Senin, 29 Agustus 2011

Analisis Visibilitas Hilal untuk Usulan Kriteria Tunggal di Indonesia

Thomas Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika,  LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
(Publikasi di buku ilmiah “Matahari dan Lingkungan Antariksa”, Seri -4, 2010,  hlm. 67 – 76, Dian Rakyat, Jakarta)




Abstrak. Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria. Saat ini sudah ada kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Untuk itu kajian ilmiah perlu dilakukan untuk memberikan masukan alternatif kriteria yang nantinya perlu dikaji untuk dipilih menjadi kriteria tunggal yang disepakati. Makalah ini membahas beberapa alternatif kriteria berdasarkan analisis data rukyat di Indonesia dan internasional. Kriteria harus memperhatikan dalil-dalil syar’i yang disepakati para ulama serta didasarkan pada kemudahan aplikasinya dan kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa benar-benar setara dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat. Berdasarkan analisis yang dibahas makalah ini diusulkan ”Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut: Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o dan beda tinggi bulan-matahari > 4o.

Kata kunci: Kriteria visibilitas hilal, Hisab-Rukyat, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.

1. Pendahuluan
Persoalan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walau saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan ketidaktentraman di masyarakat. Jika tidak segera diatasi itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas massal dalam skala luas. Satu sisi kemajuan teknologi informasi membantu menyebarkan informasi ke seluruh penjuru dunia, pada sisi lain teknologi itu juga dengan cepat menyebarkan keresahan ketika terjadi perbedaan penetapan.

Perkembangan pemahaman astronomi kini telah memasuki semua lapisan masyarakat, termasuk juga ormas-ormnas Islam yang memanfaatkannya untuk penentuan awal bulan Islam, khususnya terkiat dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Momentum ini sangat baik untuk digunakan dalam upaya mencari solusi perbedaan hari raya. Perdebatan dalil syar’i (hukum agama) antarormas atau kelompok masyarakat yang selama ini mendikhotomikan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) cenderung tak terselesaikan karena masing-maisng menganggap dalil yang diyakininya yang paling shahih dan kuat. Perdebatan semacam itu sudah saatnya diakhiri dan cukup dijadikan khazanah keberagaman pemikiran hukum. Sebaliknya, pemahaman astronomi yang semakin luas perlu terus dibangun untuk mencari titik temu antarormas tanpa mempermasalahkan perbedaan rujukan dalil syar’i.

Dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi, karena keduanya saling melengkapi. Hanya persoalannya adalah cara mempersatukan hisab dan ruyat tersebut.  Secara astronomi  hisab dan rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (ketampakan bulan sabit pertama) atau imkanur rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Kriteria itu didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga dua pendapat hisab dan rukyat dapat terakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat akan selalu seragam. Makalah ini mengkaji berbagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia dan internasional untuk digunakan sebagai dasar penyusunan kriteria tunggal hisab rukyat di Indonesia.


2. Pokok Masalah Perbedaan Hari Raya
Perbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada perbedaan: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah  diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia), sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2o). Di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.

Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2 derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Tabel 2.1. menunjukkan ketinggian hilal pada awal Ramadhan, Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijjah (untuk penentuan Idul Adha) saat terjadinya perbedaan pada beberapa tahun lalu dan potensi pada beberapa tahun mendatang. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Maka hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah (yang secara teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama).

Tabel 2.1.
Bulan-Bulan Rawan Terjadi Perbedaan

Tahun(Hijriyah/Masehi) Derajat Tinggi Bulan di Bandung pada Awal Bulan
Ramadhan Syawal Dzulhijjah
1422/2001-2002 1,7
2,5
1423/2002-2003
1,2 1,3
1427/2006
0,9
1428/2007
0,7




1431/2010

1,7
1432/2011
2,0
1433/2012 2,0

1434/2013 0,7

1435/2014 0,8
0,8


3. Kriteria Visibilitas Hilal Internasional
Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon).
Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon (1932, 1936, di dalam Schaefer, 1991) yang berdasarkan ekstrapolasi data pengamatan menyatakan bahwa pada jarak bulan-matahari < 7o hilal tak mungkin terlihat. Batas 7o tersebut dikenal sebagai limit Danjon. Dengan model, Schaefer (1991) menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas sensitivitas mata manusia yang tidak bisa melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada Gambar 3.1 Schaefer (1991) menunjukkan bahwa kecerlangan total sabit hilal akan semakin berkurang dengan makin dekatnya bulan ke matahari. Pada jarak 5o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada posisi 50o kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata manusia, sekitar magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak sekitar 7,5o. Pada jarak tersebut hanya titik bagian tengah sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur sabit yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10o busur sabit sampai sekitar 50o dari pusat sabit ke ujung tanduk sabit (cusps).


Gambar 3.1. Kurva kuat cahaya sabit bulan. Semakin dekat ke arah matahari (dinyatakan dalam derajat di masing-masing kurva), kuat cahaya semakin redup (angka magnitudonya semakin besar), dan semakin ke arah tanduk sabit (Cusps) juga semakin redup.


Pada Gambar 3.2. ditunjukkan perbandingan hasil model dan ekstrapolasi empiris limit Danjon (Schaefer, 1991) dengan limit jarak terdekat bulan-matahari (sun-moon angle) sekitar 7o. Hasil model tersebut menunjukkan bahwa batasan limit Danjon disebabkan oleh batas sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya sangat mungkin untuk mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan senitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik seperti yang diperoleh oleh Odeh (2006) yang mendapatkan limit Danjon 6,4o.



Gambar 3.2. Perbandingan limit Danjod dari hasil ekstrapolasi pengamatan dibandingkan dengan model (Schaefer, 1991). Ekstrapolasi jarak sudut bulan-matahari (Sun-Moon Angle) pada besar busur hilal (crescent arc length) 0o merupakan limit Danjon sekitar 7o.

Beberapa peneliti membuat kriteria berdasarkan beda tinggi bulan-matahari dan beda azimutnya. Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4o untuk beda azimut yang besar dan 10,4o untuk beda azimut 0o (lihat Gambar 3.3). Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan pengamatan mata telanjang dan dengan bantuan alat optik. Pada Gambar 3.4 Caldwell dan Laney memberikan kriteria beda tinggi minimum 4o untuk semua cara pengamatan pada beda azimut yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6,5o untuk beda azimut 0o untuk pengamatan dengan alat optik. Beda tinggi minimum untuk beda azimut 0o identik dengan limit Danjon dengan alat optik (Odeh, 2006).


Gambar 3.3. Ilyas (1988) memberikan criteria visibilitas hilal dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4o untuk beda azimuth yang besar dan 10,4o untuk beda azimuth 0o.

Gambar 3.4. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001)  membuat kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih). Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o.
Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik hilalnya, tanpa memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di ufuk barat. Dengan memperhitungkan arc of light (beda tinggi bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk barat sudah diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung diwakili oleh beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung jarak sudut minimal bulan-matahari. Odeh melakukan pendekatan sedikit berbeda dengan menggunakan aspek fisik hilal lebih khusus dengan kriteria lebar sabit (W) dalam satuan menit busur (’) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1, yang dipisahkan dengan alat optik (ARCV1), dengan alat optik, tetapi masih mungkin dengan mata telanjang (ARCV2), dan dengan mata telanjang (ARCV3).
Tabel 3.1. Kriteria Visibilitas Hilal Odeh (2006) dengan (1) alat optik, (2) alat optik, masih mungkin dengan bata telanjang, atau (3) dengan mata telanjang.




4. Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000) mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o. (3). Beda tinggi > 3o (tinggi hilal > 2o) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o (Lihat Gambar 4.1). Kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2o, tanpa memperhitungkan beda azimut.



Gambar 4.1. Kriteria visibilitas hilal berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI (Djamaluddin, 2000).


Kriteria tersebut sebenarnya lebih rendah dari kriteria visibilitas hilal internasional yang dibahas di bagian 3. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan terpencil secara statistik sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan, maka kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di sekitar Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) menunjukkan sebaran data beda tinggi bulan-matahari > 6o (Sudibyo, 2009).

Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkna kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.
Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisab-rukyat yang membantu menganalisis mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu masuknya awal bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas bawah.

Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4o dari Odeh dapat kita pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006) tampaknya kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Aspek kontras latar depan di ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo (2009), yaitu minimal 4o. Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) dapat disempurnakan menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):
  1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi bulan-matahari > 4o.


Gambar 4.2. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” diusulkan sebagai kriteria tunggal hisab rukyat Indonesia. Dua kriteria berikut digunakan bersama-sama: jarak matahari – bulan > 6,4o dan beda tinggi bulan – matahari > 4o.


5. Pembahasan
Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), kriteria wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis). Jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara astronomi, sehingga hanya akan menjadi ‘olok-olok’ komunitas astronomi internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia. Penyempurnaan pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru.


6. Kesimpulan
Dengan menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji ulang kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), diusulkan kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di Indonesia. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut:
  1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi bulan-matahari > 4o.
Kriteria baru tersebut hanya merupakan penyempurnaan kriteria yang selama ini digunakan oleh BHR dan ormas-ormas Islam untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.


Daftar Pustaka
Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.
Djamaluddin, T. 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137 – 136.
Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.
Sudibyo, MM, Arkanuddin, M., dan Riyadi, ARS 2009, “Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas Di Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional: Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalendar Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah, Obs. Bosccha, 19 Desember 2009
Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.
Schaefer, BE, 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astr. Soc., Vol. 32, p. 265 – 277.


 Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com

2 komentar:

  1. saya kira usulan seperti hilal/rukyat yg dihisab dengan batasan tertentu juga akan menimbulkan perbedaan ketika pada saat hilal pd saat titik kritis (0 derajat) karena akan membuat penanggalan islam juga kacau lebih baik untuk persatuan umat islam sedunia maka harus pakai kesepakatan maroko. nilai positif dan kemaslahatan umat lebih besar dibanding hanya membuat minimalisasi kekacauan penanggalan khususnya di Indonesia ini.

    BalasHapus
  2. memang sudah saatnya Umat Islam di seluruh dunia BERSATU untuk menentukan "Sistem Kalender Islam" yang baku, yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam segala aktitas beribadah Umat Islam di seluruh dunia.
    Bersatulah!
    Salam ukhuwah

    BalasHapus