Jumat, 15 Oktober 2010

Dataran Tinggi Dieng

Dieng



dataran tinggi dieng














Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Kawah-kawah kepundan banyak dijumpai di sana. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin, berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara kadang-kadang dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Secara administrasi, Dieng mencakup Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Hingga tahun 1990-an wilayah ini tidak terjangkau listrik dan merupakan salah satu wilayah paling terpencil di Jawa Tengah.

Etimologi

Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Sunda Kuna: "di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "Hyang" yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Nama Dieng berasal dari bahasa Sunda karena diperkirakan pada masa pra-Medang sekitar tahun 600 Masehi daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.


kawasan pegunungan dieng


Geologi

Dataran tinggi Dieng (DTD) adalah dataran dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya, seperti Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila 1979. Tidak hanya gas beracun, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir.
Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.
Secara biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena ditemukan di air-air panas di dekat kawah beberapa spesies bakteri termofilik ("suka panas") yang dapat dipakai untuk menyingkap kehidupan awal di bumi.

Karena Dataran Tinggi Dieng terbentuk dari letusan dasyat sebuah gunung berapi, kondisi geologisnya masih labil bahkan sering terjadi gerakan-gerakan tanah. Contohnya adalah peristiwa hilangnya Desa Legetan, terpotongnya jalan antara Banjarnegara Karangkobar dan Sukoharjo Ngadirejo maupun retakan-retakan tanah yang mengeluarkan gas beracun seperti peristiwa Sinila.
Di Kawasan Dataran Tinggi Dieng terdapat sumber mata air yang merupakan hulu dari Kali Serayu dengan sumber dari Bisma Lukar yang merupakan hulu dari kali Tulis dengan sumber air dati kaki Gunung Perahu.


Sumber-sumber air di Kawasan Dataran Tinggi Dieng banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar kawasan untuk pengairan areal pertanian.

Sebagian besar penduduk Kawasan Dataran Tinggi Dieng terdiri dari Suku Jawa Pegunungan, yang pada umumnya merupakan memeluk agarna Islam yang patuh dan taat. Meskipun demikian, mereka tidak menutup diri terhadap pengaruh modernisasi dalam kehidupan sehari hari, hanya mereka masih segan untuk melepaskan cara hidup tradisional seperti dalam acara adat Perkawinan dan Khitanan.

Kawasan Dataran Tingigi Dieng memiliki keanekaragaman flora yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional maupun diolah oleh industri . Beberapa yang sudah dikenal adalah Carica dan Jamur Merang, serta tumbuhan lain seperti :Pakis Haji, Wrakas, Kayu Dampul, Akasia, Puspa, asang, Cemara, Pinus, Glagak, Kirinyuh, Pring Anpal Gading, Kenatus, Pakis Jebul, Lumbung, Asem-aseman, Andan-andanan, Serunen, Racunan, Pringgodani, Kumis Kucing, Rendeng, Gandapura, Pancal Kandag, Andon Jarum, Jumpang Putih, Campean, Jumpang Sindep, , Sendakan, Kenthang, Jamur Merang. Tumbuhan Air seperti :Endong, Engong Wlingi, Ganggang, Lumut, Lempuyang, Karisan Cyperus, Bretekan, Kehingan.


Kawah-kawah

Berikut adalah kawah-kawah di DTD:
  • Candradimuka
  • Sibanteng
  • Siglagah
  • Sikendang, berpotensi gas beracun
  • Sikidang
  • Sileri
  • Sinila, berpotensi gas beracun
  • Timbang, berpotensi gas beracun

Kawah Sibanteng
Sibanteng terletak di Desa Dieng Kulon. Kawah ini pernah meletus freatik dua pada bulan Januari 2009 (15/1), menyebabkan kawasan wisata Dieng harus ditutup beberapa hari untuk mengantisipasi terjadinya bencana keracunan gas. Letusan lumpurnya terdengar hingga 2km, merusak hutan milik Perhutani di sekitarnya, dan menyebabkan longsor yang membendung Kali Putih, anak Sungai Serayu.
Sebelumnya Kawah Sibanteng meletus pada bulan Juli 2003.
Kawah Sikidang
Kawah Sikidang adalah kawah di DTD yang paling populer dikunjungi wisatawan karena paling mudah dicapai. Kawah ini terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Karena seringnya berpindah-pindah seperti rusa/ kidang, maka orang2 sekitar menyebutnya kawah sikidang (anak Kijang) .
Kawah Sileri
Sileri adalah kawah yang paling aktif dan pernah meletus beberapa kali (catatan yang ada 1944, 1964, 1984, dan Juli 2003). Pada aktivitas freatik terakhir (26 September 2009) muncul tiga katup kawah yang baru disertai dengan pancaran material setinggi 200 meter.
Kawah Sinila
Sinila terletak di Desa Dieng Wetan. Kawah Sinila pernah meletus pada pagi hari tahun 1979, tepatnya 20 Februari 1979. Gempa yang ditimbulkan membuat warga berlarian ke luar rumah, namun kemudian terperangkap gas yang keluar dari Kawah Timbang akibat terpicu letusan Sinila. Sejumlah warga (149 jiwa) dan ternak tewas keracunan gas karbondioksida yang terlepas dan menyebar ke wilayah pemukiman.


Puncak-puncak

  • Gunung Prahu (2.565 m)
  • Gunung Pakuwaja (2.395 m)
  • Gunung Sikunir (2.263 m), tempat wisata, dekat Sembungan

telaga merdada dieng

 

Danau vulkanik

  • Telaga Warna, obyek wisata dengan tempat persemadian di dekatnya
  • Telaga Cebon, dekat desa wisata Sembungan
  • Telaga Merdada
  • Telaga Pengilon
  • Telaga Dringo
  • Telaga Nila

http://www2.banjarnegarakab.go.id/v1/menu/Foto_Album/gallery/images/peta_wisata.jpg

  Peta wisata

 

Sejarah

Obyek wisata


Kompleks Candi Arjuna, Dieng

Beberapa peninggalan budaya dan alam telah dijadikan sebagai obyek wisata dan dikelola bersama oleh dua kabupaten, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. Berikut beberapa obyek wisata di Dieng.

Candi Dieng Wacana Nusantara
Candi Dieng (Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah)
    
Dieng adalah nama pegunungan yang berada sekitar 26 kilometer ke arah utara dari Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Luasnya kurang lebih 619,846 hektar. Wilayahnya dikelilingi oleh beberapa gunung (gugusan gunung). Gunung-gunung itu antara lain: Sumbing, Sindoro, Perahu, Rogojembangan, dan Bismo. Nama Dieng, konon, berasal dari kata Di-Hyang yang berarti "tempat bersemayamnya para dewa". Di ketinggian sekitar 2050 meter dari permukaan air laut ada suatu dataran berukuran sekitar 14.000 meter persegi. Dataran tinggi tersebut merupakan daratan yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawahnya terlihat jelas dari dataran yang terletak di tengah yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Bekas-bekas kawah lainnya, Sikidang misalnya, kadang-kadang masih menampakkan aktivitas vulkaniknya. Disamping itu, ada juga aktivitas vulkanik yang berupa gas/uap panas bumi yang dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar. Gas panas bumi itu dijadikan sebagai pembangkit listrik. Satu hal yang menarik adalah di dataran tinggi tersebut ada peninggalan nenek moyang yang berupa beberapa candi (kompleks percandian).

Komplek Candi Dieng dibangun pada masa Hindu, karena di areal percandian tersebut banyak ditemukan peninggalan-peninggalan berupa arca-arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya yang bercirikan agama Hindu. Namun, masyarakat setempat (sekitarnya) menamainya dengan tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, Candi Bima, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi dan Candi Puntadewa. Nama candi-candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi-candi diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti siapa yang membangunnya. Yang jelas bahwa berdasarkan salah satu dari 12 prasasti yang ada, kompleks percandian tersebut dibuat 731 (Saka) atau 809 Masehi. Jadi, pada awal abad ke-9.

Komplek percandian yang ada di dataran tinggi Dieng itu dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, dan Candi Bima. Masing-masing kelompok terdiri dari beberapa candi yang juga dinamai dengan nama tokoh-tokoh dalam cerita Mahabarata. Berikut ini akan diuraikan benda-benda cagar budaya yang terdapat dalam komplek percandian di dataran tinggi Dieng dari arah utara ke selatan.


Kelompok Candi Dwarawati 

Kelompok Candi Dwarawati terletak paling utara diantara candi-candi di dataran tinggi Dieng yang didirikan di Bukit Perahu. Dahulu kelompok ini terdiri dari dua buah candi, yakni Candi Dwarawati (di sebelah timur) dan Candi Parikesit (di sebelah barat). Namun, saat ini yang masih berdiri hanya Candi Dwarawati saja. Candi Dwarawati menghadap ke arah barat dengan bentuk empat persegi panjang, berukuran panjang 5 meter dan lebar 4 meter, sedangkan tingginya 6 meter. Pada masing-masing dinding luar dan dalam candi terdapat relung-relung tempat arca yang sudah kosong, kecuali sebuah alas arca di dalam bilik candi (dhatu garbha). Sedangkan, atap candi berhias menara-menara kecil dan dihias dengan simbar-simbar lukisan kepala. Bentuk atap dan hiasan-hiasannya merupakan pengaruh dari India Selatan.


Petirtaan Bimo Lukar
    
Pertirtaan ini berupa kolam yang bermata air jernih, aliran airnya cukup deras, dan berukuran 5 m x 2,5 m x 1 m. Bangunannya terdiri dari susunan batu yang berhiaskan relief. Airnya disalurkan melalui beberapa pancuran.


Kelompok Candi Arjuna
    
Kelompok Candi Arjuna merupakan kelompok terbesar. Kalau orang mengatakan Candi Dieng, biasanya yang dimaksud adalah kelompok Candi Arjuna, padahal sebenarnya masih banyak kelompok yang lain. Kelompok yang memanjang dari utara ke selatan ini terdiri atas dua deretan candi, yakni deretan sebelah timur dan sebelah barat.
Deretan sebelah timur semua menghadap ke barat dan terdiri atas beberapa bangunan candi, yakni: Candi Arjuna-Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Sedangkan, deretan sebelah barat tinggal satu candi yang masih berdiri, yakni Candi Semar yang berhadapan dengan Candi Arjuna.

Berbeda dengan kelompok Candi Dwarawati yang denahnya empat persegi panjang, candi-candi kelompok Arjuna berdenah bujur sangkar, tanpa penampil, hanya di bagian depan terdapat bilik pintu masuk yang menjorok ke depan. Pada dinding terdapat relung-relung dan hiasan-hiasan. Di bagian depan berhias kala-makara. Atapnya kaya akan hiasan. Sayang, kebanyakan candi di komplek ini sudah rusak dan beberapa diantaranya tinggal fondasinya saja. Sebenarnya sekitar 200 meter di sebelah barat-daya kelompok Candi Arjuna terdapat sisa-sisa bangunan yang dikenal sebagai Candi Setyaki, Petruk, Antareja, Nala Gareng, Nakula dan Sadewa, namun sudah sulit diidentifikasi karena tinggal fondasi-fondasinya saja.

Kelompok Candi Gatotkaca
    
Candi Gatotkaca tempatnya agak tinggi dibandingkan dengan kelompok Arjuna, yakni di sebelah barat telaga Bale Kambang dan di lereng bukit Panggonan. Candi Gatotkaca menghadap ke barat dan berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 m x 4,5 m, dengan penampil pada masing-masing sisinya.


Kelompok Candi Bima
    
Kelompok Candi Bima kini tinggal satu candi saja dan terletak pada deretan ujung paling selatan, menghadap ke timur. Baturnya bujur sangkar berukuran 6 m x 6 m, sedangkan fondasinya berbentuk segi delapan, tinggi candi 8 m. Dibandingkan dengan candi-candi lainnya, Candi Bima termasuk paling utuh. Gaya bangunannya khusus. Atapnya dipenuhi hiasan dan terdiri dari tiga tingkatan yang batas-batasnya tidak jelas. Bentuk seluruhnya seperti Sikhara (seperti mangkuk yang ditangkupkan) di India Utara, hanya hiasan-hiasan menara dan relung-relung yang berbentuk tapal kuda menunjukkan pengaruh India Selatan.
    
Dahulu Candi Bima mempunyai 24 arca kudu, yaitu arca yang berbentuk kepala manusia yang seolah-olah melongok keluar dari bilik jendela yang masing-masing beratnya sekitar 15 kilogram, tinggi 24 cm, lebar 20 cm dan tebal 27 cm. Namun, karena seringnya terjadi pencurian di komplek Candi Dieng, terutama Candi Bima, maka saat ini arca yang terdapat di Candi Bima hanya sekitar 13 buah saja.
sumber: wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar