Sabtu, 02 Oktober 2010

Kretek dan Budaya Indonesia


Di London pada sebuah perjamuan diplomatik lebih dari 50 tahun lalu, seorang lelaki bertubuh pendek dan kurus untuk ukuran orang Eropa memantik rokok dan mengepulkan asap dari mulutnya. Dia mengenakan fez hitam, juga songkok di atas rambut putihnya. Aroma asap kretek merebak ke seisi ruangan itu. Seorang diplomat bule menghampirinya, ''Apakah gerangan rokok yang sedang Tuan isap itu?'' tanyanya. ''Inilah Yang Mulia,'' tutur lelaki itu, ''yang menjadi alasan mengapa Barat menjajah dunia.''

Peristiwa itu diceritakan kembali oleh Pramudya Ananta Toer dalam buku Mark Hanusz berjudul Kretek, The Culture and He-ritage of Indonesia's Clove Cigarette.

Agus Salim, sesepuh yang diceritakan itu, adalah duta besar pertama RI untuk Inggris Raya. Cerita itu pernah ditulis untuk kali pertama dalam buku Peringatan 100 Tahun Agus Salim, terbitan 1984.

Di dalam buku ini juga disebutkan bahwa kretek secara umum terdiri dari ‘bungkus’ (yang biasanya menggunakan kertas sigaret atau daun jagung/klobot), tembakau, cengkeh, dan bahan spesial yang disebut saus. Saus ini fungsinya sebagai pemberi varian rasa pada rokok kretek yang terbuat dari bahan-bahan tembakau alami, herbal, dan buah-buahan. Selain itu, saus ini menjadi ciri khas rasa suatu merk rokok kretek. Diberi nama kretek karena bunyi cengkeh yang terbakar berbunyi keretek-keretek, dan secara lafal yang lebih mudah, huruf ‘e’ kemudian dihilangkan menjadi kretek.

Di dalam buku ini juga disebutkan bahwa tembakau dibawa oleh orang Belanda pertama kali ke Indonesia, yaitu pada tahun 1596 oleh Cornelis De Houtman di Banten. Sebelumnya, tidak ada kebiasaan merokok atau sejarah yang berhubungan dengan tembakau, namun 10 tahun sejak kedatangan Cornelis De Houtman tersebut, tembakau langsung populer di kalangan kerajaan Banten. Kata ‘tembakau’ sendiri lebih menyerupai bahasa Portugis “Tobacco” dari pada bahasa Belanda "tabak”, sehingga kemungkinan besar, bangsa Portugislah yang membawa tanaman ini masuk ke Indonesia. 

Asal mula istilah “rokok” di Indonesia, yaitu ditemukannya tembakau dan kebiasaan merokok di daerah-daerah di kepulauan Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, Motir, dan Makian sekitar pertengahan abad ke-17. Saat itu, rokok terbuat dari daun tembakau lokal, yang dibungkus dengan daun pisang atau daun jagung (rokok dengan bungkus daun jagung ini kemudian disebut klobot) dan diikat dengan seutas benang. Namun, saat itu tidak ada istilah rokok atau merokok. Rokok ala Ternate itu kemudian disebut “Bungkus Ternate”.

Klobot Gudang Garam

Cengkeh sendiri sebelumnya hanya tumbuh di lima kepulauan Maluku, pada awal masa modern. Kala itu, harga cengkeh sangat mahal, setara dengan emas, akibat biaya pengiriman kapal. Cengkeh tidak hanya digunakan untuk rokok kretek, tapi juga rempah (bumbu) masakan.
“Bungkus Ternate” ini kemudian masuk ke Jawa sekitar pertengahan abad ke-18, dan mempengaruhi perkembangan cerutu orang India dan Burma. (Cerutu sendiri berasal dari bahasa Tamil, “shuruttu”). Sejarah ini pertama kali tercatat pada abad ke-18.

Di Sumatera sendiri, tanaman tembakau dan istilah ‘rokok’ diperkirakan dibawa masuk oleh pelaut dan pedagang Belanda yang secara berkala mampir ke Sumatera, pada sekitar akhir abad ke-17. Tidak seperti “Bungkus Ternate”, istilah rokok telah ada, yaitu berasal dari bahasa Belanda “roken” yang artinya merokok. Oleh karena itu, istilah rokok pada masa tersebut telah ada, yaitu ‘roko’ atau ‘rokok’ (roken). Perbedaannya dengan “Bungkus Ternate”, yaitu tidak menggunakan daun pisang atau jagung, melainkan menggunakan daun palem nipah.
Yang menarik di sini, istilah ‘bungkus’ tetap digunakan, yaitu rokok satu pak (sebungkus), dan rokok sebatang. Pada abad ke-19, istilah bungkus diganti menjadi ‘strootje’ atau ‘straw cigarette’ (batang rokok), dan klobot (rokok dengan bungkus daun jagung). Rokok pertama kali muncul di pasaran adalah pada tahun 1850. Sedangkan rokok kretek muncul pertama kali tahun 1880 (Haji Djamari).

Tipe-tipe kretek klobot pada waktu itu adalah sebagai berikut :
  • Sigaret Kretek Klobot, yaitu dilinting dengan tangan wanita (manual)
  • Sigaret Kretek Tangan, yaitu tahun 1913 oleh HM Sampoerna, menggunakan mesin giling kayu dengan tenaga kerja pria dan wanita (semi manual)
  • Sigaret Kretek Tangan Filter, yaitu pada tahun 1960 dan telah menggunakan mesin yang baik, misalnya seperti di Solo dan Kudus. Bedanya dengan Sigaret Kretek Tangan yaitu pada bagian tengah-tengah sigaret disisipkan filter (semi manual dengan filter)
  • Sigaret Kertas Mesin, merupakan revolusi dalam perindustrian rokok seperti hingga sekarang (otomatis)
Sedangkan lebih lanjut disebutkan dalam buku, Perusahaan Cap Bal Tiga milik H. Nitisemito, terkenal barangkali dengan sistem abon-nya. Sistem ini yaitu :
  • Kertas tembakau, tembakau, cengkeh, dan saus tetap disediakan oleh Cap Bal Tiga sebagai ‘resep’ rokok kretek. Bahan-bahan ini kemudian diberikan kepada pihak penengah (perantara) yang disebut abon. Para abon memberikan bahan-bahan ini kepada para bawahannya yang disebut kernet, untuk dilinting jadi satu menjadi rokok kretek. Proses ini biasanya membutuhkan waktu beberapa hari. Jika rokok kretek ini telah siap, para abon kemudian akan membawa kembali produk yang sudah jadi kepada perusahaan, dan mendapatkan komisi melalui jumlah rokok per batang yang dihasilkannya. Dengan cara ini, perusahaan dapat menghemat dari segi upah, tanggung jawab biaya, dan lepas dari beban ketenagakerjaan lainnya. Sistem ini pada masa itu kemudian banyak ditiru oleh perusahaan-perusahaan kretek sejenis lainnya.
  • Namun di sisi lain, sistem abon ini juga memiliki kecacatan yang selanjutnya membawa kerugian, bahkan keruntuhan bagi perusahaan Cap Bal Tiga. Hal ini, terutama dikarenakan sabotase yang dilakukan para abon. Abon sendiri sesungguhnya dibagi menjadi dua; satu yang mendapat komisi secara ketat dihitung berdasarkan per batang rokok yang berhasil dilinting oleh para kernetnya, dan kedua yaitu abon yang mendapatkan upah tetap, tak peduli berapa banyak rokok yang dihasilkannya. Tipe abon kedua ini, biasanya adalah orang terpercaya atau kerabat dekat pemilik perusahaan. Dengan demikian, kecurangan demi kecurangan tidak berhasil dielakkan, tidak hanya yang dilakukan oleh abon tipe pertama, namun terutama oleh abon tipe kedua. Hal yang biasanya terjadi yaitu, resep-resep yang diberikan perusahaan kemudian dikaburkan dan dibuat menjadi merk kretek baru oleh para abon.
Hal ini meruntuhkan kerajaan perusahaan Cap Bal Tiga dan memunculkan nama-nama pesaing baru, seperti Minak Djinggo, dan lain sebagainya. 


BUDAYA KRETEK
Disebutkan dalam buku, terdapat cerita seorang Jawa bernama Saimun, yang sedari pagi belum makan apa-apa, dengan perut lapar, dan tersiram hujan sore hari ketika sedang berada di pinggir jalan. Ia menyalahkan hujan, lalu mampir ke sebuah warung dengan seorang penjaga wanita langganannya, yang bernama Itam. Dengan menggunakan bahasa Jawanya, ia memohon minta diberikan sebatang kretek lintingan. Setelah beberapa saat lamanya, wanita itu mengalah, dan memberikan pria itu sebatang kretek. Hanya dengan sebatang kretek itulah, Saimun melepas kesehariannya, dan kembali mengenang masa lalunya, masa kecilnya ketika orang tuanya belum tewas dibunuh segerombolan preman. 

Budaya kretek di Jawa memang misterius. Seperti yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer pada bagian kata pengantar. Walaupun masa mudanya masih susah dan tidak mampu membeli kretek karena cengkehnya yang mahal itu, ia pun tetap mengkonsumsi kretek, walau tanpa memperoleh faedah apa-apa. Para tamu pria yang datang ke rumah masa itu, juga jika tidak disajikan ‘hidangan’ kretek, terasa kurang lengkap. Tiap pertunjukan tarian dan kesenian Jawa, para pria dengan blangkon lengkap di kepala itu pun tetap menikmati kretek, bahkan sambil memainkan alat musik sekalipun. Para kacung, yang menunggu majikan di beranda, akan gembira sekali mendapatkan sebatang kretek dari tuannya. Mungkin karena hal itulah terdapat istilah “uang rokok”.
Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dari kretek, jika tidak, takkan terdapat kerajaan-kerajaan kretek yang begitu besar dan tumbuh di Jawa. Sebut saja Sampoerna (1913), Bentoel (1931), Jambu Bol (1937), Djarum (1951), Gudang Garam (1958), Surya, dan lain sebagainya. Kretek telah menempel di semua lapisan masyarakat.

Uang dua puluh ribuan yang menggunakan gambar cengkeh, pralambang lekatnya budaya kretek dengan Indonesia, dan image kretek Indonesia itu sendiri di mata dunia internasional

 
Candu Van Kudus
Sejarah rokok di Indonesia adalah sejarah Kudus. Dalam catatan Raffles dan Condolle disebutkan, kebiasan merokok di Jawa sudah ada sejak abad ke-17. Bahkan, Raja Mataram Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645 dicatat Onghokham dan Amen Budiman sebagai chain smoker (perokok berat). Akan tetapi, tak satu pun dari catatan sejarah itu yang memperkenalkan rokok secara komersial kecuali seorang haji asal Kudus bernama Djamahari pada akhir abad ke-19.
Kediri dan Malang, dua dari tiga kota industri rokok di Indonesia --termasuk Kudus-- selalu berebut menyebut diri, ''Kamilah kota kretek Indonesia.'' Namun, baik Kediri maupun Malang tak memiliki Haji Djamahari yang telah menjadi ikon rokok dan menjadi buah bibir masyarakat karena telah menyembuhkan sendiri penyakitnya sesudah mengisap rokok bercengkih.
Mereka pun tak memiliki Haji Ilyas dan Haji Abdul Rasul yang memproduksi rokok secara massal sebagai pendahulu-pendahulu sejarah kesaudagaran rokok di Kudus. Suatu sejarah panjang rokok kretek sampai pada juragan rokok Bal Tiga Nitisemito yang tersohor itu.
Kini, rokok telah tumbuh menjadi industrial idol negara. Pemasukan negara atas industri ini pada 2003 adalah Rp 27 triliun. Dari industri ini, Kudus menyumbang hampir Rp 6 triliun per tahun.
 
Ibarat gula, industri ini telah menjadi tempat kerubutan ratusan ribu tenaga kerja yang mengisap manis dari pahitnya tembakau dan cengkih. Bila dahulu Barat, seperti disebut the old man Agus Salim, menjajah dunia karena cengkih, maka industri rokok kini menjadi tempat penziarahan panjang angkatan kerja yang menanti kesempatan ngelinting tembakau dan cengkih dan tempat hidup bagi para petani penghasil rempah-rempah itu.
Rokok telah menjadi candu bagi tenaga kerja, petani, saudagar rokok, dan juga negara. Dan, kita seperti kata Fromberg dalam Opium to Java adalah pengisap candu sekaligus terisap oleh industri rokok dan negara. Itulah kenapa rokok selalu berada dalam ironi: dicaci sekaligus didamba.
Karena itu, ketika negara secara tegas memberlakukan ketentuan tar dan nikotin, sesungguhnya negara tidak sedang mencaci rokok karena negara mendambakannya. Negara hanya sedang berkompromi secara malu-malu dengan Barat yang dahulu menjajahnya untuk sebuah kepentingan bernama paru-paru manusia.

Sumber: www.semangkokbakmie.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar