Senin, 01 November 2010

Gunung Tanggamus

 

Gunung Tanggamus di Kabupaten Tanggamus memang unik dan memiliki tantangan tersendiri. Menuju lokasi itu saja sudah punya cerita khusus, apalagi jalur pendakian ke tempat peristirahatan pertama hingga puncak.

Dari kejauhan, gunung setinggi 2.100 meter itu seolah menyimpan misteri. Kabut tebal bak pernah berhenti menutupi puncaknya. Tempat itu paling mudah dicapai dari Kota Bandar Lampung melewati kota Pringsewu, Kabupaten Tanggamus. Setelah menempuh jarak 90 kilometer melalui jalan berkelok dan naik turun, perjalanan selama dua jam berakhir di Desa Gisting.

Dari pertigaan Pasar Gisting, pengunjung masih harus menempuh jarak sekitar lima kilometer untuk bisa sampai ke titik awal pendakian, tepatnya di Desa Tanggamus. Di rumah Pak Kidi,, salah satu penduduk, yang sudah biasa disinggahi para pendaki, kami mampir. Di rumah itu seluruh perbekalan, peralatan pendakian dan kemah, serta perlengkapan lainnya dicek ulang.





Jalur pendakian :
bandar lampung (dari terminal rajabasa-naik bus jurusan kotaagung), turun di desa gisting atas (pasar) lalu dilanjutkan dengan ojek atau angkutan umum lainnya ke desa lanbau (kaki gunung tanggamus)...selamat mendaki

(info; di jalur pendakian banyak sekali jalur lain yang digunakan para penjerat burung yang menyusahkan dalam menentukan jalur menuju puncak)

ini ada catper dari kawan yang sudah mendaki gunung tanggamus;

Satu jam kemudian, persiapan selesai. Tepat pukul 14.30 pendakian dimulai. Mulai dari Desa Tanggamus ke tempat peristirahatan pertama atau Base Camp Sonokeling terbentang jarak sejauh lebih kurang lima kilometer. Jalur pendakian pendek itu terjal, bahkan diselingi dua tanjakan yang berat.

Kejutan perjalanan awal dibayar dengan hamparan perkebunan sayur yang luar biasa indah. Sejauh mata memandang, perkebunan kol, tomat, cabai, dan terung mendominasi. Warna hijau, merah, ungu, dan coklat tanah menyegarkan mata. Yang menyenangkan, pendaki juga bisa melihat bulir-bulir biji kopi robusta yang tumbuh menghijau ditingkahi suara berbagai jenis burung. Sayang, tanaman kebun yang indah itu tumbuh di dalam kawasan hutan lindung.




Empat jam

Pagi yang cerah menghidupkan suasana di tempat peristirahatan pertama dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut itu. Sambil memandang ke puncak yang diselimuti kabut, bagi pendaki profesional, puncak bisa ditempuh dalam tempo tak kurang dari empat jam.

Ada beberapa jalur menuju puncak, dan pilihan jatuh ke jalur yang biasa dilalui pendaki umum, jalur yang langsung terjal naik dengan kemiringan yang hampir sama dengan perjalanan pertama. Bahkan di beberapa tempat ada yang memiliki kemiringan ekstrem.

Menuju puncak, vegetasi seperti semak, hutan sonokeling, dan kebun penduduk mulai ditinggalkan dan beralih ke vegetasi khas hutan hujan tropis. Di sepanjang jalur pendakian, pohon-pohon khas hutan hujan tropis, seperti meranti, kruing, balau, rotan, dan pakis hutan tumbuh rapat. Kanopi yang terbentuk menyejukkan udara di sekitar. Di kejauhan, monyet dan siamang saling bersahutan.

Saking populernya jalur itu, di sepanjang jalur banyak ditemui tanda seperti potongan tali rafia yang diikatkan pada batang pohon atau tanaman. Asep menerangkan, mungkin karena pengaruh angin yang kencang, gesekan antarbatang yang tumbuh rapat begitu kuat, banyak pohon bertumbangan. Pelan tetapi pasti, pendakian terasa berat juga.

Melewati suatu kawasan hutan yang alas hutannya dipenuhi pacet.




Mendekati ketinggian 1.700 meter di atas permukaan air laut (dpl), batang-batang pohon mulai terselimuti lumut.
Menjelang hutan lumut ada tempat peristirahatan. Di sana bisa melepas lelah sejenak dan mencari air minum. Air dingin dari mata air menyegarkan kerongkongan yang kehausan.

Mendekati puncak, kelembaban semakin tinggi. Hawa dingin makin menusuk. Menjelang tengah hari kabut perlahan-lahan turun. Di tengah perjalanan menuju puncak itu, "Kondisi sepuluh tahun yang lalu betul-betul berbeda dengan sekarang. Mungkin karena sekarang banyak betul batang-batang pohon yang bertumbangan dan menutupi jalur pendakian yang lama."

Di ketinggian lebih kurang 1.900 meter dpl, kabut semakin tebal dan membuat jarak pandang semakin pendek. Tanpa menyadari bahwa telah berada di tengah-tengah batang pohon besar berlumut yang tumbang.

Meski berjalan setapak demi setapak, akhirnya sampai juga di puncak. Hawa semakin dingin karena hujan dan suhu terus turun. Bermalam di puncak Tanggamus yang saat itu sedang hujan angin dan berkabut.



Hujan angin


Keesokan paginya kabut tebal disertai hujan angin menyambut. Padahal, kami berharap bisa melihat keluasan Tanggamus dari puncak. Kekecewaan pun melanda. Puncak tak terlihat sama sekali. Jarak pandang juga pendek. Sambil menunggu hujan reda, segala perlengkapan kami benahi.

Kali ini perjalanan turun terasa tidak seberat perjalanan naik. Bahkan, jika saat mendaki kami tidak sempat melihat keindahan hutan lumut, pagi itu dengan jelas kami bebas mengamati hutan lumut. Namun, hujan yang turun semalam membuat jalan yang kami lalui menjadi licin.

Setibanya di tempat peristirahatan pertama, kami singgah ke gubuk Mbah Achmadi. Mbah Achmadi ini sudah puluhan tahun tinggal di kawasan itu dan mengusahakan berbagai tanaman kebun dan kopi. Rasa capai yang sangat hilang ketika Mbah Achmadi menyuguhkan singkong goreng yang baru diangkat dari penggorengan.

Diiringi semilir angin lereng gunung, kami turun ke Desa Tanggamus. Di rumah Pak Kidi, sekali lagi keramahan khas penduduk desa menyambut kami. Berat rasanya meninggalkan keindahan Gunung Tanggamus yang puncaknya selalu berkabut itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar