Rabu, 17 November 2010

Bangsa yang Panik di Usia 65 Tahun

Kondisi bangsa Indonesia di usia kemerdekaan 65 tahun? Kehidupan kita, mulai bangun pagi hingga tidur lagi, selalu diwarnai dengan hal-hal yang selalu bersifat individual. Ini terjadi tidak hanya di tingkat warga, tetapi juga di tingkat kehidupan politik bernegara.

Bendera Merah Putih berkibar di atas perahu yang ditambatkan di depan tugu perbatasan negara di Pulau Miangas. Pulau Miangas adalah pulau paling utara yang terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Seluruh susunan masyarakat kita mengalami letargi. Mandek! Bukan karena lelah, tetapi karena kehilangan orientasi mau ke mana?” begitu ungkap Rocky Gerung, pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia.

Kita menjadi panik dan hanya berdiam. Ide awal menjalankan Republik ini tentu saja ada, tetapi kini seolah terputus. Leadership dari tokoh atau pemimpin, baik dari pemerintah, universitas, maupun lembaga swadaya, sudah tak memiliki energi untuk memelihara kehidupan publik.

”Kita lupa susunan berpikir Republik dan sudah tak bisa diucapkan lagi,” kata Rocky. Akhirnya, kita mudah menerima atau deal dengan hegemoni pihak penguasa atau hegemoni budaya luar karena kita tak punya pertahanan.

Kesibukan individuallah yang sangat berbahaya dan bisa membunuh cita-cita berdirinya Republik ini. ”Seperti menyanyi tetapi tanpa partitur. Lihatlah fenomena pemilihan kepala daerah, pemenangnya adalah istri atau anak dari penguasa sebelumnya,” jelas Rocky.

Kesibukan individu di tingkat penguasa hanya berpikir bagaimana melestarikan dinasti keluarga, bukan untuk penyelamatan bangsa. Suasana seperti itu, kata Rocky, bahkan juga terasa pada Upacara 17 Agustus di Istana yang lebih seperti perayaan keluarga.


Meledak-ledak

Harus kita akui, kita kini menjadi bangsa yang meledak-ledak menanggapi setiap persoalan yang ada, tanpa mau menilik lebih dalam duduk persoalannya. Perseteruan Indonesia-Malaysia di tingkat horizontal, yang di dunia maya secara keras diistilahkan sebagai ”Indon vs Malingsia”, membuktikan anggapan ini.

Nasionalisme sempit telah menutupi logika berpikir. Akhirnya, kita yang merasa menang argumentasi selalu berjaya dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor. Dampaknya, ini menjadi iklan buruk bagi pencitraan Indonesia.

Secara diam-diam, tanpa banyak argumentasi, bangsa-bangsa lain telah berkarya menunjukkan eksistensi mereka di dunia maya, juga dunia nyata, nasional maupun internasional. Kita tertinggal dan tetap ”menanam cabai di atas meja” atau sekadar membuat badai konflik di otak sendiri.

Ya, beberapa kasus memang berkarya dengan merebut identitas yang dianggap milik bangsa lain. Akan tetapi, setidaknya mereka melakukan sesuatu. Sedangkan kita?

Kita hanya menjadi penonton. Misalnya, ketika layar kaca dipenuhi produk- produk animasi buatan Malaysia, Jepang, dan Korea, kita sepakat menikmatinya saja. Ah, siapa yang tidak menyukai serial Upin Ipin atau Pororo Litle Penguin?

Wahyu Aditya, aktivis animasi dan pendiri HelloMotion, mengatakan, fenomena itu membuktikan ada yang salah dengan cara kerja dan cara pandang kita. ”Padahal, kita punya SDM berkualitas, kita hanya belum punya kesempatan,” katanya.

Kasus itu membuat animator-animator Indonesia merasa terpukul, atau justru harus berterima kasih. ”Karena dengan munculnya karya animasi luar, kita jadi gatel dan pengin membuat produk tandingan,” katanya.

Membayangkan Indonesia 65 tahun merdeka, seolah membayangkan sebuah entitas yang tak punya strategi untuk eksis. Dampaknya, kita selalu bereuforia dengan masa lalu, tetapi terjajah secara ekonomi, politik, ataupun budaya. Kita hanya menjadi pengagum dari ikon-ikon luar.

Kebudayaan sebenarnya mampu menjadi duta ke kancah internasional. Ketika Wahyu Aditya ke London, bertemu dengan komunitas Muslim di sana, mereka mengeluhkan kesulitan mendapatkan konten Islami dari produk multimedia Indonesia. Akhirnya, mereka menemukan produk ”Upin Ipin” itu.

Korea punya duta-duta film drama yang mengentak Asia. Jepang selain jago animasi, juga punya kebudayaan yang digandrungi banyak negara.

Indonesia? Banyak yang berprestasi, tetapi kenapa justru ”Keong Racun” dan kasus penyebaran video porno itu yang paling dominan kita bicarakan? Di dunia nyata hingga dunia maya, kita benar-benar menjadi bangsa konsumtif yang makin meraksasa.


Kemerdekaan berpikir

Rizki Wahyudi, mahasiswa Jurusan Komunikasi Massa Universitas Terbuka (UT), memaparkan kemerdekaan paling esensial adalah kemerdekaan berpikir. ”Di sinilah akar masalah bangsa kita. Saya melihat belum banyak yang sanggup meraih kemerdekaan eksistensial ini,” katanya.

”Tanpa memiliki kemerdekaan berpikir, seseorang hanya menjadi budak dari tradisi, dogma, dan ajaran yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa kita,” lanjut Rizki.

Di lingkungan kampus, tradisi berpikir juga belum membanggakan. Ivan Hanago, mahasiswa Accounting Trisakti School of Management, mengatakan, di lingkungan kampus pun masih sering dijumpai ketidakadilan dan ketidakjujuran.

”Ada plagiarism yang kini menjadi pekerjaan rutin dalam membuat tugas. Kemudian korupsi, dalam hal ini yang sering terjadi adalah korupsi waktu dan nilai,” papar Ivan.

Ditambah semakin mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun makin menyulitkan kita mengenyam pendidikan lebih tinggi. Sebagian besar masyarakat menjadi belum merdeka karena tidak mampu menempuh pendidikan tinggi.

”Ketidakadilan sama dengan penjajah di era modern. Untuk mengatasinya, bisa dimulai dari hal paling sederhana: kerjakan tugas dengan sebaik-baiknya tanpa copy + paste,” kata Ivan.

Yohanes Kedang, mahasiswa Ilmu Sosiatri, STPMD ”APMD” Yogyakarta, mengatakan, masyarakat bawah masih terjajah. Kekayaan alam dikuras untuk kepentingan asing dan penguasa. Rakyat kecil kian susah.

”Para pemimpin lebih sibuk memikirkan tunjangan dan kenaikan gaji mereka tanpa merasa bersalah terhadap rakyatnya,” kata Yohanes. Lalu, siapa yang akan menjaga dan merawat ide-ide besar Proklamasi 1945?

(Amir Sodikin)
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar