Minggu, 28 November 2010

Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Pada Mei 1998 merupakan titik penting dalam sejarah Indonesia.  Dari titik ini, perubahan bermula. Rezim Orde Baru (ORBA) yang berkuasa selama 32 tahun tumbang oleh gerakan massa. Mereka disatukan oleh sebuah tuntutan: REFORMASI. Reformasi kemudian adalah kata kunci pada perubahan di pentas public Indonesia. Apa yang sebelumnya tidak boleh dijamah berubah menjadi wilayah yang boleh diobrolkan secara terbuka. Wacana penerapan Syariat Islam (SI) yang di ‘tiarap’-kan pada masa ORBA kembali muncul ke permukaan. Seolah memutar ulang fragmen sejarah, perdebatan tentang Piagam Jakarta kembali mengemuka di sidang umum MPR.

Lebih jelas Arskal Salim menyatakan, bahwa perdebatan mengenai peluang penerapan syariat (hukum Islam) di Indonesia, melalui Piagam Jakarta, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang BPUPK/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD 1945 yang bergulir pada Sidang Tahunan MPR dalam dua tahun terakhir ini.

Aceh yang menjadikan penerapan SI sebagai kartu tawar menawar politik  dengan Jakarta (pemerintah pusat), mendapatkan kado istimewa dengan terbitnya UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh; sebuah undang-undang yang menandai mulainya pemberlakuan SI di Aceh.

Melalui pintu otonomi daerah, banyak daerah-daerah lain yang kemudian menerbitkan peraturan-peratuaran daerah (perda) yang mengadopsi SI.   Belakangan, rancangan undang-undangan anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) ditengarai sebagai perwujudan SI. Pertanyaan yang segera muncul adalah : Ada apa dengan gairah besar dari sebagian komponen bangsa untuk menerapkan SI di Indonesia ?. Apakah SI merupakan jalan keluar bagi bangsa Indonesia yang di dera seribu satu masalah itu ? Apa problem-problem krusial bagi penerapan SI di Indonesia ? Adakah jalan keluar yang rasional dan realistis bagi kontroversi penerapan SI di Indonesia ? pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab oleh diri kita sendiri sebagai bangsa dan warga Negara Indonesia yang baik.

Kata kontroversi adalah kata yang pas untuk mewakili wacana ini. Karena memang kontroversi penerapan SI di Indonesia terjadi di semua level. Paling tidak ada dua level yang paling kentara, yaitu level internal dan level eksternal. Pada level internal, menyangkut tentang isi tubuh syariat itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan elementer-nya adalah: Apa yang dimaksud syariat dalam hal ini (ontologis) ?, Bagaimana merumuskan syariat yang hendak di undangkan itu (epistemologis) ?, Bagaimana syariat mesti diterapkan dalam kontek local dengan karakter yang berbeda-beda di Indonesia (aksiologis) ?

Pada level ontologis, perdebatan tentang syariat Islam (SI) sebenarnya bukan khas Indonesia. Pemikiran Arab kontemporer banyak membicarakan hal ini. Persoalan poros-nya adalah bagaimana memandang kaitan antara teks (al-Qur’an dan hadis) dengan realitas. Setidaknya ada tiga aliran dalam hal ini: skriptual, moderat dan liberal. Kaum skriptualis memandang bahwa realitas harus tunduk kepada teks. Aliran moderat melihat bahwa teks dan realitas mesti  berdialog untuk menghasilkan aturan yang disepakati. Sedangkan kelompok liberal memandang bahwa oleh karena teks diturunkan untuk kepentingan realitas, maka ia harus menyesuaikan diri terhadap realitas.

Fakta sosiologis  menunjukkan bahwa ketiga kelompok ini -dengan segala perangkapnya masing-masing- masih sedang bergulat dalam wacana Indonesia kontemporer. Tidakkah ini problematik ? Lantas pada level aksiologis-syariat Islam berhadapan dengan persoalan yang tidak sederhana. Ini mengantarkan kita untuk berpindah pada sisi eksternal dari problem penerapan SI di Indonesia.

Untuk mengambil beberapa sampel, kita bisa menyebut –dalam konteks ini- : Problem pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, transformasi sosial dan interaksi-belajar dengan dan dari dunia luar yang meliputi Negara-negara Muslim ataupun Negara-negara Barat. Pada soal pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, penerapan SI di Indonesia menghadapi tantangan (challenge) yang cukup serius. Masalahnya, Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai basic Negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari Negara tanpa memandang back ground/ latar belakang agama yang dianutnya, suku dan warna kulit.

Persoalan yang cukup serius di sini adalah bagaimana penerapan syariat  tidak melibas-menafikan keserbanekaan tersebut. Kondisi inilah  yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan SI di Indonesia selalu mendapat tantangan, bukan hanya dari kalangan non-muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa kokoh bersatu. 
Maka, banyak tokoh-tokoh Islam atau organisasi Islam yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat –lewat lembaga-lembaga dan nilai-nilai social- terus dikondisikan untuk semakin Islami. Idealismenya, tanpa pendekatan politik-kenegaraan pun kelak, rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.

Terma pemberlakuan syariat Islam tidak mesti berujud pemberlakuan fiqh Islam sebagai hukum positif Negara. Menurut M. Imdadun Rahmat, penerapan hukum fiqh bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menjadi hukum Negara.

Lebih lanjut, Imdadun Rahmat menyatakan bahwa bentuk Negara ‘nation state’ dengan system demokrasinya cukup menyediakan peluang bagi terwujudnya Negara yang Islami. Artinya Negara yang mampu melindungi kemaslahatan rakyatnya sehingga hak-hak mereka sebagai warga Negara terpenuhi, termasuk hak untuk mengekspresikan agamanya dengan leluasa.

Mempelajari syariat itu penting. Sehubungan dengan hal ini, maka penting bagi kita mempertimbangkan perkataan Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa maksud kita mempelajari syariat Islam ialah supaya kita bisa menyusun satu fiqh yang berkepribadian kita sendiri, seperti sarjana-sarjana Mesir sekarang ini berusaha memesirkan fiqhnya. Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan tabiat dan watak serta kepribadian  Indonesia.[1]

Sedangkan pada level eksternal,  transformasi yang telah dilakukan, misalnya oleh NU sejak 1984, perlu terus dilakukan dengan kualitas yang terus ditingkatkan. Langkah ini kemudian dikemas dalam wacana yang santun, anti kekerasan, dialogis dan mengedapankan rahmat. Ketika terbukti di bumi realitas bahwa Islam benar-benar menjadi rahmatan lil- alamin, tanpa diformalkan sekalipun, Islam akan menjadi nilai obyektif di tengah-tengah masyarakat.

Dalam khazanah klasik, kita akan menjumpai pandangan seperti ini pada visi politik imam Malik yang belakangan mazdab fiqh-nya akrab dengan tradisi local dengan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syariah-nya. Selanjutnya kesediaan untuk tunduk pada aturan main bersama (rule of the game)  pada saat kekuatan Islam menjelma menjadi entitas politik berupa partai-partai harus terus dipupuk untuk dalam semangat menyemaikan demokrasi.

Telah terbukti bahwa demokrasi sebagai perangkat bernegara tidak kontradiktif dengan Islam. Dan akhirnya, tetap perlu digalang konsolidasi global antar Negara dan komunitas muslim untuk mewujudkan tata dunia yang lebih adil dan damai.

Semua tawaran aksi di atas bukanlah jawaban jadi, tetapi kerja keras untuk mewujudkannya akan menentukan masa depan Indonesia. Satu hal yang perlu penulis tegaskan lagi bahwa dari pada energy bangsa kita habis untuk ‘bertengkar’ dalam soal-soal yang tidak perlu, mengapa kita tidak membicarakan sesuatu yang dalam jangka panjang lebih menjamin kohesi  kebangsaan, kebanggaan menjadi sebuah bangsa dan capaian-capaian riil pada pembangunan sumber daya manusianya (SDM).

Oleh Dedy Susanto

Daftar Pustaka:

Arskal Salim. Penerapan Syariat Bukan Negara Islam. 24/03/2002
Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H. Asas-asas Hukum Islam, Sinar Grafika: Jakarta, 1997
Penerapan Syariat Islam Di Indonesia: Melihat Problem, Mencari Solusi. Saturday, April 15, 2005

dzuzant.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar