Senin, 29 November 2010

Madagaskar, Borobudur dan Persaudaraan

Madagaskar Mencari Akar

PEREMPUAN setengah baya itu tak kunjung melepaskan jabat tangan Prof Dr Timbul Haryono yang menemuinya di Pasar Andravohangy, pinggir Kota Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Mata ibu itu menatap lurus ke muka arkeolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut dan tak henti-hentinya menggelengkan kepala keheranan. Ia merasa bertemu dengan kakaknya yang telah tiada. "Anda persis seperti kakak saya, sorot mata, dagu, dan senyum itu milik kakak saya!" katanya dalam bahasa Malagasi.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Peristiwa semacam itu sering terjadi dan menimpa semua warga Indonesia yang berada di Madagaskar. Menilik bentuk wajah, sorot mata, warna kulit, rambut, bentuk tubuh, dan bahasa mereka, sebagian besar bangsa Madagaskar mirip bangsa Indonesia. Sebagian lainnya berkulit hitam bak bangsa Afrika daratan, lengkap dengan rambut keritingnya, sebagian lagi mengambil wajah India dan Komoro.

Itu baru dari bentuk tubuh. Dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong, ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, bahkan cara memasaknya tak jauh beda dengan di Indonesia. Hanya saja mereka tak mengenal santan. Buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka, jambu mete, bahkan kemiri pun ada. Pohon-pohon itu seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di seluruh Madagaskar.

Di pasar-pasar tradisional, baik di Antananarivo maupun sepanjang jalan menuju kota pelabuhan Mahajanga, sekitar 600 kilometer barat laut ibu kota Madagaskar itu, tak ubahnya seperti di Indonesia tahun 1960-an. Mereka belum sepenuhnya menggunakan satuan kilogram tapi tumpukan. Misalnya tomat atau kentang ditumpuk masing-masing berisi lima buah, persis sebagaimana dilakukan pedagang di kota-kota kecil di Tanah Air. Satu hal lagi, jual beli selalu didahului dengan tawar-menawar. Dan, harga penawaran untuk orang asing, bisa lima kali lipat.

Pasar-pasar di Antananarivo, misalnya, di dalam gedung kosong atau hanya berisi kotak-kotak kayu mirip gudang, tetapi di luar pasar tenda-tenda didirikan memenuhi seluruh halamannya. Menurut Marbun, rohaniawan Indonesia yang sudah enam tahun bertugas di negeri itu, pasar itu muncul secara alami karena pertemuan kepentingan penjual dan pembeli. Ketika pemerintah membangun gedungnya, awalnya mereka masuk, namun akhirnya kembali membangun tenda-tenda di luar pasar. Tak ubahnya pasar di Palmerah, Jakarta, atau pasar-pasar lain di Jakarta.

Bentuk tubuh, keadaan alam, dan perilaku manusianya, membuat rata-rata bangsa Malagasi yakin bahwa mereka satu nenek moyang dengan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya berbagai upaya untuk mempertegas pendapat tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti antropologi, sejarah, dan realita terus dikumpulkan. Bangsa Madagaskar benar-benar mencari akar siapa diri mereka.

BERKUNJUNG ke Antananarivo, ibu kota Madagaskar, pusat kotanya bak Semarang di Jawa Tengah, hanya saja perbukitannya lebih banyak. Sedangkan jika ke pinggir sedikit mirip Kota Cianjur di Jawa Barat. Bedanya, di ibu kota negara itu terdapat bangunan-bangunan peninggalan Prancis yang cukup kokoh dan megah. Toko-toko pada siang hari tutup untuk istirahat, sore buka kembali. Pada hari Sabtu kebanyakan tutup dan hari Minggu semua kantor dan toko tutup. Hanya pasar tradisional tetap buka dan pasar semacam ini banyak bertebaran di seluruh kota dalam skala kecil maupun besar. Kaki lima berderet sepanjang jalan besar.

Kota Antananarivo yang berpenduduk sekitar tiga juta orang itu, hingga luar kota dipenuhi pejalan kaki. Rata-rata penduduk Madagaskar pejalan kaki yang kuat. Mereka berjalan dengan cepat dan lincah kemungkinan karena tuntutan alam dan adanya musim dingin. Itulah sebabnya rata-rata postur bangsa Madagaskar, wanita khususnya, langsing dan indah. Bisa dikatakan, susah mendapatkan orang berbadan gemuk terkecuali keturunan Perancis atau India.

Kendaraan umum mayoritas produk Eropa, dua tahun terakhir masuk merek Toyota dan KIA dalam jumlah yang sangat sedikit. Bus kota rata-rata merek Mercedes keluaran tahun 1980-an, konon diimpor dalam keadaan bekas pakai, namun masih sangat bagus untuk ukuran Indonesia. Mobil merek Peugeot dan Renault mendominasi jalanan, namun hanya sedikit yang keluaran di atas tahun 2000.

Walau tarif bus kota sekali naik hanya 1000 franc Madagaskar atau sekitar Rp 1.250, namun rata-rata penumpangnya naik untuk jarak yang cukup jauh. Biasanya untuk jarak kurang dua kilometer mereka memilih jalan kaki. Maklum taraf hidup mereka masih rendah, rata-rata di bawah 500 dolar AS. Itulah sebabnya pejalan kaki begitu banyak terlihat di Antananarivo maupun kota-kota lain. Penduduk luar kota berjalan kaki berduyun-duyun, lelaki-perempuan, seolah tiada habisnya hingga malam hari.

Ibu kota negara itu terletak di sebuah lembah subur, dikelilingi bukit-bukit dari beberapa gunung. Jika kita pergi ke salah satu bukit, pemandangan Kota Antananarivo sungguh indah. Selain rumah-rumah dan bangunan Perancis tertata rapi, hamparan sawah masih tampak menghijau. Namun, jika kita mendekat akan segera menemui rumah-rumah penduduk miskin di antara gedung-gedung tersebut. Rumah terbuat dari tanah merah berlantai tanah bertebaran di segala penjuru kota.

Penduduk kota itu padat, namun keadaannya jauh dari jorok. Sampah tidak ada yang berserakan, apalagi di sungai. Penduduk sangat disiplin, tak ada yang membuang sampah ke dalam got atau sungai. Tak terlihat WC umum di pinggir-pinggir sungai atau got sebagaimana di Kota Jakarta atau kota lain di Indonesia. Tampaknya peninggalan disiplin dari Perancis ini tetap diterapkan walau penjajahannya sudah berakhir puluhan tahun lalu.

Di pinggir Kota Antananarivo, di beberapa area sawah yang belum diolah, penduduk membuat batu bata merah. Sistem pembuatannya tak beda dengan di Pulau Jawa, pembakaran dilakukan di tempat itu juga, hanya ukuran batu batanya lebih besar, mirip batu bata zaman dulu. Bulan Oktober merupakan bulan sibuk bagi pembuat batu bata karena mereka mengejar waktu agar sebelum musim dingin bulan Desember sudah selesai dibakar. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp 2.000 setiap buah.

MEMASUKI kampung-kampung di Madagaskar dan mengikuti upacara di sebuah gereja Katolik, agama terbesar di Madagaskar, mendapatkan fakta bahwa kepercayaan tradisional justru mendominasi kehidupan masyarakatnya. Akulturasi yang kental dalam upacara gereja merupakan salah satu petunjuknya. Musik pujian yang dilantunkan ditambah tari-tarian tradisional yang mengiringi upacara, semua berbau tradisional.

Hal itu memperkuat dugaan bahwa bangsa Malagasi merupakan percampuran berbagai suku di Indonesia, bahkan dengan bangsa-bangsa lain yang datang terlebih dahulu maupun kemudian. Percampuran itulah yang memudahkan mereka untuk berakulturasi hingga kini. Menurut Romo Marbun, perkawinan antarsuku, antarbangsa, dan juga antaragama tidak pernah menjadi masalah di Madagaskar. Meskipun demikian tradisi tetap menyatukan mereka, misalnya dalam hal poligami, upacara kelahiran anak, dan kematian. Mereka mengikuti acara-acara gereja, namun hanya sedikit yang bersedia melakukan upacara perkawinan gereja. Aturan tentang perkawinan gereja tak sejalan dengan tradisi mereka yang memperkenankan kawin-cerai dan poligami.

Di sebuah taman makam di Antananarivo, bangunan makam tak beda dengan di Tapanuli. Di sini juga ada upacara pemindahan tulang, bangunan makam dibuat sekokoh mungkin bahkan dikunci kuat-kuat. Juga ada kepercayaan bahwa kematian merupakan sisi gelap sehingga begitu salah satu anggota keluarga meninggal, seluruh barang di rumah itu harus dibersihkan, minimal dicuci. Ini menjadi kepercayaan rata-rata suku Merina, bahkan mereka yang sudah modern pun melakukannya.

Lain lagi dengan suku Simiheti, mereka selalu mengenakan pakaian paling buruk ketika melayat orang meninggal. Tujuannya, begitu selesai melayat pakaian itu dibuang, tidak boleh masuk rumah lagi. Di beberapa suku, minimal suku Jawa, sehabis melayat orang harus membersihkan diri sebelum masuk rumah agar tidak membawa sial ke semua penghuni rumah itu.

Mengenal lebih banyak lagi masyarakat Malagasi, menurut Romo Marbun, kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo, Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Semula setiap daerah memiliki ciri budaya khas dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli, tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari mana kemungkinan mereka berasal.

Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan India. Kini semua itu diyakini telah melahirkan satu bangsa: Malagasi yang bernaung dalam negara Madagaskar.

REPUBLIK Madagaskar yang nama resminya Repoblika Demokratika Malagasy terletak di sebuah pulau keempat terbesar di dunia setelah Greenland, Irian Jaya, dan Kalimantan. Menurut perkiraan, sekitar abad 8-9, penduduk Indonesia berimigrasi ke Madagaskar dan hidup bersama pendatang dari Afro-Arab sehingga melahirkan kelompok etnis Malagasi. Ketika orang Eropa mulai masuk ke sana dan mencari rempah-rempah, Madagaskar pun menjadi tempat perdagangan sekaligus daerah operasi perompak.

Di Madagaskar ketika itu terdapat beberapa kerajaan, antara lain Antemoro, Antesaka, Betsileo, dan Merina. Kerajaan Merina akhirnya mendominasi kerajaan lain, terutama dalam pemerintahan Raja Andrianaminimerina (1787-1810). Dan, ketika anaknya, Radama I, memerintah, ia mendapat bantuan dari Inggris untuk menguasai seluruh Madagaskar. Hubungan dagang juga dilakukan dengan Perancis, namun hubungan inilah yang menyebabkan Madagaskar menjadi wilayah jajahan Perancis pada tahun 1868.

Ketika akhirnya Madagaskar merdeka (1960), sepuluh tahun kemudian pertikaian politik di dalam negeri pun meledak. Pertikaian ini menyebabkan perekonomian Madagaskar terpuruk karena pengusiran orang asing, penindasan terhadap organisasi buruh, dan penahanan orang-orang sipil. Tahun 1975 Komodor Didier Ratsiraka menjadi presiden dan akhirnya membawa negara ini masuk dalam kelompok sosialis dan merasionalisasi semua perusahaan.

Setelah berkuasa 18 tahun, pada tahun 1993 Ratsiraka dikalahkan Albert Zafy dalam pemilu, namun di pemilu berikutnya ia berhasil merebut kembali jabatan presiden. Dan, terakhir dalam pemilu tahun 2002 ia dikalahkan oleh Marc Ravalomanana, politikus yang juga pengusaha.

Begitu pemilu usai terjadi pertikaian karena Didier Ratsiraka tidak mau mengakui kekalahannya. Keadaan ini memperburuk perekonomian Madagaskar, namun kini mulai bangkit setelah Didier Ratsiraka melarikan diri ke Perancis dan Marc Ravalomanana menggantikannya. Presiden baru yang berlatar belakang pengusaha itu mulai memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara, dan itu juga tidak mudah. Terakhir beberapa kali terjadi pemogokan buruh stasiun pompa bensin karena begitu diswastakan, buruhnya merasa terancam PHK dengan kedatangan para ahli dari Eropa.

Sisa-sisa sifat sosialis masih terasa hingga kini. Para pejabatnya berpakaian sederhana, bahkan sangat sederhana bagi ukuran protokoler yang umumnya berlaku. Wali Kota Mahajanga, misalnya, berkantor dengan mengenakan sandal, bertopi, dan menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sekjen Kementerian Luar Negeri Madagaskar bahkan hanya berkaos oblong warna oranye ketika mendampingi menterinya merundingkan kerja sama dengan delegasi Indonesia.

Pemerintahan Ravalomanana ini tampaknya membawa angin baru bagi hubungan dengan Indonesia. Seorang sejarawan Madagaskar menginformasikan, pada zaman Didier Ratsiraka pencarian jati diri bangsa Madagaskar seolah dinadirkan. Dari awal, Perancis seolah memang menghindari pimpinan dari suku Merina berkuasa karena suku tersebut merupakan mayoritas bangsa Madagaskar dan kerajaannya pernah menguasai seluruh negara itu. Suku ini sangat dekat dengan budaya Melanesia. Perancis lebih dekat dengan suku-suku di luar Merina, dan Ravalomanana merupakan orang pertama dari suku Merina yang memerintah Madagaskar setelah merdeka.

Akibatnya, menurut Dr Christian, di Madagaskar terdapat dua kelompok sejarawan, kelompok kampus yang propemerintah (didukung Perancis) dan kelompok nonkampus yang masih merindukan jati diri nenek moyangnya.

Diduga Perancis takut jika sejarah asal muasal bangsa ini diungkit, akan membangkitkan fanatisme kelompok etnis kerajaan Merina. Itulah sebabnya hubungan Madagaskar-Indonesia tidak kunjung ditingkatkan karena Pemerintah Madagaskar tidak membuka perwakilan di Indonesia.

Perubahan sikap Pemerintah Madagaskar ini jelas tercermin dari pernyataan para pejabatnya. Presiden Ravalomanana sendiri ketika menerima awak perahu bersama Kepala Perwakilan RI Richard Simbolon tegas menyebutkan bahwa kita bersaudara. Sebelumnya, dalam upacara menyambut kedatangan awak kapal Borobudur di Pelabuhan Mahajanga tanggal 15 Oktober lalu. Gubernur Mahajanga, Kolonel Toto Vincent menegaskan bahwa ekspedisi Indonesia untuk meyakinkan siapa mereka sudah dilakukan tiga kali: Saremanuk (1985), Ammana Gappa (1991), dan terakhir Samudraraksa Borobudur bulan Oktober ini. Bukti sudah nyata, sebaiknya ditindaklanjuti.

Pernyataan Menteri Kebudayaan Madagaskar lebih tegas lagi: bangsa Indonesia memang nenek moyang bangsa Madagaskar dan itu tak perlu diperdebatkan lagi. Begitu usai upacara ia mengajak delegasi Indonesia berunding mengenai langkah apa setelah ekspedisi ini. Dan, sore itu juga lahirlah beberapa kesepakatan yang akan segera disusun dalam kesepakatan bersama (MOU), antara lain menyangkut pertukaran misi kebudayaan, pengisian museum dengan benda-benda yang berkait dengan kedua bangsa, pertemuan para ahli sejarah dari kedua negara untuk rekonstruksi asal-usul penduduk Madagaskar, dan kunjungan menteri itu ke Indonesia bulan Januari mendatang.

Ekspedisi sudah cukup, Madagaskar sudah mengaku Indonesia-lah nenek moyangnya, sesudah itu mau apa? Jawaban itu yang diharapkan Madagaskar. (mamak sutamat)



Kisah Perjalanan Awak Perahu Borobudur

Perahu Zig-zag Melawan Angin

UPACARA pelepasan itu hampir menjadi pangkal musibah. Seusai Presiden Megawati meninjau perahu, lalu melepasnya ke laut lepas, perahu yang semula diikat tali di kiri dan kanan harus dilepas. Begitu bersemangatnya penarikan tali itu, Nick Burningham tak sempat mengelak saat tali menjerat kakinya dan ia pun terseret hampir jatuh ke laut. Hari itu, Jumat 15 Agustus 2003 pukul 16.10, masih di Marina Ancol, Jakarta Utara.

EKSPEDISI Samudraraksa Borobudur hari itu dimulai, namun sebenarnya belum siap berlayar. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak dan antena. Mujoko, anak lulusan IPB jurusan ilmu kelautan, selama dua hari berkeliling Kota Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator perahu bisa "hilang" sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

Pukul 06.00 tanggal 17 Agustus, perahu itu akhirnya angkat jangkar. Baru beberapa meter menjelang keluar Pondok Duyung, sebuah kapal besar masuk, awak perahu panik dan segera memutar arah. Pemutaran arah bagi perahu layar bukanlah masalah sederhana karena harus tahu dari mana arah datangnya angin. Ketika cobaan itu lepas, perahu pun melenggang menuju Selat Sunda. Pantai masih jelas walau makin lama makin tersamar.

Panjang perahu itu 18,29 meter, lebar 4,25 meter, terbuat dari tujuh jenis kayu dengan tiang layar dari bambu, layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex, serta bercadik bambu di kiri dan kanannya. Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK menempel di kiri dan kanan perahu, fungsinya untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat "kamar mandi", beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan. Di setiap pemberhentian akan dilakukan penggantian awak perahu, terkecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles-Madagaskar relatif dekat. Apakah benar-benar bisa ditempuh dalam empat bulan, semua tergantung kecepatan dan arah angin.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia yang mengikuti pelayaran Jakarta-Madagaskar, tiga di antaranya berasal dari Pulau Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (IPB), dan IG Putu Ngurah Sedana kapten TNI-AL yang bertindak sebagai nakhodanya.

PUKUL 23.15 hujan deras mengguyur perahu, para awak perahu segera berhambur keluar untuk berhujan-hujan. Maklum sudah beberapa hari mereka tidak sempat mandi segar. Mereka bagai anak kecil berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, begitu tulis Niken dalam catatannya. Pontus Krook dan Paul Bayly yang terlambat bergabung kebingungan ketika sedang bersabun ternyata hujan berhenti.

Keesokan harinya, 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Namun, angin tiba-tiba mati. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan, mereka mendayung di kiri-kanan perahu. Sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak. Dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.

Dalam perjalanan menuju Seychelles ini awak perahu dibagi dalam dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan, dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak. Awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut.

Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah. Maklum komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan, Bajo, Sulawesi Selatan, yang tidak tahu bahasa Inggris. Kedua gadis ini ketika tugas jaga harus berlari ke depan dan belakang serta berteriak-teriak menerjemahkan perintah komandannya.

TANGGAL 21 Agustus angin Samudra Hindia begitu kencang, perahu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 knot per jam. Rasanya, enggak ada kerjaan membuat "Qta" (maksudnya: kita-Red) boring. Nick minta saya belajar mengemudi dan panjat tiang layar. Gila! Begitu tulis Niken di buku catatannya.

Menurut Niken ia memang lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat, namun setelah itu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.

Begitu jenuhnya, akhirnya Nick mengadakan sayembara: siapa yang pancingnya dapat ikan duluan akan diberi 25 dolar AS. Semua mencoba dan baru tanggal 27 Agustus Kapten Putu memenangkan pertandingan. Namun, itu pun setelah perahu diombang-ambingkan ombak setinggi sekitar 9 meter. Ombak besar itu datang tanggal 24 Agustus, terus-menerus membuat awak perahu kelelahan. Di sini kelihaian pemegang kemudi diuji. Ia harus bisa membuat perahu berada di atas ombak, jangan sampai menerjangnya. "Pada saat itu kami hanya bisa berdoa, bayangkan ombak setinggi perahu di depan kita," kenang Niken.

Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya. "Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya," begitu aku Mujoko ketika ditanya. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi.

Buleleng, begitu istilah Niken untuk awak non-Indonesia, berpesta memeriahkan perjalanan itu. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa walau tinggal separuh, namun semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Blowing in the Wind yang dipelesetkan: … the answer my friend is depend on the wind, the answer is depend on the wind. Lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, di samping lagu Krisdayanti, Menghitung Hari.

Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus. Tali itu menjorok di luar perahu sehingga sangat sukar memperbaikinya. Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.

Hujan tiada henti turun, padahal tak seorang pun yang membawa jas hujan. Menurut Niken, pada saat hujan begitu, air menembus pakaian dalam sehingga membuat orang masuk angin.

PADA tanggal 8 September Putu ulang tahun. Awak perahu sibuk menyiapkan pesta walau seadanya, namun tetap mengharukan. Apalagi Allan Cambell, ship’s master, menyatakan bahwa pelabuhan tujuan tinggal 735 mil atau sekitar tiga hari lagi. Semua bergembira. Dan, benar, pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.

Niken menggambarkan pelabuhan tersebut sebagai berikut: "Qta" lego jangkar di depan gunung, cahaya Port Victoria tampak jelas dan indah. Semakin terang kota itu semakin cantik karena terletak di atas bukit, sementara air laut hijau jernih mengundang "Qta" untuk berenang.

Tujuh belas hari mereka berada di Seychelles. Selain untuk mengisi perbekalan, mereka menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.

PELAYARAN dari Seychelles menuju Madagaskar sangat berat. Angin sering mati. Kalaupun ada, angin pun bertiup dari arah depan, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Selama dua hari angin mati, artinya tidak ada tiupan angin yang bisa menggerakkan perahu tersebut. Motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera "berbicara" dengan angin.

Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu Muhammad memberitahukan sikapnya di atas geladak perahu ketika berlabuh di Mahajanga, Madagaskar. Ditegaskan sebagai manusia harus bersikap wajar, "Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah," katanya menambahkan. Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan. Doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.

Jika ia "berbicara" kepada angin, sebenarnya ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia berbicara dalam bahasa Bajo, intinya minta agar angin datang dan menolongnya. Awak yang lain selalu tersenyum kecut mendengar ia "berbicara" kepada angin. Apalagi bagi buleleng yang tentunya tak masuk di akal mereka walau akhirnya angin pun datang.

Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi buleleng, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut ini berpegang pada letak bintang-bintang di langit.

Pelayaran Seychelles-Madagaskar merupakan ujian untuk membuktikan mana yang benar. Angin yang datang dari depan tak bisa ditahan dengan layar perahu walau menggunakan motor tempel. Akhirnya awak perahu asing menyerah dan Muhammad beserta rekan-rekannya berhasil melakukan perjalanan zig-zag dengan memindah-mindahkan arah layarnya. Layar dipasang dalam sudut tertentu agar angin "menyenggol" dan membawa perahu ke kiri atau ke kanan.

Pekerjaan ini melelahkan karena memindahkan layar untuk mendapatkan embusan angin dengan arah yang kita inginkan bukanlah sederhana. Pertama, layar diturunkan kemudian digeser, baru dinaikkan lagi dan dicari sudut yang pas. Itu dilakukan berulang-ulang sehingga salah satu layar robek dan tali pengikat layar putus.

Semua pekerjaan itu menjadi tanggung jawab awak Pagerungan karena hanya merekalah yang mampu dan mengerti. Awak yang lain hanya membantu sebagaimana diminta oleh pelaut asli tersebut melalui penerjemah.

Semua ini membuat perjalanan menjadi lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Jarak yang hanya sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta-Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.

WALI Kota Mahajanga, Page’s, hari Selasa 14 Oktober 2003 naik perahu bersama para petugas imigrasi. Perahu sehari sebelumnya memang sudah masuk pelabuhan, namun karena sudah sore mereka lego jangkar sekitar 300 meter dari dermaga. Di mana pun mereka berlabuh (kecuali di Marina Ancol) tidak akan merapat ke dermaga untuk menjaga agar cadik di kiri-kanan perahu tidak rusak terbentur dermaga. Maklum terbuat dari bambu.

Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia-Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudra Hindia dengan Samudra Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini mereka tinggal bertiga belas.

"Niken insya Allah akan ikut sampai pelabuhan terakhir," kata gadis berjilbab itu mantap. (mamak sutamat)

Niken Maharani

GADIS itu mengaku baru pada hari terakhir mendaftarkan diri ikut Ekspedisi Samuderaraksa Borobudur. Itu pun karena sehari sebelumnya sang ibu menyodorkan Kompas yang memuat iklan pendaftaran tersebut. "Ini barangkali cocok buat kamu," kata maminya yang prihatin melihat anak ketiganya selalu murung. Maklum, Niken sebelumnya termasuk gadis yang tak bisa diam. Walaupun tidak mengikuti perkumpulan resmi, namun selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) ia selalu mengikuti kegiatan pencinta alam.

Lulus pada tahun 2002, Niken yang mengambil jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan belum tergerak mencari pekerjaan. Satu musibah membuatnya merana, kakek yang juga berfungsi ayah baginya, meninggal hampir setahun lalu. Ini yang membuatnya murung hingga akhirnya ia mendaftarkan diri ikut pelayaran menuju Afrika, dan kini dalam perjalanan menuju Cape Town, Afrika Selatan.

Niken yang kelahiran Bandung itu tidak menyangka bahwa "kapal" yang hendak diikutinya itu hanya sebuah perahu kayu kecil dan digerakkan layar, sebab iklan tersebut tidak menyebutkan bagaimana bentuk perahunya. Ia mengetahui bentuk perahu tersebut justru dari ibunya yang kemudian memperlihatkan gambar perahu tersebut yang dimuat di koran. Ia terkejut, semua anggota keluarga terkejut sehingga dilakukanlah sidang mendadak.

"Tapi semua menyerahkan kepada saya dan saya tetap berangkat karena takdir itu kan di tangan Yang Kuasa," kata Niken dalam pembicaraan di KBRI Madagaskar minggu lalu. Akhirnya ia benar-benar berangkat pada tanggal 15 Agustus diantar kedua orangtuanya hingga Pantai Marina, Ancol. Ia kini merupakan satu-satunya wanita Indonesia yang ikut berlayar dengan perahu kayu mengikuti rute perdagangan kayu manis, Jakarta-Seychelles -Madagaskar-Cape Town, dan akan berakhir di Ghana pada akhir tahun 2003 ini.

Gadis yang tak pernah melepaskan jilbabnya walau sedang berkutat di atas perahu yang berlayar di Samudera Hindia ini, punya fungsi inti. Ia memang tidak harus memanjat layar, tetapi tugas pokoknya menjadi penerjemah yang dilakukan dalam hempasan gelombang setinggi delapan meter. Ini bukanlah tugas yang ringan, Niken harus pontang-panting menyampaikan perintah Nick Burningham, pimpinan operasi kepada para pelaut asal Bajo atau sebaliknya. Perintah harus segera disampaikan karena keterlambatan bisa berakibat fatal. Sesekali jika sedang bertugas, ia juga mengemudikan perahu.

Niken merasa, persiapan pelayaran ekspedisi tersebut sangat singkat. Setelah beberapa tahapan tes, dari 700 pelamar terpilih sepuluh orang, termasuk Niken. Mereka diajak ke Bali untuk melihat dan meresmikan perahunya. Saat itu perahu belum sempurna. Kesepuluh calon tersebut diperingkat dan diputuskan untuk peringkat 1-5 dites pelayaran dari Bali ke Surabaya, 6-10 diikutkan trayek Surabaya-Semarang, dan mereka yang terpilih langsung ikut dari Semarang ke Jakarta. Dalam perjalanan mereka dilatih bagaimana mengendalikan perahu tersebut.

Niken masuk kelompok yang berangkat dari Surabaya dan begitu sampai di Jakarta, ia diminta ikut pelatihan dasar keselamatan selama tiga hari. Itu saja bekal yang diberikan. Dan pada tanggal 14 Agustus, Niken ke Bandung untuk berpamitan dengan kedua orangtuanya. Esok harinya Presiden Megawati melepaskan perahu tersebut di Pantai Marina.

"Setiap orang toh akan mati, jadi bagaimana kita mempersiapkan diri aja!", kata Niken ringan. Dan saat ini Niken berjuang dalam pelayaran paling berat menempuh Tanjung Harapan yang ombaknya terkenal ganas. (ms)


Orang Malagasy dan Kebudayaannya

BANGSA Malagasy yang mendiami Pulau Madagaskar sekarang ini adalah percampuran bangsa Asia-Afrika. Diduga mereka telah ada di Madagaskar sekitar 1.500 atau 2.000 tahun meskipun dari artefak batu yang ditemukan menunjukkan adanya kemungkinan budaya lain yang pernah hidup.

HAMPIR sebagian besar imigran merupakan bangsa Melayu-Polinesia yang telah mengarungi Lautan Hindia dari Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagian imigran yang lain adalah dari Afrika, serta para pedagang Arab, India, dan Portugis. Meskipun demikian, tampak sekali bahwa imigran yang pertama berasal dari Asia Tenggara atau Indonesia.


Suku bangsa

Berdasarkan data-data etnografis, di Madagaskar ada 18 suku, yaitu Antaifasy (orang pasir) yang tinggal di bagian tenggara di sekitar Farafangana; Antaimoro (orang pantai) yang tinggal di bagian tenggara sekitar Vohipeno dan Manakara. Mereka umumnya mendapat pengaruh budaya Arab. Antaisaka, Antankarana (yang tinggal di daerah berbatu karang), Antambahoaka (suku yang paling kecil jumlahnya yang tinggal di pantai sebelah tenggara; Antrandroy tinggal di daerah selatan sekitar Ambovombe. Warna kulit hitam dan kehidupannya semi nomadik.

Suku lainnya adalah Antanosy atau orang pulau yang tinggal di pulau kecil di sungai Fanjahira; suku Bara di daerah bagian barat daya dekat Toliara. Mereka adalah penggembala sapi. Nama "Bara" diperkirakan berasal dari pengaruh bahasa Bantu (Afrika). Suku Betsileo yang berdiam di sebelah selatan "the Hauts Plateaux" sekitar Fianarantsoa. Suku-suku lainnya adalah Betsimisaraka, Bezanozano, Mahafaly, Sakalava, Sihanaka (orang rawa); Tanala (orang yang tinggal di hutan); Makoa, Merina (orang dataran tinggi); Tsimihety (orang yang tidak memotong rambutnya). Selain itu masih ada kelompok suku lainnya yang datang dari India, Cina, dan Timur Tengah.


Adat istiadat

Bangsa Malagasy memiliki berbagai adat dan upacara ritual yang terkadang berbeda di masing-masing suku. Mereka memiliki kepercayaan menghormati pohon besar karena dianggap sebagai tempat tinggal arwah. Sesajian akan ditempatkan di bawah pohon. Suku Antaisaka yang tinggal di pantai tenggara memiliki kepercayaan bahwa rumah mereka mempunyai pintu kedua khusus untuk arwah nenek moyang. Apabila ada sanak saudara meninggal dunia, si mati akan dibiarkan beberapa hari sebelum dikubur.


"Famadihana"

Famadihana (yang berarti mengembalikan si mati) adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Upacara tersebut dalam rangka menghormati si mati sebagai penghubung antara manusia hidup dengan Zanahary atau Tuhan. Seluruh anggota keluarga yang berasal dari berbagai tempat di Madagaskar akan berkumpul untuk melaksanakan upacara yang biasanya dilakukan pada musim dingin (Juli sampai September). Upacara diawali dengan pembukaan makam oleh keluarga. Tulang-tulang yang telah terkubur kurang lebih dua atau tiga tahun diambil diiringi dengan tarian, nyanyian, dan musik yang merdu yang ditujukan kepada arwah. Sisa-sisa tulang yang telah diambil tersebut kemudian dibawa melalui jalan-jalan desa sehingga ia (arwah) tahu akan perubahan lingkungan yang telah terjadi sejak kematiannya.

Sisa tulang tersebut, setelah dibersihkan, dilumuri dengan minyak suci dan diberi pakaian kemudian dikembalikan ke makam. Upacara Famadihana dapat berlangsung berhari-hari sampai makanan dan minuman habis. Untuk biaya yang besar ini sering mereka harus menabung terlebih dahulu.

Seseorang yang telah meninggal dinamakan Lazan-ko Razana atau "ia yang sudah menjadi nenek moyang". Bagi orang Malagasy, si mati adalah pelindung terhadap keturunannya. Mereka memiliki hal-hal yang dianggap tabu dan disebut dengan istilah fady. Taha adalah upacara korban darah yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup manusia atau mencegah seseorang. Sebagai media, seperti kayu, tanah, rumput, batu, dan binatang digunakan untuk kelengkapan upacara. Kadang kala, si dukun harus tinggal beberapa hari di tengah pekuburan untuk berkomunikasi dengan arwah guna menyerap ilmunya. Benda-benda seperti tersebut di atas dipakai untuk menyerap aspek-aspek negatif dalam kehidupan dan kemudian dibuang di sebelah selatan rumah. Bagi orang Malagasy hidup harus dilindungi dengan cara apa pun agar dapat hidup panjang.

Upacara fatidra dipimpin oleh seorang mpitsika dengan menggunakan berbagai objek seperti: tujuh macam tumbuh-tumbuhan, tujuh ekor ayam jantan, dua fragmen tulang manusia, air suci yang diambil dari sumber air terdekat, seekor ayam jantan yang organ hati telah dikeluarkan, sebuah tombak.


"Tromba"

Tromba adalah upacara religius agar terjadi kontak atau komunikasi dengan arwah melalui medium seseorang yang dalam keadaan trance disebut saha. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka usaha penyembuhan suatu penyakit atau untuk mendapatkan petunjuk dalam segala kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam kondisi trance, si medium seolah-olah mengadakan perjalanan di alam arwah. Upacara ritual ini didasari atas kepercayaan tentang reinkarnasi seorang raja atau arwah yang merasuk dalam tubuh seseorang.

Peran mediator dalam menghubungkan manusia dengan dunia supranatural menggunakan apa yang disebut sikidy, yaitu sejenis biji tanaman: fano (Piptadenia chrysostach), tsiafakomby (Coesalpina), kily (asam), buncis.


"Sambatra" (Savatsy)

Sambatra adalah upacara khitanan yang biasa dilaksanakan dengan pesta besar pada musim dingin (Juli sampai September). Upacara ini meskipun telah terpengaruh oleh perkembangan zaman, namun masih dilaksanakan sebagian masyarakat desa setiap tujuh tahun. Dalam periode upacara tersebut semua anak yang lahir 7 tahun terakhir diwajibkan menjalani khitanan. Hari yang dipilih adalah hari Jumat (bahasa Malagasy: Zuma) pada bulan purnama ketika bunga-bunga sedang mekar dan tanah berbau harum. Dalam khitanan ini keluarga membangun lapa (tempat untuk khitanan). Selama beberapa hari diadakan pesta dengan tarian dan musik, macam-macam lomba olahraga. Si anak yang akan dikhitan juga ikut dalam aktivitas tersebut. Pada saat malam ketika ayam jantan berkokok yang pertama kali, beberapa orang pergi ke sebuah sumber air yang dianggap suci untuk mengambil air rano mahery. Selama perjalanan pulang orang-orang yang membawa air suci tersebut meneriakkan kata-kata zanoboro mahery dan manatody ambato sampai tiba di lapa. Kemudian juru khitan melaksanakan tugasnya.


Bahasa

Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Otto Chr Dahl, berdasarkan data-data bahasa, bahasa Malagasy banyak pengaruh dari kata-kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Sanskerta. Beberapa contoh kata-kata dalam bahasa Malagasy yang mirip dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, seperti dalam kata bilangan: roa (Mlg) = dua (2); telo (Mlg, dibaca telu) = telu (3); fito (Mlg, dibaca fitu) = pitu (7); valu (Mlg) = wolu (8). Kata-kata lain yang memiliki kemiripan antara lain: mora (baca mura) = murah (bhs Jawa); vulan = wulan (bhs Jawa); vato (baca vatu) = watu (bhs Jawa); aho (baca ahu) = aku (bhs Jawa); sofina (baca sufin) = kuping (bhs Jawa). Ada juga beberapa kata yang mungkin serapan dari bahasa Sanskerta. Dahl sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang orang Malagasy datang dari Indonesia. Peristiwa migrasi tersebut telah terjadi sekitar abad ke-7 Masehi.

Penelitian yang dilakukan oleh Adelaar juga menunjukkan adanya kata-kata bahasa Malagasy yang menyerap kata-kata bahasa Melayu, seperti: horita = gurita; fano (baca fanu) = penyu; hoala = kuala; tanjona = tanjung; varatra = barat; firaka = pirak; hihy = gigi; fify = pipi; molotra = mulut; haranka = kerangka.

Kemiripan dalam kata dan kemiripan dalam fisik tubuh membawa orang Malagasy pada pengakuan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Indonesia. Keadaan seperti tersebut merupakan modal penting untuk menjalin persahabatan kedua bangsa dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Prof Dr Timbul Haryono MSc Arkeolog,
Dekan Fakultas Ilmu Kebudayaan UGM
 
Sumber: www.kompas.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar