Senin, 15 November 2010

Hisab atau Rukyat?

 

Di Indonesia, penentuan awal puasa, Idul Fitri, atau Idul Adha adalah masalah klasik yang terus menjadi perdebatan. Di negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam, hanya Pemerintah yang mempunyai otoritas untuk menetapkan Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha. Karenanya di sana tidak pernah terjadi perbedaan. Jika ada yang berpuasa atau ber-Hari Raya berbeda dengan Pemerintah, mereka bisa ditangkap. 
Di Indonesia, perbedaan terjadi karena organisasi keagamaan diberi kebebasan untuk menentukan puasa dan Hari Raya. Secara mainstream, perbedaan terjadi antara versi Muhammadiyah dengan NU dan Pemerintah. Dalam skala kecil, kelompok keagamaan lain seperti Naqsabandiyah dan Satariyah malah kadang menetapkan puasa atau Hari Raya yang berbeda baik dengan versi Muhammadiyah maupun versi NU dan Pemerintah.

Perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yang didasarkan pada perhitungan matematis ilmu falakh (astronomi) dengan kriteria wujudul hilal. Sedangkan Nahdatul Ulama (NU) dan Pemerintah menggunakan metode rukyatul hilal, yaitu melihat bulan baru (hilal) dengan cara melihat langsung. Namun walaupun antara NU dan Pemerintah sama-sama menggunakan rukyat, kriteria yang digunakan terdapat perbedaan. NU menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2 derajat di atas ufuk sedangkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2 derajat, jarak matahari dan bulan minimal 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam (M Zaim Wahyudi, Kompas, 11/8).

Faktor kriteria hilal inilah yang bisa menimbulkan perbedaan dalam penentuan awal puasa dan Hari Raya. Pada penentuan 1 Syawal 1428 H (tahun 2007), perbedaan Idul Fitri terjadi dikarenakan tinggi hilal kurang dari 2 derajat. Muhammadiyah yang menggunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal menganggap telah masuk bulan baru (1 Syawal). Faktanya, tinggi hilal 2 derajat hampir tidak mungkin dilihat dengan metode rukyat apalagi rukyat juga bisa terkendala oleh faktor cuaca seperti mendung yang bisa menyebabkan hilal tidak terlihat. Karenanya saat itu, NU dan Pemerintah menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari dan berlebaran 1 hari setelah Lebaran versi Muhammadiyah. 

Faktor mengenai derajat tinggi hilal inilah yang menjelaskan, jika terjadi perbedaan, Muhammadiyah pasti selalu lebih awal dalam penentuan puasa atau Hari Raya dibanding NU dan Pemerintah. Sedangkan bila tidak terjadi perbedaan puasa dan Hari Raya antara versi Muhammadiyah dengan NU dan Pemerintah, itu terjadi karena tinggi hilal minimum 4 derajat karena inilah ketinggian ideal dimana hilal bisa dilihat dengan metode rukyat

Metode mana yang seharusnya diikuti, hisab atau rukyat? Terserah pada keyakinan masing-masing karena dalam Islam kedua metode ini sama-sama diakui dan mempunyai dalil masing-masing. Secara science, seperti yang katakan oleh Ninok Leksono (Kompas 11/8), kolumnis Iptek, hisab dan rukyat adalah 2 metode yang diterima sebagai mahzab dalam ilmu astronomi. Menurut Ninok, semesta bisa dipelajari dengan cara observasi (rukyat) menggunakan teleskop yang makin lama makin canggih atau dengan kekuatan abstraksi yang didukung dengan ilmu matematika yang hebat (hisab). Intinya, baik hisab dan rukyat sebenarnya symbol kecerdasan manusia yang tak perlu dipertentangkan namun menarik untuk didiskusikan.

Sumber: www.fsyofian.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar