Jumat, 10 Agustus 2012

Mitos Dibalik Ruwat Rambut Gimbal



" anak yang berambut gimbal adalah keturunan Tumenggung Kolo Dete yang merupakan titipan Ratu Laut Kidul"
Biasanya di Jakarta, rambut gimbal identik dengan orang yang fanatik dengan musik Reggae. Tidak demikian dengan anak-anak di Dataran Tinggi Dieng, mereka memiliki rambut gimbal asli, bukan buatan. Tentunya hal unik ini dilatar belakangi oleh suatu mitos yang dipercaya warga setempat secara turun-temurun, berikut ini adalah kisahnya.

Rambut gimbal ini hanya tumbuh pada anak-anak tertentu di sekitar Dataran Tinggi Dieng. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, anak yang berambut gimbal adalah keturunan Tumenggung Kolo Dete yang merupakan titipan  Ratu Laut Kidul. Tumenggung Kolo Dete adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan Dieng. Tumenggung Kolo Dete merupakan pertapa berambut gimbal dari Majapahit, nantinya keturunan dari Tumenggung Kolo Dete akan mempunyai rambut gimbal. Tapi rambut gimbal ini akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul. 

Mulanya, anak-anak tumbuh dengan rambut normal. Sebelumnya, anak akan sakit panas terlebih dahulu, kemudian setelah sembuh, di kepala anak tersebut akan tumbuh bintik kecil sebesar biji kedelai. Lama kelamaan, bintik itu membesar dan rambutnya akan menggimbal, saat itu pula orang tua sudah tau bahwa anaknya merupakan keturunan Tumenggung Kolo Dete.

Orang tua pastinya menginginkan rambut gimbal anaknya dipotong secepatnya, namun hal ini tidak bisa dipaksakan jika anak tersebut belum mau. Jika anak sudah mau, tentunya harus dengan ritual dan semua persyaratan dari anak tersebut harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka rambut gimbal akan tumbuh kembali dan anak akan jatuh sakit.

Permintaan keturunan gimbal dapat bermacam-macam, mulai dari barang-barang sederhana seperti binatang peliharaan seperti ayam atau kambing, bahkan ada yang menginginkan sepeda atau motor. Hal ini terkadang memang menyulitkan orang tua, karena tidak bisa ditawar lagi, oleh karenanya orang tua harus siap betul memenuhi keinginan anaknya.

Sebelum upacara pemotongan rambut, akan dilakukan ritual doa di beberapa tempat agar upacara dapat berjalan lancar. Tempat-tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, komplek Pertapaan Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng.

Malam harinya akan ada Upacara Jamasan Pusaka,  yaitu pencucian pusaka yang dibawa saat kirab anak-anak rambut gimbal untuk dicukur. Keesokan harinya baru dilakukan kirab menuju tempat pencukuran, si anak diarak dari rumah sesepuh pemangku adat dan berhenti di dekat Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu, tempat penyucian rambut. Setelah itu, barulah ritual pemotongan rambut dilaksanakan. Potongan rambut gimbal tersebut kemudian dihanyutkan ke Telaga Warna yang menandakan bahwa rambut tersebut dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Ratu Laut Kidul.

Rambut gimbal tersebut haruslah dipotong, konon katanya bila rambut gimbal dibiarkan, masyakat Dieng percaya anak itu beserta keluarganya akan terancam musibah. (Laras)

Sumber: http://eljohnnews.com

Wisata Kuliner di Purwokerto



Purwokerto berlatarbelakang Gunung Slamet
Kalau sebelumnya saya pernah singkat bercerita tentang Purwokerto dalam tulisan saya“Dieng – Negeri di atas awan”, maka kali ini saya akan lebih detil menceritakan wisata rasa atau kuliner dari kota yang membesarkan saya selama 3 tahun semasa di SMA ini.
.
  • SOTO
Berbicara tentang kuliner dari Purwokerto, satu yang menjadi masakan khas dan tidak ada kemiripan lainnya di seantero negeri ini adalah SOTO. Apakah yang membedakansoto Purwokerto (atau Soto Sokaraja) dengan soto-soto lainnya? Ada paling tidak dua hal utama, yaitu SAMBAL dan KRUPUK.
Bagi Anda yang belum pernah merasakan Soto versi Purwokerto, barangkali tidak terbayangkan untuk makan soto dicampur sambal kacang. Ya, itulah keunikan nomor satu.
Keunikan kedua ada pada krupuk berwarna warni – merah kuning hijau, yang diremukkan dan ditaburkan ke dalam sotonya sehingga warnanya makin meriah.
Berbeda dengan soto versi Kudus, Solo, atau Jawa Timuran yang menawarkan kesegaran rasa dalam kuah bening yang gurih… maka Soto Purwokerto / Sokaraja ini menawarkan rasa campuran antara kaldu sapi atau ayam + sambal kacang + kecap manis yang menghasilkan soto yang kental dan mengenyangkan. Tidak heran untuk menghindari kekenyangan, porsi Soto di daerah ini hanyalah 2/3 mangkok saja. Bagi yang doyan (seperti saya) biasanya sekali pesan langsung 2 porsi biar mulutnya tidak sempat nganggur menunggu porsi kedua, he he he…
Nah, ada 2 aliran Soto yang terkenal di daerah ini: SOTO AYAM (biasanya di Purwokerto) dan SOTO SAPI (biasanya di Sokaraja – 5 km timur Purwokerto).
    1. Soto Ayam yang sering saya kunjungi di Purwokerto adalah di Soto Ayam Pak Sungeb dan Soto Ayam Jalan Bank – keduanya berlokasi di Jalan Bank, sekitar 300 meter sebelah barat Alun-alun Purwokerto. Salah satu dari kedua tempat tersebut masuk ke dalam kategori wajib untuk disambangi tiap kali saya pulang ke Purwokerto.
    2. Adapun untuk Soto Sokaraja, bisa dikatakan ini lebih terkenal (bukan berarti Soto Ayam-nya tidak terkenal ya…). Lokasinya sekitar 5 km dari Purwokerto menuju ke arah Purbalingga / Wonosobo / Yogyakarta. Daging sapi dalam soto Sokaraja memang lebih berlemak dibandingkan daging ayam sehingga membuat kuahnya lebih kental. Dan jangan heran, salah satu opsi untuk dicampurkan ke dalam Soto Sokaraja adalah LANTING – itu lho yang kayak cincin bentuknya dibuat dari singkong. Warung Soto Sokaraja langganan saya adalah Soto Pak Kecik, yang sudah kondang dari jaman saya kecil (berapa puluh tahun yang lalu ya…). Kalau dari arah Purwokerto adanya di sisi kanan jalan. Pokoknya, begitu masuk warung langsung pesan dua!!! Begitu datang, langsung masukkan 2 sendok sambal kacang, ditambah kecap manis, plus 1 bungkus lanting. Muak nyuuuussss….. atau bahasa Purwokerto-nya NYLEKAMIN alias MBLAKETAKET… Oh iya, kalau lagi di Sokaraja jangan lupa mencicipi getuk gorengnya yang terkenal dan maniisss…
      Getuk Goreng Asli Sokaraja - ada lebih dari 7 cabang berderet...
      .
      • Sate Kambing
      Berbicara tentang Sate, setidaknya ada 3 jenis sate yang cukup berbeda alirannya: (1) Madura – terkenal dengan sate ayamnya; (2) Solo – terkenal dengan Sate Kambingnya yang kaya lada; (3) Tegal & Banyumas – terkenal dengan Sate Kambingnya yang menonjolkan rasa daging tanpa banyak bumbu. Tentu saja di luar itu masih banyak sate-sate jenis lain yang unik seperti sate ambal khas Kebumen contohnya.
      Berada di kawasan Banyumas, Purwokerto-pun mengikuti mainstream sate di kawasan tersebut yang hampir mirip dari mulai Tegal – Prupuk – hingga Purwokerto yaitu Sate Kambing yang dibakar (hampir) tanpa bumbu. Kenapa saya tulis “hampir”? Karena sepanjang penglihatan saya dagingnya memang tidak ada bumbunya waktu dipanggang, tapi ada beberapa pedagang yang sedikit mengolesinya dengan bumbu ketika sudah setengah matang.
      Nah, untuk urusan sate kambing di Purwokerto maka favorit saya adalah Sate Kambing Tiga Saudara. Lokasinya sekitar 100 meter sebelah timur dari perempatan Kebondalem – Gatot Subroto. Kalau lagi musim liburan, jangan harap bisa mendapatkan sate di sini setelah jam 8 malam. Pernah suatu liburan, saya datang ke situ jam 7 malam sudah disambut dengan tulisan “SATE HABIS”… hu hu hu…
      Apa yang special dari warung sate ini, ya itu tadi… Satenya dibakar tanpa bumbu barangkali ada bumbu rahasia yang sifatnya minor, hingga tidak kasat mata dan kasat lidah… ketika sate dihidangkan, warna dagingnya adalah PINK KECOKLATAN. Ya betul, jadi bukannya coklat atau hitam seperti sate kebanyakan… Sate Kambing Tiga Saudara ini ketika disajikan tidak ada unsur kecap sama sekali di daging satenya.
      Bumbu untuk mencocolnya saya biasanya pilih kecap dan potongan cabai saja. Bahkan, karena saya sangat suka dengan keaslian rasa daging kambing maka seringkali saya makan sate tersebut tanpa bumbu sama sekali.
      Wah, itu namanya kelembutan dagingnya – aroma daging yang menyeruak ke hidung manakala kita menelannya, benar-benar wah… saya menyebutnya rasa Sate Kambing ini berkelas. Aroma kelembutan daging tanpa bumbu-bumbu lain itu benar-benar, hmmmmmm….. Nyuuuussss….
      .
      • Bakmi Goreng – Godhog – Nyemek
      Satu menu lain yang cukup nikmat untuk teman menikmati malam di Purwokerto adalah BAKMI.
      Mungkin memang orang Purwokerto senang dengan makanan yang rasanya cenderung “berat”, maka bakmi-bakmi yang ditawarkan di Purwokerto memiliki cita rasa yang kental – berbeda dengan bakmi Jogja / Kulonprogo yang menawarkan rasa gurih ayam samar-samar dan tidak terlalu “nonjok”. Untuk mendukung kekentalan tersebut, lagi-lagi kecap bermain peran penting di sini.
      Untuk menyesuaikan keinginan pelanggan, tersedia 3 jenis bakmi: Bakmi Goreng, Bakmi Godhog alias Rebus, dan Bakmi Nyemek alias “in between”.
      Ini bakmi gorengnya yang mak nyus...
      .
      Ini bakmi goreng versi nyemek yang tidak kalah mak nyusnya...
      .
      Untuk yang doyan bakmi, banyak tempat yang menawarkan bakmi di Purwokerto dengan rasa yang paling tidak di atas passing grade.
      Beberapa yang cukup terkenal antara lain:
        • Bakmi Palma – di perempatan Palma Jalan Sudirman (300 meter timur Alun-alun)
        • Bakmi Nyemek Berkoh.
        • Bakmi Gongso (yang ini cita rasanya campur Semarang-an), di ujung timur Jalan Sudirman – sebelah timur Pasar Wage.
        • Bakmi lesehan di sisi utara Kebondalem, depan Medico Labora menghadap ke Jalan Gatot Subroto.
      Makan Bakmi enaknya malam hari, karena bakalan cocok dengan udara Purwokerto yang agak dingin kalau malam hari (walaupun terakhir saya ke sana sudah tidak dingin lagi, jadi sedih…).
      Nikmatnya malam hari makan bakmi goreng...
      .
      • Serabi
      Selain serabi Solo dan serabi (atau surabi) Bandung, Purwokerto juga punya serabi yang khas lho…
      Kalau serabi Solo berwarna putih dan tanpa kuah, surabi Bandung berkuah coklat, maka Purwokerto memiliki serabi yang pinggirnya putih dan tengahnya coklat. Jadi ibarat memadukan rasa Solo dan Bandung dalam satu paket.
      Serabi versi Purwokerto, pinggir putih tengah coklat...
      .
      Agak berbeda dengan serabi Solo (Notosuman) yang gurih dan rasanya kalau saya bilang “rasa priyayi”, maka serabi Purwokerto ini rasanya “rasa merakyat” karena tidak menawarkan gurihnya santan tetapi lebih tawar pada bagian putihnya. Bonus atau bagian enaknya ya di bagian coklatnya yang ada di tengah karena disitulah yang ada gulanya.
      Jadi kalau makan serabi Purwokerto ini saya jadi kayak anak kecil, dimakan pinggirnya dulu yang putih untuk kemudian menikmati “the best part”nya yang coklat di bagian terakhir. Norak ya? He he he…. Biarin aja ah.
      Dulu banyak sekali mbok-mbok yang jualan serabi ini, di banyak tikungan atau perempatan. Sekarang ini sudah sangat sulit menemuinya. Satu yang dapat saya temui ada di pertigaan Jl. Dr. Angka dan Jl. Gereja. Dan jualannya hanya pagi hari.
      Saya coba beli beberapa, yah masih enak juga dengan rasa “marginal”nya yang khas… he he he…
      Serabi Dr. Angka Purwokerto
      .
      Pagi-pagi pada antri serabi di Dr. Angka Purwokerto
      .
      • Menu warung pantai Widarapayung
      Di liburan akhir tahun 2009 kemarin ini saya sekeluarga sempat mampir ke pantai di sisi selatan Purwokerto – tepatnya 9 km sebelah selatan KROYA. Ini merupakan pantai bersejarah bagi saya, karena di pantai inilah untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bisa berenang. He he he, kurang penting ya?
      Pantai Widarapayung ini sama dengan pantai Parangtritis di Jogja, menghadap ke Samudera Hindia dan memiliki pantai pasir hitam yang lebar. Akibatnya, panasnya minta ampun…
      Selain menu khas Banyumasan seperti kupat tahu, di pantai ini ada menu yang unik dan barangkali susah mencarinya di daerah lain yaitu YUTUK GORENG.
      Enaknya makan kupat tahu di pinggir pantai Widarapayung...
      .
      Mendoan yang lebih gede daripada piringnya...
      .
      Ini lho yang namanya YUTUK goreng, dari jauh kayak strawberry dari dekat kayak capit kepiting...
      .
      Saya tidak tahu apa bahasa Indonesianya Yutuk, tapi sepertinya ini sejenis Crustaceae (keluarga udang atau kepiting gitu deh…) yang hidup di dalam pasir. Digoreng begitu saja, yutuk ini menjadi berwarna merah dan bisa di”kremus” begitu saja. Rasanya sih nggak maknyus-maknyus amat, tapi uniknya itu lho yang bikin penasaran…
      Dan berikut ini suasana pantainya, bagus lho…
      Lebarnya garis pantai Widarapayung Kroya
      .
      Batagor di pantai...
      .
      Ini bukan Lone Ranger, tapi sewa kuda buat keliling pantai...
      .
      Sumber: http://wisatajiwa.wordpress.com

      Kamis, 09 Agustus 2012

      Desa Tertinggi di Pulau Jawa Yang Eksotis


      Desa Tertinggi di Pulau Jawa Yang Eksotis












      Menyoal tentang Desa Sembungan, adalah sebuah desa yang masuk ke wilayah Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Sembungan merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup diminati wisatawan. Desa ini terletak disebelah Barat Dieng. Untuk dapat sampai ke lokasi Desa Sembungan terbilang cukup mudah, karena sarana jalan utama Dieng sudah halus beraspal. Hanya saja satu kilometer dari jalan utama Dieng menuju lokasi Desa Sembungan kondisi jalannya rusak. Namun demikian pungunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat atau sepeda motor pribadi masuk ke lokasi wisata. Bagi yang tidak membawa kendaraan pribadi bisa menggunakan jasa ojek.

      Wisata Dieng selalu saja menawarkan pesona kepada pengunjung yang sulit untuk dilupakan. Daya tarik alamnya yang indah, asri dan sejuk berbalut tradisi masyarakat lokal yang khas menjadikan Dieng cukup disegani dan diperhitungkan oleh wisatawan, baik lokal maupun manca negara. Keunggulan Dieng adalah banyak obyek wisata yang bisa dikunjungi dalam satu komplek, seperti di kawasan wisata Desa Sembungan. Di desa tersebut terdapat dua obyek wisata alam sekaligus yang luar biasa indah, yakni Telaga Cebong dan Puncak Sikunir.
      Pesona Sembungan memberi kesan tersendiri dikalangan wisatawan. Di tepi Desa Sembungan terdapat sebuah telaga yang cukup kondang, yaitu Telaga Cebong. Telaga dengan mata air yang senantiasa mengeluarkan air dari bawah tanah menjadikan Telaga Cebong terlihat jernih menawan. Di samping telaga terdapat pemandangan bukit-bukit menjulang berselimut kabut tipis serta kesejukan yang alami. Selain itu, warga Desa Sembungan mayoritas bekerja sebagai petani sayur dengan memanfaatkan potensi lahan yang ada, menjadi daya pikat tersendiri. “Wisatawan bisa menikamti pemandangan alam berikut aktivitas petaninya,” kata Kades Sembungan, Muh Khozin, Kamis (26/7).
      Konon, Desa Sembungan merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa, dengan ketinggian lebih dari 2.000 meter diatas permukaan air laut. Suhu udara di Desa Sembungan sangat dingin, terutama saat musim kemarau yang biasa terjadi pada Juli dan Agustus. Tak hanya itu. Di ujung desa juga terdapat Bukit Sikunir yang menghadirkan pemandangan matahari terbit yang indah.


      Petani Carica
      Banyak yang bilang bahwa keindahan matahari terbit di Bukit Sikunir adalah pemandangan terbaik yang pernah ada di Pulau Jawa. “Banyak wisatawan lokal maupun asing yang berkunjung untuk menikmati matahari terbit dengan sensasi udara dingin yang menusuk. Jika kondisi cuaca cerah, beberapa kota besar seperti Semarang dan Yogyakarta terlihat dari atas Bukit Sikunir,” paparnya.
      Karena itu, masyarakat Desa Sembungan berusaha agar kawasan tersebut menjadi desa wisata seperti Dieng. Masyarakat setempat mulai sadar akan perkembangan industri pariwisata. Saat ini sudah banyak sarana dan prasarana yang menunjang kebutuhan wisatawan, seperti homestay, tempat peristirahatan serta kapal yang dimanfaatkan untuk mengelilingi Telaga Cebong.
      Masyarakat asli Sembungan hampir sebagaian besar bermata pencaharian sebagai petani sayur dan carica. Di Desa Sembungan produksi carica berkualitas sangat baik, karena tanah di wilayah tersebut sangat subur dan berada diatas ketinggian yang cukup sehingga carica bisa tumbuh berkembang dengan baik. Rencananya, warga Sembungan akan mencanangkan kebun carica sebagai wisata tambahan.
      “Sembungan menawarkan pesona memikat yang cocok sekali untuk tujuan wisata saat Lebaran atau musim libur lainnya,” kata Muh Khozin.
      (Rinto Hariyadi/CN27/suaramerdeka.com)

      Desa Tertinggi di Pulau Jawa



      Tahukah anda desa tertinggi di pulau Jawa?

      Jawabanya adalah desa Sembungan, yang terletak di kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Desa Sembungan  merupakan desa tertinggi di pulau jawa dengan ketinggian 2302 sampai 2400 meter diatas permukaan laut. Desa Sembungan  tersebut terletak di kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng dengan kondisi geografis berbukit-bukit dan lahan pertaniannya bertingkat-tingkat atau terasering hal ini bertujuan agar lahan yang kemiringannya sangat ekstrim tersebut dapat digunakan  untuk menanam tanaman sayur mayur seperti kentang dsb. Desa  Sebungan tersebut laksana Machu Picchu yakni sebuah lokasi reruntuhan suku Inca yang terdapat di lembah Urubamba di Peru, sekitar 70 km barat laut Cusco.

       




















      Suhu rata-rata desa Sembungan dapat mencapai 15o C, bahkan di waktu-waktu tertentu sekitar bulan Juli-Agustus pada musim kemarau suhu di desa Sembungan dapat mencapai minus oC pada pagi hari dimana embun bisa berubah menjadi butiran es atau masyarakat wonosobo menyebutnya Bun Upas. Embun beku tersebut dinamakan demikian karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian. Di desa Sembungan obyek wisata terdekat adalah Telaga Cebong. Telaga Cebong selaian untuk pariwisata, juga di manfaatkan masyarakat setempat untuk pengairan lahan pertanian.

      Dibalik itu semua Sembungan menyimpan segudang pesona alam luar biasa, mulai dari golden sunrise, telaga dan juga kebun carica. Satu hal yang tidak dapat di jumpai di tempat lain, Pengunjung dapat merasakan naik perahu seperti dipuncak gunung dan disini Sembungan memilikinya.
      Data Desa
      Provinsi : Jawa Tengah
      Kabupaten : Wonosobo
      Kecamatan : Kejajar
      Kepala Desa : H. Mukhozin 
      Luas : 2,65 km2
      Jumlah Penduduk : kurang lebih 1.400 jiwa

      Sabtu, 23 Juni 2012

      Gunung Padang Lebih Tua Daripada Machu Picchu





      Situs prasejarah Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat kembali menjadi bahan perbincangan. Karena beberapa pihak mengklaim ada bangunan yang tertimbun di bawah situs megalitik tersebut.
      Namun, di luar kontroversi mengenai kebenarannya, situs prasejarah Gunung Padang sangatlah menarik diliat dari tinjauan arsitektur. Bentuknya yang berundak mengindikasikan adanya peradaban tinggi di zaman nenek moyang bangsa Indonesia.
      Menurut anggota tim peneliti situs Gunung Padang, Pon S Purajatnika, situs ini didirikan pada tahun 2500 SM-1000 SM. Menjadikannya situs yang lebih tua dibanding bangunan Machu Picchu di Peru, Amerika Selatan, yang berdiri sekitar tahun 1460-1470 Masehi.
      “Lima abad setelah situs Gunung Padang berdiri, barulah ada Machu Picchu di Peru. Bangunan ini memakai metode dan pilihan lokasi yang sama,” kata Pon dalam acara diskusi ‘Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional’ di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (7/2).
      Situs Gunung Padang terletak di antara dua kampung: kampung Gunung Padang di timur dan kampung Cipanggulan di sebelah barat. Bangunan berundak ini pertama kali ditemukan warga di tahun 1979 di ketinggian 885 meter di atas permukaan laut. Seperti dikatakan Pon, Machu Picchu di Peru juga berdiri di lokasi yang sama yakni di atas dataran tinggi sekitar 2.430 meter di atas permukaan laut.

      (Machu Picchu/Robert Clark)
      Salah satu arkelog Gunung Padang, Lutfi Yondri, menyebutkan, jika situs itu merupakan punden berundak yang dibangun dari batuan vulkanik yang berbentuk persegi panjang, terdiri dari balok-balok batu. Balok tersebut masuk dalam kelompok batuan beku andesit berwarna hitam, berkristal halus sampai sangat halus, masif, kompak, keras, dan sebagian permukan batuannya telah mengalami pelapukan yang ditandai mineral berwarna kuning kecoklatan.
      Secara keseluruhan konstruksi punden berundak Gunung Padang terdiri dari lima teras yang masing-masingnya mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Teras pertama merupakan teras terbawah mempunyai ukuran paling besar yang kemudian berturut-turut sampai teras kelima ukurannya makin mengecil.
      “Teras pertama untuk masyarakat dan upacara pengorbanan, teras kedua untuk pimpinan dan terdiri dari lima tempat duduk,” kata Pon yang juga mantan Ketua Himpunan Arsitektur Jawa Barat.
      Sedangkan pada teras ketiga ada lima bangunan yang merupakan kelompok batu tegak. Teras keempat terdapat tiga bangunan lagi yang terletak di bagian timur laut teras. Terakhir, teras kelima dianggap paling suci, terletak di bagian paling ujung tenggara dan jadi teras tertinggi.
      “Bangunan Gunung Padang menunjukkan betapa dia bisa bertahan dari berbagai bencana hingga sekarang,. Masyarakat di masa itu sudah arif bijaksana dalam menyusun bangunan yang ada,” kata Pon lagi.
      (Zika Zakiya)

      Situs Gunung Padang Sebagai Complex Galaxi Stones



      “Kekayaan alam dan budaya serta posisi geografis Kabupaten Cianjur memiliki prospek yang cukup potensial dalam pengembangan wisata. Salah satunya yaitu situs megalitik Gunung Padang, ekotisme situs megalitikum Gunung Padang, bisa bersaing dengan situs megalitikum lainnya yang berada di Rusia dan Peru. Implementasi pengembangan objek wisata untuk budaya ini akan berjalan dengan mengangkat dan memperkenalkan situs gunung padang milik dunia kebanggaan Indonesia,” kata PJ.Bupati Cianjur, Drs. H. Wawan Sofwan MSi. , pada kegiatan rombongan “ONE DAY TOUR” yang dipimpin oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf ke beberapa lokasi salah satunya ke situs Gunung Padang yang berada di Kec. Campaka.
      one day tour cianjur 2011 300x240 Wagub Jabar, Situs Gunung Padang Sebagai Complex Galaxi Stones









      Lanjutannya situs Gunung Padang terletak di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti Kecamatan Campaka merupakan situs megalitik berbentuk puden berundak yang terbesar di Asia tenggara, dengan luas bangunan purbakalanya 900 m2 dengan luas areal situs sendiri kurang lebih sekitar 3 ha.
      Dalam sambutannya Wakil Gubernur jawa Barat mengatakan bahwa objek wisata situs Gunung Pandang akan dikenal lebih jauh baik wisata domestik maupun asing apabila kita semua baik dari pemerintah daerah ataupun pusat dapat bersama-sama peduli akan konsep dari sebuah strategi bagaimana cara memperkenalkan situs tersebut serta bagaimana cara melestarikan situs tersebut. Ada beberapa konsep yang bisa dilakukan bersama-sama diantaranya dengan memberikan fasilitas, sarana serta prasarana bagi pengunjung yang inign mengenal lebih dekat dengan situs megalit. Dengan demikian situs Gundung Padang akan tergali dengan sendirinya oleh subyek/wisatawan yang berkunjung, yang salah satunya bisa dapat melakukan konservasi yang lebih jauh guna menggali pesona prasejarah yang ditinggalkan oleh orang masa lampau.
      Wakil Gubernur Jawa Barat menambahkan, dengan adanya kepedulian serta kerjasama yang baik, dari pemerintah pusat bersama pemerintah daerah melalui dinas pariwisata dan kebudayaan, telah menyusun sebuah program guna pengembangan sarana untuk situs megalit tersebut dengan angaran yang sudah ditetapkan.
      Keberadaan situs ini pertama kali muncul dalam laporan Rapporten Van De Oudheid-Kundigen Dienst (ROD), tahun 1914, selanjutnya dilaporkan Nj Krom tahun 1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian benda cagar budaya yaitu penilik kebudayaan setempat disusul oleh Ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas melakukan peninjauan ke lokasi situs. Sejak saat itu upaya penelitian terhadap situs gunung padang mulai dilakukan baik dari sudut arkeologis, historis, geologis dan lainnya. Bentuk bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat. Bangunannya terdiri dari lima teras dengan ukuran berbeda-beda, batu-batu tersebut sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia, dalam arti belum dikerjakan atau dibentuk oleh tangan manusia. Balok-balok batu yang jumlahnya sangat banyak itu tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di teras-teras itu dengan nama-nama berbau islam. Misalnya yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang Swasan, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh Mazuki, dan batu Syeh abdul Fukor.
      sumber: cianjurkab

      Gunung Padang, Buktikan Ras Indonesia Unggul


      “Kita harus bangga terdapat ras kita dan nenek moyang kita punya kemampuan ini."

      Pengambilan sampel di Gunung Padang (VIVAnews/ Muhamad Solihin)

      Danny Hilman Natawijaya, Ketua Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang, mengatakan pembuktian situs megalitik Gunung Padang menegaskan bangsa Indonesia bukan ras atau bangsa kacangan. Situs ini membuktikan adanya kemampuan teknologi hingga sosial budaya nenek moyang yang jauh lebih modern dari catatan sejarah ilmu pengatahuan dan peradaban yang diyakini selama ini.

      “Kita harus bangga terdapat ras kita dan nenek moyang kita punya kemampuan ini. Seperti Hitler yang bangga akan ras arya atau para yahudi yang bangga akan garis keturunannya. Gunung Padang membuktikan kita juga keturunan ras yang sangat luar biasa,” kata geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu.

      Menurut Danny, semangat itulah yang memotivasi para peneliti untuk terus melakukan riset dan pembuktian di Gunung Padang. Semangat ini memompa mereka untuk terus mencari kehebatan nenek moyang di nusantara yang berhasil membuat struktur modern di eranya, yang diperkirakan pada era prasejarah.

      Selama ini, kata Danny, catatan sejarah peradaban dunia selalu melihat pada peradaban Mesir yang diperkirakan ada sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi atau peradaban sungai Indus yang tumbuh pada 3.000 tahun sebelum Masehi. “Dari hasil penelitian hingga hari ini, kami masih yakin peradaban Gunung Padang adalah yang tertua dan lolos dari catatan sejarah,” katanya.

      Sementara, Erick Rizky menjelaskan kemungkinan Gunung Padang tidak sempat tertulis dalam catatan sejarah karena sistem sosial masyarakat Gunung Padang saat itu menggunakan budaya lisan sendiri, tidak menggunakan budaya lisan seperti yang tercatat saat ini. "Asumsi ini yang menyebabkan peradaban Gunung Padang sepertinya luput dari catatan sejarah peradaban dunia. Kami yang akan terus berupaya memasukkan temuan ini sebagai catatan peradaban dunia,” katanya.

      Maret lalu, Tim Bencana Katastropik Purba yang membawahi tim penelitian telah melakukan pengeboran di situs megalitikum Gunung Padang, di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Hasil carbon dating memperlihatkan hasil yang mengejutkan. Menurut salah satu anggota tim, Boedianto Ontowirjo, carbon dating menunjukkan Gunung Padang lebih tua dari piramida Giza di Mesir.

      Dari sampel hasil pengeboran yang diambil dari teras 5 di titik bor 2 dengan kedalaman 8 hingga 10 meter, hasilnya menunjukkan 11.060 thn +/- 140 tahun Before Present. "Kalau dikonversikan ke umur kalender setara dengan 10 ribu SM," ucap Boedianto, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews, 4 Maret 2012.

      • VIVAnews  

      Jumat, 22 Juni 2012

      Kampung Laut, Semarang



      Mudik terakhir kemarin aku berkesempatan main ke Kampung Laut, yang ternyata adalah sebuah resto dan pemancingan yang berdiri dipinggir laut di sebuah teluk di Semarang Utara, lokasinya bersebelahan dengan PRPP Semarang.


      Sebuah halaman parkir yang luas terdapat di area ini, dan pintu gerbang masuknya adalah sebuah lorong beratapkan kayu dengan view laut tempat pengunjung memancing. Jadi lokasinya seperti berdiri di atas air, dan kita bisa melihat ikan-ikan di bawah kita.


      Masuk ke dalam terdapat riung semacam pondok kecil yang bisa diisi 6-8 orang, tapi ada juga yang lebih dari itu. Ada semacam genta kecil di tiap pondoknya, jadi jika ingin memanggil pelayan tinggal memukulnya. Tapi tanpa memukul pun sang pelayan sudah datang sendiri. Di sudut agak dalam ada sebuah panggung kecil tempat band beraksi, jika ingin nyanyi sendiri bisa juga koq diiringi organ tunggal, sedangkan di sisi belakang panggung itu terdapat kasir yang bersebelahan dengan toilet.



      Di sana juga terdapat tempat bermain anak-anak, mushola, pondok-pondok yang memanjang mengitari kolam laut untuk memancing. Di sebuah sudut dekat mushola bahkan terdapat aquarium yang berisi lumba-lumba (atau apalah, kurang jelas). Di sebuah tempat terpisah, ada area yang diperuntukkan bagi mereka yang sudah booking untuk acara khusus semacam pernikahan, atau reuni, ya pokoknya semacam gedung pertemuan gitu deh.


      Jika kau datang bersama keluarga, cobalah datang pada siang hari, tapi jika hanya bersama pasanganmu atau teman-teman datanglah malam hari. Viewnya sangat cantik.. karena banyak lampu-lampu kecil di setiap sudut tiang kayunya. Hampir seratus persen bangunan di Kampung Laut terbuat dari kayu, bahkan ada yang dibuat mengapung dengan menggunakan drum, jadi jika menapaknya akan terayun-ayun.


      Kalau kalian ke Semarang, cobalah mampir ke sini....



      Jumat, 18 Mei 2012

      Sedapnya Kupang Sate Kerang



      Sedapnya Kupang Sate Kerang Khas Jatim

      Jika Anda mengunjungi Jawa Timur, tepatnya kota Surabaya dan Sidoarjo, jangan lupa untuk menikmati kuliner unik khas pesisir "Kupang Lontong". 
      Sebenarnya Kupang Lontong bisa anda temukan di banyak kota di Jawa Timur seperti Malang, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Gresik, dsb namun yang rasanya paling ‘nendang’ hanya ada di Surabaya dan Sidorajo.

      Karena memang sebenarnya kupang tidak tahan lama kesegarannya, jadi akan lebih nikmat jika dinikmati di daerah yang dekat dengan daerah penangkapannya. Kuliner ini merupakan hidangan sepinggan yang terdiri atas lontong, kuah petis, sate kerang dan kupang.

      Ada juga tambahan irisan ‘Lento’, sejenis gorengan campuran antara singkong serut, taoge dan kacang tolo. Rasanya benar-benar unik dan nikmat perpaduan petis, bawang goreng dan kupang dengan kuah asam pedas manis yang segar, sangat cocok untuk dinikmati pada saat cuaca sedang panas. 



      Tentu saja yang membuat unik hidangan ini adalah kupang-nya, sejenis binatang laut kecil-kecil seperti tiram yang banyak dibudidayakan di daerah pesisir timur Jatim. Berwarna coklat pucat dengan kepala berwarna hitam. Dipastikan Anda  akan kesulitan menemukan hidangan ini di luar Jatim.



      Kupang adalah makanan sejenis kerang yang dimasak dengan campuran bumbu bawang putih, untuk menghidangkan biasanya dicampur dengan petis kupang, jeruk nipis , lontong dan irisan lento, bila suka bisa ditambahkan cabe rawit, lebih maknyus dimakan dengan Sate Kerang.

      Untuk minumannya bisa Es Degan Hijau atau kelapa muda, disamping segar es degan bisa meminimalisir alergi kupang & kerang.  

      http://www.wartanews.com

      Mangut Kepala Manyung




      Mengasap ikan sudah lazim dilakukan oleh para juru masak tradisional di pesisir Jawa untuk menghasilkan aroma sedap pada masakan. Nah… di Semarang Jawa Tengah pengasapan ikan ini disebut dengan mangut yang juga menjadi masakan khas warga Semarang. Dengan kombinasi bumbu rempah dan pedasnya cabe, Mangut Ikan menjadi buruan para penggemar kuliner di kota Semarang dan sekitarnya.

      Banyaknya Mangut Manyung di Semarang tapi yang paling ramai dikunjungi oleh pemanja lidah adalah Warung Mangut Bu Fat di jalan Ariloka Semarang Barat menurut Bu Bekti Mulyani sang pemilik warung yang menjadi penerus Bu Fat mengatakan, untuk menciptakan rasa mangut manyung yang khas enak dan nendang harus diupayakan tidak berbau amis serta  bumbu rempah-rempah dan cabe yang banyak ditambah santan yg kental.

      Harga hidangan mangut manyung di Warung Mangut Bu Fat cukup bersahabat. Seporsi ikan manyung asap plus nasi & minuman cukup Rp. 10 ribu rupiah saja. Kalau anda memesan kepala manyung yang super besar harganya Rp. 35 ribu rupiah yang bisa disantap bertiga. Wuihhh bener-bener marem. Maka gak heran kalau setiap jam makan siang warung ini ramai dipadati pembeli. Oh..iya pembeli tidak hanya dari kota Semarang saja namun juga luar kota. Bahkan karena saking swedep dan wenaknya, mantan menteri keuangan Sri Mulyani menjadi pelanggan tetap mangut manyung bu Fat. Sementara untuk hari biasa menurut bu bekti bisa laku 20-30 kepala manyung sedang untuk hari libur atau kalau pas ramai bisa sampai 40-50 kepala manyung.

      Falsafah atau ungkapan gajah mati meninggalkan gading dipegang oleh keluarga ini. Hal ini terbukti Resep mangut manyung dari tangan bu Fat mengalir di tangan anak-anaknya. Uniknya lagi, di Warung Mangut Bu Fat ini semuanya, mulai dari yg memasak masih satu keluarga.
      Yang membedakan Warung Mangut Bu Fat berbeda dengan mangut lainya adalah sedap dan tidak berbau amis juga ditambah harganya yg terjangkau.
      Tak kenal makanya tak sayang…suka pedes dan swedep….serta pelayanan yg memuaskan silahkan mencoba Warung Mangut Bu Fat.

      http://www.rasikafm.co.id

      Nasi Gandul Pati


      Nasi Gandul 

      Foto: Bondan W



      Pati
       - Nasi gandul adalah sajian khas Pati, Jawa Tengah. Dilihat sepintas, ia sangat mirip dengan nasi pindang dari Kudus, tetapi tanpa daun so (daun melinjo muda). Kalau nasi pindang kudus adalah hasil persilangan antara soto dan rawon, maka nasi gandul pati adalah persilangan antara soto dan gule. Nasi gandul memang lebih nendang dan mlekoh rasanya bila dibanding dengan nasi pindang.

      Sajian ini merupakan kombinasi dari dua masakan yang masing-masing dimasak dengan bumbu sangat kaya. Elemen pertama adalah empal daging sapi (juga termasuk jeroan) yang dimasak dalam bumbu-bumbu harum, kemudian digoreng sebentar. Empalnya sudah gurih bila dimakan begitu saja.

      Elemen kedua adalah kuah santan yang juga sangat gurih. Rasa jintan dan ketumbar mencuatkan citarasa gulai atau kari India. Sedangkan lengkuas dan bawang putih mewakili unsur-unsur soto yang populer di Jawa. Diperkaya dengan bumbu-bumbu lain, diikat dengan santan yang membuatnya sungguh mak nyuss.

      Tidak semua penjual nasi gandul – baik di Pati, maupun di kota-kota lain – menyajikannya dengan cara yang sama. Tetapi, yang pasti, hampir semua penjual nasi gandul memakai alas piring dari daun pisang. Tampaknya ini merupakan ciri penting yang tidak boleh tidak. Sebagian penjual memakai gunting untuk memotong-motong daging maupun jeroan. Cara menggunting ini juga populer dilakukan di Kudus, misalnya ketika menyajikan nasi pindang. Para penjual nasi kari ayam di Medan pun menggunakan gunting untuk memotong-motong daging ayam. 

      Ada penjual nasi gandul yang menuang kuah di atas nasi, kemudian menggunting-gunting empal di atasnya. Tetapi, ada pula yang menggunting empalnya dan menaburkannya di atas nasi, baru kemudian dituangi kuah. Di atasnya ditaburi bawang merah goreng yang renyah.

      Mengapa disebut nasi gandul? Pertanyaan sederhana ini ternyata sulit menemukan jawabnya. Hampir tidak ada jawaban memuaskan, termasuk dari mereka yang berdagang nasi gandul. Satu-satunya jawaban yang agak masuk akal adalah karena nasi dan kuahnya "gemandul" (bergantung) di atas piring yang terlebih dulu dialasi daun pisang.

      Lauk wajib untuk nasi gandul adalah tempe goreng. Seperti terlihat di foto, tempenya adalah jenis yang dibungkus individual. Tipis, padat, dan kering. Teksturnya yang garing itu sangat padan dengan tendangan kuah nasi gandul yang mantap. Tentu saja, lauk-pauk gorengan lainnya juga cocok untuk mendampingi nasi gandul. 

      Kalau sedang di Pati, makanan berkuah nan gurih ini paling cocok disantap dengan didampingi es sirup kawista yang aromanya sangat harum.

      http://food.detik.com