Selasa, 12 Oktober 2010

Keberadaan Suku Tengger di Gunung Bromo



Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.

Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".

Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
http://id.wikipedia.org

Disamping pemandangan alam yang indah Gn.Bromo juga memiliki daya tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat tengger yang tetap berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Upacara Kasada terkenal hingga manca negara dan selalu ramai di hadiri turis luar negeri maupun lokal. Suku Tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal di lereng G.Semeru dan di sekitar kaldera Tengger. Mereka sangat dihormati karena mereka hidup jujur, tidak iri hati, dan tidak suka bertengkar. Masyarakat Tengger adalah keturunan Roro Anteng (putri raja Majapahit) dan Joko Seger (putera seorang brahmana).
Mereka sangat menjunjung tinggi persamaan, demokrasi, dan kehidupan bermasyarakat. Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Jawa Tengger, yakni bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa, berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki beberapa tingkatan.

Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman Majapahit, para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.

Tidak seperti halnya masyarakat Hindu di Bali, Masyarakat Tengger tidak memiliki Istana, pustaka, maupun kekayaan seni-budaya tradisional, meski memiliki beberapa obyek penting semacam lonceng perunggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing. Namun demikian mereka kaya akan kepercayaan dan upacara adat, diantaranya ialah:

Upacara Karo

Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabotpun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.


Upacara Kapat

Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.


Upacara Kawulu

Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.


Upacara Kasanga

Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.


Upacara Kasada

Upacara ini diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran.
Sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat Tengger mendaki Gn.Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke Kawah Gn.Bromo. Setelah pendeta melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.


Upacara Unan-Unan

Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan







Bahasa Tengger dituturkan di daerah Gunung Bromo yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang.

Di Pasuruan, cara Tengger ditemukan di kecamatan Tosari, lalu di Probolinggo, daerah kecamatan Sukapura, sedangkan Malang, cara Tengger dituturkan di wilayah desa Ngadas, kecamatan Poncokusumo. Yang terakhir, di Lumajang dituturkan di wilayah Ranupane, kecamatan Senduro.

Dialek ini dianggap turunan basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.

Contoh :

* reang: aku, jika yang berbicara lelaki
* isun : aku, jika yang berbicara perempuan

Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A.
http://id.wikipedia.org








Masyarakat Suku Tengger merupakan salah satu masyarakat yang hidup di pegunungan Bromo di Kawasan Probolinggo – Pasuruan – Lumajang - Malang. Konon asal mula cerita masyarakat Tengger terbentuk dari pelarian prajurit dan penduduk Majapahit ketika suatu ketika kerajaan tersebut diserang oleh Demak. Untuk mempertahankan diri jalan satu-satunya bagi mereka adalah melarikan diri, dan sampailah mereka di pegunungan Tengger.

Perjalanan selanjutnya, sebagai suku pelarian dan membentuk suatu masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya mereka memiliki berbagai karakteristik sosial, budaya, politik dan agama. Berbagai aspek karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memiliki keterkaitan dengan politik dan sosial dan demikian pula sebaliknya.

Namun demikian mainstream besar yang menjadi bahan perbincangan menarik dalam hal ini adalah soal bagaimana masyarakat Tengger melakukan resitensi atas berbagai “serangan” dari kebudayaan lain. Sebagai suku yang memiliki kebudayaan cukup unik, mereka merasakan memiliki sesuatu warisan budaya yang harus dipertahankan.

Orang Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharminisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat dalam sesanti pancasetia (lima petunjuk kesetiaan), yakni setya budaya (taat dan hormat kepada adat), setya wacana (kata harus sesuai dengan perbuatan), setya semaya (selalu menepati janji), setya laksana (bertanggungjawab terhadap tugas) dan setya mitra (selalu membangun kesetiakawanan). Dengan kata lain orang memiliki bekala-bekal hidup untuk menjadi diri mereka sendiri.

Untuk mencapai kesejahteraan hidup, orang Tengger wajib menjauhi malima: maling (mencuri), main (main judi), madat (menghisap candu), minum (mabuk karena minuman keras), madon (main perempuan); sekaligus wajib menjaga walima: waras (sehat jasmani dan rohani), wareg (cukup makan), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan) dan wisma (memiliki tempat tinggal yang layak).

Dalam hal ini legenda Ajisaka adalah cerita rakyat Tengger sebagai salah satu bentuk resistensi tersebut.

Artikel yang pernah ditulis oleh Dr. Bisry Effendy, Direktur Lembaga Kebudayaan Desantara dan peneliti dari LIPI ini menyangkut bagaimana masyarakat Tengger melakukan resistensi dengan menciptakan legenda Ajisaka.

Konon cerita hidup sepasang suami istri di pegunungan Tengger, Kyai dan Nyai Kures. Mereka hidup miskin dan pekerjaan utamanya adalah mencari kayu bakar. Ia memiliki anak bernama Dursila yang bertabiat buruk.

Suatu hari Kyai Kures bertemu dengan ular besar bernama Antaboga. Kyai Kures dililit tapi lalu dilepaskan ular tersebut dengan perjanjian Kyai Kures mau menyerahkan 2 kaleng susu setiap hari pada Antaboga. Karena sering merasa kesulitan akhirnya Antaboga bersikap iba dan justru memberikan emas yang sangat banyak yang dimuntahkan dari mulutnya. Seketika Kyai Kures kaya mendadak, dan hal itu membuat anaknya si Dursila iri hati. Diam-diam Dursila menemui Antaboga dan memaksa agar Antaboga memuntahkan emas. Antaboga tidak suka dipaksa, ia marah dan menelan Dursila hidup-hidup.

Antaboga menghibur Kyai Kures agar tidak bersedih dengan kematian Dursila, terutama karena ia akan memiliki anak kagi yang lebih elok. Dan betul tak lama kemudian ia memiliki putra yang sangat ganteng, yang bernama Ajisaka. Atas saran Antaboga agar Kyai Kures menghantarkan Ajisaka berguru kepada Nabi Muhammad di Mekkah. Di Mekkah Kyai Kures bertemu dengan Sayyidina Ali, Abu Bakar, Utsman dan sahabat-sahabat nabi lainnya.

Setelah selesai menimba ilmu kepada nabi Muhammad, Ajisaka lalu pulang. Nabi memberikan oleh-oleh berupa lontar dan alat tulis. Tetapi salah satu hadiah Nabi itu (lontar) ketinggalan di Mekkah, dan Ajisaka baru ingat ketika sudah sampai di Tengger. Maka Ajisaka mengutus abdinya bernama Ana untuk mengambil tanda mata tersebut. Di sisi lain Nabi pun mengutus pembantunya Alif untuk mengantarkan lontar tersebut. Sesampai di tengah jalan kedua abdi bertemu. Karena keduanya saling berebut, akibatnya kedua dari mereka meninggal dunia.

Ketika Ajisaka mendengar kabar tersebut, ia lalu bersajak, “Ana Caraka Data Sawala Pada Jayanya Maga Batanga”. Sajak tersebut sampai sekarang menjadi abjad Jawa. Orang-orang Tengger memperingati kematian kedua cantrik tersebut dengan upacara Karo. Sampai sekarang.[1]

Makna Legenda Ajisaka

Legenda Ajisaka sangat terkenal di masyarakat Jawa dan terutama masyarakat Tengger. Cerita tersebut cukup kontroversial didengar, dan bisa menjebak kita untuk menafsirkan bermacam-macam soal. Karena itu banyak yang meragukan kisah tersebut berasal dari leluhur orang Tengger. Karena itulah Tengger amat menarik perhatian para peneliti. Cukup banyak penelitian dilakukan di Tengger, sepeti Meinsma (1879), Hefner (1985), Sutarto (1997).

Singkat kata, cerita tersebut memang cukup merepresentasikan bahwa masyarakat Tengger amatlah problematik. Tidak sesederhana yang kita lihat. Ada banyak intrik politik, intervensi mainstream asing, pola resistensi dan berbagai kejadian yang menarik perhatian. Misalnya pembantaian massal tahun 1965 yang mengambinghitamkan masyarakat Tengger sebagai antek komunis.

Dalam kaitannya dengan mata kuliah yang sedang kita ikuti ini, dinamika masyarakat Tengger berkaitan dengan Legenda Ajisaka tersebut bisa menunjukkan pada kita akan perubahan sosial dari suatu pranata sosial. Misalnya berbagai kearifan lokal masyarakat Tengger yang sekarang sudah mulai hilang sedikit demi sedikit karena tertelan arus perubahan zaman.


Perubahan Pranata Sosial Masyarakat Tengger

Dari Legenda Ajisaka kita bisa memetik beberapa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Tengger dewasa ini, mulai dari pertarungan antara mainstream besar sampai upaya resistensinya sendiri.1. Dari segi keagamaan masih tidak jelas posisi agama yang dianut masyarakat Tengger, apakah mengikuti agama Hindu, atau Islam. Karena agama Tengger tidak termaktub dalam kamus resmi agama-agama di Indonesia, maka masyarakat Tengger lalu menjadi obyek rebutan agama-agama resmi. Misalnya pemaksaan nama agama dalam KTP, pencatatan data statistik dan seterusnya. Agama animismenya sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat sudah melihat perubahan sosial melalui televisi dan media massa lainnya.2. Dari segi sosial, beberapa pranata, seperti upacara-upcara adat sudah mulai ditinggalkan oleh generasi penerusnya. Mereka yang masih memelihara adat tersebut hanya sedikit, itupun dari kalangan tua. Mereka yang muda dan berpendidikan umumnya sudah menilai warisan leluhur kurang penting. Kaum muda cenderung ahistoris.3. Dari segi struktur sosial, masyarakat Tengger tampaknya sering terganggu dengan aturan-aturan formal pemerintah seperti dalam UU Pemerintah Desa yang harus ada “ini” dan “itu”. Karena itulah kendati struktur sosial di mana masyarakat Tengger dipimpin oleh dukun turun temurun yang dibuktikan dengan keahliannya melindungi masyarakat sudah kurang diperhatikan. 4. Dari segi ekonomi, terdapat peningkatan yang cukup signifikan bukan hanya karena di daerah Tengger terdapat kawasan wisata Gunung Bromo, melainkann juga karena produktivitas yang meningkat dalam pertaniannya, serta adanya usaha-usaha lain. Di kalangan masyarakat kita terdapat asumsi kuat bahwa mereka adalah masyarakat yang cukup berada.5. Dari segi budaya dan adat terdapat pergeseran menuju hal-hal yang lebih komersial (generasi muda) di tengah upaya sebagian kecil generasi tua untuk terus melestarikan warisan leluhurnya.

***

HEFNER (1990) menyatakan segi-segi masyarakat Tengger yang damai, sejahtera tanpa adanya konflik. Namun penelitian Hefner 20 tahun yang lalu saat ini sudah kurang relevan mengingat perubahan yang sangat drastis dialami oleh penduduk Tengger.

Proses hinduisasi oleh Parisada Hindu Dharma atau islamisasi oleh kelompok-kelompok tertentu, serta pembantaian yang dilakukan rezim kepada warga Tengger yang dikomuniskan merupakan unsur-unsur dendam yang bisa meledak kapanpun. Kaum elit Tengger, dalam berbagai penelitian, menyatakan bahwa mereka tidak beragama Hindu, begitu pula cukup repot menghadapi proses islamisasi kelompok tertentu. Begitu pula proses budhaisasi yang memasukkan secara “paksa” orang-orang Tengger menjadi penganut Budha Mahayana melalui SK No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73. Akibatnya tradisi lokal masyarakat Tengger semakin lama semakin tercerabut dan hanyan menjadi cerita sejarah saja. RujukanEffendy, Bisry. 2003. Legenda Ajisaka: Resistensi Gaya Tengger. Majalah Ngaji Budaya, Desantara dan PUSPeK Averroes.Hefner, W. Robert. 1990. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKiS.Sutarto, Ayu. 1997. Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang. Disertasi. * Review, ditulis dan disadur oleh Saiful Arif, Freelance, di Malang


[1] Untuk nama Alif dan Ana, ada yang bercerita Seco dan Setuhu. Sedangkan upacara Karo adalah upacara besar masyarakat Tengger selain Kasodo. Yang pertama lebih pada komunitas Islam dan berikutnya lebih pada komunitas masyarakat Tengger.







Ada Candi di Lereng Bromo

Andai saja laporan Soekarno tidak ”terselip” di rimba birokrasi, keberadaan Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo, tepatnya di Dusun Wonogriyo, Desa Pusungmalang, Kecamatan Puspo, Pasuruan, Jawa Timur, seharusnya sudah terkuak sejak 20 tahun lalu.

Kini, keinginan Soekarno untuk menyelamatkan candi tersebut sudah terpenuhi. Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta telah mengirim satu tim yang diketuai oleh Dra TM Rita Istari dan melibatkan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, 20 Juni-1 Juli 2005.

Penelitian yang dilakukan tim Balar Yogyakarta memang bermula dari kepedulian Soekarno, guru SD Bulukambang, Kecamatan Lumbang, Pasuruan. Dia prihatin dengan adanya tinggalan berupa runtuhan batu-batu candi, arca-arca, pecahan-pecahan gerabah dan keramik di suatu lokasi di atas bukit di lereng Gunung Bromo.

Sebenarnya, Soekarno sudah melaporkan situs yang berada di tengah hutan dan ladang penduduk tersebut sejak 1985. Laporan itu ia tembuskan ke berbagai instansi terkait di sana. Namun, entah mengapa laporan itu tidak mendapat tanggapan, hingga akhirnya (2004) laporan tulisan tangan Soekarno sampai di Balar Yogyakarta.

Tim dari Balar Yogyakarta yang mendatangi tempat tersebut memang menemukan bahwa di lokasi berketinggian 1.340 meter dari atas permukaan laut itu pernah berdiri bangunan candi. Hanya saja, temuan- temuan arca yang sebelumnya dilaporkan keberadaannya sudah lama dicuri atau dibuang orang. Penduduk menyebut situs ini sebagai punden atau Candi Sanggar. Sanggar merujuk pada sebuah tempat untuk pemujaan.

Kepala Balar Yogyakarta Harry Widianto mengungkapkan, temuan tersebut menjadi istimewa karena hingga kini masih merupakan satu-satunya candi yang ditemukan di lereng Gunung Bromo. Berbeda dengan lereng-lereng di Gunung Penanggungan, Gunung Semeru, dan Gunung Arjuna yang sudah banyak ditemukan candi-candi besar maupun kecil.

Hasil penggalian tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta menunjukkan, situs Candi Sanggar ini terdiri atas tiga bagian: bagian terendah, tengah, dan atas. Arah hadap candi ke Gunung Bromo. Di bagian terendah terdapat lempengan-lempengan batu pipih semacam lantai halaman. Di bagian tengah ditemukan sebuah angka tahun, tulisan dan huruf Jawa kuno terpahat pada salah satu sisi batuan candi berukuran 72 x 74 cm.

Ditemukan pula temuan in-situ yang masih terletak di dalam tanah lebih kurang sedalam 40 cm, dan terbaca angka 1267 Saka atau 1345 Masehi. Di permukaan tanah di sekitar lokasi candi ditemukan pula sebuah angka tahun terpahat pada salah satu sisi umpak batu setinggi 30 cm dan dapat dibaca angka 1431 Saka atau 1509 Masehi.

Dari dua angka tahun yang ditemukan, diduga candi tersebut dibangun antara abad XIV dan abad XVI, yaitu pada masa pemerintahan Raja Majapahit yang bernama Tribhuwana Wijayottunggadewi (1328-1350) dan pada masa pemerintahan Raja Majapahit terakhir, yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (1474-1519). (INE) http://www2.kompas.com


Mengatur Siasat di Tengah Purifikasi
(Bagian Satu)
by Paring Waluyo Utomo
Anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme Yayasan Interseksi




Saya telah membaca kiriman e-mail dari kawan-kawan. Terima kasih atas beberapa pertimbangan yang disampaikan kepada saya. Saat ini saya fokus di dua desa di Tengger yang masuk dalam wilayah Kabupaten Probolinggo, yakni Desa Wonokerto dan Desa Ngadas. Kedua desa ini saling bersebelahan. Keduanya saya jadikan situs penelitian, karena keduanya memiliki karakteristik yang menarik. Di Desa Ngadas inilah koordinator Dukun Tengger tinggal, sementara di Desa Wonokerto terdapat “orang Tengger” yang telah menganut Islam. Saat ini Islam memang telah menjamah sebagian desa Tengger, namun Wonokerto adalah “desa Islam” yang letaknya paling tinggi dan berbatasan langsung dengan desa-desa Tengger di dataran atas.

Karena orang-orang di Wonokerto ini memeluk Islam, maka Desa Ngadirejo yang berada di bawah Wonokerto dinyatakan sebagai Desa Putus oleh orang-orang Tengger di atas Wonokerto. Menurut orang-orang Tengger di desa-desa atas, gara-gara Wonokerto memeluk Islam inilah desa Ngadirejo dan desa Ngadas tidak dapat melaksanakan Upacara Karo.[1]


Pemerintah desa di kedua desa di atas sekarang sedang giat melakukan perbaikan keagamaan, yakni agama formal yang dianut oleh masyarakatnya. Pemerintah desa Wonokerto sedang giat membangun dan merenovasi masjid, serta menggalakkan kegiatan keagamaan, terutama memasuki bulan puasa ramadhan ini.

Program saya selama menjabat kepala desa selama dua periode ini adalah meningkatkan keimanan masyarakat Wonokerto. Selama ini mereka telah menganut Islam, akan tetapi mereka tak mengetahui mengenai Islam yang benar. Kami telah berhasil memotong generasi, hanya tinggal kalangan orang tua yang belum mengenal Islam. Dahulu warga disini kalau mendengar suara adzan menyatakan “wes wayahe sembahyang", tetapi kini mereka telah bisa membedakan jenis-jenis sembahyang, misalnya Dhzuhur atau Azhar,

demikianlah pernyataan Gyantoro, Kepala Desa Ngadas kepadaku mengenai kesuksesan programnya mengembangkan Islan di Wonokerto.

Seolah belum yakin kebijakannya dapat berjalan optimal, Pemerintah Desa Wonokerto juga melarang keberadaan dukun adat, dukun bayi, serta dukun sunat. Kebijakan ini menurut mereka dianggap dapat mengantarkan masyarakat Wonokerto pada kemajuan. Sebagai gantinya, urusan keagamaan di ganti oleh modin, urusan kelahiran dipasrahkan ke bidan, dan urusan khitan ditangani oleh mantri atau dokter.

Sementara situs penting yang selama ini dijadikan pusat spiritual oleh masyarakat Wonokerto, seperti Danyang, pelan-pelan dijauhkan dari warga. Padahal tradisi masyarakat Tengger setiap Hari Jumat Legi biasanya bersembahyang di Danyang atau sanggar. Mereka akan bersemedi semalam suntuk untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Pukulun. Aktivitas ini oleh beberapa kiai dari luar yang tinggal di Wonokerto dianggap mengancam Keislaman warga. Oleh karenanya, para kiai tersebut bersama Pemerintah Desa Wonokerto mengganti persembahyangan di Danyang dengan acara tahlilan. Bahkan sejak Bulan Januari 2006 ini acara di Danyang dihilangkan sama sekali, dan sebagai gantinya dilakukan pengajian bersama di Balai Desa.

Beragam upaya yang dilakukan oleh pemuka Desa Wonokerto diatas, termasuk klaim mengenai adanya kemajuan Islam nampaknya perlu lebih diteliti lagi. Memasuki Bulan Ramadhan ini saya kerapkali bertandang ke rumah beberapa warga di Wonokerto. Beragam apresiasi dalam memandang Islam dan Ramadhan dilakukan oleh warga desa ini. Seorang warga Wonokerto yang bernama Sri Lestari, misalnya, dengan cukup santai menyatakan bahwa dirinya telah memenuhi syarat untuk menjalankan puasa. Ia membayangkan bahwa dengan puasa di hari pertama bulan Ramadhan saja telah cukup. Ia memiliki alasan sendiri untuk tidak menjalankan puasa selama dua puluh sembilan hari berikutnya.

Saya sehari-hari pergi ke ladang, tentu saya membutuhkan tenaga yang cukup untuk mengolah lahan dan merawat sayuran. Kalau puasa, maka kekuatan tubuh saya akan menurun,

demikian argumentasi yang dibangun oleh Sri Lestari mengenai pilihannya untuk menjalankan puasa di hari pertama saja.

Dengan argumentasi berladang ini pula, Ustad Ja’far[2] melihat banyak warga Wonokerto sulit untuk menjalankan sholat lima waktu.

Jangankan sholat lima waktu, sholat Jumat saja di sini bisa diliburkan oleh warga,

ujar Ustad Ja’far, seorang pemuka Islam yang berasal dari Kraksan, Probolinggo. Selama empat tahun ini dia tinggal di Desa Wonokerto untuk menjalankan tugas berdakwah dari kiainya.

Memang pada suatu waktu, Ustad Ja’far pernah diundang untuk menjadi khatib dan imam sholat Jumat di Dusun Jombok, Desa Wonokerto. Menjelang pukul sebelas siang, berangkatlah ia menuju dusun tersebut. Setibanya di sana alangkah terkejutnya ia, sebab hingga memasuki waktu adzan tak ada satu pun warga yang mendatangi masjid. Beberapa menit kemudian ia didatangi oleh seorang anak. Sang anak tersebut menyampaikan bahwa Jumatan diliburkan dulu, diteruskan nanti pada Jumat berikutnya saja, sebab sholat Jumat kali ini bertepatan dengan acara selametan pernikahan salah seorang warga.

Selametan merupakan bagian dari tradisi penting dari desa-desa yang ada di Tengger. Melalui slametan inilah, proses bertetangga ini dibangun secara guyub: mayoritas warga membantu warga lain yang sedang memiliki hajat, apapun bentuknya, baik kelahiran, pernikahan, maupun kematian. Jika ada seseorang tidak menghadiri slametan warga yang sedang berjahat, maka yang bersangkutan akan menjadi gunjingan, bahkan sangat mungkin untuk diisolasi oleh warga desa.

Walau telah “Islam”, warga Desa Wonokerto tetap mempercayai pentingnya slametan, baik bersifat personal maupun massal. Danyang awalnya menjadi situs penting slametan yang bersifat personal maupun massal. Meskipun selametan massal telah dipindahkan ke balai desa, namun beberapa warga tetap bertandang ke Danyang. Menurut beberapa warga, mereka merasa dan meyakini Danyang adalah simbol integrasi kosmologi desa. Meninggalkan Danyang berarti pula mengacuhkan keberadaan Buta Kala yang memiliki kemampuan untuk mengguncang kenyamanan hidup sehari-hari. Bagi warga Desa Wonokerto, menggunakan bahasa apapun, baik Arab maupun Jawa, yang penting slametan desa harus tetap dilangsungkan. Mereka sangat takut kalau kosmologi desa terguncang.

Ketakutan yang sama juga dialami oleh sebagian warga Desa Wonokerto kalau tidak melaksanakan Riyaya Kasada.[3] Bagi mereka, Kasada bukanlah milik orang yang beragama Hindu. Kasada adalah riyaya yang diikuti secara luas oleh masyarakat yang berada di lereng atas maupun bawah pegunungan Tengger. Bahkan sewaktu saya akan berangkat ke Tengger pada tanggal 6 September 2006 yang lalu, ada seorang warga dari sebuah desa yang terletak di Malang Selatan, sebuah kawasan yang teramat jauh dengan Gunung Bromo, dengan rela dan kesungguhan hati pergi ke sana untuk menjalankan Riyaya Kasada.

Menurut Marsudi, mantan dukun Wonokerto, merayakan Kasada tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Kasada adalah sebuah kepercayaan, sebuah nilai adat orang Tengger untuk menghormati leluhurnya, sekaligus menjadi tempat penting untuk memanjatkan doa kepada Sang Hyang Pukulun. Orang-orang Tengger sangat mempercayai bahwa lautan pasir yang ada di sekeliling Gunung Bromo adalah tempat para atma bersemayam, sebelum atma tersebut menapaki alam nirwana.[4]

Walaupun sebagian orang-orang Wonokerto menjalankan ritual Kasada, namun mereka tidak menjalankan ritual Karo. Hampir sebagian besar warga Wonokerto yang saya tanyai tentang hal tersebut menyatakan bahwa ritual Karo adalah upacara Agama Hindu. Jawaban ini memang sangat dilematis. Sebab Karo sebenarnya ritual yang telah lama berjalan di Tengger. Bahkan sebelum pemerintah dan pemuka Agama Hindu, bersama sebagian dukun menyepakati orang Tengger beragama Hindu pada tahun 1973, upacara Karo telah ada. Eksistensinya bahkan diperkirakan sama dengan keberadaan masyarakat Tengger sendiri.

Kalau mendengar cerita para orang tua yang ada di Desa Ngadas maupun Wonokerto, upacara Karo tidak dilaksanakan di Wonokerto sejak masyarakat desa ini mengenal Islam. Mungkin hal ini adalah sebuah sentuhan dari proses Islamisasi awal di desa ini. Namun sayangnya, belum ada seorangpun yang saya temui berhasil memberikan gambaran yang cukup rinci mengenai proses Islamisasi di Wonokerto. Keterangan yang saya peroleh menjelaskan bahwa Islam untuk pertama kalinya dikenalkan di desa ini oleh Mbah Raden. Ia adalah seorang penganut Islam (kejawen)[5] yang berasal dari Kediri. Kapan tepatnya tokoh ini memasuki Desa Wonokerto juag tidak ada yang mengetahuinya lagi. Ruslandi Haryono, Carik Desa Wonokerto hanya dapat mempekirakan bahwa Mbah Raden masuk ke Wonokerto dapat dihitung berdasarkan lima kali keturunan, sejak generasi sekarang ini di Wonokerto. Kalau memang benar ungkapakan Ruslandi Haryono diatas, maka proses Islamisasi di Wonokerto dilakukan kira-kira pada masa pendudukan Belanda.[6] (Bersambung)

Catatan:
1. Upacara Karo adalah upacara adat tengger yang dilaksanakan pada bulan kedua dalam kalender tengger. Upacara ini berlangsung hingga setengah bulan lamanya. Upacara ini dimulai dengan mengundang arwah para leluhur untuk datang kerumahnya masing-masing. Puncak acara ini adalah dilaksanakannya tari Sodoran. Tari Sodoran sendiri adalah sebuah tarian orang Tengger yang mengisahkan proses hubungan suami-isteri sebagai proses awal cikal bakal manusia. Akhir dari upacara ini adalah mengembalikan atma (roh) leluhur ke persemayaman mereka. Pengembalian atma ini dibarengi dengan prosesi nyadran di tempat pemakaman desa. Di beberapa desa Tengger lainnya, khususnya di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, maupun Desa Argosari, Kabupaten Lumajang, upacara Karo dimaknai sebagai pesan damai untuk menghindari perkelahian antara Demak (Islam) dan Tengger. Di Kedua desa tersebut dalam upacara karo dilambangkan perkelahian antara utusan Nabi Muhammad (yang berarti Demak atau Islam dan utusan Ajisaka yang berarti Tengger). Perkelahian dua utusan ini menyebabkan kematian diantara keduanya. Kisah perkelahian kedua utusan yang bernama Hana (Tengger) dan Alif (Islam) inilah yang dipercaya sebagai cikalbakal huruf abjad Jawa. Dalam huruf abjad Jawa ini pula kisah pertempuran kedua utusan tersebut dideskripsikan. Namun kisah seperti ini tidak diakui oleh masyarakat Tengger Probolinggo. Menurut beberapa dukun Tengger Probolinggo sebenarnya tidak memiliki riwayat kekerasan dengan kekusaan Demak waktu itu, sebab yang mengalaminya adalah masyarakat Tengger di Pasuruan, Malang, dan Lumajang, maka wajar jika cerita itu muncul.

2. Ustad Ja’far adalah seorang kiai muda yang berasal dari Pondok Pesantren Abdul Qodir Jaelani, Kraksan, Probolinggo. Awal mula kehadiranya pada tahun 2003 di Desa Wonokerto karena permintaan Digdoyo, pemilik Hotel Yoschi yang ada di Desa Wonokerto. Bahkan kehadirannya di Wonokerto sangat dibantu oleh penguasaha ini. Rumah dengan segenap fasilitasnya merupakan sokongan penuh dari Digdoyo. Menurut Ustad Ja’far, Digdoyo awalnya sangat prihatin melihat perkembangan Islam di desa ini. Akhirnya ia menghubungi Ponpes Abdul Qadir Jaelani untuk mengirimkan salah satu pengasuhnya ke Desa Wonokerto dalam mengembangkan Islam.

3. Riyaya Kasada adalah hari raya orang Tengger yang dilaksanakan pada bulan kedua belas menurut penanggalan Tengger. Riyaya ini dilaksanakan di puncak Gunung Bromo, dengan cara melabuhkan sesaji ke kawah gunung Bromo. Hal ini dilakukan sebagai tanda ikatan dan kepatuhan orang Tengger terhadap janji permintaan Dewa Kusuma. Dewa Kusuma adalah leluhur orang Tengger yang terdapat dalam cerita rakyat orang Tengger. Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan bahwa Dewa Kusuma dikorbankan oleh orang tuanya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. Kedua orang tersebut awalnya tak memiliki anak. Mereka memohon kepada kekuatan Gunung Bromo untuk diberikan anak, dan bersedia memenuhi permintaan kekuataan yang ada di Gunung Bromo untuk melabuhkan anaknya yang terkhir. Menurut beberapa dukun Tengger, kisah Rara Anteng dan Jaksa Seger berkaitan erat dengan sejarah perjumpaan antara Majapahit dan Tengger. Sebab dalam cerita ini digambarkan Rara Anteng sebagai putri dari Keraton Majapahit sementara Jaka Seger adalah pemuda tampan dari pegunungan Tengger. Kisah pertemuan keduanya ini diperkirakan sebagai pertemuan dua identitas yang memiliki hubungan teologis dan kesamaan nasib. Sebab keduanya dibawah tekanan Demak waktu itu, sehingga orang-orang Majapahit melarikan diri ke Tengger, dan sebagiannya yang lain lagi ke Bali. Pada perayaan Kasada ini, para dukun senior Tengger juga melantik para calon dukun untuk disahkan menjadi dukun melalui proses mulunen. Calon dukun ini, biasanya ditunjuk oleh masyarakat di desa Tengger karena dukun yang lama telah meninggal dunia. Acara pengujian dukun ini dilaksanakan sebelum larung sesaji di kawah gunung Bromo.

4. Orang-orang Tengger yang masih kuat memegang tradisi melaksanakan upacara entas-entas untuk menyucikan dan mengantarakan arwah yang masih berada di lautan pasir Gunung Bromo. Entas-entas bertujuan untuk mengentaskan atma, agar mencapai nirwana, sebuah tahap akhir dari perjalanan spiritual manusia.

5. Pada masa pendudukan Belanda hingga awal kemerdekaan, di Desa Wonokerto berkembang aliran Kebatinan Purwo Ayu Mardi Utomo. Namun sayangnya, para orang tua yang ada di sana tak dapat menjelaskan secara rinci bagaimana proses penyebaran kebatinan ini di kawasan tersebut. Namun kelompok ini sudah tidak ada lagi di Tengger saat ini. Para informan juga tidak bisa mengingat kembali waktu surutnya aliran kebatinan ini.

6. Cerita lisan mengenai masukkan Mbah Raden di Wonokerto menjadi kisah sendiri yang patut untuk disimak. Misalnay diceritakan, saat Mbah Reden masuk Wonokerto, dia harus bertarung dan beradu kesaktian dengan Dukun Wonokerto waktu itu. Hasil pertarungan ini dimenangkan oleh Mbah Raden. Sebelum pertarungan dimulai, ada sebuah perjanjian. Siapapun yang memenangkan pertarungan, maka pihak yang kalah harus tunduk pada tata kebudayaan yag ditentukan oleh pihak pemenang. Karena Mbah Reden berhasil memenangkan perterungan itu, maka Mbah Redenlah yang waktu itu memiliki kuasa untuk mewarnai kebudayaan masyarakat desa tersebut. Namun Mbah Reden ternyata memiliki ambisi untuk melakukan Isamisasi di seluruh kawasan Tengger. Melihat gelagat ini, maka para dukun Tengger berkumpul. Mereka berembug menentukan sikap bersama atas gerakan Mbah Raden tersebut. Maka diundanglah Mbah Raden ke segara wedi (lautan pasir). Mbah Raden diajak berbincang dengan para dukun. Tidak disebutkan mengenai isi perbincangannya. Namun Mbah Raden memang mengutarakan niatnya untuk mengenalkan keIslamannya itu di kawasan Tengger. Setelah perbincangan usai, Mbah Raden pamitan ingin kembali ke Wonokerto. Alangkah terkejutnya Mbah Reden, disaat ia hendak berdiri, ternyata kakinya telah lumpuh, dan tak bisa dipakai lagi untuk menyangga badannya. Akhirnya oleh para dukun Tengger, Mbah Raden dipapah untuk berdiri, dan berdirilah ia dengan kondisi badan sehat kembali. Melihat kejadian ini, akhirnya ia memutuskan untuk membatalkan niatnya melakukan Islamisasi di seluruh kawasan Tengger.
http://interseksi.org




indosiar.com, Probolinggo - Masyarakat suku Tengger yang mendiami kawasan Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur memiliki tradisi unik untuk mengusir makhluk halus sekaligus untuk menyelamatkan desa mereka dari malapetaka.

Ritual yang digelar setiap 5 tahun sekali ini dikenal dengan ritual Unan - Unan yang berarti penyempurnaan kekurangan atau perbuatan yang telah merugikan kehidupan.

Ritual Unan - Unan diawali dengan mengarak sesaji berupa kepala kerbau dari Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo menuju sanggar pemujaan ditempat pendiri desa (punden). Seluruh tokoh agama, tokoh desa dan warga suku Tengger berpakaian adat ikut serta dalam arak - arakan dengan diiringi gamelan Jawa dan tarian Reog.

Doa - doa dan mantra dibacakan sepanjang perjalanan menuju sanggar pemujaan. Cara ini dilakukan agar seluruh makhluk halus tidak mengganggu sepanjang ritual berlangsung. Setibanya disanggar pemujaan dukun dan para tokoh adat mengambil tempat untuk melakukan sembahyangan dan memantrai air suci.

Air suci itulah yang kemudian ditabur kepada seluruh peserta upacara adat, sebagai simbol pengusiran kesilauan hidup.

"Tradisi ini dilakukan untuk meminta keselamatan dan dijauhkan dari mara bahaya serta minta diberikan rejeki didalam melakukan aktifitas pertanian, khususnya di desa Tengger, Desa Ngadisari ini untuk kedepannya" ujar Supoyo, Kepala Desa Ngadisari.

Bagi warga suku Tengger, ritual Unan - Unan ini sangat penting karena menyangkut keselamatan jiwa bumi dan seluruh makhluk di bumi ini. Mereka berharap setelah ritual Unan - Unan akan terwujud kehidupan yang lebih baik.

Selain untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus, ritual Unan - Unan juga bertujuan menyempurnakan para arwah yang belum sempurna untuk kembali ke alam asalnya.

Ritual ini juga menandai penggantian kalender bagi suku Tengger di Gunung Bromo. Unan - Unan berasal dari kata tuna (rugi). Dengan ritual Unan - Unan ini diharapkan kekurangan - kekurangan selama tahun - tahun sebelumnya bisa disempurnakan. Ritual Unan - Unan biasanya dilaksanakan serentak di lima desa disekitar lereng Bromo, yaitu Desa Ngadisari, Jetak, Wonokriti, Wonokerso dan Sukapura.  
(Tim Liputan/Dv/Ijs)




Tokoh Kunci Langgengnya Suku Tengger
Diposkan oleh Putri Biru / Dewi Biru


Hulun Yang dan tanah sekitarnya disebut sebagai Hila-hila. Huku Yang diartikan sebagai masyarakat Tengger, sedangkan Hila-hila adalah tanah suci. Kepercayaan yang sudah dianut sejak abad ke-10 itulah yang mendasari masyarakat Tengger menjalankan sekian banyak ritual dalam kehidupan mereka. Dalam satu tahun, mereka melakukan enam kali pujaan besar, yaitu :

1. Pujan Karo (Bulan Karo), diawalai tanggal 15 Kalender saka Tengger, disamping berupacara masyarakat Tengger juga melakukan anjang sana (silaturahmi) kepada semua sanak masyarakat Tengger. Uniknya tiap berkunjung harus menikmati hidangan yang diberikan oleh tuan rumahnya.

2.Pujan Kapat (Bulan Keempat) tanggal 4, dilakukan bersama-sama di setiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.

3.Pujan Kapitu (Bulan Tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (Nyepi) satu hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi puasa mutih (tidak makan makanan yang enak-enak), biasanya hanya memakan nasi jagung dan daun-daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati geni.

4. Pujan Kawolu (Bulan Delapan) tanggal 1 dilakukan bersama-sama dirumah kepala desa.

5. Pujan Kasangan (Bulan Sembilan) tanggal 24 setelah purnama masyarakat bersama anak-anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.

6. Kasada (Bulan Dua Belas) tanggal 15 dan 14, dilakukan di Ponten Pure Luhur, semmua masyarakat Tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya mesyarakat Tengger yang beragama hindu saja, tetapi juga semua masyarakat Tengger yang beragama lain. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah Gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juga bermusyawarah dan bersilaturahmi para dukun dan masyarakat Tengger.

Ada juga upacara yang dilakukan tiap lima tahun, yaitu upacara Unan-unan. Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngrawut jagad, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan karbau. Unan yaitu mengarungi bulan.

Upacara yang dilakukan secara individu :
1. Upacara Tujuh Bulanan (Sayut) dipimpin oleh pandita dukun.

2. Upacara lindungi anak, anak yang menginjak masa remaja.

3. Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut anak-anak yang menginjak umur 5 tahun (akan masuk sekolah). Upacara ini tidak wajib, jika keturunan pertama melaksanakan upacara ini dan sebaliknya jika keturunan pertama tidak melaksanakan, keturunan selanjutnya pun tidak diwajibkan untuk melaksanakan.

4. Upacara ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.

5. Upacara Kawihan (kawin), upacara ini seperti halnya ijab kobul.

6. Upacara Walagara (Temu Manten)

7. Upacara mendirikan rumah.

8. Upacara Kematian, minimal 4 hari setelah meninggalnya dilakukan upacara untas-untas (roh orang meninggal diharapkan kembali pada pemiliknya)

Sebagai sebuah masayarakat yang lekat dengan segala ritual, Tengger menempatkan sosok yang sangat terhormat dan disegani. Mereka bahkan lebih memilih tidak memiliki kepala pemerintahan desa daripada tidak memiliki pemimpin ritual. Jumlah dukun pada masyarakat Tengger ada 42 di setiap desa yang mengelilingi pegunungan Semeru dan Bromo tersebar di Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Malang. Para dukun Pandita, pemimpin ritual itu, tidak bisa dijabat sembarang orang. Sekian banyak persyaratan harus dipenuhi untuk menjadi perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh para leluhur, dan Buta Kala.

Pak dukun, demikian mereka dipanggil, bertugas menjadi penglantar (perantara) doa-doa masyarakatnya kepada Sang Pencipta. Masyarakat Tengger masih identik dengan agama Hindu, meskipun secara tata cara berbeda dengan agama Hindu yang ada di Bali. ”Sebagai Penglantar, kami dipercaya bisa membuat permohonan itu dikabulkan,: Ujar dukun desa Ngadasari, Sutomo (45).

Disitulah beratnya tugas sang dukun. Ada berbagai macam permintaan warganya, meskipun tidak pernah ada yang aneh-aneh, menunggu untuk diantarkan. Sering mereka harus mendatangi masing-masing rumah untuk keperluan mengantarkan doa tersebut. ”Apalagi pada bulan karo (Hari raya terbesar masyarakat Tengger), saya harus melayani pujian di setiap rumah, yang jumlahnya mencapai 500 keluarg,” kata Sutomo. Ia bisa memulainya pada pukul 02.00 dinihari dan baru pulang pukul 15.00 maka, seorang dukun harus sehat lahir batin untuk menjalankan tufas yang cukup berat, yang harus dilakukan seumur hidupnya.

Pemilihan dukun pandita awalnya hasil bermusyawarah dai kepala desa, tokoh masyarakat dan para sesepuh desa. Criteria dukun pandita adalah jujur, dapat bermasyarakat dengan baik, factor keturunan, dan pantang mo-limo. Sebelum mulai menjalankan tugasnya, para dukun Tengger harus memulai serangkaian ujian. Biasanya dilakukan bersamaan dengan puncak perayaan Kasada. Dukun pandita diuji dengan cara harus dapat membaca mantra dengan lancar. Seorang dukun pandita harus dapat menghafalkan upacara yang disebut mulunen itu merupakan sat dimana para dukun baru mengucapkan mantera panjang tanpa terputus sebagai syarat ujian mereka. Setelah mantra tersebut dihafalkan dengan benar, segera ketua dukun bertanya pada dukun-dukun lainnya, ”Sah?.. sah?” dan segera terdengar jawaban panjang, ”Saaaaaahh....” dan luluslah dukun baru itu. Meskipun sudah disahkan, tidak serta merta mereka bis alangsung menjalankan tugas. Mereka harus melalui upacara resik atau berkenalan dengan yang mbaurekso (penunggu) desa, juga pejabat formal dan informal. ”Resik disini artinya membersihkan jiwa dan raga. Jika sudah resik, barulah dukun boleh menjalankan tugasnya.” Kata Sutomo.

Satu lagi kewajiban berat dukun adalah menghafalkan puluhan mantra. Dukun Tengger dan mantra memang tidak bisa dipisahkan. Hidupnya adalah untuk membaca mantra dalam berbagai pujian. Mereka selalu dimintai mantra oleh para penduduk yang mempunyai suatu keinginan tertentu. Jumlah mantra yang harus dihafalkan oleh dukun mencapai 90 bab yang kebanyakan panjang dalam bahasa kawi (Jawa kuno). ”Semua mantra itu bersifat baik, tidak ada satupun mantra yang bersifat buruk seperti untuk penglarisan, tenung atau mengganggu orang lain. Semua mantra merupakan doa keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.” Tambah Sutomo. Diiringi wangi dupa dari Prapen (Tempat dupa dibakar), percikan air dari Prapen (tempat air suci diletakkan) doa dan mantra melambung ke alam semesta.

Pada upacara entas-entas atau pengruwatan, seorang dukun harus membaca mantra selama satu jam tanpa jeda. Mantra sepanjang itu harus dihafalkan diluar kepala, tidak boleh membaca catatan. Sutomo bangun setiap pukul 03.00 ketika pikirannya masih segar untuk menghafalkan mantra-mantra itu. Dalam masyarakat tradisional, sosok seorang pemimpin spiritual semacam dukun lebih disegani daripada pemimpin administrasi (pemerintah). Mereka mempunyai hukum masyarakat sendiri, di luar hukum formal yang berlaku dalam negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur dan mengendalikan berbagai persoalan dalam kehidupan kemasyarakatan mereka. Hampir sama dengan yang terjadi di Madura, bahwa sosok kiai memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Mereka akan lebih didengarkan daripada kepala desanya. Apa yang dikatakan kiai, itulah yang dituruti. Tampaknya dalam masyarakat Tengger pun terjadi hal demikian. Dukun dalam masyarakat Tengger tidak sama dengan dukun dalam masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan hal-hal supranatural.
Dukun di Tengger lebih dekat dengan masalah agama dan kepercayaan, bukan hal-hal supranatural. Agama yan g berlaku di Tengger, diistilahkan Pudjio sebagai agama tradisional. Memang kabur konepnya. Maka, ketika harus memilih kecenderungan di antara lima agama yang berlaku di Negara ini, mereka lebih dekat dengan agama Hindu. Maka mereka menyebut dukun sebagai dukun pandita. Seiring dengan banyaknya pengaruh yang masuk ke dalam masyarakat tradisional seperti Tengger melalui pariwisata atau teknologi komunikasi, terjadi cultural change, perubahan kebudayaan.


Piodalan di Semeru Agung
Suku Tengger Turun Gunung

Lumajang (Bali Post) -
Puncak piodalan di Pura Mandara Giri Semeru Agung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Senin (10/7) terasa beda. Ribuan umat Hindu suku Tengger turun gunung ikut mengikuti upacara tersebut. Mereka sengaja datang melalui lereng selatan Gunung Bromo untuk ikut mendoakan kerahayuan jagat.

Tujuh tokoh suku Tengger pun rela ikut meninggalkan pasramannya. Mereka menggunakan pakaian adat setempat dengan gaya khas Kejawen. Untuk mendoakan kerahayuan alam semesta, mereka membuat serangkaian banten khusus ala Jawa. Upacara dengan bebantenan ini dikenal dengan isitilah nyejeg sapu jagad atau memayu bhumi, yakni meminta keselamatan alam semesta beserta isinya.

Meski dibuat sangat sederhana, sesajen Jawa memiliki makna filosofi yang mendalam. Sesajen terdiri atas pala pendem (umbi-umbian-red), buah-buahan dan sayuran. Semua hasil bumi ini dirangkai secara sederhana menggunakan daun pisang. Selain hasil bumi, suku Tengger dan umat Hindu dari beberapa daerah di Lumajang membuat sesajen berupa makanan dan buah-buahan yang dipanggul ke pura.

Upacara nyejeg sapu jagad diawali dengan melakukan persembahyangan di Pura Kandangan, sekitar 1,5 kilometer arah utara Pura Mandara Giri Semeru Agung. Persembahyangan dipimpin oleh mangku setempat. Kemudian dilanjutkan dengan iring-iringan menuju Pura Mandara Giri.

Banyaknya umat Hindu yang tangkil membuat iring-iringan hingga tiga kilometer lebih. Jalan menuju kawasan pura macet total. Arak-arakan diawali dengan gamelan terompet suku Tengger. Gamelan ini terdiri atas seperangkat gamelan reog dan sebuah terompet besar. Konon, terompet ini sebagai simbol penolak balak. Di belakang gamelan terompet, ribuan umat berjalan pelan sambil memanggul sesajen. Arak-arakan semakin meriah saat satu regu kesenian Reog ikut memainkan keahliannya. Selanjutnya diakhiri dengan sekaa bleganjur.

Tiba di pura dilanjutkan dengan upacara nyejeg sapu jagad sekaligus puncak piodalan. Tujuh dukun Tengger dengan khusyuk melantunkan mantra dengan bahasa Jawa kuno. Semua sesajen yang tertata rapi dipersembahkan. ''Semua sesajen ini adalah warisan nenek moyang kami. Sudah puluhan tahun umat Hindu Jawa terus melestarikannya. Ini sebagai ungkapan doa agar semua alam semesta selamat,'' tutur Mangku Sumarto, pemangku dari Pura Kandangan. Upacara nyejeg jagad dilakukan minimal lima tahun sekali. Jika tidak mampu bisa dilakukan sepuluh atau lima belas tahun sekali.

Puncak piodalan diakhiri dengan persembahyangan bersama. Upacara di-puput oleh lima sulinggih. Piodalan kali ini Ida Batara akan nyejer hingga 11 hari. (udi)






Umat Hindu Tengger Lakukan Upacara Tawur Kesanga

Pasuruan (ANTARA News) - Menyambut Hari Suci Nyepi, umat Hindu Tengger di Gunung Bromo melaksanakan upacara Tawur Kesanga di lapangan Telogosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (18/3).

Kegiatan yang dipimpin Mangku Prawoto tersebut, untuk menghaturkan "pecaruan" kepada Sang Bhuta Kala, agar tidak mengganggu umat.

Upacara Tawur Kesanga merupakan salah satu rangkaian prosesi menyambut Nyepi. Dua hari sebelumnya, Jumat (16/3) lalu, umat Hindu Tengger juga telah melakukan upacara Melasti di Gunung Widodaren di gugusan Gunung Bromo.

Melasti di Gunung Widodaren juga untuk mengambil air suci di sumber air di dalam sebuah gua di gugusan Gunung Bromo. Air suci tersebut, kemudian digunakan untuk menyucikan pratina, arca, atau pralingga, serta berbagai simbol yang membantu mendekatkan diri pada Tuhan. Upacara Melasti dimaksudkan untuk menyucikan seluruh isi jagat.

Tawur Kesanga merupakan upacara sehari sebelum menjelang hari suci Nyepi. Upacara Tawur Kesangan atau upacara Buta Yadnya adalah upacara untuk menghaturkan pecaruan kepada Sang Bhuta Kala, agar tidak mengganggu umat.

Umat Hindu Tengger juga membuat ogoh-ogoh, yakni boneka raksasa yang menggambarkan roh jahat yang ada di sekitar alam. Ogoh-ogoh atau roh jahat tersebut, harus disingkirkan dari kehidupan manusia.

Sehingga usai upacara Tawur Kesanga, ogoh-ogoh yang diarak dari lapangan Telogosari ke desa komunitas Hindu di Gunung Bromo kemudian dibakar dalam upacara pengrupukan.

Maknanya, pada hari suci Nyepi, yakni awal tahun baru Saka, umat Hindu dapat melaksanakan empat berata (Catur Berata), yakni amati geni (berpantang menyalakan api), amati karya (berpantang melakukan aktivitas kerja), amati lelanguan (berpantang menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan), dan amati lelungan (berpantang bepergian).

Ogoh-ogoh yang diarak di Tosari tahun ini mencapai 25 unit, yang dibuat dari 10 desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hampir setiap tahunnya jumlah ogoh-ogoh yang dibuat dan diarak selalu bertambah.

Upacara menyambut hari suci Nyepi di kawsan Gunung Bromo Pasuruan setiap tahunnya juga makin meriah. Jumlah peserta upacara maupun pengunjung terus meningkat.

Namun umat Hindu Tengger di Gunung Bromo mengakui, belum bisa melaksanakan hari suci Nyepi secara total seperti umat Hindu di Bali.
COPYRIGHT © 2007
http://www.antara.co.id





 
Upacara Potong Rambut Anak Tengger
pandu — Sun, 24/02/2008 - 17:50


Masyarakat Tengger di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur lagi punya hajatan. Yakni melaksanakan upacara potong rambut. Upacara yang digelar hari ini disebut Tugel Kuncung dan Tugel Gombak. Tugel Kuncung merupakan upacara potong rambut bagi anak laki-laki, sedangkan Tugel Gombak untuk anak perempuan. Upacara ini wajib diikuti anak masyarakat Tengger sekali seumur hidup.

Sebanyak empat anak mengikuti upacara itu. Ujung rambut kepala mereka dipotong dengan gunting oleh dukun. Sebelumnya masyarakat mengadakan doa bersama di pura setempat. Dukun Desa Wonokerso Hadi Sucipto, mengatakan, upacara Tugel Kuncung dan Tugel Gombak bertujuan untuk membuang kesialan anak yang sedang beranjak remaja. Diharapkan setelahnya, mereka terhindar dari halangan untuk meraih kesejahteraan hidup.***
http://www.matabumi.com




Penulis Endang Mariani
Masyarakat Tengger merupakan penduduk ash yang mendiami daerah Lereng Pegunungan Tengger dan Semeru, di Jawa Timur. Kawasan ini meliputi 4 (empat) Wilayah Kabupaten, yaitu : Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan. Banyak legenda dan mitologi yang dimiliki oleh masyarakat Tengger. Salah satunya yang sangat dikenal adalah mitologi Resi Ki Dadap Putih serta Rara Anteng dan Djaka Seger.

Keluhuran budi, kedamaian dan kesederhanaan tergambar sebagai etos budaya masyarakat Tengger, yang memiliki hubungan historis dengan kerajaan Majapahit. Pengaruh Hindu - Budha yang terpadu dengan adat kepercayaan lokal yang oleh sebagian masyarakat disebut Agami Jawi dan dihayati oleh masyarakat Tengger, menciptakan suatu keunikan masyarakat yang religius. Upacara-upacara adat yang secara turun menurun telah dilaksanakan selama ratusan tahun serta kondisi alam dan geografis yang spesifik, membuat masyarakat Tengger memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Jawa, bahkan dengan masyarakat Jawa Timur pada umumnya.

Keunikan pakaian sehari-hari masyarakat Tengger adalah cara mereka bersarung (memakai sarung) yang berfungsi sebagai pengusir hawa dingin yang memang akrab dengan keseharian mereka. Tidak kurang dari 7 (tujuh) cara bersarung yang mereka kenal. Masing- masing cara ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri.

Untuk bekerja, mereka menggunakan kain sarung yang dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakawung, yang dimaksudkan agar bebas bergerak pada waktu ketempat mengambil air atau kepasar. Cara bersarung seperti ini tidak boleh digunakan untuk bertamu dan melayat. Sedang untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja diladang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan tenaga lebih besar, mereka menggunakan sarung dengan cara sesembong. Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diikatkan seperti dodot (di dada) agar tidak mudah terlepas.

Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini disebut Sempetan. Sementara itu, pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak. Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunakan cara sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. Cara lain yang sangat khas, yang sering dijumpai pada saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat - tempat upacara atau keramaian lainnya di malam hari adalah cara kekodong. Dengan ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja. Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung tersendiri, yang disebut sampiran. Kain sarung disampirkan di bagian atas punggung. Kedua bagian lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangannya.

Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Tengger memang tidaklah jauh berbeda dari masyarakat Jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang tanpa wiron atau sarung tutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang di atas mata kaki, berwarna hitam. Di bagian dalam, memakai kaos oblong. Udeng dan sarung tidak tertinggal. Untuk pakaian resmi pun mereka menggunakan beskap, kain wiron dan udeng, dengan segala perlengkapannya, sebagaimana yang digunakan di Jawa.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat yang sangat diyakini dan telah dilaksanakan secara turun menurun, masyarakat Tengger memiliki banyak upacara yang tidak saja berkaitan dengan siklus kehidupan, melainkan juga yang berhubungan dengan alam. Setidaknya ada dua upacara besar, yang tetap dilaksanakan dan mengundang perhatian masyarakat luar, termasuk wisatawan, yaitu upacara adat kasada dan karo.

Kedudukan seorang dukun, yang juga merupakan pemimpin upacara adat di Tengger sangat dihormati oleh masyarakat. Busana yang digunakan seorang dukun pada saat memimpin upacara cukup unik, yaitu yang disebut baju anta kusuma atau rasukan dukun, lengkap dengan peralatan upacara seperti prasen, genta dan talam. Biasanya busana yang dikenakan oleh seorang dukun adalah ikat kepala atau udeng batik, baju warna putih, jas tutup warna gelap, jarik (kain) batik yang dibebatkan, celana panjang warna gelap dan selempang panjang warna hitam batikan. Namun ada pula dukun yang menggunakan jas tutup dan celana panjang warna putih. Selempang pun ada yang berwarna hitam, kuning, maupun putih dan ke arah krem. Selempang ini dianggap sebagai lambang keagungan dan tanda jabatan yang dipangkunya. Setelah ujub upacara, umumnya selempang ini dilepas dan disimpan kembali.




Pura Luhur Poten Gunung Bromo

Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.

Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :

MANDALA UTAMA


Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari:
Padma berfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Padma tidak memakai atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.

Bedawang Nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana.

Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.



MANDALA MADYA/ZONE TENGAH

Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung.

Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara.

Bale Bengong, disebut juga Pewarengan suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.



MANDALA NISTA/ZONE DEPAN

Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung.

Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.

Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.

Yadnya Kasada

Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Source : www.petra.ac.id



Kesodho Tengger - Ritual Dalam Galau
oleh : Kuntarini Rahsilawati

Gunung Semeru mengepulkan asapnya di kejauhan. Matahari dengan malu-malu turun ke peraduan di balik gunung, menutup matanya, tersenyum, menyemburatkan bias jingga di permadani awan dan punggung gunung di cakrawala. Jalan setapak berliku membelah desa menuruni lembah, masuk ke awan yang bergumpal-gumpal berarak turun menyelimuti ladang.

Kesodho Tengger - Ritual Dalam Galau

Teks dan Photo oleh : Kuntarini Rahsilawati

Gunung Semeru mengepulkan asapnya di kejauhan. Matahari dengan malu-malu turun ke peraduan di balik gunung, menutup matanya, tersenyum, menyemburatkan bias jingga di permadani awan dan punggung gunung di cakrawala. Jalan setapak berliku membelah desa menuruni lembah, masuk ke awan yang bergumpal-gumpal berarak turun menyelimuti ladang.

Saya ada di atas awan….! Di khayangan…….seandainya saya diberkatiNya, mungkin saya bisa melihat para bidadari sedang bersuka cita berkejaran dan bernyanyi di tumpukan awan jingga di bawah sana saat ini.

Larut malam kemarin, saya masih memeras otak di sebuah gedung bertingkat di Jakarta, dan sekarang saya sudah termangu di atas awan di Desa Ngadas, kawasan Tengger, Bromo, desa tertinggi di Jawa Timur (+ 2500m). Tengah malam besok masyarakat Tengger di Bromo akan merayakan upacara Kesodho. Saya ingin memahami upacara tersebut dari sudut pandang pelaku dan bukan dari sudut pandang wisatawan. Maka dengan senang hati saya menerima ajakan seorang peneliti budaya untuk menginap di rumah ex-kepala desa Ngadas, keluarga Pak Mulyadi.

Tengger adalah suatu daerah pegunungan di Jawa Timur, bersuhu udara 3o-20o C, meliputi G. Bromo, G. Batok. G. Widodaren, G. Ider-ider, dan terletak di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Kondisi fisik wilayah itu terletak pada ketinggian 750-3676m dari permukaan laut (dpl). Di antara semua gunung tersebut, G. Bromo (2.392 m) dianggap tempat paling suci karena dipercaya sebagai tempat tinggal Dewa Brahma dan merupakan pusat upacara adat bagi masyarakat Tengger, khususnya upacara Kesodho.


LEGENDA TENGGER DAN KESODHO

Kami duduk mengelilingi pediangan di belakang rumah yang disebut Pawon, mendengar Pak Mul mengisahkan legenda Kesodho. Pawon adalah pusat aktivitas keluarga, tempat anggota keluarga saling bercerita sambil mengelilingi makanan yang dimasak. Walaupun setiap rumah tangga memiliki ruang tamu, para tetangga dekat yang datang biasanya akan langsung mengunjungi pawon dan bukan ruang tamu. Ketika tamu sudah dianggap keluarga, mereka akan diajak berkumpul di pawon, bukan di ruang tamu. Di tempat Pak Mul inilah Robert W. Heffner, penulis buku "Geger Tenger", tinggal selama penelitiannya.

Seperti halnya masyarakat Tengger lainnya, Pak Mul sangat percaya bahwa beliau adalah keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Nama Tengger sendiri diambil dari tokoh legenda yang bernama Roro Anteng (Teng) dan Joko Seger (Ger). Peranan kedua tokoh tersebut sangat melekat di hati masyarakat Tengger sehingga tidak dianggap sebagai legenda lagi, melainkan sebagai cikal bakal masyarakat. Masyarakat Tengger selalu merasa saudara walaupun sudah berlainan desa, karena merasa satu kekerabatan.

Rara Anteng berasal dari kerajaan Majapahit. Ketika keadaan kacau, Rara Anteng pergi ke Tengger atas nasehat dari penasehat keraton Majapahit. Beliau kemudian hidup sebagai petani di Penanjakan. Di pihak lain, Joko Seger yang berasal dari Kediri mengalami peristiwa yang serupa dengan Rara Anteng. Keadaan Kediri yang aman berubah kacau. Joko Seger kemudian pergi ke Desa Kedawung. Di sana beliau mendengar bahwa orang-orang Majapahit berada di Penanjakan. Di sinilah Joko Seger kemudian bertemu Rara Anteng dan menikah.

Setelah sekian lama menikah, pasangan itu tidak juga dikaruniai anak. Mereka kemudian bersemedi di Goa Widodaren dan berjanji untuk mengorbankan salah seorang anaknya jika mereka dikaruniai anak. Mereka kemudian dikaruniai 25 anak dan lupa akan janjinya. Suatu ketika, salah seorang anak mereka, Raden Kusuma, hilang masuk ke kawah Bromo. Dari kawah tersebut terdengar pesan Raden Kusuma: "Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger akan dapat hidup aman dan sejahtera apabila pada waktu-waktu tertentu mereka membawa korbah ke kawah Gunung Bromo". Korban ini dapat diartikan berupa barang-barang tertentu seperti hasil bumi atau hewan.


DESA NGADAS DAN RELIGI

Sore tadi kami mengunjungi dukun di Desa Ngadas. Sempat ketar-ketir juga, karena dukun di Desa Ngadas terkenal paling keras dalam memegang tradisi dibanding desa-desa lain di Bromo. Ketika masa peralihan orde baru, pemerintah Indonesia hanya mengakui lima agama (Islam, Kristen, Katholik, Buddha dan Hindu). Masyarakat Tengger yang memiliki kepercayaan sendiri kemudian harus berembug memilih untuk masuk ke salah satu agama tersebut. Ketika semua dukun di desa-desa Tengger sepakat mengakui Hindu sebagai agamanya, maka desa Ngadas dengan tegas mengakui Buddha Jawa sebagai agamanya.

Pak Ngatrulin, dukun di desa Ngadas, ternyata sangat ramah dan terbuka. Setelah mengobrol sejenak, beliau masuk ke kamarnya. Dan….. voila! Beliau keluar mengenakan baju "dinas" dukunnya untuk menunjukkan kepada kami….. Beliau pun mengeluarkan alat-alat yang dikeramatkan untuk menjalankan tugasnya sebagai dukun, yang sudah berpindah tangan selama lima generasi.

Berbeda dari yang selama ini ada di benak kami, ternyata dukun di Ngadas bukan berperan sebagai penyembuh penyakit ataupun peramal, tapi lebih sebagai pemimpin upacara adat, sebagai penerus tradisi. Kami merasa mendapat kehormatan yang sangat besar atas kepercayaan Pak Ngatrulin kepada kami….

Setiap desa di kawasan Tengger mempunyai seorang dukun dan semua dukun di kawasan Tengger dipimpin oleh koordinator dukun (Sudjai) dari Desa Ngadisari. Walaupun demikian, ketika tahun ini Sudjai menyetujui penanggalan pemerintah bahwa Kesodho jatuh dua hari lagi, Masyarakat desa Ngadas mengambil sikap tidak mengikutinya dan akan melakukan upacara kesodho sesuai keyakinannya., yaitu empat hari dari sekarang.

Dengan tangan terbuka, dukun Ngadas pun mengajak kami ke petilasan Raden Panji Wulung. Petilasan ini ada di dalam hutan yang dikeramatkan. Kami tidak diijinkan memetik sesuatu. Di petilasan inilah terdapat pedanyangan, pondok kecil bergaya eropa yang didalamnya terdapat batu kecil. Pedanyangan adalah tempat para roh leluhur berkumpul. Penduduk meletakkan sesajen di dalam pondok tersebut, berdoa untuk mencari berkah agar warga desa aman dan selamat jiwa raga, atau ketika mereka mempunyai hajat atau keinginan.☼Majalah Garuda (November 2008).





http://www.parisada.org



Upacara Kasada


Sejak Jaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi – abdi kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama hindu, Setahun sekali masyarakat tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung Bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan Kasodo menurut penanggalan Jawa.




Legenda Asal Mula Upacara Kasada
Menurut ceritera, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma bernama Joko Seger.

Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.

Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.

Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.

Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua.

Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.




Pura Luhur Poten Gunung Bromo
Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.

Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :



MANDALA UTAMA

Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari:
Padmaberfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Padma tidak memakai atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.

Bedawang Nalamelukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana.

Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar.

Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.




MANDALA MADYA/ZONE TENGAH
Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung.

Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara.

Bale Bengong, disebut juga Pewarengan suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.



MANDALA NISTA/ZONE DEPAN

Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung.

Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.

Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.



Yadnya Kasada (Upacara Kasada)
Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.

Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.
Sumber : www.petra.ac.id, alambudaya.blogspot.com, java.uluwatu.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar