Minggu, 24 Oktober 2010

Penghancuran Islam Berkedok Kebebasan Beragama

Uji materi UU PNPS No 1 tahun 1965 saat ini tengah berlangsung di Mahkamah Kamis, 4 Pebruari 2010 yang lalu, sidang Pleno gugatan oleh Aliansi Kebebasan Beragama telah digelar. Pemerintah yang diwakili Depag, Depkumham juga DPR, termasuk pihak-pihak terkait, seperti NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Hidayatullah, al-Irsyad dan lain-lain dengan tegas menolak gugatan tersebut.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. Din Syamsudin (31/1/2010), dengan tegas menolak judicial review UU tersebut. Menurutnya, jika Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi diubah, maka justru akan berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia. Din menambahkan, tidak dapat dibayangkan kalau perubahan itu disetujui, maka penodaan dan penistaan terhadap agama baik secara tidak disengaja seperti merusak pemahaman, keyakinan, ajaran dan akidah agama, atau pun yang dilakukan secara sengaja seperti rekayasa sosial dan politik akan berkembang pesat. Jelas ini “Akan menimbulkan social disorder,” ingat dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh PBNU, bahwa keberadaan peraturan perundangan mengenai penistaan dan atau penodaan agama harus dipertahankan. Karena itu, ”Kita berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi undang-undang itu,” kata Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi usai membuka Rakernas I Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama di Jakarta, Ahad Konstitusi. Sejak (31/1/2010). Hasyim menegaskan, permintaan agar UU itu dicabut atas nama demokrasi sangat tidak tepat. Penodaan agama merupakan agresi moral yang justru merusak agama. “Jadi harus dibedakan antara demokrasi dengan agresi moral,” katanya. Dalam kesempatan lain, KH Hasyim Muzadi (10/2/2010) juga menegaskan, kalau UU tersebut dihilangkan, paling tidak ada tiga akibat yakni: (1) instabilitas di Indonesia; (2) gangguan kerukunan umat beragama, dan (3) kerugian bagi kaum minoritas.

Karena itu, apa yang digambarkan oleh Musdah Mulia, salah seorang pemohon uji materi UU tersebut dalam artikelnya di Kompas (9/2/2010), bahwa UU tersebut sudah tidak relevan dan tidak sejalan dengan semangat konstitusional Indonesia justru kontradiksi dengan tuntutan dia saat bertemu Wapres Budiono (10/2/2010). Dalam artikel tersebut, dia menolak keterlibatan negara dalam mengatur kebebasan beragama, karenanya UU tersebut harus dicabut, sementara dalam pernyataannya yang lain, selaku Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), usai bertemu Wapres (10/2/2010), dia mengatakan, “Kami menyampaikan keprihatinan kekerasan terkait agama di negeri ini. Oleh karena itu, kami menghimbau agar pemerintah lebih tegas lagi untuk menindak oknum yang melakukan kekerasan dengan dalih agama.” Di satu sisi, dia minta negara tidak terlibat dalam mengatur kebebasan beragama, tetapi ketika ada dampak dari kebebasan itu, seperti ketika terjadinya penghakiman oleh masyarakat atas praktek kebebasan (menodai agama) itu, dia segera meminta negara untuk turun tangan.

Aneh memang. Karenanya, jargon kebebasan beragama yang diusung oleh kaum Liberal sesungguhnya harus dilihat sebagai hasrat untuk menghancurkan agama justru dengan perlindungan negara. Artinya, ketika mereka menuntut kebebasan beragama, mereka meminta agar kebebasan itu tidak diatur, sehingga dengan bebas mereka leluasa melampiaskan hasratnya, tentu dengan perlindungan negara dari pihak manapun yang hendak menghakimi mereka. Inilah yang sesungguhnya mereka inginkan. Masalahnya, hasrat mereka itu selalu memprovokasi dan menyerang hak beragama dan keyakinan orang lain.

Karena itu, masalah ini harus dilihat secara utuh; dari sisi paham kebebasan, HAM, demokrasi dan pluralisme yang mereka usung, dan dari sisi skenario negara-negara Kafir penjajah di negeri kaum Muslim, khususnya Indonesia, demi melanggengkan penjajahan mereka.

Dari sisi paham, jelas sekali, bahwa paham kebebasan, HAM, demokrasi dan pluralisme yang menjadi pijakan uji materi UU tersebut adalah paham yang utopis dan bertentangan dengan Islam. Utopis, karena realitas kebebasan, HAM, demokrasi dan pluralisme yang mereka usung itu nyata-nyata tidak pernah ada. Perancis yang terkenal dengan slogan liberty-nya, jelas telah mempertontonkan penodaan yang kasat mata atas kebebasan dan hak wanita Muslimah untuk memakai cadar. Begitu juga di Swiss, dan negara-negara Eropa lain, kebebasan dan hak kaum Muslimin telah dinodai, ketika mereka dilarang membangun menara masjid. Di Denmark, kebebasan beragama umat Islam juga tidak pernah dihormati oleh orang-orang Kafir, ketika Nabi Muhammad saw dinistakan sedemikian rupa. Anehnya, mereka meminta kebebasan beragama mereka dihormati. Demokrasi dan pluralisme juga sama-sama utopisnya. Karena itu, paham ini jelas tidak layak, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi orang-orang Barat dan seluruh umat manusia. Bagi umat Islam, selain utopis, paham-paham ini jelas diharamkan, karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Karena itu, jika faktanya paham-paham ini tidak ada wujudnya, tetapi tetap saja dipropagandakan, maka sesungguhnya yang terjadi adalah penyesatan publik dan politik demi kepentingan yang sesungguhnya mereka sembunyikan. Kepentingan itu tak lain adalah penghancuran Islam sebagai ideologi potensial yang jelas-jelas mengancam eksistensi dan praktik penjajahan negara-negara Kafir imperialis terhadap dunia Islam. Mereka dengan fasih mengajari dan mendekte umat Islam tentang kebebasan, HAM, demokrasi dan pluralisme. Sementara mereka sendiri, di negara mereka, dengan enteng melanggar dan menistakan prinsip-prinsip yang mereka propagandakan. Atas nama kebebasan dan demokrasi, mereka menduduki Irak, dengan menggulingkan Saddam Husein, dan membunuh ratusan ribu penduduk sipil.

Mereka memang tidak bisa menduduki dan menguasai dunia Islam dengan militer dalam kurun waktu yang lama, karena itu untuk mempertahankan cengkraman mereka, satu-satunya cara adalah melalui paham yang diusung dan diterapkan oleh antek-antek mereka.

Sebab, kekuatan dunia Islam dan, di dalamnya, umat Islam, terletak pada kekuatan ideologi dan intelektualnya. Islam yang mereka anut dan yakini jelas merupakan sumber kekuatan sekaligus perlawanan. Karena itu, agar Islam tidak bisa digunakan untuk melakukan perlawanan, maka pemahaman umat Islam ini sengaja dirusak. Kalau tidak bisa, maka upaya kompromi pun dilakukan, dengan cara mendekatkan Islam dengan paham-paham di atas.

Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan, bahwa masalah uji materi UU PNPS no 1 tahun 1965 ini sesungguhnya tidak berdiri sendiri, tetapi terjadi karena negara ini, yang nota bene merupakan negara sekular telah membuka ruang selebar-lebarnya bagi kebebasan, HAM, demokrasi dan pluralisme. Maka, apa yang terjadi saat ini tak lebih dari dampak. Dampak-dampak seperti ini akan terus terjadi dan menghantui kita, manakala sumber yang memproduksi dampak-dampak ini tetap ada di dipertahankan. Itulah Sekularisme. Karena itu, peristiwa ini mestinya menyadarkan kita, bahwa selama Sekularisme ini masih dipertahankan, selama itu pulalah dampak-dampak seperti ini akan terus berulang. 
Wallahu a’lam. 
(Hafidz Abdurrahman)
www.hizbut-tahrir.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar