Jumat, 12 November 2010
Kahlil Gibran: Kehidupan Sebuah Cinta
MUSIM BUNGA
Marilah, sayang, mari berjalan menjelajahi perbukitan,
Salju telah cair dan Kehidupan telah terjaga dari lenanya
dan kini mengembara menyusuri pegunungan dan lembah-lembah,
Mari kita ikut jejak-jejak Musim Bunga, yang melangkaui
Ladang-ladang jauh, dan mendaki puncak-puncak perbukitan
‘Tuk menadah ilham dari aras ketinggian,
Di atas hamparan ngarai nan sejuk kehijauan.
Fajar Musim Bunga telah mengeluarkan pakaiannya
dari lipatan simpanan, dan menyangkutnya
pada pohon pic dan sitrus , dan mereka kelihatan bagai pengantin dalam upacara tradisi Malam Kedre..
Sulur-sulur daun anggur saling berpelukan bagai kekasih
Air kali pun lincah berlompatan menari ria,
Di sela-sela batuan, menyanyikan lagu riang.
Dan bunga-bunga bermekaran dari jantung alam,
Laksana buih-buih bersemburan, dari kalbu lautan
Kemarilah, sayang: mari meneguk sisa air mata
musim dingin, dari gelas kelopak bunga lili,
Dan menenangkan jiwa, dengan gerimis nada-nada
Curahan simfoni burung-burung yang berkicauan
dan berkelana riang dalam bayu mengasyikkan
Mari duduk di batu besar itu, tempat bunga violet
berteduh dalam persembunyian, dan meniru
Kemanisan mereka dalam pertukaran kasih rindu.
MUSIM PANAS
Mari pergi ke ladang, kekasihku, kerana
Musim menuai telah tiba, dan cahaya suria
Telah memanggang gandum kuning-kekuningan.
Mari kita mengerjakan hasil bumi,
sebagaimana semangat kegembiraan menyuburkan butir gandum
Dari benih cinta-kasih, yang tertanam dalam sanubari.
Mari mengisi guni kita dengan limpahan hasil bumi
bagai kehidupan mengisi penuh rongga hati,
Dengan harta kekayaan tak terperi,
Mari, jadikan bunga-bunga alas tilam kita
Dan langit biru selimut kita
Sandarkan kepala di bantal harum jerami,
Mari kita berehat setelah bekerja sepanjang hari,
Sambil mendengar bisik gemercik air sungai yang menyanyi.
MUSIM GUGUR
Kita pergi memetik anggur di perkebunan
Dan memerah sari buah segar
Dan menyimpannya di jambangan tua
Sebagaimana jiwa menyimpan ilmu pengetahuan
Abad-abad lalu, dalam gedung keabadian.
Dan sekarang mari pulang, kerna sang bayu telah
Menerbangkan daun-daun kuning dan mengisar bunga-bunga layu
Yang membisikkan dendang kematian pada Musim Gugur
Mari pulang, kekasihku abadi, kerana burung-burung
Telah terbang bagi perjalanan migrasi menuju kehangatan
Meninggalkan padang yang dingin dan kesepian.
Bunga mirtel dan melati pun telah lama
Mengeringkan air matanya.
Mari kembali, sebab anak sungai yang sayu
Telah kehabisan lagu, dan sumber air yang lincah
Telah membisu, enggan mengucapkan kata perpisahan.
Sedang bukit-bukit tua telah mulai melipat
pakaiannya yang berwarna-warni.
Mari, kekasihku; Alam telah letih,
Ia bersemangat melambaikan selamat tinggal
Dengan dendangan sayup dan ketenangan.
MUSIM DINGIN
Dekatlah ke mari,oh teman sepanjang hidupku,
Dekatlah padaku, dan jangan biarkan sentuhan Musim Dingin,
Mencelah di antara kita. Duduklah disampingku di depan tungku,
Sebab nyalaan api adalah satu-satunya nyawa musim ini.
Bicaralah padaku tentang kekayaan hatimu,
Yang jauh lebih besar daripada unsur Alam yang menggelodak
Di luar pintu.
Palanglah pintu dan patri engselnya,
Sebab wajah angkasa menekan semangatku
Dan pemandangan ladang-ladang salju
Menimbulkan tangis dalam jiwaku.
Tuangkan minyak ke dalam lampu, jangan biarkan ia pudar,
Letakkan dekat wajahmu, supaya aku boleh membaca dalam tangis
Apa yang telah ditulis pada wajahmu
Tentang kehidupan kau bersamaku..
Berilah aku anggur Musim Gugur, dan mari minum bersama
Sambil mendendangkan lagu kenangan pada ghairah Musim Bunga
Dan layanan hangat Musim Panas, serta anugerah
tuaian dari Musim Gugur.
Dekatlah padaku, oh kekasih jiwaku; api mendingin dalam tungku,
Menyelinap padam nyalanya satu-satu, dari timbunan abu
Dakaplah aku, sebab aku ngeri akan kesepian.
Lampu meredup, dan anggur minuman membuat mata sayu mengatup.
Mari kita saling berpandangan, sebelum mata tertutup.
Cari aku dengan rabaan, temui daku dalam pelukan
Lalu biarkan kabus malam merangkul jiwa kita menjadi satu
Kucuplah aku, kekasihku, kerana Musim Dingin,
Telah merenggut segala, kecuali bibir yang berkata:
Engkau dalam dakapan, oh Kekasihku Abadi,
Betapa dalam dan kuat samudera lena,
Dan betapa cepatnya subuh…
(Dari ‘Dam’ah Wa Ibtisamah’ -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)
(Khalil Gibran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar