Sabtu, 28 Januari 2012

Siapa Sebenarnya Suharto? (2)























Pasca Perang Dunia II, AS melihat Rusia sebagai satu-satunya pihak yang bisa menghalangi hegemoninya atas dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan sebagai upaya membendung pengaruh komunisme yang kian lama kian meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia selatan, sebuah wilayah yang sangat strategis dari sisi perdagangan dunia dan geopolitik, juga sangat kaya dengan sumber daya alam dan juga manusianya. AS sangat cemas jika wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari semua negeri di wilayah itu, Indonesia-lah negara yang paling strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab itu di wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall Plan.

Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI),  tanpa melewati proses pengadilan yang fair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.

Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”. Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan’ bagi kejayaan imperialisme Barat.

Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para ’bos’ Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern University AS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam The New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia. 

Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya.”

Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’. 

“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.” 

Masih dalam kutipan John Pilger, “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.” Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.”
“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”

Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat. 

Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Oleh Suharto, rakyat dijejali dengan propaganda pembangunan, Pancasila, dan trickle down effect terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi di lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis yang dilakukan rezim Suharto.


















Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.

Nopember 1967, Suharto mengirim tim ekonomi ini ke Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh Jenderal Suharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.

“Indonesia Baru” yang lebih pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap bekerjasama dengan AS.

Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka, demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.

Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan pembantaian  rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan  kelompok ini mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antara Emil Salim.

Jenderal Suharto membentuk ­Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting  yakni garis besar  program ekonomi rejim baru itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis.  Kebijakan  tersebut  ditulis  oleh  Widjojo  dan Sadli.”

Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di  gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun  program stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.

Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan  reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil  Ketua BPN ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964), Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen  Perindustrian ditunjuk Barli Halim (MBA Berkeley,  1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi Duta Besar di Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.

Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.

Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969,  dengan mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah  untuk mengawasi kelancaran program Ford ini.

Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga  menindas para petani yang bekerja di lapangan. 

http://yananto.wordpress.com

Siapa Sebenarnya Suharto? (1)

















Bulan November 41 tahun lalu, Jenderal Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS—sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia’—ke Swiss. Mereka hendak menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin Rockefeller.

Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs. 

Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.

Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut (!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana: angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang dari semua ini.

Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.

Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.

Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar tidak ada lagi pemikiran yang berkata, “Biar Suharto punya salah, tapi dia tetap punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar dalam membangun negara ini!”

Atau tidak ada lagi orang yang berkata, “Zaman Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita kembali ke masa Suharto…” Hanya orang-orang Suhartoislah, yang mendapat bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga sekarang, yang berani mengucapkan itu.  Atau kalau tidak, ya bisa jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan.


 














Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga petani yang menganut kejawen. Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua. Karirnya diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak lama.

Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. Saat Jepang masuk di tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA.  Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan TKR.

Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ (1979) yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX.  

Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. (lihat biografi Sultan Hamengkubuwono IX).

Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution dengan tidak hormat karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Suharto kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.

Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan prusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan. Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah agen ganda. Pada 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung, dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.

Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini. Chow bukan saja membina WNI Cina di Jawa Tengah dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan merupakan sleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006).

Nasution kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto dari AD dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain Nasution, Yani juga marah atas ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di SSKAD, yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih  Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.

Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Suharto. Pranoto, sang perwira ‘santri’, menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan pribadinya. Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.

Di SSKAD, Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam kair militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya dirinya.

Atas kejadian itu Suharto sangat marah. Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965, musuh-musuh Suharto—Nasution, Yani, dan Panjaitan—menjadi target pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD tidak masuk dalam daftar kematian.

Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf AD, namun Pranoto dijegal oleh Suharto sehingga Suhartolah yang mengambil-alih kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan perangsaudara—karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah untuk berada di belakang Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang—maka Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965.

http://yananto.wordpress.com