Bagian 3 - Gunung di Maluku
…atau 'tanah berapi' - sisa muntahan gunung berapi yang mengeras, walaupun itu bukan sebenarnya tanah. Tapi karena yang terakhir lebih mendekati apa yang disebut "tanah", marilah kita fokuskan pada hal tersebut...
Yang paling menonjol di kepulauan Maluku Utara adalah pulau kembar Ternate dan Tidore yang merupakan dua pulau vulkanik. Selama berabad-abad kehidupan di Ternate dan Tidore terpusat pada wilayah sempit pada area yang datar di sepanjang pesisir pantai…
…( panjang pantai di Ternate seluruhnya sekitar 45 Km).
Di pulau Ternate, bagian lerengnya yang agak lebih tinggi, mulai dari ketinggian 300 m diatas permukaan laut, dijadikan tempat pengembangbiakan cengkeh (selain cengkeh dilereng tersebut juga ditanam rempah-rempah seperti pala yang asal mulanya dari bagian selatan kepulauan Maluku. Saya akan menjelaskan tentang cengkeh secara khusus pada posting minggu depan). Dan jika kita perhatikan dibagian yang lebih tinggi lagi, akan terlihat puncak-puncak gunung berapi Gamalama (1,721 m) di Ternate…
...dan Gunung berapi Kimatubu (1,730 m) di Tidore.
Bahkan dasar-dasar kepercayaan purba setempat (sedikit banyak masih mempengaruhi ajaran Islam yang ada sekarang) terletak pada “menguasai” gunung berapi, yang mana belum lama ini, pada awal abad ke 19, telah memakan korban jiwa.
- Bagaimana rasanya tinggal di bawah gunung berapi, apa tidak takut? – Tanya saya pada orang lokal.
- Kami sudah terbiasa, - jawab mereka sambil mengangkat bahu.
Walaupun kesultanan Ternate dan Tidore sering terlibat perseteruan, namun dibuat peraturan, jika penduduk salah satu pulau sedang terancam letusan gunung berapi, mereka boleh mengungsi ke pulau tetangganya yang dipisahkan oleh selat sempit. Peraturan ini telah ada sejak lama dan masih berlaku hingga sekarang.
Pada September 1980 sebelum terjadi letusan gunung Gamalama di pulau Ternate, 30 ribu penduduk Ternate secara spontan mengungsi ke pulau Tidore ( pada saat itu jumlah penduduk dipulau tersebut berjumlah 56 ribu jiwa)
Pada 1983, gunung berapi yang sejak 5 abad terakhir telah meletus sebanyak 70 kali atau lebih itu, menunjukkan tanda-tanda akan aktif. Sultan Ternate Mudaffar yang saat itu sedang berada di Jakarta segera kembali ke kampung halaman. Sebuah mahkota kuno yang disimpan dan dijaga di suatu tempat khusus di dalam istana berhasil diselamatkan pada saat itu. Mahkota itu sendiri adalah mahkota pendiri dinasti kesultanan Avala, dan Mudaffar berenang mengeliling pulau Ternate sambil memegang mahkota tersebut sebagai bentuk upacara ritual.
Bagaimana menurut Anda, apakah gunung Gamalama tidak jadi meletus setelah diadakan upacara ritual itu?
Tentu saja keyakinan demikian tidak dapat menolong orang lokal. Orang lokal disini telah begitu terbiasa hidup di bawah kaki gunung berapi, sama seperti orang-orang di Yogyakarta, sehingga mereka seringkali tidak menghiraukan peringatan dan anjuran para seismolog agar berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri sebelum semua energi yang terus bertumpuk di dalam gunung Gamalama menyembur keluar.
Jika ingin tahu bagaimana letusan gunung Gamalama, sisa-sisanya yang masih utuh sampai saat ini yang terletak di bagian timur laut pulau Batu Angus dapat menjelaskan. Sisa letusan besar pada abad ke-18 yang berupa jejak lahar yang panjang itu mengingatkan kita pada penampang bulan yang aneh – di sekitar karang-karang yang terbentuk dari bebatuan vulkanik berwarna hitam tidak terdapat sedikitpun rerimbunan tumbuh-tumbuhan khatulistiwa.....
Hal serupa juga terjadi di Tidore pada 1968, ketika gunung Kimatubu memuntahkan isi kawahnya dan mengubur seluruh desa yang ada di bawahnya dengan lahar panas yang berpijar-pijar.
Tapi ada juga tempat di Ternate, dimana bekas amukan gunung berapi tidak tampak pada alamnya.
Walaupun saya menduga bahwa danau itu dulunya adalah kawah gunung berapi.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar