Selasa, 13 September 2011

Soto Ayam Mas Met




Ciamik Khas Semarang

Para penggemar soto tentunya tidak akan melewatkan warung yang satu ini. Adalah warung Soto Ayam Indraprasta Mas Met berada di Jl Indraprasta Semarang, tepatnya di depan pom bensin Indraprasta. Jika penggemar kuliner hendak ke sini bisa meluncur dari arah Tugumuda akan menemukan di kanan jalan, atau kalau dari arah Banjirkanal dapat ditemukan di kiri jalan.

Meski warung tersebut sederhana, tidak terlalu luas, jangan tanya yang jajan di tempat ini. Hampir tiap waktu jam makan siang, warung ini dipenuhi ratusan pelanggan yang datang dari berbagai sudut kota. Bahkan ada yang rela datang dari luar kota, hanya untuk menyantap soto ayam racikan mas Met.

Pemiliknya adalah Slamet (64) warga Sadewa Utara III No 212 Semarang, dibantu Parmi (63) istri dan empat anak mereka. Perjalanan hidupnya bagaikan sebuah roda kehidupan penuh liku perjuangan. 

Diceritakan Slamet, sebelum berjualan soto, dulu dirinya seorang tukang becak, pada tahun 70-an. Karena sulitnya ekonomi selama lima tahun harus keliling di seputar Semarang mengayuh becak, akhirnya Slamet banting setir.

Dengan modal nekat, Slamet mencoba peruntungan berjualan soto, pada awal tahun 80-an. “Waktu mau jualan soto, saat itu hanya bermodal nekat aja. Hanya karena ada kemauan, dan dibantu pinjaman angkring untuk keliling,” ucap pak Slamet menerawang masa lalu.

Dengan berjualan soto pikulan, mulailah Slamet keluar masuk gang menjajakan masakan yang diracik sendiri. Mengapa demikian, karena Slamet memasak soto secara otodidak, tidak ada yang mengajari. “Saya belajar memasak soto secara otodidak, dan tidak ada yang mengajari. Sebelumnya saya tidak pernah ikut orang jualan soto atau diajari orang tua memasak soto. Untuk itu saya berusaha menciptakan soto dengan bumbu racikan sendiri. Yang penting rasanya pas saya puas,” jelas ayah dari Besus Sarjono, Siti Rohmanah, Sujiwati, dan Ambar Arum Lestari.

Untuk membuat rasa pas sotonya dengan lidah para pelanggan, Slamet tak segan-segan meminta pendapat yang suka beli, soal kekurangan yang ada pada racikannya. Sampai akhirnya ditemukan racikan yang pas bagi soto ayamnya ini.
Selama enam tahun Slamet berkeliling di seputaran Indraprasta hingga Imam Bonjol.  Akhirnya, Slamet menemukan tempat mangkal yang cocok di tempatnya sekarang. Dengan berbentuk warung sederhana Slamet berhasil menjaring banyak pelanggan.

Tahun 1985, Slamet mengembangkan tempat usahanya dengan membuat permanen. Alhasil banyak pelanggan yang sering jajan di warungnya, seperti dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Jogja, dan Semarang sendiri.


Kualitas Rasa Tetap Dijaga

Untuk menarik para pelanggan agar tetap jajan di warungnya, Slamet berusaha mempertahankan rasa dan kualitas rasa. Semua bahan baku soto dipilih dari yang berkualitas.

“Saya berusaha mempertahankan supaya rasa soto itu bisa pas di lidah para pelanggan. Tidak harus enak banget, yang penting pas di lidah,” imbuhnya kemudian.

Tidak segan-segan Slamet berbelanja sendiri keperluan warung, seperti membeli ayam kampung jago di pasar kobong. Meski kini harganya melangit hingga Rp 90 ribu per ekor, mau tidak mau Slamet harus membelinya. Dalam sehari ia menghabiskan 10 ekor ayam.

Untuk menambah kualitas soto, Slamet menggunakan beras rojo lele super seharga Rp 7.500 per kilo, sebagai nasi untuk dicampur dengan nasi sotonya. Bahkan pemilihan sledri dan onclang juga tidak sembarangan. Selain itu, ia juga menyediakan tempe, perkedel, sate kerang, sate puyuh, sate ayam, telur bacem, sate usus, sate jeroan, dan masih banyak lagi.

 Sumber: http://kulinerkhassemarang.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar