Jumat, 24 September 2010

Pangkal Kerapuhan Kapitalisme


Kapitalisme adalah istilah yang dipakai untuk menamai sistem ekonomi yang mendominasi dunia Barat sejak runtuhnya feodalisme pada abad ke-16 (Dillard, 1987). Milton H. Spencer dalam bukunya, Contemporary Macro Economics (1977), mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah organisasi ekonomi yang dicirikan oleh kepemilikan individu atas alat-alat produksi dan distribusi serta pemanfaatan kepemilikan individu itu untuk memperoleh laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif (Winardi, 1990).

Tak dapat dipungkiri, Kapitalisme sebagai sistem ekonomi kini tengah berjaya di tingkat global, terutama setelah momentum hancurnya Sosialisme pada awal 1990-an. Hampir seluruh negara di dunia menerapkan Kapitalisme dengan berbagai variasinya. Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin dalam bukunya, The Chalenge of Global Capitalism (2000), bahkan memuji Kapitalisme sebagai “sistem ekonomi pencipta kesejahteraan paling berhasil yang pernah dikenal di dunia.”

Namun, para pemuja fanatik Kapitalisme itu lupa untuk menyoal, siapa yang menikmati kesejahteraan itu. Penikmat kesejahteraan sebagian besarnya hanyalah negara-negara penjajah kaya. Kapitalisme justru gagal total dalam mendistribusikan pendapatan global. Pada tahun 1960, 20% penduduk dunia terkaya menikmati 75% pendapatan dunia; sedangkan 20% penduduk termiskin hanya menerima 2,3% pendapatan dunia. Pada tahun 1997 ketimpangan global itu bukan makin berkurang, namun makin parah. Sebanyak 20% penduduk terkaya itu menikmati pendapatan global makin banyak, yakni 80%. Sebaliknya, 20% penduduk termiskin menerima pendapatan global makin sedikit, yakni menjadi 1% saja (Spilanne, 2003).

Tak hanya gagal dalam distribusi, Kapitalisme saat ini tengah meluncur menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda kerapuhan Kapitalisme makin terlihat. Harry Shutt dalam bukunya, Runtuhnya Kapitalisme (2005), menyebutkan bahwa Kapitalisme kini sedang mengalami “gejala-gejala utama kegagalan secara sistemik”. Misal: semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan semakin seringnya krisis keuangan.

Jelas, ada yang salah dalam Kapitalisme. Kesalahan ini bagaikan cacat bawaan yang melekat pada Kapitalisme sejak kelahirannya. Cacat ini sedemikan fatalnya sehingga yang diperlukan bukan lagi koreksi berupa pembaruan atau perbaikan pada lapisan kulitnya saja, namun perombakan total untuk membentuk sistem yang sama sekali baru (Jerry Mander dkk, 2004).

Tulisan ini berusaha menguraikan faktor-faktor paling mendasar yang mempengaruhi kerapuhan Kapitalisme dan akan langsung dibandingkan dengan solusi alternatifnya menurut Islam.

Ekonomi Berbasis Moneter
Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy (ekonomi berbasis sektor moneter/keuangan/non-real), bukan real based economy (ekonomi berbasis sektor real). Artinya, Kapitalisme dominan bermain di level atas dari ekonomi real. Rente (keuntungan) ekonomi diperoleh bukan melalui kegiatan investasi produktif (produksi barang dan jasa), melainkan dalam investasi spekulatif melalui sektor non-real (keuangan); misalnya melalui kredit perbankan serta jual-beli surat berharga seperti saham dan obligasi (Harahap, 2003). Dalam ekonomi berbasis sektor moneter/keuangan inilah, Kapitalisme tidak dapat dilepaskan dengan bunga (riba).

Sistem ekonomi non-real ini berpotensi besar untuk meruntuhkan sistem keuangan secara keseluruhan. Menurut The Morgan Stanley yang dikutip David Ignatius (Washington Post, 15/11/2002), pada tahun 2001 dan 2002 jumlah obligasi yang default (gagal bayar) sebesar Rp 1.650 triliun. Jumlah ini lebih besar daripada jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya jika seluruhnya diakumulasikan. Kompas (16/01/2003) memberitakan, US$ 277 miliar obligasi di Amerika tidak bisa dibayar. Ini baru dari aspek surat berharga obligasi yang berbasis bunga (interest based) (Harahap, 2003).

Dari aspek kredit bank juga dapat diketahui, bahwa kualitas aktiva produktif (kredit) di Amerika semakin lama semakin turun. Menurut data Moody’s Ratio of Credit Downgrades to Upgrades, terlihat bahwa kredit bank di Amerika semakin menurun sejak tahun 1995 hingga tahun 2003. Ini membuktikan, bahwa pola kredit perbankan berbasis bunga dapat membahayakan kelangsungan perbankan itu sendiri, dan pada akhirnya dapat membahayakan sektor real dan perekonomian secara umum (Harahap, 2003).

Islam berbeda dengan Kapitalisme. Islam tidak mengakui keberadaan sektor non-real berbasis bunga, karena Islam telah mengharamkan riba, termasuk bunga (QS 2: 275). Dengan kata lain, dalam Islam, uang bukanlah komoditi yang karenanya mempunyai harga. Harga uang inilah yang dalam teori-teori Kapitalisme disebut bunga. Menurut buku UK Budget Red Books 1990, “Suku bunga merupakan harga dari uang dan kredit.” (El-Diwany, 2003). Uang dalam Islam hanyalah sebagai alat tukar saja, bukan sebagai komoditi sebagaimana dalam Kapitalisme.

Dengan kata lain, ekonomi Islam adalah real based economy (ekonomi berbasis sektor real). Ini merupakan kebalikan total dari ekonomi Kapitalisme yang dibangun dengan monetary based economy. Keuntungan hanya diperoleh melalui jerih payah nyata (real) dalam produksi barang atau jasa.

Ekonomi Berbasis Uang Kertas (Fiat Money)
Fiat money adalah uang kertas yang secara legal diakui pemerintah melalui dekrit sebagai uang resmi, namun tidak ditopang dengan logam mulia seperti emas dan perak (Hamidi, 2007). Uang kertas itulah yang sekarang digunakan oleh negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat. Sejak berakhirnya sistem Bretton Woods yang mengaitkan dolar dengan emas (1 ons/28,35 gram emas=35 dolar AS) pada tahun 1970-an, dolar AS tidak ditopang lagi dengan emas dan dapat berlaku hanya karena kepercayaan (trust) orang pada dolar.

Seiring dengan dominasi Kapitalisme AS, mata uang dolar kini menjadi salah satu mata uang kuat (hard currency) dunia yang digunakan sebagai standar nilai dan alat pembayaran dalam perdagangan internasional.
Sistem uang kertas ini merupakan salah satu akar kerapuhan Kapitalisme. Betapa tidak. Pasalnya, jika dibandingkan dengan mata uang Islam (dinar dan dirham), uang kertas sesungguhnya mempunyai kelemahan mendasar, antara lain selalu terkena inflasi permanen (Hamidi, 2007). Di samping itu, uang kertas jauh dari nilai keadilan (fairness) lantaran nilai intrinsiknya tidak sama dengan nilai nominalnya.

Mengenai inflasi permanen, perhatikan ilustrasi berikut. Misal: Anda meminjamkan uang kepada teman Anda tahun ini sebesar Rp 100 juta rupiah. Teman Anda akan mengembalikan sejumlah Rp 100 juta juga, namun 10 tahun lagi. Samakah nilai Rp 100 juta sekarang dengan Rp 100 juta untuk 10 tahun lagi? Jelas tidak sama. Uang kertas rupiah ini akan mengalami depresiasi (penurunan nilai) karena inflasi permanen. Inilah kelemahan mendasar uang kertas.

Mata uang Islam (dinar dan dirham) berbeda dengan mata uang dalam Kapitalisme. Dinar dan dirham terbukti dalam sejarah sangat kecil sekali inflasinya. Pada masa Rasulullah saw., dengan uang 1 dinar (4,25 gram emas) orang dapat membeli seekor kambing, dan dengan uang 1 dirham (2,975 gram perak) dapat dibeli seekor ayam. Pada masa sekarang ini, tahun 2007, dengan uang senilai 1 dinar orang masih dapat membeli seekor kambing; dan dengan uang senilai 1 dirham orang sekarang masih dapat membeli seekor ayam. Luar biasa, bukan?

Pada mata uang kertas, nilai intrinsiknya tidak sama dengan nilai nominalnya. Ini jelas tidak adil. Misal: untuk mencetak uang dengan nilai nominal 1 dolar AS diperlukan biaya yang besarnya hanya 4 sen dolar AS. Jadi, nilai intrinsik uang 1 dolar sebenarnya hanya 4 sen dolar. Kalau kurs 1 dolar AS, misalnya, senilai Rp 10.000, berarti 4 sen dolar hanya sebesar Rp 400. Nah, sekarang kalau mau mencetak uang 100 dolar AS, berapa biaya produksi yang diperlukan? Jelas sekali tidak akan jauh berbeda dengan biaya mencetak uang 1 dolar AS (Hamidi, 2007).

Berbeda dengan uang kertas, pada dinar dan dirham nilai intrinsik dan nominalnya menyatu, tidak bakal ada perbedaan. Mengapa? Sebab, nilai nominal dinar atau dirham ditentukan semata oleh berat logamnya itu sendiri yang sekaligus menjadi nilai intrinsiknya, bukan ditentukan oleh dekrit atau pengumuman bank sentral. Kalau kita menyimpan uang Rp 100 ribu sebanyak satu karung, lalu Bank Indonesia mengumumkan uang itu tidak berlaku lagi dan tidak bisa ditukar dengan uang baru, kita tak bisa berbuat apa-apa. Sekarung uang itu hanya menjadi sampah tak bernilai. Berbeda halnya kalau kita mempunyai dinar emas seberat 100 gram, misalnya. Dinar emas akan tetap berlaku sebagai alat tukar di mana pun dan kapan pun, tidak bergantung pada dekrit pemerintah atau bank sentral.

Keunggulan dinar dan dirham Islam itu tidak dimiliki oleh dolar AS yang dominan sekarang. Jika dinar dan dirham memperkokoh ekonomi karena tahan inflasi, dolar AS justru akan merapuhkan ekonomi lantaran rentan inflasi. Pasalnya, ketika dolar tidak ditopang dengan emas lagi, pemerintah AS akan gampang tergoda mencetak dolar dalam jumlah tak terbatas (unlimited). Penciptaan dolar yang terus-menerus oleh Federal Reserve (Bank Sentral) AS inilah yang dianggap para pakar seperti Friedman dan Schwartz (1983) sebagai biang keladi di balik depresi terburuk sepanjang sejarah Amerika. Mereka mengatakan, Federal Reserve-lah yang menyebabkan inflasi terus-menerus karena mencetak dolar yang melebihi nilai barang dan jasa yang ada (Hamidi, 2007).

Ekonomi Berbasis Utang
Utang, baik yang dilakukan negara-negara kapitalis maupun negara-negara Dunia Ketiga, terbukti sama-sama membahayakan. Total out standing utang AS (pemerintah dan swasta) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1998 jumlahnya ‘baru’ 5,5 triliun dolar AS, dan pada tahun 2002 jumlahnya menjadi 6,2 triliun dolar AS. Jelas ini jumlah yang luar biasa besar kalau dibandingkan dengan utang Indonesia yang ‘hanya’ 120 miliar dolar AS pada tahun 1998 dan turun menjadi 98 miliar dolar AS pada tahun 2002.

Bagaimana AS mengatasi masalah ini? Gampang, AS tinggal mencetak dolar sebanyak-banyaknya, lalu mengalihkan beban inflasinya ke segala pihak yang memegang uang dolar di seluruh dunia (Hamidi, 2007). Dampaknya, pertumbuhan ekonomi yang muncul akan bersifat semu (bubble economy) dan ancaman kolapsnya pun tinggal menunggu waktu.

Bagi negara-negara Dunia Ketiga yang ikut-ikutan menerapkan Kapitalisme, utang telah menjadi alternatif andalan dalam pembiayaan pembangunan mereka sejak berakhirnya Perang Dunia II (1945). Namun, para penguasa Dunia Ketiga itu tidak sadar, bahwa utang luar negeri sebenarnya lebih bermotif ideologi-politik daripada motif ekonomi. John F. Kennedy tahun 1962 pernah menegaskan, bahwa utang luar negeri merupakan metode AS untuk mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia (Beaud, 1987). Dengan demikian, utang luar negeri bagi negara-negara Dunia Ketiga bukan saja menimbulkan masalah ekonomi (beban utang yang berat), namun juga masalah ideologi dan politik, yaitu hegemoni ideologi Kapitalisme di negeri-negeri Islam.

Islam dengan tegas mengharamkan utang luar negeri dengan dua alasan utama. Pertama: karena utang itu pasti disertai syarat bunga, padahal Islam mengharamkan bunga (QS 2: 275). Kedua: karena utang itu telah menghancurkan kedaulatan negeri penerima utang dan hanya menjadi jalan hegemoni penjajah kafir. Padahal hegemoni kafir atas umat Islam juga diharamkan (QS 4: 141).

Ekonomi Berbasis Investasi Asing
Investasi asing yang dilakukan negeri-negeri Islam terbukti lebih menguntungkan negara-negara investor dan malah merugikan ekonomi lokal. Ekonom Sritua Arief pernah menghitung, untuk 1 dolar AS investasi asing yang masuk ke Indonesia, ternyata yang balik lagi keluar dari Indonesia adalah sepuluh kali lipatnya, alias 10 dolar AS.

Investasi asing yang dilakukan ternyata lebih sebagai penghisapan dan eksploitasi yang kejam. Sebanyak 70% sumberdaya alam di Indonesia telah dikuasai asing. Indonesia hanya mendapat bagian sedikit, ditambah ‘bonus’ mengerikan berupa kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Emas Papua yang dieksploitasi PT Freeport, misalnya, pertahun menghasilkan Rp 40 triliun. Namun, Pemerintah Indonesia hanya mendapat bagian 9,4 % ditambah pajak dan royalti, serta itu tadi, bonus kerusakan lingkungan yang dahsyat dan konflik sosial antara penduduk lokal dengan PT Freeport karena ketidakadilan.

Islam memberikan ketentuan syariah yang jelas mengenai investasi asing. Dalam investasi asing untuk SDA, misalnya, Islam telah menetapkan bahwa SDA seperti emas, minyak, dan gas, adalah milik umum, bukan milik individu atau milik negara. Jadi, tambang tidak boleh diserahkan kepada investor untuk dieksplorasi dengan sistem bagi hasil. Yang benar, 100% hasil tambang adalah milik umum yang dikelola negara. Jika ada pihak swasta yang dilibatkan, itu sebatas kontrak tenaga kerja atau kontrak sewa, dan peralatan yanga dibayar sesuai dengan jasa mereka.
Wallahu a'lam.

[KH
. M Shiddiq al-Jawi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar