Minggu, 11 Juli 2010

Syair-Syair Cinta Para Pencari Illahi

Para sufi seringkali menggunakan metafora pengalaman batin mereka dengan sejumlah syair yang teramat indah, mengingat, syathahat atau kata-kata jadzabiyahnya sulit diuraikan dengan bahasa formal. Di bawah ini sejumlah contoh yang menjelaskan sejumlah terminologi tasawuf melalui beberapa syair:

Waktu
Setiap hari ia lewat merengkuh tanganku
memberikan sesal dalam hatiku
kemudian, berlalu.
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang
kembali pula kulit-kulit itu
untuk sbuah derita panjang
Bukanlah orang mati itu
istirahat seperti mayat
Kematian adalah
mati kehidupannya.
(Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq)

Haibah Dan Uns
Aku datangi
Aku tak mengerti
Dari mana
Siapa
Aku
Melainkan yang dikatakan orang-orang
pada diriku, pada jenisku
Aku datangi jin dan manusia
Lalu tak kutemui siapa pun
Lantas kuatangi diriku.
Tiba-tiba bisikan halus dalam kalbuku:
Amboi, siapakah yang tahu sebab-sebab yang lebih luhur
wujudnya
toh ia bersukaria dengan kehinaan yang sesat
dan dengan manusia
Kalau engkau dari kalangan sirna yang hakiki
Pastikan engkau ghaib dari semesta, arasy dan kursy
Padahal dirimu jauh dari Haal bersama Allah
Jauh dari berdzikir
Lebih pada Jin dan Manusia.
(Abu Said al-Kharraz)

Wujd (Ekstase)
Gelas yang dibasahi air
karena cemerlang beningnya
Lalu mutiara yang tumbuh dari bumi emas
Sementara kaum Sufi menycikan karena kagum
pada cahaya air dalam api dari anggur yang ranum
yang diwarisi ´Aad dari negeri Iran
sebagai simpanan Kisra
Sejak nenek moyangnya.
(Abu Bakr asy-Syibly)

Jam Dan Farq
Engkau wujudkan Nyata-Mu
dalam rahasiaku
Lisanku munajat kepada-Mu
Lalu kita berkumpul bagi makna-makna
Berpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah Keagungan dari lintas mataku
Toh Engkau buat serasi dari dalam yang mendekat padaku.
(Junaid al-Baghdady)

Syair-Syair Al Hallaj

Ana Al-Haqq, Al-Hallaj
Aku adalah Dia yang kucinta dan
Dia yang kucinta adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku
Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya,
membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan baginya makhluk-Nya,
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur disatukan dengan air murni.
Jika sesuatu menyentuh Engkau,
ia menyentuhku pula,
dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku
Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.
Sebelumnya tidak mendahului-Nya, setelah
tidak menyela-Nya, daripada tidak
bersaing dengan Dia dalam hal
keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia,
ketidak menyatu dengan dia, Dia tidak mendiami Dia,
kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia,
atas tidak membayangi Dia,dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia,
didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia,
dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia,
ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian
tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia
mendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas.
Di dalam kemuliaan tiada aku,
atau Engkau atau kita,
Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.
Fana’i Fana’i Fana’
Kehinaanku adalah KemuliaanMu
Kehilanganku adalah KerinduanMu
Ketiadaanku adalah KeabadianMu
Kepedihanku adalah CintaMu
Kekuranganku adalah KelebihanMu
Kesendirianku adalah pertemuanku denganMu
Kematianku adalah kebangkitanMu
Kebisuanku adalah TitahMu
Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku…

Warna Agama
“Chinese Art and Greek Art

Rasul pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku
di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka.
Kami adalah satu.
Walau tak terhubung oleh tali apapun,
walau tak menghafal buku dan kebiasaan,
kami meminum air kehidupan bersama-sama.”
Inilah sebuah kisah
tentang misteri yang tersimpan:
Sekelompok Tiongkok mengajak sekelompok Yunani
bertengkar tentang siapa dari mereka
adalah pelukis yang terhebat.
Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.”
Tiongkok memulai perdebatan.
Tapi Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan.
Tiongkok lalu meminta dua ruangan
untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka,
dua ruang yang saling menghadap
terpisah hanya oleh tirai.
Tiongkok meminta pada raja
beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya.
Maka setiap pagi, mereka pergi
ke tempat penyimpanan pewarna kain
dan mengambil semua yang ada.
Yunani tidak menggunakan warna,
“warna bukanlah lukisan kami.”
Masuklah mereka ke ruangannya
lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya.
Setiap hari, setiap saat, mereka membuat
dinding-dindingnya lebih bersih lagi,
seperti bersihnya langit yang terbuka.
Ada sebuah jalan yang membawa semua warna
menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah,
seindah-indahnya berbagai jenis warna
di awan dan langit, semua berasal dari
sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan.
Tiongkok telah selesai, dan mereka sangat bangga
tambur ditabuh dalam kesenangan
dengan selesainya lukisan agung mereka.
Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia
karena keindahan warna dan seluk-beluknya.
Lalu Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka.
Dan tampaklah bayangan lukisan Tiongkok dan semua pelukisnya
berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening,
seakan mereka hidup di dalam dinding itu.
Bahkan lebih indah lagi, karena
tampaknya mereka selalu berubah warna.
Seni lukis Yunani itulah jalan sufi.
Jangan hanya mempelajarinya dari buku.
Mereka membuat cintanya bening, dan lebih bening.
Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu
mereka menerima dan memantulkan kembali
lukisan dari setiap potong waktu,
dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang.
Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya,
sebagaimana mereka melihat
melalui beningnya Cahaya
yang juga sedang melihat mereka semua.

Selepas Ekstase
Orang-orang menyebutku Sufi, saat kukata
Darahku terdiri dari Allah. Seluruh bulu romaku
Bakal masuk Surga. Dan bagai Rabi’ah : kutaktakut Neraka
O,mata mereka berbinar. Syahwat mereka nanar
Inilah susahnya hidup di tengah-tengah masyarakat keledai
Sebab terlalu silau dan terpukau oleh matahari bumi
Mereka tak sekalipun membutuhkan tongkat Musa
Sebab mereka berjubah Al-Hallaj. Dan puas menari
Dalam irama khusu’ Rumi
Hu, hu,hu,… … …
Aku stres, wahai kekasih. Kehilangan kata-kata
Di samudra kalimat-Mu. Aku menjadi gila pada suatu hari
Berteriak disudut-sudut kota yang hangus oleh nista
Ingin lari dari kungkungan para keledai. Ingin mencari
mukjizat Nabi : mendaki Tursina-Mu
berharap nemu tongkat gembala, lalu ngangon keledai dungu itu
di padang-padang kebenaran yang telah mereka lupakan
… … assalamu’aika !
kuketuk pintu Kau dalam ekstase panjang. Rabbi, anta maksudi
mereka makin terpukau. Hu, hu, hu, … …
merekamnya dipita-pita kaset. Memutarnya dikedai-kedai kopi
atau diatas pentas puisi. Menenggelamkam diri
dalam kebahagiaan semu di lautan yang tak mereka pahami
sembari mengunyah dunia
: “Pinjami aku tongkatmu, Musa
biar kubelah laut kebodohan
yang jadi batas kebenaran
melangkahi rumah nurani
di kedalaman samudera hati.”
Aku gila, wahai Kekasih. Aku gila !!
Tapi mereka keledai semakin tak sadarkan diri
Mengumbar gairah duniawisepanjang hari. Hu, hu, hu, … …
Menari-nari Rumi. “Ngigau jadi Rabi’ah
Tak takut Neraka, tak butuh Surga
Mereka tegang dalam birahi. Kemaluannya menerobos hijab
Dan tak lagi mampu menyimpan rahasia. Menggelinding
Dan pamer di panggung-panggung kolosal sekaligus murahan
Mendengus sana sini. Ngiler kesana kemari hingga puncak orgasme
Kian menjauhi bukit Tursina yang menyimpan cahaya
Tambah peduli pada kalimat ekstaseku
Sambil histeris menoreh daging diri mereka kaligrafi
Yang kehilangan makna : Allah, Allah, Allah, … …
Aku gila sekaligus takut. Rabbi !
Mereka mengeja bibirku sebagai Kitab Suci : anta maksudi
Mereka membaptisku sebagai Sufi Sejati. Mereka ingin menyatu
Keledai itu mengunyahku santai-santai bagai mngunyah dunia busuk ini
: “Pinjami aku wahai Musa
walau sebentar tongkat saktimu. Biar kungebut
mendaki bukit-bukti kehidupan para keledai
yang tengah asyik bersenggama dengan dunia
yang teler tanpa ingat akan cahaya di Tursina.”
O, ekstaseku direkam dalam berlusin pita
Dibuat makalah : didiskusikan dengan sejumlah seponsor
Dibumbui referensi busuk duniawi. Dijadikan nara sumber
Dibedah dari berbagai sudut ilmiah semu di hotel brbintang
Hu, hu, hu, … …
Mereka yang mengaku anak cucu sufi itu larut
Sambil memangku para betina. Menjelma menjadi binatang
Yang belajar bicara macam manusia. Membuat kesimpulan
Tentang perlunya sejarah baru yang baku
O, mereka makin lepas landas. Mengingkari banjir bandang
Yag menyelamatkan Nuh. Mengingkari kulit mulus Yunus
Yang terhindar dari runcingnya gigi ikan buas
Mengingkari azab. Mengingkari angin, petir dan bumi
Yang berguncang. O, aku menyaksikan
Wajah-wajah kaum A’ad dan Tsamud di tengah-tengah mereka
Aku seperti tengah menonton Qorun dan Fir’aun berpidato di mimbar
Aku bagai sedang diracuni puisi Ubay bin Kalaf yang berapi-api
Maka aku berteriak keras-keras terhadap mereka. Mencaci-maki
Mengasa ayat-ayat suci jadi pedang yang tajam
Dan menuding-nuding kewajah mereka dengan rasa jijik
O, para keledai itu sangat profesional dengan peranannya
Tak sedikitpun gentar, malah sebaliknya. Mereka kini mengamuk
Ke arahku, wahai Kekasih. Sekejap membuatku terpana
Bagai menyaksikan reinkarnasi penderitaan Nabai-Nabi
O, langit-Mu menggelarkan episode masa-lalu. Ada wajah Zakariya
Yang digergaji. Ada wajah Isa yang disalib
Dan tangan-Mu menyibak hijab dalam potret nurani: Langit
Diserbu darah suci mereka. Lapis bumi teratas merubah diri jadi sayap.
Membawa terbang kebenaran ke gerbang mahligai-Nya
Dan al-Hallaj merintih dibanjir Tigris yang dia ciptakan
Dan Rabi’ah mati diatas sajjadah kesederhanaan
Ditikam cinta dan airmata ketakutan.
Begitu lama kutunggu akhir kegilaan ini, wahai Kekasih
Sebuah penantian yang panjang yang nyaris membuatku bosan.
Sambil mencatat semua tingkah-Mu terhadapku. Malam-malam Enkau menarik
selimut tidurku dengan sebuah bisikan itu ke itu : “Bangunlah
Aku menanti kau di langit pertama-Ku.” Lantas aku
menggeliat membuang tahu dunia di kedua pinggir mata hatiku
Menepis mimpi-mimpi masyarakat yang melenakan sejak awal malam
Membasuh semua kepalsuan dengan bening air suci Kau.
O, didalam diri aku ambruk Sujudku basah
Di tas sajjadah bumi-Mu. Menikmati batin
Yang kini sejuk tersiram kasturi cinta nurani tatkala suluk
(saat kuterjaga, jasadku jadi kelaparan
selepas ekstase daku mencakar-cakar ladang dunia buat kehidupan).
(Junaid al-Baghdady)

Pecinta Sejati
Kekasih Tuhan itu sakit di dunia ini,
Penderitaannya tak kunjung seda,
Kesedihannya satu-satunya pelipur hatinya,
Barangsiapa benar-benar mencintai Pencipta Agung …
Berkelana ke seluruh dunia bersama-Nya,
Di dalam pikiran-Nya
Dan di karuniai penglihatan akan Dia.
(Muhammad Zuhdi Saad)

Seputar Rasa Mabuk Ilahi:

Dzauq Dan Syurb
Gelas minuman adalah susuan kita
Kalau tak kita rasa
Tak hidup kita
Aku heran orang bicara, “Aku telah ingat Allah”
Apakah aku alpa? Lalu kuingat yang kulupa?
Kuminum Cinta, gelas piala demi gelas
Tuntas habis, tak puas pula
dahaga.

Tentang Mabuk Ilahi para Sufi sering mengutip syair:

Pabila pagi cerah dengan kejora citanya
itulah keserasian
Antara kemabukan dan kesukacitaan.

Sadar Dan Mabuk
Kesadaranmu dari KataKu
adalah sinambung
Dan mabukmu dari bagianKu
menyilakan teguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peneguknya
Menyerah pada sudut piala
yang memabukkan jiwanya.
Orang-orang mabuk kepayang memutari gelas piala
Sedang mabukku dari yang Maha Pemutar Piala
Ada dua kemabukan bagiku
dan hanya dua penyesal hanya satu
Yang diperuntukkan bagi mereka
hanya untukku.
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Segalanya bugar kembali.
(Rabiah Asy Syamiyah Al Adawiyah)

(Syair yang sering dikutip para sufi)
Fana’ Dan Baqa’
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Ada pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka sirna, kemudian sirna dalam kesirnaan, lalu sirna total
Lalu mereka kekal, dalam kekalnya kekal dari kekaraban dengan Tuhannya.


Haal
Kalau tidak menempati, pasti bukan Haal
Setiap yang menempati
Pasti hilang
Lihatlah bayangan sampai ujungnya
Berkurang ketika ia memanjang.
(Syekh Abul Hasan al-Kharqani qs)

Aku bukanlah seorang rahib (pertapa).
Aku bukan seorang zahid (asketis).
Aku bukanlah seorang khatib (penceramah).
Aku bukanlah seorang Sufi.
Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Esa, dan aku menyatu dalam Keesaan-Mu.

Tipuan Palsu
Aku melihat tipu muslihat dunia,
tatkala ia bertenggerdi atas kepala-kepala manusia,
dan membincangkan manusia-manusia yang terkena
tipunya.
Bagi mereka,
Orang sepertiku tampak amat tak berharga.
Aku disamakan olehnya,
dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan.

Mencintai Akhirat
Duhai orang yang senang memeluk dunia fana,
Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia,
Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu,
kepada duniamu itu.
Karena kelak engkau akan berpelukan,
Dengan bidadari di surga.
Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi,
maka hindarilah jalan menuju api neraka.

Rendah hati
Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,
Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung
dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki,
dan tak berkendaraan.
Tanganku pun kosong dan,
jalan ke sana amat mengerikan.

Tentang Cinta
Engkau durhaka kepada Allah,
dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya.
Ini adalah suatu kemustahilan.
Apabila benar engkau mencintai-Nya,
pastilah engkau taati semua perintah-Nya.
Sesungguhnya orang menaruh cinta,
Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya.
Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu,
setiap saat dan tak ada rasa syukur,
yang engkau panjatkan kepada-Nya.

Kepuasan (Qana'ah)
Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan,
lalu kupegang erat-erat ujungnya.
Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta,
dan memerintah bak seorang raja.

Anugerah Allah
Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku,
yang penuh dengan anugerah.
Engkaulah sumber satu-satunya,
pada saat penciptaanku.
Hidarkan aku dari anugerah yang buruk.
Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku,
hingga saat Engkau mematikanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar