Senin, 25 Oktober 2010

Bung Karno dan Islam

Bung Karno lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang tak membaca Qur’an sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Ayahnya seorang priyayi Jawa, pengikut theosofi, ibunya seorang perempuan Hindu Bali.

Seperti dikatakannya di tahun 1962, di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Jakarta: Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, theosofi. Jadi kedua kedua orangtua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam.
Apa yang diajarkan orangtuanya? Ada sebuah detail dalam Sukarno, an Autobiography as told to Cindy Adams, yang sekilas menunjukkan dasar etis yang diajarkan sang ayah, seorang guru, kepadanya. Pada suatu hari si kecil Karno memanjat pohon jambu di pekarangan rumah. Tak sengaja ia membuat sarang burung di dahan itu jatuh. Ayahnya memarahinya: anak itu harus menghargai hidup makhluk apapun. Father was livid. “I taught you to love animals”, he thundered. I shook with fright. “Yes, Father, you did.” “You will please be as good as to explain the meaning of the phrase: ‘Tat Twam Asi, Tat Twam Asi.’” It means ‘He is I and I am he, you are I and I am you’”. “And were you not taught this has a special significance?” “Yes, Father. It means God is in all of us,” I said obediently.

Tidak kita ketahui, tahukah si ayah bahwa ucapan itu, “Tat Twam Asi”, berasal dari Upanishad Chandogya. Sebagai seorang yang mempraktekkan ajaran theosofi, Raden Sukemi Sosrodiharjo tentu tak asing akan kitab-kitab suci Hindu. Pada masa itu, pengaruh theosofi cukup berarti di Jawa. Perhimpunan Theosofi, yang didirikan di New York di tahun 1875 oleh Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott dan William Quan Judge, kemudian berpusat di Madras, India, dan kepemimpinannya diteruskan oleh Annie Besant. Perhimpunan ini mengajarkan semangat pluralis: ingin membentuk satu inti “persaudaraan universal” yang tak memandang ras, keyakinan dan gender.

Telaah perbandingan agama digalakkan, juga mengenai daya dalam diri manusia yang selama ini, oleh ilmu modern, tak dapat dijelaskan. Di Indonesia, di bawah kolonialisme yang dibangun atas pembedaan etnis, latarbelakang sosial dan asal-usul (sebuah rezim yang oleh Ann Laurie Stoller disebut “taxonomic state”), tampaknya theosofi menemukan tempat di mana banyak orang membutuhkannya. Waktu itu di Batavia, ada Taman Blavatsky, di Bandung Taman Olcott dan di Semarang Lapangan Annie Besant. Banyak kalangan priyayi seperti Raden Soekemi Sosrodihardjo yang jadi anggota Perhimpunan. Di antara anggota Volksraad, parlemen bikinan Hindia Belanda waktu itu, tercatat lima orang orang Theosofi, terutama warga yang berdarah Belanda. Di kalangan intelektuil, Moh. Yamin, Sanoesi Pane dan Dr. Amir termasuk pengikut Theosofi yang aktif. Dalam sajak-sajak Sanusi Pane, kita temukan kekaguman yang jelas kepada warisan India (Hindu dan Budha) dalam khasanah kebudayaan Indonesia; Sanusi sendiri pernah melawat ke India di tahun 1929-30.

Ada sesekali Bung Karno memakai acuan ajaran dari India dalam tulisannya, misalnya ketika ia menyebut “Bhagavad Ghita” dan “Cri Krishna” dalam memberi penghormatan kepada Tjipto Mangunkusumo ketika dibuang. Tapi pandangan theosofi tak nampak jejaknya dalam pemikiran Bung Karno, setidaknya dalam pemikiran politiknya. Mungkin karena di Hindia Belanda, Perhimpunan Theosofi yang ingin meniadakan diskriminasi itu pada akhirnya menolak untuk mengambil posisi radikal.

Bahkan seorang pemimpinnya, D. Van Hinloopen Labberton, pada tanggal 6 September 1913 menulis dalam Theosofisch Maandblad voor Nederlandsch-Indië sepucuk surat terbuka yang mengritik Tjipto Mangunkoesoemo dan Soewardi Soerjoningrat ketika kedua orang itu, bersama pendiri Indische Partij yang satunya, Douwes Dekker, dibuang oleh pemerintah kolonial. Kedua orang itu pemberani, kata Hinloopen Labberton, tapi tak paham benar apa arti “kemerdekaan”. Kemerdekaan baginya harus tetap ada ikatan, dan “untuk negeri ini, hanya otoritas Pemerintah yang punya hak mengayunkan godam hukuman.” Dan dengan huruf kapital ia menegaskan: “JAWA DAN NEDERLAND HARUS SATU”. Dengan pandangan politik seperti itu, para pendukung Theosofi – yang oleh kaum kiri pernah diejek dengan kata “tai sapi” — tak mungkin menarik hati seorang anak muda yang sejak remaja terpikat pemikiran Karl Marx.

Pada umur 15, Sukarno meninggalkan Blitar dan bersekolah di sekolah menengah HBS di Surabaya. Di situlah gurunya, C. Hartogh, seorang sosial-demokrat, menjelaskan kepadanya teori-teori Marxisme, dan ia terpesona. Tapi tak hanya itu. Kita tahu ia indekos di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh besar pergerakan nasional yang kemudian jadi mertuanya itu. Pada masa itu, Tjokroaminoto sudah tiga tahun lamanya memimpin Sarekat Islam (SI). Organisasi ini berubah dari sebuah organisasi dengan tujuan terbatas – perbaikan kaum pedagang yang beragama Islam – menjadi sebuah organisasi yang kian lama kian bersifat politik dan akhirnya menjadi partai, yang jadi tempat bertemu bermacam ragam orang. Dalam Sarekat Islam terdapat misalnya Semaoen, yang setahun setelah jadi anggota SI, juga jadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosial demokrat Hindia Belanda yang jadi cikal bakal Partai Komunis. Semaoen, seperti halnya Alimin, adalah orang-orang kiri yang lebih tua dan sering Bung Karno temui. Alimin, kata Bung Karno, “adalah orang yang mengajarinya Marxisme”.

 

















Dari yang dikenang kembali oleh Bung Karno dari masa hidupnya bersama Tjokroaminoto dan keluarganya, saya tak mendapatkan kesan di sana ia telah mendalami ajaran Islam. Tjokroaminoto sendiri, keturunan priyayi dari Madiun dan lulusan OSVIA (sekolah untuk para calon pamong praja) ini tampaknya tak bertolak dari pendalaman ilmu agama. Sebagaimana ketika ia dilahirkan, SI, dalam hal ini Tjokroamnioto, lebih “menggunakan simbol Islam, sebagai gerakan kebangsaan”, dan baru kemudian timbul gagasan pada Tjokro untuk mempelajari Islam lebih lanjut.

Selain kursus tentang teori politik dan sosiologi, di dalam SI diadakan juga kursus tentang agama, misalnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tapi yang diteruskan Bung Karno dari Tjokro (di samping kemampuan berpidato) adalah sikap eklektiknya. Bagi Tjokroaminto, persatuan antara kalangan yang berbeda adalah jalan dan sekaligus tujuan. Dalam Kongres Ketiga SI di Bandung di tahun 1916, Tjokroaminoto menegaskan: “Kita bermaksud bahwa SI menuju arah persatuan yang utuh dari semua golongan bangsa Indonesia yang harus dibawa setinggi-tingginya ke tingkat natie.”

Dengan sikap seperti itu, seperti disebut di atas, Tjokro bersedia menerima unsur-unsur komunis dalam partainya. Bahkan baginya, Marx dan Engels tak membawa paham yang tercela. Ia sendiri memberikan kursus tentang sosialisme, dan seperti dikenang oleh Hamka, Tjokro “tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya”. Teori Historis Materialisme, kata Tjokro menurut Hamka, “telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.” Di tahun 1924, Tjokroaminoto menerbitkan bukunya, Islam dan Sosialisme.

Dua tahun setelah Islam dan Sosialisme terbit, Bung Karno menulis risalahnya yang terkenal, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” – yang kelak jadi dasar gagasan NASAKOM yang dipegangnya sampai ia wafat. Motif eklektikisme yang sama seperti Tjokro kelihatan di sini. Ada yang menganggap bahwa dorongan dalam diri Bung Karno untuk persatuan seperti yang tampak dalam risalah itu bermula dari “sinkretisme Jawa tradisional” yang ada dalam dirinya, seperti dikatakan Bernard Dahm dalam Sukarno and struggle for Indonesian Independence. Kesimpulan “orientalistis” seperti ini tak melihat sejarah.

Dalam masyarakat kolonial, ketidak-puasan meliputi hampir semua lapisan sosial. Kelompok dengan aliran yang berbeda-beda, atau bertentangan, mengacu ke sesuatu yang secara universal dirasakan tak adil. Masing-masing kelompok dengan demikian tak membentuk perbedaan yang murni. Identitas masing-masing (komunis, Islam, Jawa, nasionalis, Sumatra) tak ditentukan oleh adanya sifat-sifat dasar dalam diri masing-masing, dan tak didukung dan dikukuhkan oleh perbenturan kepentingan sosial-ekonomi yang bertahan.

Perpaduan pelbagai aliran pikiran yang dikemukakan Bung Karno terjadi karena masih cairnya hubungan antara “isme-isme” itu dengan kondisi sosial para penganutnya – hingga misalnya tokoh seperti Haji Misbach menjadi seorang Marxis-Leninis yang aktif. Antikolonialisme atau cita-cita kemerdekaan mengatasi semua aliran, dan masing-masing aliran, dalam satu untaian chain of equivalence (dalam pengertian Laclau), mencoba merebut dukungan seluas-luasnya bagi dirinya; sebab itu, mereka membuka diri ke pihak yang berbeda-beda. Itulah yang agaknya tercermin dalam eklektisisme Bung Karno.

Dahm tak melihat hal itu. Kesimpulannya bahwa Sukarno “manusia Jawa” bertolak dari salah paham: seakan-akan pengertian “Jawa” dapat meniadakan perbedaan antara seorang yang dibesarkan di Jawa Timur dengan pendidikan Belanda (dan terlibat dalam pergerakan nasionalis) dan seorang Mangkunegara IV dari sebuah kraton di Surakarta. Bung Karno memang menyukai wayang kulit, dan tak jarang menggunakan ekspresi dari ungkapan Dalang (“cakrawati”, “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”). Tapi ia menampik kontinuitas tradisi, bahkan dengan yang sering disebut “Jawa”.

Dalam teks bertuliskan tangan dalam Di Bawah Bendera Revolusi, ia menganjurkan orang semasanya untuk meninggalkan apa yang disebutnya “oude-cultuur-maniak” yang “pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, negarakertagama, empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”. Zaman dulu zaman indah, kata Bung Karno, “tetapi ia sudah mati!”. Dengan kata lain, Bung Karno memang bukan pemikir Islam dalam arti seperti Moh. Natsir, bukan pula pemikir “Jawa”, melainkan lebih dari semuanya, ia seorang penerus semangat modernitas – yang dalam hal ini dibentuk oleh Marxisme. “Saya adalah murid dari Historische School van Marx,” kata Bung Karno dalam wawancara dengan koresponden “Antara” yang kemudian dimuat dalam Pandji Islam di tahun 1939.

Wawancara itu dilakukan setelah diberitakan, Bung Karno meninggalkan sebuah rapat umum Muhammadiyah sebagai protes. Dalam rapat umum ini ada tabir yang memisahkan pengunjung perempuan dari lelaki. Bagi Bung Karno, “tabir adalah simbol dari perbudakan perempuan”. Tetapi ia melihat penggunaan tabir itu secara “historisch” – dan di situlah Bung Karno menunjukkan pandangan dasarnya tentang Islam. Ia, sebagaimana galibnya seorang Marxis, memandang tafsir agama sebagai sesuatu yang contingent terhadap sejarah sosial di mana tafsir itu dikemukakan. Pertautan tafsir dengan sejarah itu berarti juga pertautan tafsir dengan perubahan. Sebab dalam sejarah, seperti kata Bung Karno, ada “garis dinamis” yang makin lama makin meningkat ke arah terang. Sejarah bergerak. Zaman bergerak. Tak pernah akan berhenti.

(c) Goenawan Mohammad/"Catatan Pinggir"
www.ilhamfadli.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar