Sabtu, 23 Oktober 2010

Kelaparan di Negeri Beras

Hari Sabtu (16/10) kita kembali merayakan Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Perayaan yang bertepatan dengan tanggal berdirinya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1979 saat sidang umum Organisasi Pangan dan Pertanian se Dunia ke-20 di Roma mengambil tema "Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan". Perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini memiliki arti penting untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap masalah pangan di dunia dan membangun solidaritas untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan.

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Terutama dalam hal pangan maka sudah semestinya pemerintah mampu untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat agar tidak terjadi kelaparan di beberapa daerah. Namun, ironisnya masih didapatkan orang yang mengalami kelaparan di negeri beras ini.


Busung Lapar di Negeri Beras

Berbicara kelaparan pasti tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan. Ini artinya semakin tinggi angka kemiskinan berarti semakin tinggi peluang orang yang lapar atau terkena penyakit busung lapar. Menurut BPS memperkirakan hingga akhir tahun 2010 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa dan 19,93 juta jiwa atau 64,2 persen di antaranya tinggal di perdesaan.

Ada pun berdasarkan data terakhir FAO mencatat penduduk yang kekurangan gizi di seluruh dunia mencapai 1,02 miliar. Sementara jumlah penduduk yang kelaparan di Indonesia hingga saat ini masih terus mengalami lonjakan yakni terdapat sebanyak 150 juta orang kelaparan hingga akhir tahun lalu dan menurut Global Hunger Index (GHI) 2010 Indonesia masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan'.

GHI tahun 2010 menunjukkan bahwa gizi buruk anak adalah penyebab terbesar kelaparan di seluruh dunia. Menyumbang hampir setengah dari semua kasus kelaparan yang ada.

Fenomena kemiskinan dalam bentuk busung lapar dan kelaparan yang terjadi di Indonesia justru menjadi aneh karena negara kita ini adalah negara agraris. Memiliki lahan yang setiap jengkalnya dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman, dan hamparan luas daratannya mencapai sekitar 192 juta hektar dan makanan pokoknya pun tidak hanya nasi (padi) tetapi terbagi pada sagu, jagung, dan ubi-ubian.

Tanpa pendekatan bioteknologi pun lahan negeri kita ini mampu menyediakan pangan untuk seluruh penduduknya. Bahkan, berlebih. Sepantasnya kita menjadi negara pengekspor hasil-hasil pertanian dibandingkan negara-negara lain. Bukan sebagai negara pengimpor.

Masalahnya ternyata pada sistem yang diterapkan di negara ini yaitu Kapitalisme dan mentalitas pengelola negara serta penduduknya. Bukan kelangkaan lahan pertanian yang jadi masalah. Tetapi, penguasaan lahan pertanian dan kualitas penguasa dan masyarakat kita.

Dalam sistem Kapitalisme lahan pertanian dinilai sebagai barang ekonomis yang bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa batas. Peranan negara hanya sebatas administratif dan fasilitator. Hal ini jelas sangat berbahaya sebab tanah merupakan aset yang tidak terbaharukan (nonrenewable), luasannya tetap, sedangkan penggunanya akan terus bertambah.

Bisa dibayangkan oleh kita ada satu orang konglomerat memagari puluhan bahkan ratusan hektar lahan pertanian di Pulau Jawa tanpa dikelola sama sekali. Sementara banyak masyarakat kita yang miskin jangankan untuk menguasai hektaran lahan untuk sekadar berteduh pun atau menguburkan jenazahnya pun tidak punya. Ini jelas kesalahan dan kedzoliman sistem yang luar biasa. Sebab, tanah ini ciptaan Allah yang disediakan untuk hidup dan menghidupi semua makhluk ciptaan-Nya.

Penyediaan pangan bagi rakyat merupakan hak asasi seluruh rakyat dan kewajiban utama dari negara. Oleh karena itu bila kita berbicara pertanian maka kita tidak dapat melepaskannya dari sistem pemerintahan (politik).

Melihat konsumsi terhadap beras yang setiap tahun terus meningkat pemerintah jelas harus memiliki strategi yang jelas demi ketahanan pangan nasional. Strategi ini tidak cukup hanya ditangani oleh suatu kementerian. Misalnya Kementerian Pertanian. Perlu penanganan dan kerjasama antar kementerian.

Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi) yakni dengan melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kesuburan tanah, menanam varietas yang produktifitasnya tinggi dengan umur tanam singkat, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ramah lingkungan, dan lain-lain.

Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan). Seperti menambah luas area yang akan ditanam. Ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut.

Supaya lebih strategis kebijakan politik pertanian ini harus dipadukan dengan strategi politik industri. Sebab, berbicara tentang peningkatan produktivitas pertanian perlu adanya mekanisasi pertanian yang dihasilkan dari mesin-mesin pertanian produk industri.

Akhirnya melalui perayaan Hari Pangan Sedunia 2010 ini kita berharap akan muncul komitmen baru pemerintah untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan yakni dengan menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Di antaranya adalah kebutuhan pangan.

Oleh: Andi Perdana Gumilang SPi 
(Penulis adalah Tim Markom Lembaga Pertanian Sehat) 
www.harian-global.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar