Senin, 25 Oktober 2010

Reportase Kenduri Cinta Oktober 2010: “Dilarang Berbicara dengan Sopir”

Kenduri Cinta Oktober 2010: “Dilarang Berbicara Dengan Supir”


Setelah penampilan dari beberapa kelompok musik dan tilawah Alquran, Kenduri Cinta dimulai dengan sebuah pengantar mengenai judul kali ini. Dapat digunakan analogi bahwa Indonesia adalah satu kendaraan besar yang harus dijalankan oleh sopir – sebuah representasi untuk kepemimpinan.
Kalimat yang digunakan sebagai judul Kenduri Cinta bulan ini merupakan satu kalimat yang lazim ditemukan dalam tempelan-tempelan di kendaraan umum. Lalu mengapa dilarang berbicara dengan sopir? Kemungkinan pertama, supaya sopir bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Atau kemungkinan kedua, kalau sopir berbuat ‘macam-macam’ langsung dikaplok saja.

Sebenarnya kata yang lebih mendekati konsep pemimpin adalah kusir, karena tidak seperti sopir yang mengemudikan mesin, kusir harus mengendalikan makhluk hidup yang punya nafsu dan keinginan merdeka.
Sebuah pengantar, kali ini dari Cak Pudji Asmanto, menguraikan bahwa sopir merupakan pekerjaan tangan. Sopir bekerja untuk kepentingan penumpang, sehingga jabatannya tak lain adalah pesuruh sekaligus harus diikuti/ditaati aturan-aturannya. Terkait dengan pekerjaan ‘tangan’, Cak Pudji menguraikan jari-jari sebagai komponen. Ibu jari melambangkan keyakinan (believing), jari telunjuk menggambarkan hati (dictating), jari tengah merepresentasikan nafs (willingness), jari manis merupakan simbol dari jasad (securing), dan jari kelingking mewakili pikiran (managing). Aturan dalam permainan suit dapat digunakan untuk menggambarkan ‘kedudukan’ tiap-tiap jari tersebut.

Sopir harus konsern terhadap waktu, dengan demikian harus mampu menjembatani pekerjaan yang lama dengan pekerjaan yang cepat dengan sarana yang dinamakan teknologi.

Cak Pudji juga menampilkan ‘warasometer’, kuadran-kuadran yang menunjukkan seberapa waraskah manusia. Sumbu horizontalnya dinamakan headline, yang berpotongan dengan sumbu vertikal yang menunjukkan heartline. Ujung kanan headline disebut kondisi ‘Sadar’, sedangkan di seberangnya ada ‘Lupa’. Ujung atas heartline dihuni ‘Ingat’ sedangkan ujung bawahnya ‘Lalai’. Kuadran I merupakan kawasan ‘Terjaga’, Kuadran II ‘Pikun’, Kuadran III ‘Gila’, dan Kuadran IV ‘Terkelabui’. Kita, manusia, seringkali berada di dalam kawasan Kuadran IV, yaitu sadar secara akal tetapi lalai hatinya.

Ada beberapa tugas yang menjadi bagian dari sopir, yaitu mengantarkan penumpang sampai tujuan, bergerak maju dan bukan mundur, memahami rute, memastikan semua penumpang aman, konsern terhadap waktu, keep records-distance travel, driving time, far and near vision, ability to predict, skill (ability to quickly respond). Di sisi lain, penumpang juga diikat oleh aturan-aturan semacam dilarang berbicara dengan sopir, membicarakan sopir, mengeluarkan anggota badan dari kendaraan yang sedang melaju, membuang sampah ke luar kendaraan, harus duduk dengan tenang, dan membayar dengan uang pas.


Sopir kita yang sejati adalah Rasulullah SAW.

Menanggapi kecelakaan kereta api di Pemalang tanggal 3 Oktober lalu, siapa yang salah? Rel kereta api sebagai suprastruktur/prasarana dan kereta api sebagai sarana sudah cukup hebat. Maka masinislah yang punya andil dalam terjadinya kecelakaan itu, hanya manusia sering tidak mau mengakui bahwa selalu ada human error. Agak menyimpang, jika tanggal terjadinya kecelakaan tersebut dijumlahkan (03102010) hasilnya adalah angka 9. Kemudian kecelakaan terjadi antara KA Senja Utama (lambang ‘wong cilik’) dengan Argo Anggrek (penggambaran orang ‘besar’). Peristiwa ini mengingatkan pada sebuah kalimat Tunggak jarak manak, tunggak jati mati.


Setelah usai pengantar, masuklah Cak Nun, Ustadz Nursamad Kamba, dan Agung Waskito. Cak Nun memulai dengan memperkenalkan Agung Waskito sebagai bagian dari memahami background kita masing-masing.

Kelompok diskusi pertama selepas peristiwa G30S adalah Kelompok Proklamasi di Yogyakarta, dan kelompok dakwah kampus pertama adalah Salman ITB dan Salahudin UGM. Itulah tonggak pertama munculnya ghirah Islam di dunia kampus. Dari tahun 1970-an di mana belum ada wanita Indonesia berjilbab sampai kemudian sebagian besar mengenakan jilbab, idenya lahir di kota, dari kelompok dakwah kampus tersebut. Karena belum mempunyai masjid maka yang terbentuk adalah kelompok dakwah dengan bentuk yang menyerupai kelompok diskusi, begitu pula dengan para anggotanya.

Gerakan jilbab awalnya dianggap sebagai sebuah pelanggaran baik terhadap kemerdekaan wanita maupun konstitusi. Maka timbullah istilah fundamentalis untuk wanita-wanita yang mengenakan jilbab. Salah satu gerakan itu diselenggarakan dalam bentuk teater ‘Lautan Jilbab’ – pertama kali pada tahun 1987 – di Boulevard UGM. Teater ini disutradarai oleh Agung Waskito.

“Bangsa kita telah menjadi bangsa yang sangat besar. Coba catat, ada berapa kata ‘Luar biasa!’ atau ‘Super’ ditayangkan dalam televisi tiap harinya,” ucap Cak Nun, yang segera disambut tawa dari jama’ah, “Menurut Sabrang, Indonesia kita ini masih Indonesia Tanah Air Beta, di mana ‘Beta’ adalah kata yang menunjukkan bahwa suatu  software masih berupa percobaan, belum resmi ada, dikritik kelemahan-kelamahannya untuk kemudian didandani dan lalu dirilis. Jadi, saat ini memang belum ada Indonesia secara resmi. Masih percobaan.”

“Cak Nun adalah guru saya,” ujar Agung Waskito, “yang diajarkan pertama kali adalah kewajaran. Dalam suara, cara menulis, cara berakting. Sampai saya menemukan bahwa kesenian adalah kewajaran, keberanian untuk berkarya, menulis, membuat sesuatu yang bermanfaat.”
“Sampai kemudian Teater Lautan Jilbab itu dipentaskan. Saya otodidak dalam teater,” tambah Agung Waskito, yang juga telah menciptakan 83 lagu.

Cak Nun kemudian melemparkan pertanyaan kepada seluruh jamaah, “Siapa tokoh dunia bukan nabi yang paling menjadi idola Anda?” Sebuah jawaban yang dilontarkan jama’ah adalah Gus Dur. Cak Nun mengejar dengan pertanyaan tentang mengapa, yang kemudian mendapat jawaban bahwa Gus Dur adalah tokoh yang memandang semua manusia sama tanpa membedakan suku, agama, bangsa, dan sebagainya. “Apakah itu tidak juga Anda temukan di Maiyah? Lalu mengapa hanya Gus Dur yang menjadi tokoh? Lebih banyak mana, kelompok yang dirukunkan atau yang dipecah oleh Gus Dur?” Cak Nun terus mengejar, “Tebuireng, Darul Ulum, PKB.”

Cak Nun melanjutkan dengan menanyakan quotation terkenal dari Gus Dur yang dijawab dengan : “Pemerintah itu kayak anak TK” dan “Gitu saja kok repot”.

“Kebanyakan kita menokohkan seseorang bukan karena kita bener-bener tahu sejarah orang itu melainkan hanya karena mitos. Dengan begitu kita tidak menghargai Gus Dur. Kita tidak mencari indahnya kalimat Gus Dur. Ayo kita cari kebesaran bapak-bapak kita. Gus Dur tidak menjadi file. Rasulullah tidak online dalam kesadaran kita. Ternyata sekarang kita tidak ingat kok. Siapa guru kita? Katanya Gus Dur, tapi masa’ murid-muridnya cuma ingat dua kalimat : ‘Gitu saja kok repot’ dan ‘Pemerintah itu kayak anak TK’”


K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

K.H. Ahmad Dahlan kecil bernama Darwis, yang hidup sebagai ketib (bagian yang mendoakan) di Masjid Agung. Darwis kecil mempunyai keinginan besar untuk belajar di tanah suci. Keinginan ini difasilitasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang kemudian memberangkatkan Darwis ke tanah suci, sehingga sampai pulang kembali ke tanah air pun Darwis sangat menghormati Kraton. Di tanah suci itulah Beliau mengalami persentuhan dengan tokoh-tokoh Islam Timur Tengah.
Melihat organisasi sebelum Boedi Oetomo di Solo, K.H. Ahmad Dahlan membuat sekolah pribumi di rumahnya. Sri Sultan dhawuh 40 abdi dalem dari empat wilayah untuk menjadi murid-murid pertama K.H Ahmad Dahlan.

Cak Nun menanyai Bapak Edi dari UHAMKA mengenai persyaratan apa saja yang mestinya harus ada pada pemeran tokoh K.H Ahmad Dahlan. “Apakah dia harus seorang beragama Islam?”
“Aku tidak akan nonton film Sang Pencerah. Lihat spanduknya saja nggak mau. Nggak tega melihat K.H Ahmad Dahlan dalam wajah seperti itu.”

Tidak seperti makam ulama-ulama besar, makam K.H Ahmad Dahlan sepi. Sebab Beliau sendiri mengatakan bahwa selain keluarga tak bisa mendoakan arwah. Kalau ditarik ke fiqih, amal baik terputus pada saat meninggalnya seorang manusia kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan. Di dalam Muhammadiyah sendiri pun sebenarnya terdapat beberapa pendapat.
K.H Ahmad Dahlan banyak belajar dari ulama-ulama besar seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyyah. Muhammad Abduh, syaikh besar lulusan Al-Azhar yang kemudian berkesempatan belajar di Eropa.

Ajaran Muhammadiyah tidaklah identik dengan pemikiran sang filosof modern tersebut. Yang lebih berpengaruh pada Muhammadiyah adalah ajaran Ibnu Taimiyah yang di dalam ilmu fiqih menutup kemungkinan terbukanya dosa/pelanggaran yang lebih besar karena mendekatkan umat pada bid’ah, sehingga terdapat pelarangan ziarah kubur misalnya, karena akan membuka kemungkinan untuk meminta sesuatu dari arwah yang diziarahi.

Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang sezaman dengan Ibnu Araby. Konsep-konsep Taimiyah digerakkan untuk melawan konsep-konsep tasawuf dari Ibnu Araby.

Kita terpisah dari akar sejarahnya yang nyata. Apa yang menjadi pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah melarang taqlid. Sekecil apapun unggulkan semangat ijtihad. Namun sekarang yang ditransfer bukanlah semangat ijtihadnya melainkan semangat penolakan/penentangan pada kelompok lain.
“Jika saja ijtihad diterapkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah saja, tak terbayang seberapa majunya bangsa kita sekarang,” Ustadz Nursamad Kamba menambahkan.


Ijtihad, Ittiba’, atau Taqlid


Orang hidup itu ada dua jalan. Jalan pertama dia mencoba sendiri, menjalani sendiri, memutuskan sendiri, dan menanggung akibatnya sendiri. Jalan ini disebut ijtihad, subjeknya disebut mujtahid (freeman). Kata ini berakar dari kata jihad. Jalan kedua adalah mengikuti orang lain yang kita jadikan panutan. Rasyid Ridha membagi jalan kedua ini menjadi dua bagian, yaitu ittiba’ dan taqlid. Ittiba’ (pelakunya disebut muttabi’) berarti mengikuti sesuatu dengan terlebih dahulu memahami apa yang diikutinya. Taqlid (subjeknya disebut muqallid) adalah mengikuti tanpa memahami apa yang diikutinya itu.

Yang menjadi garis Muhammadiyah adalah Jangan menjadi muqallid

Dan tentang ijtihad-ittiba’-taqlid, ini bukan hanya tentang urusan shalat tetapi juga tentang urusan negara. Pasal-pasal hukum Indonesia, reformasi, demokrasi, semuanya adalah bentuk taqlid. Maka kita adalah bangsa muqaliddin. Kita sering terbalik dan tertukar-tukar. Di wilayah yang seharusnya merdeka (seperti musik dan kesenian lain) kita justru bersikap taqlid, dan begitu pula sebaliknya.

Negara federal pertama di Nusantara adalah Demak Bintoro. Pada waktu itu terjadi transformasi yang dikawal Sunan Kalijaga dari Majapahit pedalaman menjadi negara federasi dengan tanah-tanah perdikan.
Di dalam Islam ada empat dimensi pemimpin, yaitu :
1. Ra’is (berasal dari kata ra’sun yang berarti kepala) adalah pemimpin yang berada di jajaran paling atas dari suatu struktur.
2. Imam (berasal dari kata ummun : Ibu) adalah bahwa pemimpin adalah dia yang mempunyai daya kasih sayang.
3. Amir (berasal dari kata amr : perintah), pemimpin punya legitimasi untuk memerintah
4. Qa’idh (berasal dari kata qudwah : teladan), pemimpin adalah yang mampu memberikan keteladanan
Dari khasanah Jawa kita mendapatkan tiga dimensi kepemimpinan :
1. Ing ngarsa sung tuladha (memberikan teladan di depan yang dipimpin)
2. Ing madya mangun karsa (to be just someone among others)
3. Tut wuri handayani (di belakang orang-orang yang dipimpinnya, menggembala, angon)

Kita bisa belajar dari Jawa, Bugis, Mandar, dan dari mana saja untuk berijtihad, untuk menciptakan Indonesia yang tidak beta lagi, untuk merilis Indonesia yang sesungguhnya.


Kita Harus Membayar


“Allah memberi keistimewaan pada setiap manusia. Ilmu Allah disebarkan menurut cara Allah sendiri. Yang perlu dilakukan adalah berendah diri untuk mau mendengarkan,” ujar Cak Nun, “Sebenarnya ada sublimasi-sublimasi spiritual yang ingin saya sampaikan di sini tapi ternyata tidak bisa. Mungkin memang Allah yang mengatur irama-irama, raka’at-raka’at.”

“Kita sedang berada di ambang sesuatu yang sangat serius. Saya tidak akan ngomong gempa, tanah retak, kota yang disedot. Saya kira Tuhan bisa ditawar karena manusia adalah khalifah, walinya Allah di muka bumi. Yang perlu dilakukan manusia Indonesia sekarang adalah menawar Tuhan. Peristiwa Nuh, kehancuran Atlantis, meletusnya Krakatau – kalau ngomong geologi – kita sedang menghadapi hal-hal yang seperti ini.”

“Penghuni bumi yang ada sebelum Adam, membantu kita dalam bernegosiasi ke atas. Kita belum cukup durhaka, belum sampai pada tingkat banjir Nuh dan rusaknya Atlantis (yang mempunyai tingkat ijtihad sangat tinggi). Pada masa itu listrik sudah wireless, harddisknya bukan pada hardware melainkan pada diri sang pemimpin PLN-nya. Kita akan memiliki listrik yang murah, bebas hubungan-pendek. Kita juga akan memilliki teknologi internet dengan jangkauan yang jauh lebih luas daripada yang ada saat ini.”

“Tapi kita memang harus membayar untuk semua itu. Nabi Nuh ketika sudah jadi kapalnya, istri dan anaknya ternyata termasuk di dalam golongan kufur yang tidak diselamatkan. Padahal Beliau adalah seorang nabi yang bergelar Ruhullah.”

“Ngomong keluarga, yang paling ideal adalah keluarga di Indonesia. Di Inggris, orang mati dilayat 5 orang itu sudah lumayan. Sedangkan sedengki-dengki manusia Indonesia, dia tetap menjunjung keluarganya. Banyak pekerja Dolly yang setelah melayani tamu dari jam sepuluh sampai jam dua pagi, mandi besar kemudian bertahajjud untuk kebaikan anak-anaknya. Tidak ada satu perempuanpun yang bercita-cita menjadi pelacur. Kalau ada pelacur, pasti ada sistem sosial yang salah.”

“Allah hanya mempersyaratkan kecil saja sebagai bayaran kita itu, yaitu keutuhan keluarga.”


Saya Tidak Akan Membiarkan Diri Saya


Seorang jamaah mengungkapkan bahwa ia telah belajar sangat banyak dari Maiyah, tetapi bingung dalam mengaplikasikannya. Hal ini sangat dihargai oleh Cak Nun, “Kita sudah diajari jurus pirang-pirang tapi kok nggak perang-perang, gitu kan ya Mas? Kita ini sekarang persnelingnya sudah 4. Joko Kamto Kiaikanjeng pernah mengatakan bahwa dia sudah sangat senang dengan menjadi kaki anjing Gua Kahfi. Saya tidak akan membiarkan diri saya untuk punya nafsu menjadi sesuatu yang lebih.”

“Perjalanan kita ini diiringi oleh para malaikah, yaitu makhluk-makhluk lain yang juga ikut bekerja. Ada 15 makhluk yang harus dikhalifahi manusia, tapi manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin bahkan dirinya sendiri.”
Di tengah acara, Agung Waskito menyanyikan puisi Hizib. Kalau dzikir dilakukan secara personal antara salik dengan Allah dan wirid diwasiatkan mursyid kepada salik untuk diamalkan secara rutin, hizib adalah semacam mantra, yang dibacakan pada saat-saat tertentu yang genting.

Seperti contohnya Syadziliyah mempunyai Hizib Nashr.
Cak Nun sendiri pernah melakukan hizib dua kali di TIM, masing-masing untuk Bosnia Herzegovina dan Palestina.

Hizib yang dinyanyikan Agung Waskito tentu bukan seperti Hizib Syadzili, melainkan sebuah puisi yang diciptakan di tahun 1983.


Pekerjaan Kita


Seperti perjalanan Khidir dan Musa, pekerjaan kita sekarang adalah membocori kapal kita sendiri supaya tidak dirampok. Membocorkan kapal adalah berani untuk tidak mencuri, berani untuk tidak berebut, berani hidup walaupun seolah-olah tak ada lagi harapan untuk hidup. Dan keberanian ini harus bersamaan dengan kekuatan supaya kita tidak dihabisin awak kapal yang lain.

Kalau kita sudah mampu membocori kapal kita sendiri, tahap selanjutnya adalah membunuhi anak-anak kecil (potensi-potensi keburukan) di dalam diri kita sendiri. Sebuah paradoks di Indonesia, ono omah kobong malah nggawe majalah dinding.

Kalau kita sudah menjalani keduanya, Tuhan akan kasih kepercayaan pada kita untuk menegakkan pagar (menjaga harta masa silam). “Secara teknologi, saya sudah mendata kekayaan Indonesia. Kalau hanya untuk membayar utang, sangat cukup.”

Maiyah adalah salah satu cara menegakkan pagar, dan tentu saja tanpa upah. Menjaga peradaban adalah menjaga peradaban.
“Harta masa silam itu, bukan hanya emas dan teknologi melainkan juga seluruh ilmu dan pengetahuan dari Mbah-Mbah kita. Demokrasi sebenarnya sudah kita jalankan 5 abad yang lalu. Kita bisa ittiba’ pada warisan masa lalu itu.”

“Dalam Trias Politica sudah sangat jelas mana lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan. Lantas kenapa ada KPK? Harus jelas mengapa KPK harus ada. Ada apa dengan Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan?”

“Polisi itu sipil atau militer? Kalau sipil kenapa tidak berada di bawah Depdagri? Kalau militer kenapa tidak di bawah TNI? Komnas HAM itu urusan moral atau hukum? Urusan moral tidak usah di pemerintahan. Yad’una ila al-khayr merupakan pekerjaan non pemerintah. Inilah yang terjadi gara-gara kita taqlid pada Amerika.”

Ditulis Oleh: Ratri Dian Ariani(9 Oktober 2010, 10.13, Doc Foto: Agus Setiawan) 
www.kenduricinta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar