Senin, 12 September 2011

Ironi Partai Para ‘Kyai’ yang terbelit Korupsi

Dibalik kasus suap yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang diduga melibatkan banyak pihak, terutama  para pejabat di institusi ini juga secara langsung menyeret-nyeret Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang selama ini dikenal sebagai parpol yang didirikan para Kyai  Nahdlatul Ulama. Adalah dugaan keterlibatan Muhaimin Isakandar (Ketum PKB) dan sejumlah mantan staf khususnya yang juga dikenal menjadi fungsionaris PKB  membuat  kasus  korupsi di Kemenakertrans ini berdampak sangat fatal, tidak saja semakin mencoreng moreng kredibilitas pemerintahan SBY yang berslogan keras anti korupsi, tetapi juga membawa imbas yang sangat serius bagi  nama baik para Kyai dan parpol yang didirikannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa eksistensi dan kebesaran PKB selama ini sangat tergantung dengan restu dan dukungan dari para Kyai NU yang tersebar di berbagai pelosok daerah.  Para Kyai NU adalah yang selama ini menjadi lokomotif dan energi terbesar untuk tetap menghidupakan PKB, sementaa para fungsionarisnya di level tertinggi hingga paling bawah lebih bersifat sebagai pengendali perjalanan partai secara administratif organisatoris.

Berdasarkan fakta itulah, maka keberadaan dan masa depan PKB sangat tergantung dengan loyalitas dan dukungan mayoritas Kyai NU. Tanpa ada dukungan dari para Kyai inilah maka sudah bisa dipastikan bahwa masa depan PKB  semakin suram dan mudah menjadi tamat riwayatnya. Dalam konteks inilah maka menjadi wajar jika para fungsionarisnya menyebut PKB sebagi parpolnya para Kyai yang memiliki legitimasi moral, kultural dan spiritual ‘terpercaya’ di hadapan masayarakat.

Memposisikan PKB sebagai parpolnya para Kyai hingga kini memang masih menjadi bahan pergunjingan (perdebatan)  mengingat tidak semua Kyai menjadi pendukung PKB serta  banyak keputusan-keputusan strategis  justru tidak melibatkn para Kyai, terutama sejak terjadinya pecah kongsi politik antara Muhaimin Iskandar dan Gus Dur.

Dalam konteks inilah maka para Kyai lebih dijadikan simbol dan  pusat legitimasi politik untuk mempengaruhi pemilih dengan menjadikannya sebagai tokoh sentral  yang sekedar  cukup untuk disowani saja, namun sangat jarang dilibatkan  memutuskan hal-hal yang bersifat strategis semisal  menentukan siapa yang harus masuk dalam Kabinet atau dalam berkoalisi.

Diluar dari persoalan itu, maka sesungguhnya kasus suap di Kemenekertrans   telah mencoreng moreng muka  Para kyai yang bergabung mendukung PKB. Hal ini beralasanb karena para elit PKB justru diduga ikut terlibat dan menjadi aktor terjadinya korupsi di Kemenakertrans  yang substansinya sangat berlawanan dengan ajaran Islam dan moralitas yang sangat kuat di jaga para Kyai.

Jika akhirnya benar dan terbukti ada sejumlah elit PKB terlibat dalam kasus korupsi ini maka keberadaannya menjadi bentuk “pengkianatan” terhadap para Kyai yang selama ini secara tegas dan selalu menegaskan bahwa praktik korupsi adalah terlarang dan ‘haram’  hukumnya menurut syari’at Islam. Realitas ini disamping sangat memalukan, menjadi pukulan telak sekaligus adalah menjadi ironi Partai para Kyai  yang kini  terbelit masalah korupsi.

Karena melakukan pelanggaran  yang bersifat mendasar maka mestinya para Kyai  yang tergabung di PKB berani berkata jujur dan  lantang dengan meneriakkan bahwa yang benar adalah benar dan salah harus tetap salah  serta wajib  dihukum. Hal ini penting dilakukan karena fatwa politik para Kyai selama ini telah menjadi panutan dari masyarakatnya yang religius dengan berjumlah sangat besar.

Ketegasan langkah para Kyai  adalah demi menegakkan syariat, kebenaran dan menyelamatkan pandangan politik umatnya. Para Kyai harus menjadikan momentum ini untuk  membela yang benar, dengan mengalahkan gerakan-gerakan yang selalu membela yang mbayar.   Dukungan politik yang diberikan kepada para Kyai tentu tidak sekdar tidak pertanggungjawabkan di dunia, tetapi mereka pasti berkeyakin bahwa akhirnya juga wajib dipertanggungjawabkan di akhirat.  Disinilah letak perbedaan cara pandang para Kyai dalam berpolitik dibanding kaum  politisi lainnya karena didalamnya terbentang nyata garis perjuangan untuk beribadah.

Cara pandang itulah yang kini mengharuskan para Kyai segera bersikap jujur setelah partai yang didukungnya justru tidak dikelola secara amanah dan kini terbelit  serta  ’berbelepotan’ noda  haram  korupsi. Semua ini terjadi karena moralitas banyak fungsionaris PKB yang tidak terjaga, mudah menghalalkan segala cara, bersikap aji mupung dan ingin cepat kaya. Disinilah cita-cita moral perjuangan yang ditipkan para Kyai menjadi ternodai, hancur dan kandas ditengah rakusnya nafsu  untuk menghalalkan segala cara.

Terjadinya kontradiksi cita-cita, aksi dan perjuangan sebagian fungsionatis PKB dan para Kyai pendukungnya inilah yang mestinya berani  melakukan lompatan dan terobosan serius untuk memperbaikinya. Sebagai pemilik saham terbesar di PKB,  para Kyai mestinya berani mengultiumatum dan bahkan membersihkan seluruh fungsionartis PKB dari parasit kader-kadernya yang terindikasi dan diduga kuat terlibat korupsi.

Jika langkah itu  tidak bisa dilakukan dan menuai perlawanan, maka para Kyai demi kehormatan peran dan fungsinya hendaknya berani menyatakan diri keluar (mufarroqoh) dan mencabut dukungan  dari PKB karena sudah tidak manfaatnya bagi kemsalahatan umat dan cita-cita memuliakan ajaran Islam.

Para Kyai mestinya sangat malu dan marah ketika kini partai yang dudukungnya menjadi sorotan publik secara  massif karena berada ditengah pusaran korupsi. Parpol yang didirikan dan didukung para Kyai ini kini menjadi pusat cibiran publik sehingga kepercayaan rakyat menjadi semakin hilang dan terdegradasi. Dalam konteks inilah tidak alasan lain bagi para  Kyai untuk tidak berada lagi dibelakang parpol yang kini sedang terbelit kasus korups secara serius.

Langkh itu wajib dipilih para Kyai agar fatwa dan keberadaannya tetap diikuti dan memperoleh kepercayaan dari masyarakat luas. Jika para Kyai tetap menutup mata membela PKB yang terbelit korupsi, maka dirinya akan terkena dampaknya dengan dicap sebagai pembela tradisi korupsi sehingga segala fatwa dan ajakannnya pasti tidak akan lagi diikuti umatnya.
Karena telah mengkianati kepercayaan moral dan cita-cita luhur para Kyai maka langkah yang paling mungkin dilakukan adalah meningglkan PKB karena telah melakukan kesalahan paling fatal dan serius sehingga tidak mungkin dibelanya  lagi. PKB kini tampak lebih banyak diisi oleh politisi yang lebih gila terhadap kekuasaan dan kekayaan harta benda, dibanding memperjuangan cita-cita Islam yang rahmatan lil alamin demi hadirnya keadilan dan kesejahteran secara merata. PKB kini secara politik justru lebih diposisikan sebagai pengabdi dan pembela kekuaasaan secara membabi buta sehiungga tidakbisa menjalankan misi amar ma’ruf nahi munkar secara tegak. .
Kenyataan itulah yang mestinya menjadi pertimbangan terpenting bagi Para Kyai untuk segera menarik diri dari PKB dengan bersikap independen serta kembali fokus mengurus kemajuan umat.  Dakwah Islam dan melanjutkan gerakan kultural adalah lebih penting ditempuh para Kyai, dibanding bermain di wilayah politik praktis yang penuh dengan kemunafikan, pengkianatan, permusuhan  dan kepura-puraan semata.
Tarikan dukungan para Kyai ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi PKB agar dirinya bisa instrofeksi, mendiri dan  tidak terus terusan mengandalkan dukungan dan legitimasi para Kyai yang sering dikianatinya. Namun hal ini tidak mungkin diterima n PKB karena tanpa dukungan para Kyai maka sudah pasti masa depannnya akan hancur dan tenggelam sehingga eksitensinya akan hilang dalam peta perpolitikan nasional.    
Sudah saatnya para Kyai memberi pelajaran keras kepada masyarakat untuk anti dan tidak mau kompromi terhadap korupsi. Langkah ini bisa terjadi jika secara tegas para Kyai berani keluar dari  belenggu  komunitas politiknya yang ternyata sangat dekat dan akrab dengan aksi-aksi korupsi. Mari kita Tunggu ketegasan dan keteladanan para Kyai yang selama ini lebih dijadikan martir dan pusat legitimasi  politik semata.

Ali Imron Dj
www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar