Rabu, 01 September 2010

Siapa Bilang Indonesia Miskin!



Oleh Imam Cahyono

Peneliti, Tinggal di Jakarta
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/10/opini/3225479.htm


Kemiskinan seolah menjadi fakta tak terbantah. Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara berpenduduk termiskin di dunia, sekitar
39,05 juta jiwa versi Badan Pusat Statistik atau lebih dari 100 juta
jiwa versi Bank Dunia. Jika ambang batas kemiskinan (poverty
threshold) diukur dari kegagalan pemenuhan hak-hak dasar (basic
rights) atau dengan skala pendapatan di bawah 1-2 dollar AS per hari,
kita sulit mengelak.

Kegagalan menangani bencana, rentetan wabah penyakit, dan tragedi
busung lapar melengkapi potret buram itu. Kemasyhuran zamrud
khatulistiwa dan lautan kolam susu kian diragukan. Bagaimana mungkin
negeri yang kaya sumber alam dan bertanah subur justru menjadi ladang
persemaian tragedi kemiskinan?

Sebuah paradoks

Namun, mari kita gunakan logika terbalik. Selama ini, diagnosis
problem kemiskinan cenderung mengabaikan kekayaan bangsa —yang
kasatmata— dan orang-orang kaya di republik sebagai faktor
determinan. Di tengah kemiskinan yang menjerat, ada manusia-manusia
superkaya kelas dunia. Majalah Forbes Asia (18/9/2006) merilis daftar
40 orang superkaya Indonesia, dengan total kekayaan 22,27 miliar
dollar AS atau lebih dari Rp 200 triliun. Celakanya, di antara daftar
taipan superkaya itu bercokol pemain lama, termasuk pembobol uang
negara yang mengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).

Hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini tahun lalu juga tidak kalah
heboh. Menurut kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu,
sepertiga jumlah miliarder di Singapura adalah warga Indonesia.
Sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura, sebesar
260 miliar dollar AS, adalah milik warga Indonesia (WNI) yang punya
izin tinggal tetap di sana. Dari 55.000 orang terkaya itu, 18.000
orang adalah WNI yang berdomisili di Singapura dengan kekayaan 87
miliar dollar AS (sekitar Rp 800 triliun). Belum lagi jika ditambah
kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di negara lain.
Padahal, RAPBN 2007 saja hanya berkisar Rp 713,44 triliun.

Pada masa kolonial, darah dan keringat rakyat serta kekayaan alam
Nusantara dikuras Belanda. Kini, kekayaan Indonesia menjadi tulang
punggung negara lain. Bukan rahasia lagi, Singapura merupakan negara
yang tergantung uang gelap dari Indonesia dan China. Ironisnya, para
miliarder yang bermukim di sana tetap memiliki perusahaan yang
beroperasi di Indonesia dengan mengandalkan pasar Indonesia. Kendati
para miliarder tinggal di Singapura, mereka masih mencari untung
dengan mengeruk kekayaan Indonesia.

Dominasi pemodal asing

Lantas, seberapa besar kekayaan bangsa yang dapat dinikmati
rakyatnya? Globalisasi ditandai pergerakan modal secara bebas,
melampaui batas-batas negara- bangsa. Indonesia ternyata menjadi
surga bagi pemodal asing yang bergiat menguasai sumber daya yang
vital. Investor asing melihat Indonesia sebagai penyedia bahan baku
yang murah dan melimpah serta penduduknya sebagai pangsa pasar yang
potensial. Kita pun cenderung salah kaprah memaknai investasi asing
sebagai suntikan dana segar dari pemodal. Padahal, aliran modal asing
itu sejatinya menjadi parasit yang mengisap. Mereka beternak uang
dengan menumpang mencari makan di republik ini.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah selalu menjadi incaran.
Nama-nama besar Freeport, ExxonMobile, Newmon, dan Inco yang
menguasai sumber-sumber kekayaan alam potensial seperti emas, nikel,
gas, dan minyak bumi jelas bukan hal baru. Untuk air minum berlabel
Aqua, berasal dari mata air dan dikemas di republik ini, harus kita
beli dari Danone dengan harga yang tidak murah. Yang diuntungkan pun
para pemodal.

Sektor finansial, terutama perbankan, juga tak lepas dari cengkeraman
pemodal asing. Jangankan bank-bank papan atas seperti Bank Central
Asia (BCA), Bank Niaga, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia
(BII), Bank Lippo, Bank Bumiputera, NISP, Permatabank, bank-bank
kecil pun dilirik investor asing. Belakangan, penjualan bank swasta
kepada investor asing kian gencar. Celakanya, kebanyakan bank swasta
yang dimiliki asing itu lebih menggantungkan perolehan keuntungan
dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang tak lain adalah uang
negara. Laba triliunan rupiah yang didapat dari uang rakyat itu
kembali ke kantong para investornya.

Dominasi pemodal asing di bidang perbankan tak lepas dari aturan yang
membolehkan batas kepemilikan saham asing hingga 99 persen. Batas
kepemilikan bank oleh pihak asing di Indonesia jauh lebih liberal
dibanding negara lain. Amerika Serikat, negara dedengkot kapitalisme,
hanya memberi kepemilikan asing 30 persen. Filipina membatasi
kepemilikan asing 51 persen. Thailand dan India sebesar 49 persen.
Malaysia, China, dan Vietnam membatasi hingga 30 persen.

Sektor-sektor vital lain pun tak lepas dari serbuan investor asing.
Industri telekomunikasi pelan tapi pasti juga dikuasai modal asing.
Sektor ritel dan sektor lainnya pun terus digempur pemain asing,
sementara para pemain lokal kelabakan. Kibaran bendera modal asing
menggerogoti ruang gerak sektor usaha putra-putra bangsa. Ironis,
saat kekayaan republik ini bisa menghidupi orang asing, anak-anak
negeri sendiri justru telantar.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar sejatinya merupakan sumber
tenaga kerja yang berlimpah. China dan India menjadi raksasa ekonomi
dengan memanfaatkan penduduknya sebagai tenaga kerja yang produktif.
Jika republik ini dikelola dengan tegas dan saksama, dikawal
penegakan hukum, penciptaan lapangan kerja, redistribusi keadilan
sosial dengan mengutamakan kepentingan rakyat, Indonesia tidak pantas
menjadi negara miskin.

Sebaliknya, Indonesia bak raksasa yang sedang tidur. Jika bangun, ia
bisa menggegerkan dunia!

1 komentar:

  1. sangat disayangkan, sebuah negera yang kaya raya tetapi dikelola oleh para penyelenggara negara yang "miskin" otaknya....

    BalasHapus