Minggu, 24 Oktober 2010

Kubangan Korupsi

Korupsi kian merajalela. Seiring berjalannya waktu, tren korupsi menunjukkan peningkatan. Sektor yang paling rentan dijadikan ajang korupsi berdasarkan riset ICW pada semester I tahun 2010 adalah keuangan daerah (Kompas, 5/7).

Daerah menjadi lingkungan primadona bagi korupsi untuk berkembang biak. Tak hanya bagian sektor, aktor korupsi tertinggi juga kerap menempel di daerah. Hasil riset Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (PUKAT Korupsi) menempatkan pejabat daerah pada peringkat pertama pelaku korupsi. Misalnya pada triwulan II 2010, dari 83 kasus dengan 124 pelaku korupsi, unsur pejabat daerah menempati urutan teratas dengan 27 orang.

Posisi pelaku korupsi dari unsur pejabat daerah konsisten di urutan awal sejak triwulan I 2010. Dari 89 kasus yang dikaji oleh PUKAT Korupsi, unsur pejabat daerah (termasuk kepala/mantan kepala daerah) berada di urutan pertama dengan 27 pelaku. Dengan banyaknya pelaku korupsi dari unsur pejabat daerah dan rentannya daerah menjadi sektor korupsi, mudah bagi kita mengatakan bahwa daerah adalah kubangan korupsi para koruptor.


Salah Tafsir

Kebijakan otonomi daerah memberikan wewenang bagi daerah untuk mengurus sendiri segala masalahnya. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU 32 Tahun 2004, daerah memegang otoritas seluas-luasnya dalam menjalankan otonomi dan kekuasaannya. Segala urusan ditangani, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama (vide Pasal 10 ayat (3) UU 32 Tahun 2004) yang memang ditentukan sebagai domain pusat.

Dalam kaitan pemberian wewenang yang besar, ajaran Lord Acton wajib diberlakukan, bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup (power tends to corrupt and absolutely power corrupts absolutely).

Yang menjadi persoalan adalah, kewenangan besar sebagai pemberian otonomi daerah tak sejalan dengan penerapannya. Pejabat daerah menafsirkan otonomi sebagai legalitas untuk mengeruk keuangan daerah. Dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat, keuangan daerah sah dikerat. Salah tafsir konsep otonomi daerah beriringan dengan meningkatnya proyeksi korupsi.


Swasta Hitam

Anggaran dari pusat yang digelontorkan ke daerah cukup tinggi. Bahkan jumlahnya cenderung bertambah. Departemen Keuangan dengan Data Pokok APBN 2005-2010 memaparkan, anggaran untuk daerah meningkat dari tahun ke tahun. Untuk dana perimbangan yang meliputi dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) mencapai angka Rp 143.221,3 miliar pada 2005, Rp 221.130,6 miliar (2006), Rp 243.967,1 miliar (2007), Rp 278.714,7 miliar (2008), dan Rp 296.952,4 miliar (2009). Pendek kata, besar dan bertambahnya anggaran membuat daerah menjadi lumbung uang yang menggiurkan.

Anggaran yang besar dan terus bertambah di satu sisi memang membawa dampak positif. Besarnya dana memungkinkan daerah membentuk kebijakan yang variatif, khususnya terkait pengembangan kebijakan yang bersinggungan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Namun di sisi lain, berpotensi mengundang tindak pidana korupsi untuk mendekat, datang, dan menggerogoti.

Meski daerah diberi hak seluas-luasnya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, akan tetapi jelas urusan mensejahterakan rakyat dan pelayanan publik tak selamanya dapat dilakukan sendiri. Seperti halnya pemerintah pusat, pemerintah daerah memerlukan kerjasama dengan pihak lain, misalnya swasta. Celakanya, kerjasama tersebut membuka peluang bagi swasta untuk mencampuri kebijakan daerah.

Jeremy Pope dalam bukunya berjudul Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System (2000), misalnya mengungkap keruhnya korupsi zona penentuan peruntukan lahan atau tanah di daerah diakibatkan campur tangan swasta. Penetapan harga tanah, penentuan peruntukan lahan, suap terhadap pejabat daerah agar mengubah atau tidak mengubah peruntukan lahan, merupakan aktifitas yang sering dilakukan swasta. Lagipula, siapa yang tak tertarik dengan lumbung uang yang menggiurkan?
Perilaku busuk swasta menjauhkan daerah dari tugas mewujudkan kesejahteraan dan mempersembahkan pelayanan publik yang prima bagi rakyat. Tentu yang dimaksud Pope sebagai swasta adalah swasta hitam, korporasi hitam, serta cukong.

PUKAT Korupsi mengkaji kolaborasi jahat antara pejabat daerah dan swasta hitam ternyata menempatkan mereka di urutan pertama dan kedua aktor korupsi. Pada triwulan I 2010 pelaku dari unsur pejabat daerah berjumlah 27 orang, swasta atau rekanan (12 orang). Sedangkan pada triwulan II 2010, pejabat daerah (27 orang), swasta atau rekanan (20 orang). Pasangan ini semakin serasi ketika sektor korupsi paling tinggi yang dicatat PUKAT Korupsi diduduki pengadaan barang dan jasa, yang mencapai 29 persen pada triwulan I 2010 dan 24,1 persen pada triwulan II 2010. Pengadaan barang dan jasa adalah salah satu pintu masuk bagi swasta hitam untuk ikut campur dalam menentukan kebijakan daerah.


Barikade Antikorupsi

Ketika salah tafsir otonomi daerah mengarah ke kebijakan daerah yang potensial tak melirik kesejahteraan masyarakat dan malah menjadi ajang kongkalikong, maka kebutuhan menciptakan pemerintah daerah yang jujur, transparan, dan efektif tak bisa ditawar lagi. Selain itu, pemerintah daerah harus menginisiasi terbentuknya barikade antikorupsi yang terdiri dari koalisi pemerintah daerah, swasta putih, kelompok masyarakat sipil, dan media massa.
Kelompok barikade antikorupsi sangat penting diposisikan sebagai pengawas eksternal, sekaligus sebagai kritikus terhadap kebijakan daerah yang potensial korup. Paling minim, efektifitas barikade antikorupsi akan dapat mencegah oknum pejabat korup dan swasta hitam menjadikan daerah—atau lumbung uang itu—sebagai kubangan korupsi.

Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Agustus 2010

www.antikorupsi.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar