Senin, 01 November 2010

Mengamati Perubahan Gunung Api di Indonesia dengan Metode InSAR


Oleh : Agustan 

1.       Indonesia dan Gunung Api

Sebagai konsekuensi negara yang terletak di daerah pertemuan beberapa lempeng tektonik, Indonesia mempunyai banyak gunung api. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral mencatat 129 gunung api atau sekitar 13% dari seluruh gunung api di dunia berada di Indonesia. Sampai saat ini tercatat ada 80 gunung api yang dikategorikan aktif yang berpotensi untuk meletus.
lokasi_gunung_api
Ket : simbol segitiga merah melambangkan gunung api, sedangkan titik-titik hitam adalah sebaran lokasi pusat gempa

Gb 1. Sebaran Gunung Api di Indonesia

Gunung api akan menjadi sumber bencana jika meletus. Bahaya letusan gunung api disebabkan oleh awan panas, longsoran gunung api, gas beracun, guguran batu pijar, lontaran batu pijar, lahar akibat letusan, aliran lava, aliran lumpur terkait dengan curah hujan, hujan abu, tsunami akibat letusan, gempa, gelombang kejut, anomali panas bumi, anomali air bawah permukaan dan longsoran. Di balik bahaya yang mengancam, gunung api juga mempunyai aspek positif, misalnya kesuburan lahan untuk pertanian, keindahan panorama untuk kegiatan pariwisata dan juga sebagai salah satu sumber energi panas bumi.

Untuk meminimalkan dampak dari letusan gunung api, terutama korban jiwa akibat letusan gunung api, ada empat kegiatan besar yang dilakukan di Indonesia yaitu : riset gunung api, pemetaan kawasan rawan bencana dan letusan, pemantauan, dan peringatan dini letusan gunung api. Dari data awal tentang aktivitas kegunungapian, beberapa gunung sudah dikelompokkan dan diberikan prioritas untuk diamati lebih detil. Saat ini ada empat status gunung api di Indonesia, yaitu : aktif normal (tingkat 1) yang menjelaskan suatu gunung dalam keadaan normal dan tidak ada peningkatan aktivitas kegunungapian berdasarkan pengamatan visual dan instrumental ; waspada (tingkat 2) yang menjelaskan adanya peningkatan aktivitas kegunungapian yang teramati secara visual dan instrumental ; siaga (tingkat 3) yang menjelaskan adanya peningkatan kegiatan kegunungapian secara nyata teramati secara visual dan instrumental dan cenderung diikuti oleh letusan ; awas (tingkat 4) yang menjelaskan peningkatan kegiatan kegunungapian mendekati atau menjelang letusan utama yang diawali oleh letusan abu atau asap.

Salah satu indikator dalam pemantauan gunung api adalah perubahan bentuk permukaan (ground deformation) gunung api yang disebabkan oleh perubahan tekanan atau pergerakan magma dalam perut bumi. Perubahan permukaan ini dapat dipantau dengan berbagai metode, salah satunya dengan metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan metode interferometri dari data radar. Metode lainnya adalah metode pengamatan posisi menggunakan alat Global Positioning System (GPS) ; pengamatan perubahan jarak antar dua titik menggunakan Electronic Distance Measurement (EDM) atau dengan menggunakan tilt-meter. Indikasi perubahan permukaan bumi dikombinasikan dengan pengamatan visual dan instrumental lainnya (misalnya seismometer) memungkinkan analisis kondisi suatu gunung api menjadi lebih lengkap dan akurat. Hal ini membantu dalam pengambilan keputusan untuk perlu tidaknya evakuasi dilakukan apabila terdapat peningkatan aktivitas kegunungapian. Artikel ini  memberikan ilustrasi tentang aplikasi metode interferometri data radar (Interferometry Synthetic Aperture Radar, InSAR) dalam pemantauan perubahan permukaan gunung api beserta contoh dari pengolahan data untuk Gunung Ibu yang berada di Halmahera, Maluku..

2.  Sekilas Tentang InSAR

InSAR adalah salah satu metode dalam penginderaan jauh (remote sensing) yang menggunakan prinsip kombinasi nilai tiap piksel dari dua data radar. Dari pengertiannya, InSAR terdiri dari dua tahapan utama yaitu pembentukan citra radar (single look complex / SLC image) dari data mentah (synthetic aperture radar / SAR data) hasil pemotretan (dengan menggunakan wahana pesawat atau satelit) ; dan tahapan pembentukan citra interferogram untuk melihat bentuk permukaan topografi.
sar_basic
Gb 2. Konfigurasi sistem pemetaan dengan SAR 1

Salah satu tujuan utama penginderaan jauh dalam bidang pemetaan adalah untuk mengetahui atau mendapatkan gambar suatu obyek tanpa harus ‘mendatangi’ obyek tersebut secara langsung. Metode ini terkait dengan sensor yang bisa mengamati suatu obyek, yang analoginya adalah kamera foto. Jika kamera atau sensor ini terletak di pesawat udara, maka hasilnya adalah foto udara ; jika terletak di satelit atau pesawat luar angkasa, maka hasilnya adalah citra satelit. Sensor merekam semua pantulan radiasi yang dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Radiasi yang umum adalah dari pantulan sinar matahari (gelombang cahaya) yang direkam oleh sensor dan diterjemahkan dalam warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya. Metode ini dikelompokkan menjadi penginderaan jauh pasif, karena sensor hanya menerima pantulan panjang gelombang cahaya. Kelemahannya adalah sangat tergantung kepada sinar matahari, artinya tidak berfungsi di malam hari, dan tidak dapat menembus awan.

Untuk menutupi kelemahan tersebut, dikembangkan metode penginderaan jauh aktif yang menggunakan prinsip radar dan menggunakan gelombang elektromagnetik. Sensor yang digunakan mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pemancar gelombang elektromagnetik dan sekaligus menerima pantulan gelombang tersebut. Pemetaan dengan radar yang selanjutnya dikenal dengan SAR biasanya tergantung dengan jenis gelombang radar yang digunakan. Saat ini yang populer adalah gelombang X (2.5-4 cm dengan frekuensi 8-12 GHz), gelombang C (4-8 cm and dengan frekuensi 4-8 GHz) dan gelombang L (15-30 cm dengan frekuensi 1-2 GHz). Sensor dengan panjang gelombang tertentu inilah yang diletakkan dalam pesawat luar angkasa atau satelit dan digunakan untuk memetakan permukaan bumi.

Tabel 1. Sistem Satelit SAR.
Ket : Kolom berwarna abu-abu programnya sudah berakhir sedang kolom berwarna hijau muda masih dalam tahap rencana) 2

Hasil pemetaan dengan metode SAR ini adalah citra radar, yang kemudian apabila terdapat sepasang citra (dua citra radar) untuk daerah yang sama (citranya bertampalan) yang diamati dengan sensor yang sama, maka dapat dibuat data permukaan secara tiga dimensi atau model topografi permukaan bumi. Hasil ini diperoleh melalui tahapan dalam proses InSAR. Selanjutnya, apabila terdapat model permukaan topografi yang dijadikan sebagai acuan atau apbila terdapat tiga atau lebih citra radar, maka perubahan permukaan dapat ditentukan melalui proses pengurangan atau differential InSAR (DInSAR).

Aplikasi yang dapat diterapkan dengan metode InSAR ini adalah pemetaan topografi, pembuatan model permukaan (digital elevation model), pemetaan arus laut, pekerjaan hidrologi, aktivitas terkait dengan seismik, kegiatan terkait dengan deformasi permukaan (penurunan atau kenaikan permukaan tanah), gunung api, perubahan daerah pesisir serta aplikasi kehutanan.

3.  Melihat Deformasi Gunung Ibu dengan DInSAR

Gunung Api Ibu yang mempunyai ketinggian sekitar 1340 m secara administratif terletak di Kecamatan Ibu Utara, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Gunung ini tercatat pernah meletus pada tahun 1911, 1998, 1999, 2005 dan 2008.

lokasi_gunung_ibu
Gb 3. Lokasi Gunung Ibu di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara

Untuk mengamati perubahan permukaan di sekitar Gunung Ibu, digunakan data radar hasil pengamatan satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) dengan sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) untuk bulan Agustus 2007, Oktober 2007, Januari 2008, Februari 2008 dan April 2008. Hasil dari pengolahan data mentah menjadi citra radar dan interferogram dengan metode InSAR dapat dilihat pada Gb 4.

fig_4_tichubu09
Gb 4. Hasil pengolahan citra ALOS-PALSAR untuk Gunung Ibu. (a) citra hasil pengolahan SAR, (b) hasil interferogram data Agustus 2007 – Oktober 2007, (c) hasil interferogram data Oktober 2007 – Januari 2008, (d) hasil interferogram data Januari 2008 – Februari 2008; dan (e) hasil interferogram data Februari 2008 – April 2008.

Hasil interferogram seperti yang terlihat pada Gb 4 di atas merepresentasikan unsur topografi, deformasi dan unsur lainnya. Untuk melihat hanya unsur deformasinya, maka unsur-unsur yang lain harus dihilangkan, dan untuk itu metode DInSAR dibutuhkan. Deformasi Gunung Ibu dari metode DInSAR dapat dilihat pada Gb 5 di bawah ini.

fig_5a_tichubu09
Gb 5. Deformasi Gunung Ibu. (a) profil melintang garis hitam pada gambar 5.b untuk setiap waktu pengamatan, (b) deformasi untuk Agustus 2007 – Oktober 2007, (c) deformasi untuk Oktober 2007 – Januari 2008, (d) deformasi untuk Januari 2008 – Februari 2008; dan (e) deformasi untuk Februari 2008 – April 2008.


Pada Gambar 5-a terlihat pola deflasi-inflasi pada Gunung Ibu dalam rentang waktu Agustus 2007 – April 2008.

4.  Penutup

Teknologi penginderaan jauh, terutama yang termasuk dalam kategori aktif, sangat bermanfaat dalam kegiatan survei pemetaan di Indonesia. Hal ini karena kemampuannya dalam menembus awan dan tidak terkendala pada ketersediaan sinar matahari. Sebagai pertimbangan, Indonesia terletak di sekitar garis khatulistiwa yang beriklim tropis, tentu saja mempunyai kandungan awan yang besar dalam atmosfirnya.

Selain untuk pemetaan, data radar juga dapat digunakan untuk memantau perubahan permukaan bumi melalui metode differential InSAR. Sebagai salah satu negara yang mempunyai banyak gunung api dan tersebar di beberapa lokasi yang terpencil, metode ini berguna sebagai penyedia informasi awal dari kondisi suatu gunung api. Kelemahannya hanyalah sangat tergantung kepada ketersediaan data (datanya tidak kontinyu), yang secara langsung terkait dengan waktu pengamatan yang dilakukan oleh satelit.


5.  Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Prof. Hasanuddin Z. Abidin, guru besar Teknik Geodesi-Institut Teknologi Bandung yang atas kerjasamanya dengan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) sehingga data PALSAR Gunung Ibu dapat diolah. Juga kepada Yoga Pamitro (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) atas data dan cerita tentang Gunung Ibu.

6.  Daftar Pustaka

1.         Dzurisin, Daniel. 2007. Volcano deformation : geodetic monitoring techniques, Springer, 441 p., Berlin.
2.         http://www.npoc.nl/EN-version/satelliteinfo/satellitetabel.html, dikunjungi pada 23 Februari 2009.


Sumber: www.io.ppijepang.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar