Rabu, 29 September 2010

Soto Kerbau, Sebuah Rasa Saling Menghormati Dalam Perbedaan

Soto Kerbau, “Makanan Suci” Orang Kudus



Setiap kali melewati jantung kota Kudus, ataupun sekedar jalan-jalan menikmati pesona daerah yang berjuluk kota kretek, ada satu “amalan wajib” buat aku, yaitu menyantap menu soto kerbau.
Pasti telinga kita merasa asing dan aneh mendengar menu masakan soto kerbau, karena yang biasa dijajakan adalah soto ayam atau soto sapi.

Akan tetapi, kalau kita melintas di Jln. AKBP Agil Kusumadya Kudus, bisa dijumpai satu kedai makan yang menjual menu soto kerbau sebagai sajian utamanya, dengan nama Warung Makan Karso Karsi. Warung yang terletak tidak jauh dari RS Mardi Rahayu dan sekarang dipegang generasi ketiga dari Karso Karsi, yakni Ny. Nanik Cahyani ,  selalu ramai oleh para pengunjung, khususnya pemburu kuliner. Karena selain kelezatannya, soto kerbau termasuk makanan langka, tak banyak warung makan ataupun restoran yang  menawarkan sebagai obyek jualannya. 
 
Dengan jam buka menjelang waktu dhuhur, jelas segmen yang dibidik adalah para pencari makan siang. Meski warung belum dibuka, biasanya telah tampak orang-orang yang rela mengantri, karena soto kerbau Karso Karsi ini laris manis dan cepat habis dalam sekejap. Ketika menjadi pengunjung di ‘kloter’ pertama, setidaknya menu yang tersedia masih lengkap dan masih fresh dihidangkan. 



Semangkuk nasi soto, yang berisi irisan daging kerbau, mie putih, tauge, kol, butiran kacang kedelai,  yang ditaburi daun seledri dan bawang goreng, disiram kuah dari kaldu kerbau yang hangat, dengan bumbu dan aroma rempah-rempah yang khas, dijamin sajian ini menggoyang lidah. Bila ingin menikmati secara total cita rasa daging kerbau, kita bisa juga memesan lauk daging kerbau sebagai tambahan, baik empal maupun lidah, yang diolah menjadi daging lapis dengan tambahan taburan bawang goreng. Sebagai kondimen disediakan kecap, jeruk limau dan sambal.

Harganya pun relatif murah, seporsi soto kerbau sangat terjangkau untuk menebusnya. Ditambah minuman, baik teh maupun air jeruk yang harganya masih cukup terjangkau oleh isi kantong. Harga yang sepadan, bila dibandingkan kenikmatan, kepuasan dan kelangkaan menu sajian khas pantura timur ini. 
Sebenarnya, apa yang tersaji di dalam soto kerbau adalah gambaran budaya Kudus yang multiculture, yang diwarnai percampuran tradisi Hindu, Jawa dan Tiongha. Perbedaan budaya yang ada, bila berjalan berdampingan, akan menghasilkan paduan yang unik tiada duanya, termasuk dalam hal masakan.

Yang pertama adalah warisan budaya agama Hindu Jawa, dengan simbol berupa daging kerbau. Bagi masyarakat Kudus, yang notabene adalah masyarakat Jawa, hewan sapi dianggap sebagai hewan suci, sebuah larangan besar untuk disembelih dan dimakan. Pada masa penyebaran agama Islam di tanah Jawa, khususnya di daerah Kudus, untuk menghargai dan menjunjung tinggi sikap menghormati antar pemeluk agama Hindu dan umat Islam, Sunan Kudus pun “melarang” sapi untuk dijadikan santapan, meski dari sisi syariah Islam dihalalkan. Dan sebagai alternatifnya digantikan dengan hewan kerbau. Sebuah sikap toleransi yang indah. Meski budaya Hindu telah hilang pengaruhnya kurang lebih 700 tahun yang lalu, tetapi kebiasaan yang terlanjur terpatri dalam kehidupan masyarakat Kudus untuk tidak menyantap daging sapi diwariskan sampai sekarang.

Kuah adalah representasi budaya Jawa yang tampak mendominasi dalam semangkuk soto kerbau. Berwarna bening, sedikit berminyak dan tarikan rasa asam Jawa. Bumbu-bumbu yang digunakan pun bercitarasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan perasan jeruk limau. Cara penghidangannya pun bisa dipilih, nasi langsung dicampur dengan kuah sotonya atau terpisah. Penyajian yang asli adalah nasi langsung dicampur dengan soto kerbau, sesuai dengan selera Jawa yang selalu menjadikan nasi sebagai makanan pokok.

Unsur Tionghoa secara eksplisit terlihat dari penggunanaan serbuk koya dan bawang putih goreng. Serbuk koya adalah budaya kuliner Tiongha peranakan. Serbuk ini terbuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur. Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah goreng, bukan bawang putih, untuk digoreng sebagai kodimen. Namun di soto kerbau, bawang putih gorenglah yang dijadikan campuran.
Alhasil, dari pertemuan tiga budaya yang saling melengkapi dalam semangkuk soto kerbau inilah, tercipta cita rasa yang khas dan membumi.

Soto kerbau adalah bukti bahwa perbedaan, bila berjalan selaras, akan menghasilkan ‘kreasi baru’ yang indah. Agar bisa selaras, tiap budaya harus diberi kesempatan hidup, berkembang dan berasimilasi dengan budaya lainnya, karena tiap-tiap budaya bisa menyumbangkan nilai-nilai positif  untuk masyarakat. Bukan untuk disingkirkan, apalagi dimusnahkan. 

didiksalambanu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar