Sabtu, 13 November 2010
Cinta Layla Majnun
Hanya ingin menumpah kata
Laila Majnun, sebuah kisah dari cerita rakyat arab, tentang kecantikan seorang gadis bernama Laila, yang menarik hati seorang pemuda, Qais keturunan Bani Amir.
Qais yang semula pandai, gagah dan berasal dari kabilah terhormat, menjadi majnun alias gila, karena kasihnya yang tak sampai. Qais, yang tersiksa karena takdir yang selalu memusuhinya, sedang hasrat tak mampu ditundukan hatinya, menjadikan dia lupa akan hakikat hidupnya sendiri. Walau kegilaan yang dialaminya mengilhami tutur bahasa sastra yang indah, dan ketulusan jiwa dalam derita cinta, tetap saja sebutan majnun tak dapat ditepisnya.
Kisah tentang Qais dan Laila yang hidup di suatu negeri wilayah tanah Arab. Qais yang berwajah tampan dan Laila yang terkenal akan kecantikannya, yang menjadi dambaan setiap laki-laki. Akhirnya cinta mereka kandas karena adat melarang mereka untuk mengekspresikan gelora cintanya. Maka, tumpah ruahlah segala rasa rindu dan cinta dalam bentuk syair dan puisi yang mengalir menentang takdir mereka.
Suatu ketika Qais memutuskan ikut berniaga ke negeri lain bersama ayahnya agar kelak ia memiliki bekal pengetahuan sendiri tentang perniagaan. Ketika pamit kepada Laila, Qais memberikan seuntai kalung mutiara sebagai tanda kesetiaannya. Qais minta Laila berjanji untuk melepaskan sebuah mutiara dari untaiannya apabila waktu sudah menunjukkan bulan baru. Ia pun berjanji akan kembali sebelum untaian mutiara habis.
Meskipun sangat sedih, Laila merelakan kekasihnya pergi mencari pengalaman
Sepeninggal Qais, Laila hanya bermenung diri dan menciptakan syair sebagai pelambang rindu. Suatu hari, ayah Laila, Al-Mahdi, pulang ke rumah bersama seorang tamu bernama Sad bin Munif, yang diajak menginap. Tamu itu seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Irak. Ketika berjumpa Laila, Sad bin Munif langsung jatuh cinta dan melamar Laila kepada ayahnya. Tanpa sepengetahuan Laila, Al-Mahdi menerima lamaran tersebut karena tergiur oleh mas kawin 1.000 dinar dan harta kekayaan Sad bin Munif.
Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Sementara itu, Qais yang telah memasuki bulan ke-9 ikut berniaga ke negeri-negeri seperti Damsjik, Jerusalem, Hims, Halab, Anthakijah, Irak, Koefah, hingga Basrah tidak dapat lagi menahan rindunya terhadap Laila. Wajahnya tampak muram dan badannya semakin kurus.
Ayah Qais melihat kesedihan anaknya dan menanyakan ada apakah gerangan yang telah mengganggu pikirannya. Akhirnya Qais berterus terang tentang kisah cintanya dengan Laila. Demi mendengar penuturan anaknya, Al-Mulawwah memutuskan segera kembali ke kampung halamannya dan berjanji akan melamar Laila untuk Qais. Ketika sampai kampung halaman, Al-Mulawwah bergegas menemui ayah Laila dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang telah diberikan Sad bin Munif. Akan tetapi, dengan sombongnya, ayah Laila menolak lamaran Al-Mulawwah. Tak berapa lama kemudian, pesta perkawinan Laila dan Sad bin Munif diselenggarakan secara besar-besaran. Maka, hancur luluhlah hati Qais.
Tak ada satu obat pun yang bisa menyembuhkan sakitnya ini, meskipun orangtuanya telah mendatangkan banyak tabib ternama. Sejak itu Qais tidak mau berbicara kepada orang lain, ia sibuk dengan dirinya sendiri dan sering kali terlihat berbicara sendiri. Karena perilaku aneh inilah orang sekampungnya memanggil Qais dengan Majnun, yang berarti kurang sempurna pikirannya.
Akan halnya Laila, meskipun kini telah menjadi istri Sad bin Munif, ia tetap mencintai Qais. Menurut Laila, secara fisik ia boleh menjadi istri Sad bin Munif, tetapi jiwanya tetap untuk Qais. Dalam ungkapannya, di dunia Qais dan Laila bukanlah pasangan suami istri, tetapi di akhirat mereka menjadi pasangan abadi. Karena tak kuat menanggung penderitaan cinta ini, Laila sakit dan selalu memanggil nama Qais. Akhirnya Qais pun dipanggil untuk menemui Laila. Ketika mereka bertemu, Laila memberi pesan terakhir bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai sepasang kekasih. Demi melihat kekasihnya meninggal, putus asalah Qais. Tak ada lagi keinginannya untuk hidup. Sehari-hari kerjanya hanya duduk di pusara Laila hingga akhirnya Qais meninggal. Maka, jasad Qais pun dibaringkan di samping pusara Laila.
Permintaan Terakhir kepada Ibunya
Ketika aku mati, pakaikanlah aku baju pengantin, jangan bungkus aku dengan kain kafan. riaslah aku spt pengantin dan buatlah aku secantik mungkin.
Untuk mewarnai kelopak mataku kau harus mengambil debu dari bawah telapak kaki kekasihku. Bukan warna ungu yang kuinginkan,kau harus menggunakan kegelapan dukanya. Bukan pula air mawar,kau harus menggunakan airmatanya untuk memandikanku. Dan bukan minyak kesturi,kau harus menggunakan kesedihannya untuk wewangianku.
Baju pengantinku harus berwarna merah darah, warna kesyahidan. Bukankah aku seorang syuhada dalam cinta? Merah adalah warna perayaan dan upacara. Bukankah kematian adalah perayaan ku ? dan ia adalah upacaraku?? Kemudian setelah kau memakaikan baju merah, tutupi aku dengan cadar dari tanah-cadar yang tak akan pernah aku lepaskan lagi.
Dia akan menemukan jalan menuju makamku,dan bersimpuh serta memohon padaku untuk menunjukkan diri. Namun cadar dari tanah tidak akan terangkat, maka yang bisa dia lakukan hanyalah menangis tersedu-sedu. Tenangkan dia Ibu, karena dia adalah sahabat sejatiku. Perlakukan dia dengan baik-baik dan berikanlah kasih sayang, seakan dia anakmu sendiri.
“Lakukan ini untuk cintaku padanya, aku mencintai-nya lebih daripada aku mencintai kehidupan, dan keinginanku adalah bahwa kau ibu harus mencintainya juga. Dia adalah satu2nya miliku, Ibu, dan aku mewariskannya padamu untuk kau jaga”
Ketika Laila meninggalkan dunia ini, dia meninggal dengan namamu di bibirnya. kata2 terakhirnya adalah tentang kau dan kau seorang. Di dalam kematian, seperti di dalam kehidupan dia setia tidak kepada siapapun selain engkau.
****
Kira-kira 10 tahun kemudian, beberapa musafir menziarahi kubur mereka berdua. Di atas kedua pusara itu telah tumbuh dua rumpun bambu yang pucuknya saling berpelukan. Maka, masyhurlah kisah ini sebagai kisah Laila-Majnun.
Cinta memang tidak datang tiba-tiba, juga tidak dapat padam seketika.
Tak seorangpun dapat mengelak jika gelora asmara tiba-tiba menggelegak.
Tak ada jiwa yang dapat menyangka, jika badai cinta menggelora di dada.
Cerita roman yang penuh puisi cinta dan pengorbanan, menjadi inspirasi para pemuja cinta, yang rela mengorbankan hidupnya demi cita-cita absurd yang bertema cinta.
Persis cerita shakespeare tentang Romeo & Juliet yang berujung bunuh diri karena tak sudi menyerah atas perjuangan cintanya, cerita film Titanic tentang Rose DeWitt & Jack Dawson, yang "gagal" mewujudkan cinta mereka dan tenggelam bersama Titanic yang perkasa, cerita epik, romantik ini selalu menjadi contoh khayal para pemujanya, yang selalu mengagungkan cita-cita cinta mereka.
Laskar cinta, rekaan Dhani Ahmad, adalah salah satu lagu yang banyak digandrungi orang karena nada dan liriknya yang seolah meng-kampanyekan keagungan cinta.
Banyak orang yang tergelincir kedalam kekufuran karena api cinta yang menyala-nyala. Banyak orang tersesat dari jalan surga, karena tipu daya syahwat yang berbungkus cinta.
Banyak orang yang termehe-mehe (baca: melankolis, mengurai air mata) ketika mendengarkan lagu-lagu Chrisye bertemakan cinta.
Padahal, cinta sejati seorang muslim adalah cintanya terhadap Allah SWT dan Rasul. Apapun yang diperbuatnya, selalu menginginkan pertemuannya dengan Allah &Rasul di akhirat kelak. Cinta yang berlandaskan keimanan, seolah mengorbankan keluhuran jiwa dan kemurnian hati, yang dinamakan cinta. Padahal cinta terhadap kekasih hati, belahan jiwa, tumpuan asa, tidak pernah diharamkan oleh agama. Tetapi itu semua haruslah demi meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Sang Pecipta, Allah Robb Al Amin.
Laila Majnun hanyalah sebuah kisah cinta sepasang manusia biasa, yang mungkin menerpa kita juga. Tak perlu kita mengagungkan perjuangan cintanya karena hal itu sama saja menggugat takdir yang diberikan Allah.
Cinta adalah bumbu kehidupan yang menjadikan indahnya perjalanan hidup manusia.
Cinta bukanlah tujuan dari keberadaan manusia di dunia, bukan pula akhir dari perjuangan di alam fana. Cinta hanyalah kendaraan untuk meraih kebahagiaan sejati, yaitu keridloan Allah untuk mendapatkan surga, yang luasnya seluas bumi dan langit.
sumber: www.rkyu.blogdrive.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar