Minggu, 26 September 2010

Sejarah Jogjakarta

    Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan Propinsi yang mempunyai status sebagai Daerah Istimewa. Status Daerah Istimewa ini berkaitan dengan sejarah terjadinya Propinsi ini, pada tahun 1945, sebagai gabungan wilayah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, yang menggabungkan diri dengan wilayah Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
    Ujung sebelah Utara dari propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan puncak gunung Merapi yang memiliki ketinggian lk. 2920 meter diatas permukaan laut. Oleh para ahli gunung berapi (vulcanolog) internasional, gunung api ini sangat terkenal karena bentuk letusannya yang khas dan sejenis dengan letusan gunung api Visuvius di Italia. Sampai saat ini gunung ini gunung Merapi sangat aktif Puncaknya mengepulkan asap, yang merupakan panorama khas yang melatar-belakangi pemandangan kota Yogyakarta sebelah Utara.Luas Propinsi Daerah Istimewa, lebih kurang 3.186 Km2 berpenduduk 3.020.837 orang (data Juni 1990) dan terbagi menjadi 5 Daerah tingkat II, yakni : Kotamadya Yogyakarta, yang merupakan Ibu kota propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Sleman, dengan Ibukota Beran Kabupaten Bantul, dengan ibukota Bantul Kabupaten Kulonprogo, dengan Ibukota kota Wates. Setelah wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX sebagi Guberneur Kepala Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta , Pejabat Gubernur Kepala Daerah Propinsi DIY dijabat oleh Sri Paku Alam VIII yang sebelumnya sebagai Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
SEJARAH YOGYAKARTA

    Antara tahun 1568 – 1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil mucul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan : Ngabehi Loring Pasr. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Menataok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah “tanah perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengakat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senopati. 
    Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan bik melalui Perjanjian Ginyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, yang artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakata Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut sebagai Yogyakarta dan sering disingkat menjadi Jogja. Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta (setingkat dengan Propinsi), sampai sekarang.
KOTA PELAJAR
    Antara awal tahun 1946 sampai akhir tahun 1949, selama lebih kuran 4 tahun, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI. Pada masa itu para pimpinan bangsa Indonesia berkumpul di kota perjuangan ini. Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara ini yang baru saja medeka. Namum untuk dapat membangun suatu negara diperlukan tenaga-tenaga ahli, terdidik dan telatih. Dan karena itulah yang melatar belakangin pemerintah RI untuk mendirikan sebuah Universitas, yang kita kenal dengan nama Universitas Gajah Mada, merupakan Universitas Negeri pertama yang lahir pada masa kemerdekaan.

    Selanjutnya diikuti dengan berdirinya akademi di bidang kesenian(Akademi Seni Rupa Indonesia dan Akademi Musik Indonesia), serta sekolah tinggi di bidang agama Islam (Perguruan Tinggi Agama Islam Negaeri, yang selanjutnya menjadi IAIN Sunan Kalijaga). Pada waktu selanjutnya juga bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta di kota Yogyakarta, sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Jogja tumbul menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar,mahasiswa,karyawan,pegawai,pedagang dan masyarakat umum adalah sepeda dan sepeda motor, yang merupakan sarana trasportasi yang digunakan baik siang mupun di malam hari. Hal ini menjadika Jogja juga dikenal dengan sebutan kota sepeda.
     
PUSAT KEBUDAYAAN

    Pada hakekatnya, seni budaya yang asli dan indah selalu terdapat di lingkunggan kraton dan daerah disekitarnya. Sebagai bekas suatu Kerajaan yang besar, maka Yogyakarta memiliki kesenian dan kebudayaan yang tinggi dan bahkan merupakan pusat sumber seni budaya Jawa. Hal ini dapat kita lihat dari peninggalan seni-budaya yang dapat kita saksikan pada pahatan pada monumen-monumen peninggalan sejarah seperti candi-candi, istana Sultan dan tempat-tempat lain yang masih berkaitan dengan kehidupan istana. Dan sebagian dapat disaksikan pada moseum-moseum budaya.Kehidupan seni tari dan seni lainnya juga masih berkembang pesat di kota Jogja serta nilai-nilai budaya masyarakat Jogja terukap pula dalam bentuk arsitektur rumah penduduk, dengan bentuk joglonya yang banyak dikenal di seluruh Indonesia. Andhong antik di Jogja memperkuat kesan, bahwa Yogyakarta masih memiliki nilai-nilai tradisional. Seniman terkenal dan seniman besar besar yang ada di Indonesia saat ini, banyak yang didik dan digembleng di Yogyakarta. Sederetan nama seniman seperti Affandi, Bagong Kusdiharjo, Edi Sunarso, Saptoto, Amri Yahya, Kuswadji Kawindro Susanto dan lain-lain merupakan nama-nama yang ikut memperkuat pernanan Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan.
     DAERAH TUJUAN WISATA

Pada masa sekarang, seluruh predikat Yogyakarta luluh mejadi satu dan berkembang menjadi satu dimensi baru : Yogyakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata. Keramah tamahan yang tulus, khas Yogyakarta, akan menyambut para wisatawan di saat mereka datang, sengan kemesraan yang dalam akan mengiring, saat mereka meninggalkan Yogya, dengan membawa kenangan manisyang tidak akan mereka lupakan sepanjang masa. Perananya sebagai kota Perjuangan, daerah Pelajar dan Pusat Pendidikan, serta daerah Kebudayaan, ditunjang oleh panorama yang indah, telah mengangkat Yogyakarta sebagai Daerah yang menarik untuk dikunjungi dan mempesona untuk disaksikan. Yogyakarta juga memiliki berbagai fasilitas dengan kualitas yang memadai yang tersedia dalam jumlah yang cukup, Kesemuanya itu akan bisa memperlancar dan memberi kemudahaan bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota Yogya. Sarana transportasi, akomodasi dan berbagai sarana penunjang lainnya, seperti santapan makan-minum yang lezat, serta aneka ragam cinderamata, mudah diperoleh di mana-mana.

Sumber : http://yogya2.wasantara.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar