Kamis, 17 Mei 2012

Biografi Sunan Kudus


Sunan Kudus Lahir 9 September 1400 Masehi/ 808 Hijriyah ,Al-Quds (Palestina) Meninggal 5 Mei 1550 Masehi/ 958 Hijriyah ,Kudus Jawa Tengah (Indonesia) Sebab meninggal Meninggal dalam keadaan bersujud ketika sholat subuh Tempat tinggal Kudus Jawa Tengah 

Pekerjaan :
1. Penasehat Khalifah (Sultan Demak)
2. Panglima Perang
3. Qadhi
4. Mufti
5. Imam Besar Masjid Demak & Masjid Kudus
6. Mursyid Tarekat
7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan
8. Ketua Pasar Islam Walisongo
9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam
10. Ketua Baitulmal Walisongo

Tempat kerja : Kekhilafahan Islam Demak
Dikenal : karena Anggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul Ilmi)
Gaji : 7 Dinar Emas (1 Dinar Emas=24Karat,4.44 gram)/hari
Tinggi : 180 cm
Berat : 81 kg
Gelar : Waliyyul Ilmi
Jangka : 1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)
Pendahulu : Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) (Ayah)
Pengganti : Sayyid Amir Hasan (Anak Pertama)
Anggota dewan dari : Majelis Dakwah Walisongo
Agama : Islam Sunni
Pasangan hidup : Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang

Anak :
1. Amir Hasan
2. Panembahan Kudus
3. Nyai Ageng Pambayun
4. Amir Hamzah (Panembahan Palembang)
5. Panembahan Makaos Honggokusumo
6. Panembahan Kadhi
7. Panembahan Karimun
8. Panembahan Jaka
9. Ratu Pajaka
10. Ratu Probodinalar

Kerabat Syarifah Dewi Sujinah (adik perempuan/isteri Sunan Muria)

Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) [1] dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.(2)

JATI DIRI SUNAN KUDUS
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa

NASAB SUNAN KUDUS
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.(2)

SUNAN KUDUS DALAM BABAD TANAH JAWA
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.

“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul" (3)

“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang,yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penangsang.

Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.

Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu KaliNyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.

Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tiak ada yang dapat pergi…(4)

ASAL USUL KOTA KUDUS
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak. (5)

Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.

FAKTA MENGENAI SUNAN KUDUS
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.

Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri".

Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan umatnya. (6)

Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan."

Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara utuh ).

Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang mensucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara (7)

Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu Indentitas kultural (8).

PENDIDIKAN SUNAN KUDUS
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.

DAKWAH SUNAN KUDUS
Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.

Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.

Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim ditempatkan di halaman mesjid kala itu.

Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.

Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus dengan menyembelih sapi.

Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus
berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.

Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif. Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus (8).

KARYA SUNAN KUDUS
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

WAFATNYA SUNAN KUDUS
Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

KETURUNAN SUNAN KUDUS
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.

PRANALA LUAR
  • Sejarah Sunan Kudus dan Sunan Ngudung
  • Dongeng tentang Sunan Kudus
  • Silsilah Wali


CATATAN KAKI
  1. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 52. ISBN 9798451163.ttp://books.google.co.id/books id=j9ZOKjMxVdIC&lpg=PA78&dq=suma%20oriental&hl=id&pg=PA52#v=onepage&q=suma%20oriental&f=false. ISBN 9789798451164
  2. ^ (Indonesia) Azmatkhan, Shohibul Faroji (2011). Ensiklopedi Nasab Imam Al-Husain. Penerbit Walisongo Center. hlm. 30. ISBN 9798451999. ISBN 9789798451999
  3. ^ (Jawa) Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647|1941
  4. ^(Indonesia)http://maci27.multiply.com/journal/item/69?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem%7Ctitle=Analisis 
  5. Historis Kisah Sunan Kudus, Makalah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang,2010
  6. ^ Amaruli dan Puguh.
  7. ^ Pola Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Dikaitkan dengan Persepsi Peziarah, Tesis Magister Teknik Aritektur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, ,
  8. ^ Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
  9. ^ a b (Indonesia) Said, Nur (2010). Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter Bangsa. Penerbit : Brillian Media Utama, Bandung & Sanggar ‘Menaraku’, Kudus Cetakan : Pertama. hlm. 25. ISBN 9798451171. ISBN 9789798451171

DAFTAR PUSTAKA
  1. Amaruli, Rabith Jihan dan Dhanang Respati Puguh. 2006. Pembauran Komunitas Tionghoa Muslim di Kudus 1961-1998. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Dipoegoro: Sabda Volume 1 Nomor1.
  2. Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
  3. Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
  4. Muliadi. “Pola Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Dikaitkan dengan Persepsi Peziarah”. Tesis Magister Teknik Aritektur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
  5. Olthof, W. L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
  6. Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
  7. Said, Nur. 2009. Pendidikan Multikultural Warisan Kanjeng Sunan Kudus. Kudus: CV. Brillian Media Utama.
  8. Steenbrink, Karel A. 1988. Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
  9. Sutrisno, Budiono Hadi. 2007. Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka.
  10. Usman, Zuber. 1963. Kesusastraan Lama Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.

Sumber: http://sejarahgunungbatu.blogspot.com

Meluruskan Sejarah Raden Fatah, Sultan Demak

Meluruskan sejarah RADEN FATAH/RADEN HASAN/SAYYID ABDUL FATAH


Kenapa memang dengan Sultan Demak yang satu ini? sehingga harus diluruskan dalam penulisannya, apakah memang selama ini kajian sejarah tentang dirinya banyak yang terdistorsikan dengan banyaknya informasi yang sumir dan samar? Seperti yang dketahui bahwa memang kebanyakan informasi tentang Raden fatah ini sering kita dapati pada tulisan-tulisan dalam buku Babad Tanah Jawa yang merupakan karya sastra yang cukup mendapatkan tempat pada budaya masyarakat Jawa dan juga sejarawan-sejarawan lokal pada umumnya. Buku Babad Tanah Jawa masih dianggap sebagai "kitab sucinya" tentang "kebenaran" sejarah kerajaan Jawa pada lalu. 

Pertanyaannya sekarang kenapa dalam buku Babad Tanah Jawa ini banyak Sultan serta pembesar atau Bangsawan Demak penggambarannya banyak yang begitu buruk, dari mulai Aria Penangsang, Trenggono sampai Prawata dan lebih khusus lagi Raden Fatah ini. Babad Tanah Jawa yang merupakan karya sastra pujangga jawa masa lalu ini memang merupakan sumber utama dan rujukan dalam penulisan sejarah tentang perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa pada masa lalu. Cuma yang menjadi pertanyaannya sekarang kenapa kebanyakan tulisan-tulisan dalam buku itu banyak sekali menggambarkan buruknya karakter para bangsawan Demak pada masa itu, tidak itu saja gambaran karakter, dari garis keturunan atau nasab mereka saja banyak yang kacau. Penulisan tentang kiprah dan hubungan beberapa etnis pada masa itu seperti etnis China, Etnis arab, etnis-etnis yang lainnya dalam membangun Majapahit atau Demak saja, banyak yang mengandung kejanggalan. Dalam buku ini juga figur penting dalam Kesultanan Islam dan wali-wali tidak luput dengan sasaran cerita-cerita yang bertolak belakang dengan keluhuran dan akhlak para wali maupun bangsawan demak yang saat itu merupakan gambaran Islam yang rahmatan lilalamin, Islam pada masa Walisongo dan juga pada masa Kesultanan demak adalah gambaran Islam yang Damai. 

Yang lebih ironis lagi buku Babad Tanah Jawa ini sangat dipercayai sekali oleh beberapa sejarawan termasuk Pakar Sejarah Prof.Dr.Slamet Mulyana. Padahal beliau adalah seorang pakar sejarah UGM yang pada tahun 1960 dan 1970 an cukup disegani, namun ternyata ia masih bisa terjebak juga dengan adanya buku Babad Tanah Jawa ini. padahal buku Babad Tanah Jawa ini kebanyakan ditulis pada abad ke 18 kecuali Babad Tanah Jawa Galuh Mataram yang merupakan masanya Kesultanan Pajang, itupun juga masih disisipi cerita-cerita yang janggal, sehingga seorang penulis sejarah yang cukup akrab ditelinga pengkaji sejarah Kesultanan Islam Di Jawa yaitu De Graff, sampai tidak percaya dengan isi buku Babad Tanah Jawa episode Galuh mataram ini. Sedangkan buku Babad Tanah Jawa yang ditulis pada sekitar abad 18 notabenenya adalah berada pada masa jayanya fihak kolonialis penjajah, jadi ada kemungkinan bahwa tulisan-tulisan itu banyak diperngaruhi dan boleh jadi terjadi konspirasi penghapusan peran para walisongo dan Pembesar Demak dalam membangun Nusantara ini.

Ini mengingatkan saya pada BUKU ENSIKLOPEDI ISLAM karya Van Hoeve yang diterbitkan tahun 1995 tidak menyebutkan kiprah walisongo dalam membangun negara ini. Tokoh Islam yang mereka sebut justru kebanyakan baru disebut pada abad 18 Masehi. Aneh berarti 3 abad sebelumnya kesultanan Islam termasuk Demak dan Juga para walisongo tidak ada sama sekali .....aneh? Berarti siapakah yang menyebarkan agama Islam pada masa itu...hantu belaukah? atau jangan-jangan mahluk asing yang datang dari planet antah berantah, sehingga sampai-sampai penulis buku tersebut tidak mencantumkan nama-nama Ulama walisongo dan juga tokoh bangsawan Demak atau bangsawan Kesultanan Nusantara lainnya dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang luhur dan islam Yang kultural...

Adapun kenapa nama Raden Fatah sering sekali mendapat gambaran yang "aneh" baik dari sejarahnya, karakternya, nasabnya, ini menjadi tanda tanya besar buat saya. Raden Fatah yang merupakan tokoh kunci berdirinya kesultanan Demak dibuat seolah-olah menjadi gelap gulita. Misalnya ia dituduh sebagai anak yang durhaka dan tidak tahu diri , karena telah meruntuhkan Kerajaan Majapahit dengan serangan dari pasukannya. Padahal kalau kita mau teliti, Majapahit tanpa diserangpun memang sudah "habis". Kenapa demikian, karena semenjak wafatnya Gajah Mada, kerajaan Majapahit itu telah mengalami kemunduran yang hebat. sesama bangsawan saling bertikai dan sibuk dengan wilayah kadipatennya sendiri-sendiri. Sebenarnya kalau Raden Fatah mau ia bisa saja menyerang Majapahit yang telah diambang keruntuhannya, namun itu tidak ia lakukan demi untuk menghormati orang yang pernah berjasa membesarkan dirinya dalam Keraton Majapahit yaitu Brawijaya 5 (bahkan yang benar sebenarnya adalah Bre Kertabhumi)

Selama hidupnya justru Raden Fatah ini tidak pernah menyerang Majapahit era Brawijaya 5. Kalau mengembangkan daerah Demak iya, namun bila menyerang Majapahit, belum pernah beliau lakukan. Raden fatah adalah orang yangi kacang tidak lupa kulit. Padahal dengan pertikaian antar bangsawan majapahit itu tanpa disadari oleh mereka, banyak daerah-daerah yang melepaskan diri dan menyatakan merdeka dari Majapahit, dan itu sebenarnya merupakan kesempatan emas untuk mendirikan Demak. Majapahit pada era Raden Fatah tinggal menunggu waktu saja untuk berdiri menjadi sebuah kesultanan. Majapahit tidaklah sehebat era Gajah Mada, Hayam Wuruk maupun Raden Wijaya, Majapahit telah kehilangan ruhnya sebagai negara Adikuasa di Asia tenggara. Tapi kenapa tiba-tiba ada tuduhan Raden fatah menghancurkan Majapahit ? karena banyak orang yang tidak mengerti bahwa yang diserang oleh Raden Fatah adalah bukan Brawijaya 5 (Bre Kertabhumi) tapi Brawijaya 6 atau Dyah Ranawiyaya yang berhasil menumbangkan Brawijaya 5 yang kondisinya saat itu sakit-sakitan bahkan mengalami kelumpuhan. Dyah Ranawijaya ini berhasil memasuki ibukota Majapahit yang saat itu diperkirakan berada di Mojokerto. Dyah Ranawijaya ini akhirnya mengklaim bahwa dirinya adalah Brawijaya yang sesungguhnya (Brawijaya 6) dan kemenangan ini ia memindahkan ibukota Majapahit ke wilayah Daha dengan membawa pusaka-pusaka penting Majapahit. Adapun tentang Brawijaya 5 (Bre Kertabumi) sendiri tidak diperoleh kabar bagaimana nasibnya, ada yang mengatakan ia lari kearah Timur Jawa, ada yang mengatakan ia masuk kedalam hutan, bahkan ada yang mengatakan Moksa (hilang secara gaib). Nah setelah kemenangan dari Dyah Ranajaya inilah akhirnya Raden Fatah mulai mempersiapkan pasukan Demak untuk melawan Majapahit era Dyah Ranajaya ini. Yang perlu ditegaskan disini adalah perang ini adalah tidak semata-mata untuk meneruskan hegemoni Majapahit, perang ini adalah semata-mata untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah Dyah Ranajaya yang telah berhasil menggulingkan Brawijaya 5. 

Jadi perang Raden Fatah dengan Dyah Ranajaya adalah perang DAHA dengan DEMAK. dan ini hanya tinggal menunggu waktu berdirinya Kesultanan Demak Saja. Jadi niat Raden fatah berperang dengan Dyah Ranajaya ini, disamping untuk menyelamatkan harkat Majapahit versi Brawijaya 5 atau Bre Kertabumi , ia juga berusaha merebut kembali pusaka-pusaka yang telah dirampas oleh Dyah Ranajaya ini, ingat peran pusaka kerajaan itu pada masa itu keberadaannya sangat penting, berhasil merebut pusaka, berarti kekuasaan yang tidak memiliki pusaka, tidak mempunyai legitimasi yang kuat. Adapun tentang perkembangan Islam, saat itu Demak sudah terkenal dan sangat maju, jadi tanpa menyerang Majapahitpun Demak sudah sangat kuat. Dan Selama Brawijaya 5 masih hidup tidak pernah satu kalipun Raden fatah menyerang Majapahit era Brawijaya 5. jadi yang dihadapi oleh Raden Fatah itu adalah Dyah Ranajaya yang oleh banyak sejarawan adalan menantu dari Bre Kertabumi sendiri, jadi Raden fatah ini sebenarnya berhadapan dengan iparnya sendiri yang telah berkhianat kepada mertuanya. Jadi siapa sesungguhnya yang durhaka?? dyah ranajaya atau Raden fatah? perang antara Daha (majapahit bentukan Dyah Ranajaya) akhirnya dimenangkan oleh Raden Fatah. Dan memang akhirnya setelah berapa kali berperang akhirnya Raden Fatah berhasil mengalahkan Dyah Ranajaya ini dengan telak. 

Sedangkan orang-orang yang masih berfihak pada Dyah Ranajaya ini terutama yang tidak senang dengan fihak DEMAK akhirnya banyak yang melarikan ke Bali. Namun dengan jiwa besarnya Raden Fatah tidak mengejar mereka ini. Mereka bahkan dibiarkan hidup dengan tenang, padahal kalau saja Raden Fatah mau, ia bisa saja mengadakan perburuan dan penumpasan kepada para pengikut dyah ranajaya ini, apalagi wilayah kekuasaan beliau ini cukup besar, namun tindakan perburuan dan penumpasan itu tidak dilakukan Raden Fatah kepada pengikut dyah ranajaya atau penganut hindu yang lain, sehingga sampai saat ini kita bisa mendengar dan mengetahui bahwa kehidupan masyarakat Hnidu Bali masih tetap eksis. Raden Fatah juga memperlakukan masyarakat Hindu dengan baik. Contoh banyak orang Hindu yang berada di Kudus tidak beliau paksa untuk masuk Islam bahkan melalui Sunan Kudus masyarakat Hindu di Kudus sangat dijaga perasaannya. Blambangan yang saat itu masyarakat Hindunya masih kuat bahkan tidak beliau paksa untuk ikut agama Islam. Suku tengger yang ada di Pegunungan semeru, tidak beliau ganggu. 

Raden Fatah telah menunjukkan bagaimana toleransi beragama yang baik, jadi salah besar jika ada yang mengatakan bahwa Raden Fatah adalah orang yang memaksakan agama Islam pada pemeluk yang lain. Peperangan yang dilakukan dengan Dyah Ranajaya adalah untuk memberi pelajaran kepada Dyah Ranajaya bagaimana seharusnya bersikap kepada mertuanya (bree kertabumi). Memang moment ini juga merupakan kesempatan Raden Fatah untuk sekaligus memperkenalkan Islam atau juga mendirikan Kesultanan Islam, dan ini adalah sebuah hal yang wajar dalam dunia politik dan militer bahwa pemenang memiliki hak untuk menentukan sistem atau aliran atau ajaran yang dimilikinya kepada rakyat yang ditundukkannya. Namun walaupun raden Fatah ini menang melawan dyah ranajaya, Raden Fatah tetap bersikap arif, beliau tidak hantam kromo kepada orang lain untuk mengikuti agama Islam. karena beliau tahu Islam melarang keras ajarannya dipaksakan kepada orang lain. Islam pada masa beliau dan walisongo adalah betul-betul Islam yang rahmatan lilalamin..Islam pada masa itu adalah Islam yang indah, tidak seperti sekarang ini Islam digambarkan seolah-olah dengan perumpamaan "mulut tajam, mata merah, tangan terkepal, dan senjata tajam yang menari kesana-kemari". 

Raden Fatah sangat menyadari bahwa kultur masyarakat Jawa itu berbeda dengan wilayah lain, sehingga penyebaran agama Islam melalui kesultanannya lebih banyak dengan mengadakan akulturasi budaya, dengan melalui tangan para walisongo..Perlu diketahui bahwa dengan runtuhnya Majapahit era Dyah Ranajaya, ternyata agama Hindu itu tidak serta merta hilang, masih banyak masyarakat yang bertahan dengan agama ini, terutama mereka yang sudah terbiasa hidup dengan cara kasta, namun demikian Raden Fatah tidak pernah melakukan pemaksaan kepada mereka ini. Mereka dibiarkan hidup didaerah-daerah terpencil..itulah indahnya Islam pada masa Raden Fatah dan Walisongo. Sampai saat ini saya yakin kalau karena bukan kebijakan Raden Fatah, Islam mungkin sulit diterima di Bumi Nusantara. Raden Fatah bisa bersikap seperti itu, karena dia adalah murid langsung dari para Walisongo, sehingga keluhuran budi pekertinya karena didikan dari para walisongo. Sehingga sampai saat ini Islam yang ada Di Indonesia adalah Islam yang damai dan penuh warna. Jadi kalau ada orang yang menulis buku yang berjudul ENSIKLOPEDI ISLAM DI INDONESIA, tidak memasuki nama RADEN FATAH dan juga walisongo dalam daftar tokoh-tokoh yang berjasa dalam perkembangan Islam berarti orang itu tidak pernah belajar sejarah Islam di Nusantara. 

Alangkah anehnya ketika orang tersebut membuat buku yang cukup tebal tentang ENSIKLOPEDI ISLAM DI INDONESIA, nama Raden Fatah dan walisongo tidak berbekas, padahal pengaruh Raden Fatah dan Juga walisongo itu hampir merata seluruh Nusantara. Sunan Giri itu muridnya hampir seluruh wilayah Nusantara. Jadi bagaimana mungkin tidak masuk daftar tokoh dan penyebar Islam. si penulis bahkan menulis tokoh Islam mulai dari abad 18 dan anehnya tokoh-tokoh yang dimasukkan adalah ada beberapa tokoh keras dan penyebab perang. Aneh bin ajaib...ia menghilangkan 3 atau 4 abad terutama mengenai tokoh-tokoh Islam...berarti yang menyebarkan dan berjasa dalam perluasan Islam itu siapa? Hantu belaukah?? atau mahluk asing dari planet Marskah? atau pasukan siluman? aneh bin ajaib, buku ENSIKLOPEDI tapi rasanya ini bukan ENSIKLOPEDI. Penulis sejati itu adalah berani menulis dengan jujur dan berani memberi fakta. Jadi kesimpulannya tokoh Raden Fatah dan juga walisongo tidaklah seperti yang dituliskan dan dibayangkan dengan gambaran yang buruk pada karakternya, terlalu aneh jika perilaku mereka seperti itu, bayangkan saat mereka mengajarkan kedamaian apa iya mereka juga mengajarkan kekerasan? rasanya tidak mungkin..!! yang ada mungkin ini hanyalah manipulasi data yang dilakukan oleh fihak kolonial belanda, agar tokoh-tokoh Islam digambarkan seperti manusia berwatak dan berhati Jahat. Ingat, sekali saya ingin tekankan bahwa kalau ada cerita yang mengatakan bahwa Raden Fatah dan walisongo karakternya buruk, tolong lihat siapa yang menulis itu, tolong lihat kapan buku itu ditulis, tolong lihat bagaimana fakta yang sesungguhnya, lihat juga data pembanding yang datanya banyak pula yang membantah kalau Raden Fatah dan juga walisongo tidak seburuk yang diduga oknum-oknum yang berlindung dibalik karya sastra.

Bagaimana dengan nasabnya Raden Fatah? Siapa sebenarnya Orangtua dari Raden Fatah ini. Nah pertanyaan ini memang agak mendebarkan dan juga agak sensitif memang, karena sampai saat ini masih banyak fihak terutama sejarawan dan juga masyarakat pada umumnya meyakini bahwa Raden Fatah adalah anak kandung dari Bre Kertabumi (Brawijaya 5). Yang lebih kejam lagi bahkan ada seorang penulis sejarah Kaum Alawiyin yang tulisannya dikutif oleh HMH Alhamid Alhusaini dalam bukunya yang berjudul RISALAH KHILAFIAH mengatakan bahwa Raden Fatah adalah anak haram dari Prabu Brawijaya 5 dengan salah satu gundiknya yang berasal dari Champa, demi untuk menutupi malu, gundik tersebut diserahkan kepada Ario Damar untuk dinikahi. Gundik itu telah hamil karena hubungan terlarang dengan Brawijaya 5. 

Dan setelah lahir baru dinikahi oleh Aria Damar, dan anak yang lahir itu adalah RADEN FATAH!!! berarti Raden Fatah adalah anak haram!! (sebuah cerita dan tuduhan yang kejam untuk seorang Sultan Islam yang terkenal alim!!). Memangnya para wali bodoh untuk mengangkat seorang Sultan. untuk menjadi seorang pemimpin atau sultan semua aspek kepribadiannya akan diteliti dengan mendalam, dari mulai asal muasalnya, perilakunya, keluarganya sampai nasabnya!!. Anehnya kalau Raden Fatah anak haram mengapa pula Sunan Ampel rela mengawinkan anaknya dengan RADEN FATAH, padahal seorang ulama dalam memilih jodoh untuk anaknya tidak sembarangan, dan kenapa pula anaknya Raden Fatah banyak menikah dengan anaknya para walisongo yang merupakan banyak keturunan Zuriat Rasulullah SAW, bukankah ia berasal dari turunan anak haram?. Kasus seperti raden Fatah ini mengingatkan saya akan kasus Soeharto yang dituduh sebagai anak haram dari seorang cukong dari etnis tertentu hanya karena Soeharto dekat dengan cukong dari etnis tersebut. Padahal nasab yang dimiliki Soeharto tidak seperti apa yang dituduhkan orang kepadanya (saya tidak pro kepada soeharto, karena saya juga dulu ikut berjuang melawan dirinya di tahun 1998), namun karena ini masalah nasab, ya harus jelas dan terang benderang..

Untuk menguatkan nasab Raden fatah yang katanya berasal dari Brawijaya 5 bahkan dalam sebuah diagram silsilah raja-raja Jawa yang dibuat oleh Abdurohim Abu Jahri atau anak juru kunci Ki ageng Selo, Tawangharjo, Purwodadi, Grobogan Raden Fatah masuk sebagai sebagai anak kandung Bre Kertabumi. Harus diakui bahwa sampai sekarang Raden Fatah dianggap memang sebagai anak kandung Bre Kertabumi. Inilah yang sering diangkat banyak penulis bahwa Raden Fatah adalah anak yang membangkang dan durhaka? pada orangtuanya sendiri, karena menyerang Majapahit, padahal seperti yang sudah dijelaskan bahwa yang diserang oleh Raden Fatah adalah Dyah Ranajaya atau ada juga yang menyebut GIRINDRAWARDHANA, bukan Bhre Kertabumi, karena Bhree Kertabumi itu sudah keluar dari Ibukota Majapahit pada saat Dyah Ranajaya masuk ke Ibukota Majapahit yang berada di Mojokerto itu..masalah nasab atau silsilah ini kita harus hati-hati. Tidak bisa kita mengatakan bahwa Raden Fatah ini anak dari si anu atau Si anu, karena masalah Nasab adalah bukan masalah main-main..masalah nasab bukanlah dilatarbelakangi karena dia Islam atau Hindu, masalah masalah seperti ini juga bukan karena Raden fatah seorang Majapahit atau Demak, tapi masalah Nasab atau masalah darah atau garis keturunan!!. Dalam Islam tidak boleh kita sembarangan mengatakan nasab seseorang itu palsu atau meragukan. Yang bisa menjawab semua itu adalah ahli nasab yang jumlahnya didunia ini tidak diketahui. 

Masalah nasab dari Raden Fatah ini memang sering membuat saya berfikir keras, apakah benar beliau ini anak kandung dari Bree Kertabumi atau brawijya 5 itu? Karena setahu saya zuriat Kesultanan Palembang yang merupakan keturunan dari Raden Fatah mengatakan bahwa ayah dari Raden Fatah ini adalah Raja Champa yang bernama Abdullah Umdatuddin. Rasanya ini bukan hal yang main-main..ingat menisbatkan sebuah nasab itu pasti ada dasarnya..begitu juga Zuriat Kesultanan Palembang. Keturunan Zuriat Palembang itu nasabnya bahkan diakui oleh beberapa ulama ahli nasab pada masa lalu. Catatan nasab mereka bahkan pernah ditemukan oleh seorang ulama yaitu Sayyid Ali bin Jakfar Assegaf yang merupakan kakek dari Habib Hasan bin Jakfar Assegaf pemimpin majelis Nurul Mustofa. Jadi bila melihat catatan nasab mereka bahwa Raden Fatah adalah anak dari Raja Champa yaitu Abdullah Umdatuddin, berarti pendapat yang mengatakan bahwa Raden Fatah anak Bree Kertabumi wajib dipertanyakan, disamping data dari zuriat Palembamg, beberapa ulama keturunan Raden Fatah yang berada di daerah Jawa Timur dalam catatan nasabnya ternyata menunjukkan bahwa ayah Raden Fatah adalah memang Abdullah Umdatuddin, Cerita rakyat dari Lampung yang pernah diutarakan oleh Sahabat Arya Purbaya, mengatakan bahwa ayah dari Raden Fatah adalah berasal dari etnis dari Mekkah Melayu yaitu yang bernama Syarif Abdullah. 

Raja Abdullah sendiri adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Champa di Kamboja yang juga merupakan orang yang disegani oleh Bre Kertabumi itu..Mereka ini bahkan saling bersahabat. Walaupun usia Raja Champa Abdullah Umdatuddin jauh lebih tua dari Bree Kertabumi, namun itu tidak menjadi halangan mereka untuk bersahabat.. sekali lagi saya ingin menegaskan ini bukan masalah personal seorang Brawijaya atau Raden Fatah, Islam atau hindu, Majapahit atau Demak, dan satu lagi yang paling penting ini bukan masalah untuk menguatkan apakah Raden Fatah dari keturunan bangsawan dari keturunan Jawa, China, atau berasal dari Arab, tidak !! sama sekali bukan.., tapi ini adalah masalah darah keturunan atau Nasab. Seperti yang memang diutarakan dalam beberapa tulisan sejarah, bahwa Raden Fatah seringkali diidentikkan dengan garis keturunan Bangsawan Jawa dari Majapahit bahkan dikaitkan dengan keturunan China. Ini juga suatu info yang harus kita luruskan, tapi siapapun nenek moyang kita, bila kita ada darah hubungan dengan mereka ya harus kita akui, terlepas apakah dia jelek atau rekam jejaknya tidak baik, tetap saja kita tidak boleh mengingkari garis keturunan dari orang tersebut..Nah untuk masalah garis keturunan Raden Fatah ini kita harus lebih teliti betul-betul , kenapa banyak sekali tulisan mengatakan bahwa ayah Raden Fatah itu adalah Brawijaya 5 atau Bree Kertabumi itu?.

Dari beberapa catatan sejarah yang pernah saya baca dan diskusi saya dengan beberapa orang, bahwa ternyata Bree Kertabumi memang pernah menikah dengan mantan istri dari Raja Champa yaitu Abdullah Umdatuddin. Kenapa beliau bisa menikah dengan mantan istri Raja Champa itu, tidak lain dan tidak bukan adalah karena adanya hubungan persahabatan antara dirnya dengan Raja Champa ini.. Tapi bagaimana dengan agama Bree Kertabumi? bagaimana dengan mantan istri Abdullah Umdatuddin itu? bukankah Bree Kertabumi diyakini banyak orang beragama Hindu? ini mungkin orang yang tidak jeli. Pada saat Bree Kertabumi menikah dengan mantan Istri Abdullah Umdatuddin ini, sudah tentu agama yang dianut oleh Bree ini sudah Islam, masalahnya mungkin ia tidak mengumumkan kepada rakyat banyak, karena ia dianggap adalah perwujudan dari Dewa. Mantan Istri Raja Champa sendiri, rasanya tidak mungkin mau menikah dengan orang seperti Bree Kertabumi ini bila raja Majapahit itu tidak masuk Islam, karena pada kenyataannya ia juga memiliki kemampuan agama yang baik. Pernikahannya dengan Bree Kertabumi ini semata-mata untuk menyebarkan agama Islam lewat jalur pernikahan. Karena begitu Raja Majapahit itu masuk Islam, maka otomatis semua rakyat Majapahit akan masuk Islam..Permasalahannya sekarang, bagaimana dengan posisi Raden Fatah? apakah ia masih dalam kandungan atau sudah lahir. Posisi Raden Fatah saya berkeyakinan dengan mantap bahwa Raden Fatah telah lahir saat ibunya menikah dengan Bree Kertabumi. Karena saat ibu Raden Fatah ini bercerai dengan Raja Champa yaitu Abdullah Umdatuddin itu, kemungkinan besar beliau itu sudah punya anak yang masih merah dan sudah melewati masa iddah. Lagipula usia Raja champa itu sudah sangat tua sedangkan ibu Raden Fatah itu masih sangat muda. Jadi ketika ibu Raden Fatah ini menikah sudah pasti ibunya itu sudah melewati masa iddah dan sudah tentu sudah melahirkan anak. Sangat aneh sekali bila ada cerita Raja Champa memberikan istrinya kepada raja Majapahit dalam kondisi hamil!!! mana ada syariat Islam seperti itu, apalagi saat itu peran walisongo angkatan pertama sudah mulai ada...sudah tentu saat Ibu Raden Fatah menuju Majapahit, ibunya ini sudah membawa bayi yang bernama Raden Fatah. Dan karena Raja Champa Abdullah Umdatuddin itu bersahabat dengan Raja Majapahit, sudah tentu dan pasti ia menitipkan anaknya Raden Fatah kepada raja Majapahit itu untuk dirawat seperti anak kandungnya sendiri. Ini nanti yang mungkin banyak mengecoh para sejarawan yang menganggap bahwa Raden Fatah anak Bree Kertabumi. Setelah menikah dengan Bree Kertabumi, ibu Raden Fatah ini mengajarkan agama Islam kepada Bree Kertabumi, namun sayang karena Bree Kertabumi juga sakit-sakitan maka Bree Kertabumi ini menceraikan istrinya yang dari Champa ini. Bree menceraikan Istrinya karena kasihan, beliau takut istrinya ini tidak terurus, sama persis dengan kekhawatiran dari Raja Champa kepada mantan istrinya ini..Maka demi masa depan dari istrinya Bree Kertabumi ini, maka beliau menceraikan kembali istrinya itu..dan diserahkan untuk dinikahi dan diurus oleh Aria Damar yang merupakan bawahannya di kerajaan Majapahit. Jadi ibu Raden fatah ini telah mengalami janda 2 kali karena yang satu usianya sudah tua dan juga sudah mendekati akhir hidupnya, sedangkan yang satu sakit-sakitan (lumpuh). Yang juga harus diluruskan bahwa ibu Raden Fatah ini pada saat diserahkan ke Arya Damar beliau dalam kondisi tidak hamil, beliau dalam kondisi suci dan bersih! sekali lagi ini wajib diluruskan, mana ada perempuan muslimah dicerai dalam kondisi hamil bahkan diserahkan kepada orang lain. Saya tidak yakin bila Bree Kertabumi melakukan itu, ingat Bree tu juga mendapat ajaran Islam dari istrinya itu, jadi rasanya sangat aneh bila Bree menyerahkan istrinya bila tidak dalam keadaan terpaksa, lagipula Ibu Raden Fatah adalah seorang muslim yang taat dan faham dengan hukum-hukum Islam. Mana mau beliau ke Palembang bila tidak ada alasan yang kuat. Menurut saya alasan yang paling masuk logika adalah kepergian ibu Raden Fatah ke Palembang adalah untuk masa depan anaknya Raden Fatah. karena Palembang saat itu kondisinya lebih kondusif dan lebih terbuka dalam penyebaran agama Islam. Kedatangan ibu Raden Fatah ke tanah Palembang bukan semata-mata hanya untuk dinikahi saja, tapi ada kepentingan yang jauh lebih penting, yaitu mempersiapkan dan mendidik anaknya untuk menjadi orang besar kelak dikemudian hari. Mungkin akan ada banyak pertanyaan, kok gampang betul pejabat kerajaan dulu memberikan istri kepada orang lain? kok begitu murahnya wanita sampai dioper kesana-kemari. Tenang.....sabar dulu..yang pertama jangan samakan logika kita dengan logika pada masa lalu, sistem kerajaan kita pada masa itu dalam hal seperti ini sudah lumrah dan biasa..hadiah seorang wanita kepada raja atau kerabat kerajaan itu adalah hal yang biasa..tujuannya apa? ya untuk mengikat tali kekerabatan antar kerajaan? terhinakah wanita itu? tergantung! kalau mereka dinikahi dengan cara yang halal dan terhormat sudah tentu derajat mereka malah akan naik, namun bila mereka tidak dinikahi bahkan hanya cuma sebagai simpanan, itu menjadikan status mereka menjadi rendah. Nah untuk kasus ibu Raden Fatah, beliau dinikahi dalam kondisi terhormat dan terjaga derajat kewanitaanya. Bree Brawijaya memperlakukan istrinya dengan baik, kekhawatiran dia terhadap istrinya ini sangat wajar, karena kondisinya sudah sakit-sakitan dan Majapahit kondisinya sudah sangat lemah, ia sangat mengkawatirkan kondisi istrinya ini, apalagi istrinya ini masih muda, maka untuk kebaikan dan masa depan istrinya ini, maka Bree dengan berat hati menceraikan istrinya tersebut untuk kemudian diserahkan kepada Aria Damar yang merupakan walikota Palembang yang merupakan kerabat dan bawahan Dari Bree Kertabumi ini..sudah tentu disamping Aria Damar diamanahkan untuk memperistri mantan istrinya itu, Bree Kertabumi sudah pasti berpesan kepada Aria Damar untuk mendidik dan menjaga Raden Fatah seperti anaknya sendiri. Dan memang akhirnya Raden fatah ini dididik secara langsung oleh Aria Damar dengan penuh kasih sayang, sehingga seolah-olah bahwa Raden Fatah ini adalah anak kandungnya. Perkawinan antara mantan Istri Bree Kertabumi yang berasal dari Champa ini melahirkan Raden Husein..Akhirnya seperti yang sudah diketahui Raden Fatah ini dibesarkan di Palembang dibawah bimbingan langsung ayah tirinya Aria Damar yang juga merupakan bangsawan Majapahit yang telah memeluk Islam dan berhasil memerintah Palembang dengan baik dengan idiologi Islam yang baru dianutnya. Di Palembang sendiri ayah dari Raden Husein ini lebih terkenal dengan nama Aria Dillah atau Aria Abdullah. Raden Fatah akhirnya mengalami masa remajanya di daerah Palembang yang merupakan salah satu ibukota Sriwijaya pada masa lampau. Ibu dari Raden Fatah sendiri bernama Syarifah Zaenab binti Ibrahim Zaenudin Al Akbar Asmorokondi yang juga merupakan paman dari Sultan Abdullah Umdatuddin. Berarti ayah danj ibu dari Raden fatah adalah sepupuan, hanya sang suami berusia 91 tahun sedangkan sang istri berusia 19 tahun. Dari Champa setelah raden fatah lahir mereka berangkat menuju ke majapahit diiringi oleh beberapa walisongo dan juga beberapa pengikut atau pasukan dari kerajaan Champa itu sampai tiba dengan selamat di Majapahit..

Pertanyaan selanjutnya tentang kajian Raden fatah ini adalah, apakah Raden Fatah ini punya keturunan? atau tidak punya keturunan dari jalur laki-laki? kalau dari data yang saya lihat pada beberapa nasab zuriat kesultanan Palembang, dengan tegas mereka mengatakan bahwa Raden Fatah punya keturunan dari jalur Laki-laki!!..Beberapa ulama di Jawa Timur dan juga Madura bahkan catatan nasabnya bersambung dengan Raden Fatah. Ilmu nasab sangat ketat sekali, jangan coba-coba kita memalsu nasab, pasti akan ketahuan, bahkan begitu ketatnya ilmu nasab ini, sehingga jalur perempuan itu tidak bisa masuk menjadi penyambung nasab, jadi dengan pernyataan ini saja sudah menjelaskan bahwa Raden Fatah memang mempunyai anak laki-laki. 

Beberapa teman diskusi saya juga yang pernah mempelajari tentang nasab Raden Fatah ini mengatakan dengan tegas bahwa Raden Fatah memang punya anak laki-laki yang nanti meneruskan garis nasabnya. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Raden Fatah tidak punya anak laki-laki, ini buat saya ini jadi pertanyaan besar, karena begini. Secara logika saja, bukankah Raden Fatah itu khan seorang sultan? Seorang Sultan pasti berharap orang yang nantinya menggantikan dirinya tentu harus dari jalur keturunannya yang laki-laki karena bentuk kepemerintahannya adalah Islam..Kalau dia tidak mendapat anak laki-laki, saya yakin beliau akan berusaha terus untuk mendapatkan anak laki-laki dengan jalan mungkin mengambil istri lagi..Ingat beliau seorang Sultan Islam yang penggantinya mutlak harus laki-laki, bukan perempuan..dan memang dalam catatan sejarah istri Raden Fatah tidak satu, Pangeran Sekar Seda Lepan adalah anak laki-laki dari istri ke 3. Kalau ada yang mengatakan bahwa anak-anak Raden Fatah adalah anak Raden Husein..sebaiknya coba dilihat catatan-catatan nasab para ulama dan zuriat Palembang serta Zuriat kesultanan Demak lainnya, secara umum catatan nasabnya sama, bahwa Raden Fatah punya anak laki-laki sebagai penyambung nasab, masak iya orang-orang terdahulu mau memalsukan nasab, ingat lho..keturunan Raden Fatah itu banyak yang merupakan ulama besar dan ada juga yang mengerti ilmu nasab, jadi sangat tidak mungkin mereka memalsukan nasabnya..Saya tidak tahu apa alasan orang yang mengatakan bahwa anak-anak Raden Fatah adalah anak-anak Raden Husein (adik tirinya). 

Tanda tanya saya terbesar adalah kenapa ada orang yang begitu ngotot mengatakan bahwa Raden Fatah tidak punya anak laki-laki sebagai penerus Kesultanan Demak dan penerus garis nasab. Ada apa ini? Terus terang saya sangat merinding kita ada orang berani mengatakan bahwa Raden Fatah tidak punya anak laki-laki, sedangkan bukti nasab beberapa keturunannya membuktikan bahwa Raden Fatah ternyata memiliki anak laki-laki. Yaitu Pangeran Sekar Seda Lepan, Sultan Trenggono dan anak-anak dari istri lain dari Raden Fatah seperti Raden Kanduruhan. Namun saya juga tidak mau menghakimi mereka, karena mungkin ketika mereka bicara seperti itu mereka mungkin punya pegangan, namun sekali lagi saya ingatkan secara mayoritas banyak fihak mengatakan mengatakan bahwa Raden Fatah mutlak punya anak laki-laki. 

Namun supaya kita tidak banyak berdebat ada baiknya orang yang mengatakan bahwa Raden Fatah tidak punya anak laki-laki coba lihat silsilah zuriat kesultanan Palembang dan juga zuriat kesultanan demak atau juga silsilah para Kyai yang ada dimadura maupun di Jawa timur, kalau mereka tidak keberatan silahkan anda cek, namun setahu saya para ulama itu adalah orang yang tidak mau mengeluarkan nasabnya kepada orang banyak, karena rasa tawadhu dan kekhawatiran mereka untuk menjadi sombong...Sekali lagi ini bukan masalah siapa orangnya..ini masalah nasab, tidak boleh kita mengatakan kalaiu si anu tidak punya anak, bukan nasabnya, dan terkaan yang lain-lain..sebaiknya hal ini kita serahkan pada ahli nasab, dan bukan di forum ini untuk menjawab itu..karena forum ini hanya untuk memberikan adanya beberapa informasi yang mungkin bisa mencerahkan kita...

Raden Fatah memang sosok yang begitu sering menjadi sasaran tembak para sejarawan dan pengkaji sejarah yang tidak arif, terutama mereka-mereka yang hidup pada kolonialis penjajah antara kurun waktu tahun 1500 an s/d 1945. Tidak hanya Raden Fatah yang jadi target atau sasaran tembak, semua yang berkaitan dengan dirinya baik Kesultanan Demak, keturunannya, walisongo serta fihak-fihak yang berjasa dengan Islam semua "dihajar habis-habisan" dalam beberapa penulisan, seperti yang tertera pada buku Babad Tanah Jawa, Darmagandul dan dalam buku yang lainpun seperti yang pernah dilakukan para Sejarawan Belanda, nama dan karakter mereka ada yang ditulis dengan dengan cara-cara yang aneh terutama ketika bicara karakter atau ahlak. Tidak banyak yang menyadari bahwa Selama ini sejarah kita ini telah dirusak dan dikaburkan oleh para penjajah ini..Raden Fatah yang merupakan sosok penting dalam penyebaran Islam, Raden Fatah yang merupakan sultan yang bijaksana dan alim, digambarkan seolah-olah sebagai pemimpin yang buruk...dan anehnya banyak orang dan masyarakat percaya dengan cerita tersebut. Dan anehnya dengan begitu percaya dirinya mengatakan bahwa Raden Fatah dan Walisongo tidak mempunyai andil apa-apa dalam membangun negara yang besar ini.

Semoga tulisan ini membuat kita tercerahkan.

Sumber: http://sejarahgunungbatu.blogspot.com

Periodesasi Walisongo



Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.


Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo

Masjid Agung Demak, Pusat Pemerintahan Walisongo

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah Majelis Dakwah yang pertama kali didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) pada tahun 1404 M/808 H. Saat itu Majelis Dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik); Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang); Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi,); Maulana Muhammad Al-Maghrabi Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (Raja Champa Pertama; Maulana Muhammad Ali Akbar; Maulana Hasanuddin;Maulana 'Aliyuddin dan Syekh Subakir.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama-nama Walisongo Menurut Periode Waktunya

Menurut Catatan dari Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar dan As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini, disebutkan bahwa:

Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 – 1435 M. Terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, [wafat 1419 M]
2. Maulana Ishaq,
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Maulana Malik Isra'il,[wafat 1435 M]
6. Maulana Muhammad Ali Akbar,[wafat 1435 M]
7. Maulana Hasanuddin,
8. Maulana 'Aliyuddin,
9. Syekh Subakir, atau Syaikh Muhammad Al-Baqir

Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1435 - 1463 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel, [tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim]
2. Maulana Ishaq, [wafat 1463]
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus, [tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il]
6. Sunan Gunung Jati, [tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar]
7. Maulana Hasanuddin, [wafat 1462 M]
8. Maulana 'Aliyuddin, [wafat 1462 M]
9. Syekh Subakir, [wafat 1463 M]

Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 - 1466 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel,
2. Sunan Giri, [tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq]
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, [w.1465 M]
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, [w.1465 M]
5. Sunan Kudus, 6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang, [tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin]
8. Sunan Derajat, [tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin]
9. Sunan Kalijaga, [tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir]

Wali Songo Angkatan ke-4, 1466 - 1513 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel, [w.1481]
2. Sunan Giri, [w.1505]
3. Raden Fattah, [pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra]
4. Fathullah Khan [Falatehan], [pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi]
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang,
8. Sunan Derajat,
9. Sunan Kalijaga, [wafat tahun 1513]

Wali Songo Angkatan ke-5, [1513 - 1533 M], terdiri dari
1. Syaikh Siti Jenar, wafat tahun 1517] [tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel]
2. Raden Faqih Sunan Ampel II [ Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri]
3. Raden Fattah, [wafat tahun 1518]
4. Fathullah Khan [Falatehan],
5. Sunan Kudus, [wafat 1550]
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang, [w.1525 M]
8. Sunan Derajat, [w. 1533 M]
9. Sunan Muria, [tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga]

Wali Songo Angkatan ke-6, [1533 - 1546 M], terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Qahhar [Sunan Sedayu], [Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar]
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak [Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih Sunan Ampel II)
3. Sultan Trenggana [tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah]
4. Fathullah Khan [Falatehan], [wafat tahun 1573]
5. Sayyid Amir Hasan, [tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus]
6. Sunan Gunung Jati, [w.1569]
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan, [Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang]
8. Sunan Pakuan, [Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat]
9. Sunan Muria, [w. 1551]

Wali Songo Angkatan ke-7, 1546- 1591 M, terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qahhar [Sunan Sedayu], [wafat 1599]
2. Sunan Prapen, [tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak]
3. Sunan Prawoto, [ tahun 1546 Menggantikan ayahnya Sultan Trenggana]
4. Maulana Yusuf, [pada tahun 1573 menggantikan pamannya yaitu Fathullah Khan [Falatehan], Maulana Yusuf adalah cucu Sunan Gunung Jati]
5. Sayyid Amir Hasan,
6. Maulana Hasanuddin, [pada tahun 1569 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Gunung Jati]
7. Sunan Mojoagung [tahun 1570 Menggantikan Sunan Lamongan]
8. Sunan Cendana, [tahun 1570 menggantikan kakeknya, yaitu Sunan Pakuan]
9. Sayyid Shaleh [Panembahan Pekaos], [tahun 1551 menggantikan kakek dari ibunya, yaitu Sunan Muria. Sedangkan Sayyid Shaleh adalah Shaleh bin Amir Hasan bin Sunan Kudus]

Wali Songo Angkatan ke-8, 1592- 1650 M, terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qadir [Sunan Magelang], asal Magelang, [wafat 1599], menggantikan Sunan Sedayu
2. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, [1650 menggantikan Gurunya yaitu Sunan Prapen]
3. Sultan Hadiwijaya [Joko Tingkir], [tahun 1549 Menggantikan Sultan Prawoto]
4. Maulana Yusuf, asal Cirebon
5. Sayyid Amir Hasan, asal Kudus
6. Maulana Hasanuddin, asal Cirebon
7. Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani, [tahun 1650 Menggantikan Sunan Mojo Agung]
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri, [tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana] 9. Sayyid Shaleh [Panembahan Pekaos],

Wali Songo Angkatan ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan [tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang]
2. Syaikh Shihabuddin Al-Jawi [tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi]
3. Sayyid Yusuf Anggawi [Raden Pratanu Madura], Sumenep Madura [Menggantikan, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir]
4. Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, [tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon ]
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. [1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus]
6. Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir [ tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin]
7. Sultan Abulmu'ali Ahmad [Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani]
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
9. Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan [tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos]

Wali Songo Angkatan ke-10, 1751 – 1897
1. Pangeran Diponegoro [ menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan] 2. Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, [menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi]
3. Kyai Mojo, [Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi [Raden Pratanu Madura]
4. Kyai Kasan Besari, [Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani]
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. …
6. Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, [menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir]
7. Pangeran Sadeli, [Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu'ali Ahmad]
8. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura [Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri]
9. Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, [Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan]

Tahun 1830 – 1900 [Majelis Dakwah Wali Songo dibekukan oleh Kolonial Belanda, dan banyak para ulama’ keturunan Wali Songo yang dipenjara dan dibunuh]

Dari nama para Wali Songo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
• Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
• Sunan Ampel atau Raden Rahmat
• Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
• Sunan Drajat atau Raden Qasim
• Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
• Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
• Sunan Kalijaga atau Raden Said
• Sunan Muria atau Raden Umar Said
• Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Ilustrasi Walisongo

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan Mursyid-Murid.

Maulana Malik Ibrahim

Pintu gerbang makam Maulana Malik Ibrahim, di Gresik

Makam Maulana Malik Ibrahim, Gresik

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[1] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Pintu gerbang makam Sunan Ampel, di samping Masjid Ampel Surabaya

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang

Makam dan Pasujudan Sunan Bonang, Lasem Tuban, Jawa Timur

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.

Sunan Drajat

Jalan menuju Makam Sunan Drajat

 
Museum khusus Sunan Drajat

 Nasehat Sunan Drajat


Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Sunan Kudus

Pintu gerbang menuju makam Sunan Kudus

Makam Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550. Keturunannya yang menjadi ulama' besar adalah As-Sayyid Muhammad Kholil Azmatkhan Al-Husaini Bangkalan, dan generasi yang masih hidup adalah As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini (Sekarang menjadi Mursyid Thariqah Wali Songo, anggota MUI Pusat Komisi Kerukunan Umat Beragama, dan Qadhi & Mufti Dinar Dirham di Islamic Mint Nusantara [IMN]). 

Sunan Giri

Pendopo Agung Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga

Makam Sunan Kalijaga, di daerah Kadilangu

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria

Makam Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Sunan Gunung Jati

Makam Sunan Gunung Jati, di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

Makam Sayyid Djumadil Kubro

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2] [3]

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
• L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[4] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
• van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
• Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
• Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
• Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Sumber tertulis tentang Walisongo

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Referensi

1. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
2. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram.
3. ^ Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor.
4. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.
5. ^ Muljana, Slamet (25 Juli 2010). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm.. ISBN 9799798451163.
6. ^ Russell Jones, review on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm. 423-424.

Sumber: http://sejarahgunungbatu.blogspot.com