Sabtu, 23 Oktober 2010

Ironis, Kemiskinan di Negeri Kaya

 

Di era global ini, salah satu kata yang sangat populer adalah kemiskinan. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. 

Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”. Ada kata-kata sering diucapkan banyak orang tentang kemiskinan, mereka berkata bahwa pada mulanya adalah kemiskinan, lalu pengangguran. Kemudian kekerasan dan kejahatan (crime). Martin Luther King (1960) mengingatkan, “you are as strong as the weakestof the people.” Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah. 

Kenyataan, kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. (sumber : www.ekonomirakyat.org). Sehingga banyak juga mengatakan, Kemiskinan bagi bangsa ini adalah komponen keempat setelah air, tanah dan langitnya.

Menurut optik kaum intelektual, bahwa kemiskinan itu adalah bukan masalah kemampuan pribadi, tetapi masalah kelembagaan. Masalah struktural yang melingkupi masyarakat miskin antara lain ketidakadilan penguasaan alat produksi terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, akses memperoleh kredit, dan ketidakadilan pasar. Sementara tuntutan Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan donatur internasional adalah restrukturisasi, privatisasi, kenaikan tarif utilitas publik, liberalisasi, dan lain-lain yang tidak berpihak pada upaya penanggulangan kemiskinan.



Kaya Tapi Miskin
 
“Hampir lima juta balita di Indonesia menderita kekurangan gizi dan 1,8 juta yang kurang gizi tersebut bersifat irreversible. Salah satu gejala dari kekurangan gizi yang irreversible itu adalah perkembangan otak balita yang lambat. Akhirnya, jangan heran kalau banyak anak-anak yang imbisil dan debil (bodoh) di negeri ini.” Sungguh sangat miris mendengar kenyataan tersebut.Mengingat negara kita Indonesia adalah negara kaya dengan hasil yang alamnya melimpah. Indonesia adalah negara agraris, tapi lebih dari 37 persen anak Indonesia usia 0-5 tahun (balita) kekurangan gizi yang ditandai dengan bentuk fisik stunted atau tinggi badan tidak sesuai dengan umur. Selain itu dibeberapa propinsi masih ada kasus gizi buruk pada balita di atas prevalensi nasional (5,4 persen). 

Misalnya, Aceh dengan angka 10,7 persen, NTT (9,4 persen), NTB (8,1 persen), Sumatera Utara (8,4 persen), Sulawesi Barat (10 persen), Sulawesi Tengah (8,9 persen), dan Maluku (9,3 persen). Ada juga provinsi yang kasus gizi buruk maupun kurang gizinya cukup tinggi. Yakni, NTT, NTB, Sulteng, dan Maluku. (sumber : liza-fathia.com, 03 Jun 2010). Sangat memprihatinkan! Setahun lalu, menurut catatan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat 2009, hampir sepertiga dari seluruh keluarga di Kabupaten Cirebon termasuk keluarga prasejahtera alias miskin. Setiap tahun jumlah keluarga prasejahtera ini mengalami kenaikan. Tahun 2007 ada 170.871 keluarga; tahun 2008 ada 176.858 keluarga (30,9 persen); dan tahun 2009 ada 183.084 keluarga (31,4 persen). Jadi, jumlah keluarga miskin ini bertambah sekitar 6.000 keluarga setiap tahun. Keluarga prasejahtera ini tersebar di semua kecamatan dan yang paling besar di Kecamatan Ciledug mencapai 48 persen. Di Kabupaten Cianjur tiga dari 20 keluarga termasuk keluarga miskin, bahkan untuk daerah selatan empat berbanding 20 keluarga. Dari 2006 sampai 2008 ada sekitar 74.000 keluarga prasejahtera yang setiap tahun bertambah sekitar 9.000 keluarga. 

Kabupaten Cirebon dan Cianjur, dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM), juga di bawah rata-rata IPM Jabar. Pada 2008 IPM Jabar adalah 71,12, sedangkan Kabupaten Cianjur 68,17 dan Kabupaten Cirebon 67,70. Utara-selatan. Kabupaten Cirebon dan Cianjur mungkin secara ekologi-ekonomi bisa mewakili wilayah utara dan selatan Jabar. Kedua wilayah tersebut termasuk daerah pantai. Cirebon di bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, sementara Cianjur di bagian selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Sudah sejak lama pantai dan laut di kedua kabupaten itu dieksploitasi, khususnya dalam pencarian ikan oleh penduduk setempat. (sumber : cetak.kompas.com, Senin, 29 Maret 2010).

 

Di Jakarta sendiri, kemiskinan masih marak di tengah ketersediaan berbagai fasilitas mewah dan berlimpah. Ironis pula dengan rencana kenaikan gaji bagi pejabat pemerintah. Sehari-hari, Nurjana, janda dengan dua anak harus hidup di rumah dengan atap yang nyaris runtuh. Bukan cuma itu, dinding rumahnya juga lapuk lantaran terpaan hujan lebat. Perempuan itu bekerja seadanya membungkus keripik sekaligus menjaga anak tetangga dengan penghasilan Rp 20 ribu per hari. Itu dilakukan Nurjana dengan satu tangan lantaran tangan kirinya belum pulih dari patah tulang. Warga yang tinggal di kawasan Petamburan, Jakarta, itu hanya satu dari belasan kisah warga lain yang tinggal di lingkungan kumuh. Tapi di balik kegundahannya, ia masih dapat tersenyum mensyukuri kehidupan sambil berharap pemerintah dapat membantu meringankan beban hidup. (sumber : berita.liputan6.com, 31/01/2010). Menjadi pertanyaan kita semua, jika kemiskinan seperti itu terjadi di negeri yang tandus, gersang, dan tanpa kekayaan alam yang berarti, tentu cukup bisa dimaklumi. Namun sungguh ironis, kemiskinan ini terjadi di negeri yang dikenal sangat kaya dan subur. Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah, kerap kemiskinan itu justru terjadi di daerah yang kekayaan alamnya melimpah ruah, atau justru di pusat sumber kekayaan alam itu.


Penulis: Amstrong Sembiring [POLITIKANA]
www.kabarnet.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar