1896 M, datanglah pemimpin Yahudi Internasional Theodore Herzl ditemani Neolanski kepada Khalifah Abdul Hamid di Konstantinopel. Kedatangan mereka adalah meminta Khalifah memberikan tanah Palestina kepada Yahudi. Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberi iming-iming, “Jika kami berhasil menguasai Palestina, maka kami akan memberi uang kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami pun akan memberi hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara kami. Sebagai balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untuk membereskan masalah keuangan Turki”.

Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang keras. Beliau menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (palestina), Karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka..Yahudi silahkahkan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, Maka mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara Aku hidup, Aku lebih rela menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup!”

Kesungguhan sang Khalifah itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang dikeluarkannya pada tahun 1890 M: “Wajib bagi semua menteri (wazir) untuk melakukan studi beragam serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut”

akibat dari ketegasan Khalifah Abdul Hamid tersebut menjadikan Herzl tak berdaya menghadapinya. Dia pun menyampaikan, “Sesungguhnya saya kehilangan harapan untuk bisa merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk kedalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kursinya.”
Kemudian pada Tahun 1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah tawaran seperti :

1. memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan,
2. membayar semua utang pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Pounsterling,
3. membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank,
4. memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan,
5. membangun sebuah universitas Utsmani di Palestina.

Namun, semua tawaran itu, ditolak oleh Sultan Hamid II.

Beberapa catatan menyebutkan setidaknya ada 6 kali delegasi yahudi mendatangi istana khalifah untuk meloloskan proposal ini. Diantaranya dialog yang “menyarankan” agar orang-orang yahudi “membeli” palestina terjadi antara sir moses haim montefiore dengan Shah Nasr ad Dhin.

kemudian Khalifah Abdul Hamid II menolaknya dan mengatakan kepada delegasi tersebut:
“Nasehatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan Palestina tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun patut diingat, bahwa hendaknya pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan raga kami. Namun, tentu aku tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama hayat masih di kandung badan.”

Apa yang dikatakan Khalifah Abdul hamid tersebut akhirnya terbukti dengan nyata. Setelah negeri-negeri kaum muslim tercabik-cabik menjadi lebih dari 50 negara termasuk di dalamnya Palestina, saat itulah Zionist Israel dengan sangat mudah mendapatkan dan menguasai tanah kharajiah tersebut hingga detik ini.


Berharap Pada PBB?

Sejarah memberikan pelajaran berharga kepada kita. Keluarnya resolusi PBB ditentukan oleh sikap negara pemilik hak Veto terutama AS. Selama ini banyak resolusi terhadap Israel yang kandas karena diveto AS termasuk resolusi terhadap Israel atas invasi ke Gaza yang menewaskan lebih dari 1300 orang termasuk banyak diantaranya wanita, anak-anak dan orang tua.

Tercatat sejak tahun 1972 sampai tahun 2009, sudah lebih dari 68 resolusi PBB yang berhubungan dengan eksistensi israel di palestina diveto amerika. Ini belum termasuk resolusi setelah tahun tersebut plus resolusi terakhir saat israel melancarkan agresinya di gaza.

Dan Amerika Serikat pun dengan tegas meyatakan bahwa mereka akan menveto usulan Palestina tersebut yang diungkapkan oleh Perdana menteri Israel benyamin Netanyahu, “Upaya Palestina untuk meraih dukungan dari PBB akan gagal, setelah Amerika Serikat (AS) berniat untuk memveto dukungan itu,” jelas Netanyahu seperti dikutip MENAFN, Senin (19/9/2011).

Artinya, sebuah aktivitas yang sia-sia ketika berharap kepada PBB, termasuk di dalamnya keinginan untuk menjadi anggota PBB.

Sebenarnya solusi atas persoalan palestina haruslah melihat status dari tanah palestina itu sendiri. Inilah fakta yang harus dijadikan sebagai objek berfikir seluruh umat yang ingin benar-benar melihat kemerdekaan sejati bagi bangsa Palestina, bukan malah menjadikan persoalan palestina sebagai sumber pemikiran itu sendiri.


Status Tanah Palestina

Palestina merupakan negeri Islam yang ditaklukkan secara damai oleh Daulah Khilafah Islamiyyah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hâfidz Abu Qâsim Ibnu ‘Asâkir di dalam al-Mustaqshâ fi Fadhail al-Masjid al-Aqsha, setelah menaklukkan Damsyiq beliau kemudian mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ke daerah Iliya (Palestina) dan mengepung daerah tersebut selama beberapa hari hingga penduduk negeri tersebut meminta damai kepada kaum Muslimin dengan syarat Umar bin Khattab menjumpai mereka.

Abu Ubaidah kemudian mengirim surat untuk meminta pendapat Umar bin Khattab. Umar lalu berunding dengan sejumlah sahabat tentang hal tersebut. Utsman r.a. mengusulkan agar beliau tidak ke Iliyâ dengan maksud untuk menghinakan mereka. Sementara Ali bin Abu Thalib meminta beliau tetap ke wilayah tersebut untuk meringankan pengepungan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Umar lantas memilih pendapat Ali dan memintanya menjadi pengganti beliau di Madinah. Setelah sampai di wilayah tersebut Umar bertemu dengan Abu Ubadah dan sejumlah pemimpin pasukan kaum muslimin seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu Sofyan. Abu Ubaidah bermaksud mencium tangan Umar atas kemenangan ini namun Umar malah bermaksud mencium kaki Abu Ubaidah. Namun masing-masing menolak untuk diberi penghormatan demikian. Umar lalu menyetujui perdamaian dengan orang-orang Nashrani (al-Bidâyah wa an-Nihâyah: V/65-66).

Adapun isi perjanjian antara Umar bin Khattab dengan Penduduk ‘Iliyâ yang dikenal dengan perjanjian ‘Umariyah atau ‘Iliyâ adalah:

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah apa yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, amirul mukminin kepada penduduk Iliyâ di Ammân. Saya memberikan keamanan atas jiwa dan harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan yang tidak bersalah dan seluruh agama mereka. Gereja mereka tidak boleh ditempati dan dihancurkan, tidak boleh diambil bagiannya ataupun isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari mereka tidak boleh dimudharatkan. Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ. Penduduk Iliyâ harus membayar jizyah sebagaimana halnya dengan penduduk kota lain. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan Lashut. Barangsiapa yang keluar dari mereka maka jiwa dan harta mereka aman serta perniagaan dan salib-salib mereka dibiarkan. Dan barangsiapa di antara mereka yang menetap maka mereka aman. Dan mereka harus membayar jizyah sebagaimana halnya penduduk Iliyâ. Dan siapa saja dari penduduk Iliyâ yang pergi dengan hartanya ke Romawi dan dan membawa perniagaan dan salib mereka maka mereka aman hingga mereka tiba ditempat mereka. Dan penduduk al-Ardh yang berada di Iliyâ sebelum terbunuhnya Fulan maka mereka boleh menetap namun mereka wajib memberikan jizyah sebagaimana penduduk Iliyâ. Dan siapa yang mau maka mereka boleh pergi dengan orang-orang Romawi. Dan siapa saja yang mau kembali kepada kelurganya maka tidak diambil apapun dari mereka hingga mereka memanen hasil pertanian mereka. Dan apa yang ada di dalam tulisan ini merupakan janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para Khalifah dan kaum muslimin jika mereka memberikan jizyah. (Perjanjian) ini disaksikan oleh Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Auf dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk: II/307)

Bertolak dari kenyataan tersebut, tanah Palestina termasuk dalam katagori ardh al-shulhi (tanah yang diperoleh melalui perundingan damai). Sedangkan status ardh al-shulhi sesuai dengan isi perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Islam dengan penduduk negeri yang ditaklukkan. Selama tidak bertentangan dengan syara’, kaum Muslim pun wajib menaati klausul perjanjian yang telah disepakati itu. Rasulullah saw bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Perjanjian damai itu boleh antara kaum Muslim kecuali perjanjian damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR Abu Dawud dan al-Tirmidzi).

Di dalam kitab ‘Awn al-Ma’bûd dijelaskan bahwa kata bayna al-muslimîn memberikan makna kharaja makhraj al-ghâlib (mengikuti adat kebiasaan). Alasannya, perjanjian damai antara kaum Muslim dan kaum kafir diperbolehkan. Pada ghalibnya, yang diseru dengan hukum adalah kaum Muslim. Sebab, merekalah yang bersedia tunduk terhadapnya.

Rasulullah saw juga bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Kaum Muslim tunduk dengan syarat-syarat mereka (HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).

Berkaitan dengan tanah Palestina, terdapat klausul yang jelas mengenai status Yahudi. Di situ termaktub: Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ.

Ketentuan ini berlaku hingga hari kiamat. Berdasarkan klausul tersebut, kaum Yahudi tidak boleh tinggal di Palestina. Terlebih dengan cara merampas dari pemiliknya, mengusir penduduknya, dan mendirikan negara yang berkuasa di atasnya.

Dukungan yang diberikan oleh penguasa-penguasa negeri Islam eksistensi negara Israel dan dukungan berdirinya negara Palestina jelas merupakan tindakan yang dzalim sekaligus merupakan pengkhiatan terhadap kaum muslimin. Mereka tanpa malu meridhai eksistensi negara yang berdiri di atas tanah yang dirampas dari kaum muslim. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak lain adalah agen-agen Barat (’umalâ) yang terus mendukung berbagai strategi negara-negara penjajah untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Padahal Allah Swt telah mengingatkan:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang yang tidak memerangi kalian dan tidak mengusir kalaian dari neger- kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil. Namun Allah melarang kalian untuk membantu orang-orang yang telah memerangi kalian, mengeluarkan kalian dari negeri kalian dan berupaya untuk mengeluarkan kalian. Barangsiapa yang menolong mereka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (QS al-Mumtahanah: 8-9)


Kemerdekaan Hakiki Hanya Dengan Khilafah

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa persoalan Palestina adalah satu diantara persoalan yang mendera umat Islam tatkala system khilafah di bubarkan pada 3 maret 1924. Oleh karena itu hanya Khilafah-lah yang dapat melindungi kehormatan Islam dan kaum muslimin, menjaga perbatasan negeri-negeri Islam, menyatukan potensi ummat Islam dan mengumandangkan jihad fi sabilillah melawan negara-negara kafir seperti Israel dan mengusir mereka dengan penuh kehinaan dari tanah-tanah kaum muslimin.

Sungguh tepat sekali ungkapan al-Imam al-’Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika menggambarkan Khilafah ini dengan gambaran yang sangat akurat, seraya mengatakan, “Khilafah adalah arus utama Islam, dan apa yang selalu dikelilingi, Dengannya, agama akan terjaga, dan Islam pun akan terlindungi. Hudud akan bisa ditegakkan. Berbagai kejahatan akan bisa dicegah. Dengannya perbatasan akan bisa dijaga. Wilayah yang dilindungi akan tetap terjaga, dan tidak akan dilanggar.”

Namun, “arus utama” ini nyaris ditinggalkan oleh kaum Muslim, seiring dengan terpisahnya mereka dengan negara Khilafah, yang telah runtuh pada tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M di tangan seorang Yahudi, Freemasonry, Mustafa Kamal Attaturk, antek Inggeris. Dengan menyingkirkan pemerintahan Islam, mengusir khalifah dan keluarga ‘Utsmani untuk meninggalkan ibukota Istambul dengan arahan dan dukungan penjajah Inggeris-Kafir. Semuanya itu untuk melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Menlu Inggeris kala itu, Lord Curzon, sebagai persyaratan busuk yang ditetapkan kepada bangsa Turki dalam Konferensi Lausanne, yang dipenuhi kebusukan. Setelah penandatanganan Perjanjian Lausanne pada tanggal 24 Juli 1923, tentara Inggeris meninggalkan Istambul dan Madzahiq.

Dengan bangga, Curzon menyatakan di depan Parlemen Iggeris ketika itu, “Turki telah dihancurkan, dan tidak akan pernah bisa bangkit kembali, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, yaitu Khilafah dan Islam.”

Dan sesungguhnya berita tentang kebinasaan kaum yahudi tersebut kelak akan terbukti . Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak akan datang Hari Kiamat hingga kaum muslim memerangi Yahudi. Maka kaum muslim memerangi mereka hingga mereka bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Namun batu atau pohon itu berkata: Ya muslim, ya Abdullah ini Yahudi di belakang saya, kemarilah dan bunuhlah dia kecuali pohon gharqad karena ia adalah pohonnya orang Yahudi. (HR. Muslim dan Ahmad)

Dan semua itu akan terwujud tatkala kelak kaum mulim berhasil mendirikan khilafah Islamiyyah yang insya Allah sebentar lagi berdiri Wallahu A’lam bishowab.
 
Oleh : Adi Victoria

RUU Intelijen: Mau Disahkan?






Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merencanakan akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Intelijen di tengah pembahasan yang sangat tertutup. Publik tak tahu apa yang diperbincangkan oleh ang¬gota Dewan.

Pembahasannya di DPR memang agak aneh. Seolah semua akses ditutup.Tak boleh ada yang tahu. Apakah benar ada perdebatan di dalam sidang-sidang komisi atau memang sudah dirancang langsung disahkan, tak ada yang tahu.

Sejak awal RUU intelijen ini menuai banyak protes. Soalnya banyak pasal-pasal yang dikhawatirkan menjadi alat bagi penguasa untuk bertindak represif dan di luar koridor hukum terhadap warga negara yang dianggap lawan politik bagi pemerintah.

Misalnya saja, di dalamnya ada kewenangan khusus seperti penyadapan dan penangkapan oleh Badan intelijen Negara (BIN). Ini dianggap berpotensi melanggar hak asasi manusia. Tak hanya itu, RUU intelijen ini juga telah jauh melenceng dari semangat reformasi yang digembor-gemborkan setelah runtuhnya Rezim Orde Baru.

Selain itu di dalamnya ada pasal yang mengatur kewenangan BIN melakukan pencegahan dan pemeriksaan terhadap orang yang diduga terkait terorisme, separatisme, spionase, subversi dan sabotase. Pemeriksaan intensif itu berlangsung selama 7 x 24 jam.

Polemik pun muncul terhadap posisi Badan intelijen Negara. seperti yang tertuang jelas dalam draf RUU intelijen itu bahwa intelijen merupakan lembaga pemerintah (Pasal 1 ayat 2 RUU intelijen), bukan lembaga negara. Belum lagi polemik muncul perdebatan terhadap pasal-pasal karet dan multitafsir.

Jika DPR mengesahkan RUU ini menjadi UU sesuai draft pertama yang diserahkan pemerintah, bukan tidak mungkin akan membangkitkan lagi gaya pemerintahan Orde Baru yang represif. Lembaga intelijen bisa 'dipakai' untuk menggilas musuh-musuh politik pemerintah yang berkuasa tanpa bisa dikontrol lagi.

Direktur Program Imparsial Al Araf berharap parlemen tak buru-buru mengesahkan RUU intelijen ini. "Harus dibuka ruang seluas mungkin bagi masyrakat sesuai UU no 10/2004 tentang tata aturan perundangan,” tuturnya.
Menurut Al Araf, benar ada pertarungan kepentingan politik praktis terhadap RUU intelijen. Menurutnya, sejauh ini pembahasan yang dilakukan panitia kerja (Panja) Komisi 1 DPR belum pernah menginformasikan perkembanganya kepada publik terkait masih adanya beberapa pasal dalam RUU intelijen ini yang dianggap bermasalah.

Ia menegaskan, penting bagi parlemen untuk memahami bahwa proses pembuatan dan pembahasan undang-undang harus melibatkan partisipasi publik. "Tertutupnya pembahasan ini justru menimbulkan kecurigaan, bahwa ada ada udang di batik batu,” terangnya.

Kewenangan Intelijen

Ketika intelijen tidak memiliki kewenangan seperti yang diminta dalam RUU ini saja, ba¬nyak tindakannya sewenang-wenang, bagaimana kalau mereka nantinya diberikan kewenangan oleh UU? Kekhawatiran tersebut muncul di tengah masyarakat.

RUU Intelijen membuka ruang selebar-lebarnya kepada Badan intelijen dan lembaga-lembaga intelijen untuk menyikat habis orang-orang yang dianggap sebagai ancaman tanpa alasan. Di mana 'kaum Muslimin' yang hanya diduga sebagai teroris, sudah diambil tindakan hukum secara keji. Lihatlah kisah Bahrun Naim yang diciduk secara paksa oleh Densus 88 tanpa perikemanusiaan dan proses hukum yang mengada-ada. (Media Umat Edisi 57/Fokus).

Itu hanya segelintir kisah dari prilaku buruk kebijakan yang tidak sama sekali menunjukkan kebijakan yang menguntungkan terhadap masyarakat. Apalagi dengan adanya lagi hak khusus yang diusulkan dalam draf RUU Intelijen. Untuk menambah wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan dan penangkapan tanpa pengacara.

Menurut penelitian yang dilakukan Media Survei Nasional (Median) dan Future Institute, publik tidak setuju dengan penambahan dua hak khusus untuk intelijen itu. Terdapat 60,5 persen publik menolak, dan hanya 10 persen yang setuju selebihnya 28,7 persen tidak tahu.

Sedangkan terhadap wewenang lembaga intelijen untuk melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku terorisme serta pemeriksaan tanpa didampingi pengacara ada 62 persen publik yang tidak setuju, 14 persen yang setuju dan 23 persen tidak tahu. Dalam penelitian ini juga, 40,4 persen publik mengkhawatirkan penyalahgunaan kewenangan dalam hal penyadapan.

Menjadi Taring Pemerintah

Sidarto Danusubroto Anggota Komisi 1 Fraksi PDIP saat ditemui Media Umat di ruang kerjanya Gedung Nusantara 1 DPR-RI menyatakan bahwa masih ada beberapa pasal yang masih didiskusikan, terutama pasal penyadapan dan penangkapan. Pasal penangkapan itu dianggap bertabrakan dengan KUHP Sebagian anggota Dewan berpendapat, penyadapan hanya untuk kepentingan perkara hukum."Dari sisi dan kondisi Rancangan Undang-Undang ini banyak ber¬tabrakan dengan UUD dan UU, maka sikap Fraksi menolak dua pasal yang kontroversi ini," paparnya.

Untuk penguatan intelijen, Sidarto menyetujui hal-hal yang dirancang dalam RUU itu. Penguatan intelijen dengan sistem penguatan sumberdaya manusia, jaringan, networking, anggaran dan sebagainya. "Tapi jangan sampai berbenturan dengan UUD dan UU dan harus diterima oleh publik, harus filosofis memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Ini kan buat masyarakat dan keamanan jangan sampai yang malahan meresahkan masyarakat,"jelasnya.

Ia berharap, RUU ini menjadi alat kepentingan pemerintah dan masyarakat pun menjadi ancaman. "Apalagi jika terpolitisasi dan tidak independen. Lalu bisa juga mengancam lawan politik yang berbeda politik dalam tanda kutip menjadi ancaman buat pemerintah," terangnya. "Kalau undang-undang ini gol maka akan terbaca bahwa pemerintah akan represif," lanjutnya.

Bagi Sidarto, pengesahan RUU ini menjadi UU jika dipaksakan bisa menunjukkan adanya kepentingan pemerintah untuk memperkuat taringnya. "Pemerintah butuh taring untuk lebih kuat, karena dengan adanya suara-suara yang menyerang dari pers, dan tokoh-tokoh nasional betul-betul membuat boring Pemerintah, "katanya.

Menghadang Islam

Munculnya RUU Intelijen ini tak bisa dilepaskan dari Global war on Terrorism (GWOT)-nya Amerika. Situasi akan bisa kembali di mana Orde Baru di mana kalangan Islam menjadi target sasarannya. Umat Islam akan dibungkam karena dianggap membahayakan kepentingan Barat dan antek-anteknya.

Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan bahwa umat harus menolak dengan tegas RUU Intelijen itu, serta meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan poin-poin yang akan membahayakan kehidupan rakyat, khususnya aktifitas dakwah.

Dalam perspektif RUU tersebut, rakyat dianggap sebagai ancaman negara. Padahal, lanjutnya, justru yang sudah terbukti merusak negeri ini adalah kapitalisme sekuler dan orang-orang yang mengusungnya. Mereka itu malah dianggap sebagai tokoh.

Pihak-pihak yang tak suka dengan Islam terus berusaha mencari jalan untuk membangun perangkat hukum (aspek legal) yang bisa menghadang dakwah Islam yang kian marak. Mereka tak peduli dengan ide mulia yang diusung oleh Islam. Yang ada di benaknya, Islam harus dihentikan. Inilah tabiat asli yang dipelajari dan dianut dari Barat.
 
Oleh : Fatih Mujahid
Komunitas Rindu Syariah & Khilafah