Jumat, 10 Agustus 2012

Mitos Dibalik Ruwat Rambut Gimbal



" anak yang berambut gimbal adalah keturunan Tumenggung Kolo Dete yang merupakan titipan Ratu Laut Kidul"
Biasanya di Jakarta, rambut gimbal identik dengan orang yang fanatik dengan musik Reggae. Tidak demikian dengan anak-anak di Dataran Tinggi Dieng, mereka memiliki rambut gimbal asli, bukan buatan. Tentunya hal unik ini dilatar belakangi oleh suatu mitos yang dipercaya warga setempat secara turun-temurun, berikut ini adalah kisahnya.

Rambut gimbal ini hanya tumbuh pada anak-anak tertentu di sekitar Dataran Tinggi Dieng. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, anak yang berambut gimbal adalah keturunan Tumenggung Kolo Dete yang merupakan titipan  Ratu Laut Kidul. Tumenggung Kolo Dete adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan Dieng. Tumenggung Kolo Dete merupakan pertapa berambut gimbal dari Majapahit, nantinya keturunan dari Tumenggung Kolo Dete akan mempunyai rambut gimbal. Tapi rambut gimbal ini akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul. 

Mulanya, anak-anak tumbuh dengan rambut normal. Sebelumnya, anak akan sakit panas terlebih dahulu, kemudian setelah sembuh, di kepala anak tersebut akan tumbuh bintik kecil sebesar biji kedelai. Lama kelamaan, bintik itu membesar dan rambutnya akan menggimbal, saat itu pula orang tua sudah tau bahwa anaknya merupakan keturunan Tumenggung Kolo Dete.

Orang tua pastinya menginginkan rambut gimbal anaknya dipotong secepatnya, namun hal ini tidak bisa dipaksakan jika anak tersebut belum mau. Jika anak sudah mau, tentunya harus dengan ritual dan semua persyaratan dari anak tersebut harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka rambut gimbal akan tumbuh kembali dan anak akan jatuh sakit.

Permintaan keturunan gimbal dapat bermacam-macam, mulai dari barang-barang sederhana seperti binatang peliharaan seperti ayam atau kambing, bahkan ada yang menginginkan sepeda atau motor. Hal ini terkadang memang menyulitkan orang tua, karena tidak bisa ditawar lagi, oleh karenanya orang tua harus siap betul memenuhi keinginan anaknya.

Sebelum upacara pemotongan rambut, akan dilakukan ritual doa di beberapa tempat agar upacara dapat berjalan lancar. Tempat-tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, komplek Pertapaan Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng.

Malam harinya akan ada Upacara Jamasan Pusaka,  yaitu pencucian pusaka yang dibawa saat kirab anak-anak rambut gimbal untuk dicukur. Keesokan harinya baru dilakukan kirab menuju tempat pencukuran, si anak diarak dari rumah sesepuh pemangku adat dan berhenti di dekat Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu, tempat penyucian rambut. Setelah itu, barulah ritual pemotongan rambut dilaksanakan. Potongan rambut gimbal tersebut kemudian dihanyutkan ke Telaga Warna yang menandakan bahwa rambut tersebut dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Ratu Laut Kidul.

Rambut gimbal tersebut haruslah dipotong, konon katanya bila rambut gimbal dibiarkan, masyakat Dieng percaya anak itu beserta keluarganya akan terancam musibah. (Laras)

Sumber: http://eljohnnews.com

Wisata Kuliner di Purwokerto



Purwokerto berlatarbelakang Gunung Slamet
Kalau sebelumnya saya pernah singkat bercerita tentang Purwokerto dalam tulisan saya“Dieng – Negeri di atas awan”, maka kali ini saya akan lebih detil menceritakan wisata rasa atau kuliner dari kota yang membesarkan saya selama 3 tahun semasa di SMA ini.
.
  • SOTO
Berbicara tentang kuliner dari Purwokerto, satu yang menjadi masakan khas dan tidak ada kemiripan lainnya di seantero negeri ini adalah SOTO. Apakah yang membedakansoto Purwokerto (atau Soto Sokaraja) dengan soto-soto lainnya? Ada paling tidak dua hal utama, yaitu SAMBAL dan KRUPUK.
Bagi Anda yang belum pernah merasakan Soto versi Purwokerto, barangkali tidak terbayangkan untuk makan soto dicampur sambal kacang. Ya, itulah keunikan nomor satu.
Keunikan kedua ada pada krupuk berwarna warni – merah kuning hijau, yang diremukkan dan ditaburkan ke dalam sotonya sehingga warnanya makin meriah.
Berbeda dengan soto versi Kudus, Solo, atau Jawa Timuran yang menawarkan kesegaran rasa dalam kuah bening yang gurih… maka Soto Purwokerto / Sokaraja ini menawarkan rasa campuran antara kaldu sapi atau ayam + sambal kacang + kecap manis yang menghasilkan soto yang kental dan mengenyangkan. Tidak heran untuk menghindari kekenyangan, porsi Soto di daerah ini hanyalah 2/3 mangkok saja. Bagi yang doyan (seperti saya) biasanya sekali pesan langsung 2 porsi biar mulutnya tidak sempat nganggur menunggu porsi kedua, he he he…
Nah, ada 2 aliran Soto yang terkenal di daerah ini: SOTO AYAM (biasanya di Purwokerto) dan SOTO SAPI (biasanya di Sokaraja – 5 km timur Purwokerto).
    1. Soto Ayam yang sering saya kunjungi di Purwokerto adalah di Soto Ayam Pak Sungeb dan Soto Ayam Jalan Bank – keduanya berlokasi di Jalan Bank, sekitar 300 meter sebelah barat Alun-alun Purwokerto. Salah satu dari kedua tempat tersebut masuk ke dalam kategori wajib untuk disambangi tiap kali saya pulang ke Purwokerto.
    2. Adapun untuk Soto Sokaraja, bisa dikatakan ini lebih terkenal (bukan berarti Soto Ayam-nya tidak terkenal ya…). Lokasinya sekitar 5 km dari Purwokerto menuju ke arah Purbalingga / Wonosobo / Yogyakarta. Daging sapi dalam soto Sokaraja memang lebih berlemak dibandingkan daging ayam sehingga membuat kuahnya lebih kental. Dan jangan heran, salah satu opsi untuk dicampurkan ke dalam Soto Sokaraja adalah LANTING – itu lho yang kayak cincin bentuknya dibuat dari singkong. Warung Soto Sokaraja langganan saya adalah Soto Pak Kecik, yang sudah kondang dari jaman saya kecil (berapa puluh tahun yang lalu ya…). Kalau dari arah Purwokerto adanya di sisi kanan jalan. Pokoknya, begitu masuk warung langsung pesan dua!!! Begitu datang, langsung masukkan 2 sendok sambal kacang, ditambah kecap manis, plus 1 bungkus lanting. Muak nyuuuussss….. atau bahasa Purwokerto-nya NYLEKAMIN alias MBLAKETAKET… Oh iya, kalau lagi di Sokaraja jangan lupa mencicipi getuk gorengnya yang terkenal dan maniisss…
      Getuk Goreng Asli Sokaraja - ada lebih dari 7 cabang berderet...
      .
      • Sate Kambing
      Berbicara tentang Sate, setidaknya ada 3 jenis sate yang cukup berbeda alirannya: (1) Madura – terkenal dengan sate ayamnya; (2) Solo – terkenal dengan Sate Kambingnya yang kaya lada; (3) Tegal & Banyumas – terkenal dengan Sate Kambingnya yang menonjolkan rasa daging tanpa banyak bumbu. Tentu saja di luar itu masih banyak sate-sate jenis lain yang unik seperti sate ambal khas Kebumen contohnya.
      Berada di kawasan Banyumas, Purwokerto-pun mengikuti mainstream sate di kawasan tersebut yang hampir mirip dari mulai Tegal – Prupuk – hingga Purwokerto yaitu Sate Kambing yang dibakar (hampir) tanpa bumbu. Kenapa saya tulis “hampir”? Karena sepanjang penglihatan saya dagingnya memang tidak ada bumbunya waktu dipanggang, tapi ada beberapa pedagang yang sedikit mengolesinya dengan bumbu ketika sudah setengah matang.
      Nah, untuk urusan sate kambing di Purwokerto maka favorit saya adalah Sate Kambing Tiga Saudara. Lokasinya sekitar 100 meter sebelah timur dari perempatan Kebondalem – Gatot Subroto. Kalau lagi musim liburan, jangan harap bisa mendapatkan sate di sini setelah jam 8 malam. Pernah suatu liburan, saya datang ke situ jam 7 malam sudah disambut dengan tulisan “SATE HABIS”… hu hu hu…
      Apa yang special dari warung sate ini, ya itu tadi… Satenya dibakar tanpa bumbu barangkali ada bumbu rahasia yang sifatnya minor, hingga tidak kasat mata dan kasat lidah… ketika sate dihidangkan, warna dagingnya adalah PINK KECOKLATAN. Ya betul, jadi bukannya coklat atau hitam seperti sate kebanyakan… Sate Kambing Tiga Saudara ini ketika disajikan tidak ada unsur kecap sama sekali di daging satenya.
      Bumbu untuk mencocolnya saya biasanya pilih kecap dan potongan cabai saja. Bahkan, karena saya sangat suka dengan keaslian rasa daging kambing maka seringkali saya makan sate tersebut tanpa bumbu sama sekali.
      Wah, itu namanya kelembutan dagingnya – aroma daging yang menyeruak ke hidung manakala kita menelannya, benar-benar wah… saya menyebutnya rasa Sate Kambing ini berkelas. Aroma kelembutan daging tanpa bumbu-bumbu lain itu benar-benar, hmmmmmm….. Nyuuuussss….
      .
      • Bakmi Goreng – Godhog – Nyemek
      Satu menu lain yang cukup nikmat untuk teman menikmati malam di Purwokerto adalah BAKMI.
      Mungkin memang orang Purwokerto senang dengan makanan yang rasanya cenderung “berat”, maka bakmi-bakmi yang ditawarkan di Purwokerto memiliki cita rasa yang kental – berbeda dengan bakmi Jogja / Kulonprogo yang menawarkan rasa gurih ayam samar-samar dan tidak terlalu “nonjok”. Untuk mendukung kekentalan tersebut, lagi-lagi kecap bermain peran penting di sini.
      Untuk menyesuaikan keinginan pelanggan, tersedia 3 jenis bakmi: Bakmi Goreng, Bakmi Godhog alias Rebus, dan Bakmi Nyemek alias “in between”.
      Ini bakmi gorengnya yang mak nyus...
      .
      Ini bakmi goreng versi nyemek yang tidak kalah mak nyusnya...
      .
      Untuk yang doyan bakmi, banyak tempat yang menawarkan bakmi di Purwokerto dengan rasa yang paling tidak di atas passing grade.
      Beberapa yang cukup terkenal antara lain:
        • Bakmi Palma – di perempatan Palma Jalan Sudirman (300 meter timur Alun-alun)
        • Bakmi Nyemek Berkoh.
        • Bakmi Gongso (yang ini cita rasanya campur Semarang-an), di ujung timur Jalan Sudirman – sebelah timur Pasar Wage.
        • Bakmi lesehan di sisi utara Kebondalem, depan Medico Labora menghadap ke Jalan Gatot Subroto.
      Makan Bakmi enaknya malam hari, karena bakalan cocok dengan udara Purwokerto yang agak dingin kalau malam hari (walaupun terakhir saya ke sana sudah tidak dingin lagi, jadi sedih…).
      Nikmatnya malam hari makan bakmi goreng...
      .
      • Serabi
      Selain serabi Solo dan serabi (atau surabi) Bandung, Purwokerto juga punya serabi yang khas lho…
      Kalau serabi Solo berwarna putih dan tanpa kuah, surabi Bandung berkuah coklat, maka Purwokerto memiliki serabi yang pinggirnya putih dan tengahnya coklat. Jadi ibarat memadukan rasa Solo dan Bandung dalam satu paket.
      Serabi versi Purwokerto, pinggir putih tengah coklat...
      .
      Agak berbeda dengan serabi Solo (Notosuman) yang gurih dan rasanya kalau saya bilang “rasa priyayi”, maka serabi Purwokerto ini rasanya “rasa merakyat” karena tidak menawarkan gurihnya santan tetapi lebih tawar pada bagian putihnya. Bonus atau bagian enaknya ya di bagian coklatnya yang ada di tengah karena disitulah yang ada gulanya.
      Jadi kalau makan serabi Purwokerto ini saya jadi kayak anak kecil, dimakan pinggirnya dulu yang putih untuk kemudian menikmati “the best part”nya yang coklat di bagian terakhir. Norak ya? He he he…. Biarin aja ah.
      Dulu banyak sekali mbok-mbok yang jualan serabi ini, di banyak tikungan atau perempatan. Sekarang ini sudah sangat sulit menemuinya. Satu yang dapat saya temui ada di pertigaan Jl. Dr. Angka dan Jl. Gereja. Dan jualannya hanya pagi hari.
      Saya coba beli beberapa, yah masih enak juga dengan rasa “marginal”nya yang khas… he he he…
      Serabi Dr. Angka Purwokerto
      .
      Pagi-pagi pada antri serabi di Dr. Angka Purwokerto
      .
      • Menu warung pantai Widarapayung
      Di liburan akhir tahun 2009 kemarin ini saya sekeluarga sempat mampir ke pantai di sisi selatan Purwokerto – tepatnya 9 km sebelah selatan KROYA. Ini merupakan pantai bersejarah bagi saya, karena di pantai inilah untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bisa berenang. He he he, kurang penting ya?
      Pantai Widarapayung ini sama dengan pantai Parangtritis di Jogja, menghadap ke Samudera Hindia dan memiliki pantai pasir hitam yang lebar. Akibatnya, panasnya minta ampun…
      Selain menu khas Banyumasan seperti kupat tahu, di pantai ini ada menu yang unik dan barangkali susah mencarinya di daerah lain yaitu YUTUK GORENG.
      Enaknya makan kupat tahu di pinggir pantai Widarapayung...
      .
      Mendoan yang lebih gede daripada piringnya...
      .
      Ini lho yang namanya YUTUK goreng, dari jauh kayak strawberry dari dekat kayak capit kepiting...
      .
      Saya tidak tahu apa bahasa Indonesianya Yutuk, tapi sepertinya ini sejenis Crustaceae (keluarga udang atau kepiting gitu deh…) yang hidup di dalam pasir. Digoreng begitu saja, yutuk ini menjadi berwarna merah dan bisa di”kremus” begitu saja. Rasanya sih nggak maknyus-maknyus amat, tapi uniknya itu lho yang bikin penasaran…
      Dan berikut ini suasana pantainya, bagus lho…
      Lebarnya garis pantai Widarapayung Kroya
      .
      Batagor di pantai...
      .
      Ini bukan Lone Ranger, tapi sewa kuda buat keliling pantai...
      .
      Sumber: http://wisatajiwa.wordpress.com