Senin, 11 Oktober 2010
Kekejaman Westerling, Sang Penjahat Perang yang Membunuh Ribuan Rakyat Makassar
Bagi banyak orang Indonesia, Kapten Raymond Westerling tetap merupakan figur militer Belanda yang paling jahat dalam perang kemerdekaan republik muda tersebut. Dengan adanya seorang sutradara Belanda yang merencanakan untuk membuat sebuah film tentang kebrutalan Westerling di Sulawesi Selatan, sebuah evaluasi yang lebih dalam menunjukkan beragam karakter dari seorang pria yang hingga saat ini masih menjadi duri dalam sejarah Indonesia – Belanda.
Nama Westerling masih membangkitkan citra kejahatan dan kebiadaban bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang dibesarkan berdasarkan buku-buku sejarah yang menguraikan kekerasan yang dilakukan oleh sang perwira Belanda tersebut terhadap penduduk di berbagai bagian dari kepulauan itu.
Dalam memoirnya, Westerling menguraikan suatu aksi teror yang dirancang untuk meredam kelompok-kelompok yang telah menyerang tentara-tentara Eropa di Sumatera Utara.
"Kami memasang sebuah tonggak di tengah desa dan di atas tonggak tersebut, kami tancapkan kepala dari seorang Terakan (penduduk dengan darah setengah Jepang, setengah China). Dibawah tonggak tersebut, kami pasang peringatan yang sopan kepada anggota kelompoknya bahwa jika mereka tetap melakukan perbuatan jahat mereka, kepala mereka akan bergabung dengan kepala orang tersebut."
Sutradara asal Belanda, Martin Koolhoven percaya bahwa Westerling "pastinya adalah, seorang karakter yang sangat menarik untuk sebuah film. Saat ini masih ada orang yang mengidolakan dirinya (di Belanda), sementara lainnya menganggap dirinya sebagai perwujudan iblis."
Walau banyak film Belanda mengenai Perang Dunia II telah dibuat, Koolhoven saat ini sedang membuat suatu skrip untuk sebuah film yang menceritakan tahun-tahun sesudah 1945.
"Itu adalah suatu periode dalam sejarah kami yang kami dapat sangat berbangga atasnya.", kata Koolhoven. "film ini tidak akan menjadi suatu biopic tentang Raymond Westerling, tapi suatu film tentang orang-orang yang bertugas di bawah komandonya selama berada di Indonesia."
Produser San Fu Maltha menguraikan proyek tersebut sebagai "Apocalypse Now versi Belanda. Film tersebut adalah sebuah cerita tentang hilangnya kemurnian dalam masa perang."
Walaupun adanya fakta bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang menjadi saksi dari pembunuhan angota keluarga dan sesama penduduk desa, yang saat ini masih hidup, dan bahwa nama Westerling masih mengundang reaksi penuh emosi, Koolhoven berharap bahwa ia akan dapat mengambil gambar film tersebut di Indonesia.
"Walaupun topiknya sensitif, saya tidak melihat alasan mengapa kami tidak dapat melakukannya disana," katanya.
Si Turki
Raymond "Si Turki" Paul Pierre Westerling tidak mendapatkan pendidikan Belanda pada umumnya. Lahir pada tahun 1919 di Istanbul, ia adalah putra dari ibu asal Yunani dan pedagang barang antik asal Belanda yang keluarganya telah tinggal disana untuk beberapa generasi. Dia dan saudara perempuannya Palmyre tumbuh berbicara dengan bahasa Yunani, Turki, Perancis dan Inggris. Dalam memoirnya ia menulis, "satu dari bebreapa bahasa Eropa Barat yang tidak saya gunakan satu patah kata pun ketika saya tumbuh dewasa adalah "bahasa ibu" saya: Belanda."
Hasratnya akan petualangan dimulai pada usia yang sangat muda. Pada usia 7 tahun, ia telah memiliki kemampuan menembak yang sangat bagus, tulis Westerling dalam memoirnya. Ketika perang menyelimuti Eropa pada tahun 1941, ia pergi ke konsulat Belanda di Turki dan mendaftar di Angkatan Darat Belanda, yang membuat kecewa keluarganya.
Westerling dilatih sebagai komando di bawah pimpinan Inggris, tapi yang membuat dia kecewa, ia tidak pernah ditugaskan ke garis depan. Kurangnya kegiatan selama tahun-tahun awal tersebut, lebih dari terbalaskan sepanjang penugasannya selama lima tahun di bekas koloni Belanda, Indonesia.
Keburukannya Mendahului Dirinya
Westerling pertama kali tiba di Indonesia pada bulan September 1945, mmendarat di Sumatera Uutara sebagai bagian dari KNIL, angkatan bersenjata Hindia Belanda. Keadaan disana, sebagaimana di sebagian besar Indonesia sangat menegangkan dan kacau. Belanda dihadapkan pada keadaan yang berbeda dengan keadaan ketika mereka kalah dari Jepang, tiga tahun sebelumnya.
"Belanda tidak siap untuk menghadapi perjuangan hebat dari masyarakat Indonesia untuk meraih kemerdekaan," menurut Susan Legene, sejarawan politik dan ahli Indonesia pada Vrije Universiteit di Amsterdam.
Westerling memandang rendah wewenang Republik Indonesia dibawah Soekarno. "Pembentukan republic di Jawa....Sederhananya hanya mengganti kekuasaan Belanda dengan kekuasaan orang Jawa," tulisnya. "Dari kedua hal tersebut, banyak yang lebih memilih Belanda."
Dia juga hanya memiliki sedikit rasa hormat kepada berbagai kelompok pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan, menganggap mereka sebagai "geng teroris" yang menjarah, memerkosa dan membunuh rakyat sipil tidak berdosa.
Dalam hitungan bulan, Westerling telah membangun reputasi atas kesuksesannya mengalahkan mereka yang dicap sebagai elemen pemberontak oleh otoritas Belanda, terkadang menggunakan metode-metode yang tidak biasa seperti pembersihan yang dilakukannya terhadap Terakan. Dalam buku "Westerling's War", sejarawan Belanda, Jaap de Moor mencatat bahwa sampai dengan Februari 1946, surat kabar Inggris telah menuliskan berita tentang tindakan Westerling.
"Ketenarannya sebagai komando yang tak kenal takut, seorang pejuang untuk keadilan telah tercipta," tulis De Moor.
Westerling melihat dirinya sebagai penyelamat bagi mereka yang lemah: "Aku tidak bisa berdiam diri melihat salah satu penduduk yang paling baik dan paling menyenangkan di dunia ini tidak berdaya melawan kekerasan yang dilakukan gerilyawan Jawa dan mantan kolaborator, milisi-milisi yang dilatih oleh Jepang untuk melakukan kekejaman."
Melawan Teror dengan Teror
Rakyat Sul-Sel sedang dikumpulkan, sebelum dibantai
Pada bulan November 1946, setelah terlebih dahulu membentuk DST (depot pasukan khusus) grup komando di Jakarta, Westerling ditugaskan di Sulawesi Selatan.
"Otoritas Belanda di Sulawesi Selatan hampir mengalami kelumpuhan mutlak," tulis De Moor. "mereka dihadapkan pada pilihan meninggalkan seluruh wilayah atau menghancurkan kegiatan musuh dengan cara apapun yang dapat dilakukan. Mereka memilih opsi terakhir dan memanggil Kapten Westerling dan komandonya."
Dan lahirlah apa yang kemudian dikenal sebagai "Metode Westerling". Pasukan komando akan mengepung sebuah desa saat subuh dan menggiring warganya ke area terbuka. Laki-laki akan dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Westerling akan membawa serta dengan dirinya suatu daftar dari orang-orang yang diduga sebagai anggota teroris, yang telah dikumpulkan terlebih dahulu melalui informan-informan. Ia kemudian akan memanggil seseorang, begitu diidentifikasi orang tersebut akan ditembak mati ditempat. Selanjutnya, semua yang ada akan disumpah diatas Qur'an bahwa mereka tidak akan mengikuti jejak sang "teroris".
Pada satu wawancara televisi di tahun 2007, Haij van Groenendaal, salah seorang dari 123 komando yang bertugas di bawah Westerling di Sulawesi Selatan, berbicara mengenai operasi pertama mereka pada tanggal 10 Desember 1946.
Rakyat Sul-Sel dikumpulkan sebelum dibantai Westerling Desember 1946 – Februari 1947
"Saya sangat terkejut. Saya mengatakan kepada Westerling, 'Kita tidak bisa melakukan ini!' Dia berkata 'Ini adalah tugas saya. Jika kamu tahu cara lainnya, akan saya lakukan.' Tapi tidak ada cara lainnya, kata Westerling."
Westerling dan anak buahnya menekan maju dengan eksekusi mereka, menghukum pelanggar-pelanggar tanpa melalui pengadilan. Van Groenendaal mengatakan bahwa para petinggi angkatan bersenjata sadar penuh akan keadaan yang ada: Komandan Hindia Belanda untuk wilayah Indonesia Timur, Kolonel De Vries, hadir pada salah satu operasi awal dan pergi sembari muntah.
Penyelidikan resmi yang dilakukan Belanda di tahun 1969 terkait akibat perang selama periode 1945 – 1949 sangat klinis dalam evaluasinya atas metode Westerling: "Menimbang sejumlah hal, tampaknya tindakan secara keseluruhan dari DST dibawah kepemimpinan Kapten Westerling merupakan jawaban atas apa yang diinginkan oleh kepemimpinan sipil dan militer tertinggi dari penugasannya di Celebes Selatan."
Ketika pasukan DST Westerling menyelesaikan operasinya di Sulawei Selatan pada Maret 1947, jumlah gabungan korban meninggal yang dihasilkan bersama dengan unit militer Belanda lainnya dan kepolisian lokal selama periode tiga bulan diperkirakan berada diantara 3.000 dan 5.000. Unit Westerling sendiri diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar 400 eksekusi.
Sementara buku cetak di sekolah-sekolah menengah di Indonesia mengklaim bahwa Westerling bertanggung jawab atas 40.000 kematian, sebagian besar sejarawan, termasuk di Indonesia, meragukan kebenaran dari angka tersebut. Sejarawan yang berkedudukan di Yogyakarta, Petrik Matanasi memperkirakan bahwa jumlah korban di Sulawesi Selatan pada periode tersebut "dalam ribuan, dan bukan puluhan ribu".
Pengkhianatan Berat dengan Nuansa Darah Biru?
Lebih sedikit berdarah tapi tidak kurang kontroversial adalah upaya Westerling pada tanggal 23 Januari 1950 untuk menguasai kekuasaan dari pemerintah Indonesia. Sebuah buku baru-baru ini mengutarakan bahwa ia mungkin mendapat bantuan dari Kerajaan Belanda.
Wsterling memimpin DST antara 1946 – 1948. Sementara dianggap efektif, keburukannya berujung pada bertumbuhnya kritik dari masyarakat dan suatu penyelidikan resmi pemerintah Belanda pada April 1947.
Ia dibebastugaskan dari tugasnya pada November 1948, walaupun ia menikmati penghormatan dari rekan-rekan dan atasannya. Ia berdiam di Jawa Barat, memulai kehidupan sipil dengan keluarga dan usaha.
Akan tetapi, hal ini bukan merupakan akhir dari penaklukan bersenjatanya. Perlahan ia menggalang pergerakan bersenjata yang terdiri dari kelompok-kelompok yang menentang pengalihan resmi kekuasaan dari Belanda ke Republik Indonesia, dibawah Soekarno. Westerling menamakan pergerakannya sebagai Angkatan Perang Ratu Adil, dari mitos Jawa bahwa seorang "ratu adil" akan datang untuk menyelamatkan penduduk Jawa. Pergerakan ini meliputi bekas tentara KNIL lokal dan milisi Jawa Barat yang ingin mendirikan negara mereka sendiri.
Kudeta yang dilakukan hanya sebulan setelah pengakuan internasional terhadap Republik Indonesia, mengakibatkan hilangnya lusinan jiwa dari kedua belah pihak dan gagal secara menyedihkan. Dalam buku Weterling: The Failed Coup, Matanasi menulis, "Kudeta dilakukan tanpa tujuan. Persiapannya jauh dari sempurna. Westerling bahkan tidak secara memadai mengatasi permasalahan senjata."
Sementara pemerintah Belanda secara resmi mengutuk kudeta tersebut, mereka tetap membantu menyelundupkan Westerling ke Singapura dan pada akhirnya kembali ke Belanda via Belgia.
Westerling dikerumuni wartawan saat di airport Brussel
setelah melarikan diri dari Indonesia.
Enam dekade kemudian, upaya kudeta gagal tersebut kembali mendapatkan perhatian luas dari media Belanda dengan peluncuran buku karya sejarawan Harry Veenendaal dan jurnalis Jort Kelder pada November 2009. Buku Z.K.H., Dangerous Game at the Court of His Royal Highness, menduga bahwa Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana, memainkan peran dalam intrik-intrik Westerling.
Sementara sang penulis menekankan bahwa kaitan antara pangeran dengan pergerakan tersebut tetap tidak jelas, namanya muncul dari waktu ke waktu dalam berbagai dokumen terkait kudeta gagal tersebut.
Penjahat Perang
Sementara secara kategori dinyatakan sebagai penjahat perang oleh orang-orang seperti Legene dan Nico Schulte Nordholt, seorang ahli Indonesia dari Universitas Twente, dan dihukum dalam dua penyelidikan resmi, Westerling tetap dibiarkan lolos oleh pemerintah Belanda.
"Faktanya adalah tindakannya diam diam disetujui dari otoritas tertinggi," kata Nordholt. "Dan dimata otoritas Belanda, dia sangat sukses saat itu. Sangat kejam, tapi efektif."
Dalam suatu ironi, Nordholt mengutarakan bahwa Militer Indonesia mencontoh DST Westerling ketika membentuk pasukan khusus atau Kopassus. "Tindakan Westerling merupakan model bagi Kopassus dan bagaimana Kopassus beroperasi di wilayah pemberontak."
Pada 1949, perjanjian pengalihan kekuasaan antara Belanda – Indonesia menyatakan bahwa kedua negara tidak akan menuntut masing-masing atas kejahatan semasa perang, Legene dan Nordholt mengutarakan hal ini mengesampingkan setiap upaya Indonesia untuk menekan dilakukannya ekstradisi atas Westerling.
Memungut Potongan-Potongan di Belanda
Bahkan diantara tokoh sejarah yang paling jahat selalu ada sisi yang lebih manusiawi, yang disayag oleh teman dan kerabat. Dalam kasus Westerling, anak-anak dan cucu-cucunya mengingat dia sebagai orang yang baik hati walau tetap seorang yang rumit dan tersiksa.
Begitu kembali ke Belanda, Westerling menetap dengan istrinya, Yvonne Fournier yang merupakan keturunan Indoneia – Perancis, di sebuah kota kecil di negara bagian Friesland. Anak pertama mereka, Celia Veldhuis, lahir di tahun 1948 di Jawa Barat, mengatakan bahwa memori perang masih menghantui Westerling.
"Ayah harus berjuang melawan apa yang ia alami selama masa kanak-kanak kami, walau ia tidak pernah membicarakan satu katapun tentang masa-masa itu," kata Veldhuis sembari mengingat-ingat. "Tidak ada dukungan, tidak ada konseling seperti sekarang. Ia selalu mengalami sakit kepala, kemungkinan karena pecahan peluru yang masih tersimpan di tengkoraknya. Ia tidak pernah tidur nenyak. Dia banyak minum dari waktu ke waktu."
Uang sangat sedikit dan mereka tinggal di rumah mungil. Veldhuis menggambarkan Westerling sebagai "gelisah dan tak menentu, tapi tetap hangat dan perhatian".
"Ketika ibu saya sedang mengambil kursus untuk menjadi penata rambut, ia adalah orang yang mengurus rumah tangga: mencuci, memasak, merawat anak-anak," kata Veldhuis.
Westerling kemudian belajar menyanyi di Konservatorium Amsterdam. Akan tetapi, debutnya sebagai tenor di Puccini's Tosca di kota Breda pada tahun 1958 merupakan kegagalan.
"Ia sangat gugup. Ia tahu semua mata menatap ke arahnya", ingat Veldhuis.
Westerling kemudian bercerai dan menikah kembali, dan menjalankan sebuah toko buku antik di Amsterdam. Ia meninggal karena gagal jantung pada tahun 1987.
Sepanjang hidupnya, ia senantiasa membela tindakan-tindakan terdahulunya dan dengan keras menyangkal setiap tuduhan sebagai penjahat perang.
"Ia sangat kecewa dengan bagaimana pemerintah memperlakukan dia", kata Veldhuis, "ia melayani negara, dan setelah itu ia menjadi kambing hitam. Ia harus berjuang untuk mendapat uang pensiun tentara yang tidak seberapa."
Walaupun Veldhuis mengatakan bahwa hubungannya dengan sang ayak terkadang sulit, ia tetap kukuh tentang satu hal: "Saya tidak pernah menganggap dia sebagai pembunuh. Dia ditempatkan dalam situasi dimana peraturannya berbeda, dan dia harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan karakternya."
Penulis: Lina Sudarto
Disarikan dari: The Jakarta Post: Weekender, edisi Mei 2010
(www.kaskus.us)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar