Selasa, 09 November 2010

Peristiwa 10 November 1945 Surabaya

Sejarah dan Intrik di balik Peristiwa 10 November 1945

Sudah sekian lama kita membaca mengenai sejarah peristiwa 10 November 1945 yang heroik dan legendaris itu, tapi siapa menduga ada cerita-cerita lain yang tidak kalah menariknya di balik peristiwa itu. Silahkan dinikmati untuk memperkaya wawasan kita :

Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tidak segera disambut dengan perubahan keadaan di Surabaya. Kekuasaan Balatentera Jepang masih terlihat begitu menakutkan. Rakyat Surabaya yang terlihat berjalan di jalan-jalan tengah kota masih seperti sedia kala, yaitu tidak bersemangat, tunduk karena ketakutan, dan tampak miskin akibat dijajah Jepang tiga setengah tahun.

Datangnya orang-orang Belanda yang menyelundup ke Surabaya hampir bersamaan waktunya dengan dibebaskannya kaum interniran Belanda dari kamp-kamp tawanan, maka suasana Surabaya mulai panas karena terjadi saling mencurigai antara fihak pemuda dengan fihak Palang Merah International. Pemuda Surabaya baru saja melakukan serangkaian kegiatan memperingati sebulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan menyelenggarakan rapat umum di Lapangan Pasarturi pada tanggal 17 September 1945.

Pada saat itu ada provokasi baru tentang datangnya kelompok orang Sekutu yang pertama dari Mastiff Carbolic dibawah pimpinan Letnan Antonissen diterjunkan dengan parasut di Gunungsari Surabaya. Mastiff Carbolic Party merupakan salah satu dari sejumlah kelompok yang diorganisir oleh Anglo Dutch County Section (ADCS) angkatan 136. ADCS selama Perang Dunia II adalah organisasi spionase yang dikirim ke Sumatera, Malaya, dan Jawa secara rahasia. Setelah Jepang menyerah mereka diterjunkan antara lain di Jakarta dan Surabaya untuk menghimpun informasi tentang keadaan kamp-kamp tawanan dengan pihak RAPWI (Rehabilitation Allied Priseners of War and Internees = pemulangan tawanan perang asing dan interniran yang dibentuk oleh badan dunia pemenang perang).

Pihak Jepang setelah mendengar tentang pendaratan (dengan payung udara) itu kemudian menjemputnya dan mengawalnya ke Yamato Hoteru (Hotel Oranje). Sebelumnya di Hotel Oranje telah berkumpul pula sebagian besar orang Indo yang baru bebas dari interniran. Maka di hotel itu seakan-akan bermarkas RAPWI yang tidak sah. Mereka melakukan gerakan berselubung. Segera saja di jalan-jalan kota yang selama zaman
Jepang sepi-nyenyat lalu-lintasnya berseliweran kendaraan dengan tulisan RAPWI, dan di sekitar hotel orang-orang Belanda bertindak kasar kepada orang-orang Indonesia yang berwajah ketakutan dan miskin itu.

Begitu sombongnya orang-orang Belanda itu hingga tanggal 19 September 1945, mereka menaikkan bendera Belanda di tiang utara gedung hotel. Tindakan ini dianggap sudah keterlaluan, maka mulailah orang-orang Indonesia bergerak untuk menurunkan bendera Belanda tadi. Berperasaan sebagai bangsa merdeka sudah mulai terlihat pada rakyat Indonesia di Surabaya. Menolak kembalinya penjajah Belanda. Pengibaran bendera Belanda dianggap suatu keinginan Belanda menjajah lagi Indonesia.


Arek-arek Surabaya melihat pengibaran bendera Triwarna di Hotel Oranje


Massa rakyat dan pemuda meminta bendera itu diturunkan


Upaya penurunan


Dan Merah Putih berkibar lagi

Dan sejak itu rakyat Surabaya tidak hanya curiga dengan orang-orang wajah Belanda, tetapi membencinya. Semua wajah indo atau Belanda dianggapnya musuh yang mau menjajah kembali Indonesia, maka harus dimusuhi. Warna merah-putih-biru juga sangat dimusuhi. Seseorang berpakaian kebetulan warna-warni mengandung warna merah-putih-biru (warna bendera Belanda) langsung saja dianggap sebagai mata-mata musuh.

Sebetulnya sudah sejak tanggal 2 September 1945 atas prakarsa Dul Arnowo yang pada zaman Jepang bekerja pada pemerintahan Surabaya Shi (kota) menjabat sebagai Ketua BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang kantornya di Jl. Kaliasin 121, telah dibentuk dua organisasi yang mewakili adanya pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka, yaitu:
1. BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang)
2. BKR (Badan Keamanan Rakyat).

Rapat pembentukan BPKKP dan BKR di Kaliasin 121 (zaman Orde Baru menjadi Kantor PDAM, zaman Reformasi aset itu lepas jadi milik swasta) dihadiri oleh hampir semua bekas pimpinan Peta, Heiho, kaum pergerakan dan lain-lain. Di antaranya Suryo, Sutopo, Mohamad, Katamhadi, Rono Kusumo, Kunkiyat, Sungkono, Kholil Thohir, R.M.Yonosewoyo, Abdul Wahab, Usman Aji, Drg. Mustopo. Penjelasan mengenai situasi negara yang terancam oleh bahaya, garis-garis perjuangan selanjutnya diberikan oleh Ketua KNI (KNI, Komite Nasional Indonesia = DPR) Karesidenan Surabaya, Dul Arnowo. Kepada para bekas anggota Peta, Heiho dan lain-lain dianjurkan untuk mengadakan kontak-kontak dengan anak buahnya serta memanggilnya untuk membela Tanahair. Dalam rapat tanggal 2 September 1945 malam itu berhasil diputuskan pembentukan BPKKP dan BKR untuk daerah Karesidenan Surabaya dengan susunan pengurus sebagai berikut:
1. BPKKP.
Ketua Dul Arnowo (bekas Ketua BPP), Wakil Ketua Mohamad Mangundiprodjo (bekas Daidancho Peta Buduran).
2. BKR.
Ketua Drg. Mustopo (bekas
Daidancho Peta Gresik), Bagian Penerangan: Katamhadi (bekas Daidancho Peta Mojokerto), Abdul Wahab (bekas Chudancho), Sutomo alias Bung Tomo (wartawan Antara),

Pada pergaulannya sebagai Ketua BPKKP dengan Wakilnya (Dul Arnowo danMohamad Mangundiprodjo) sama-sama menyadari bahwa untuk mempertahankan kedaulatan negera RI itu bukan saja diperlukan kekuatan bersenjata tapi juga dibutuhkan dana untuk membiayai perjuangan itu. Negeri RI lahir tanpa modal sesen pun. Modalnya hanyalah secarik kertas teks proklamasi kemerdekaan serta semangat dan tekad rakyat
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negaranya. Modal materiil beserta segala piranti aparat pemerintah itu harus dicari sendiri oleh rakyat. BPKKP selaku aparat juga harus mencari dana itu. Dul Arnowo dan Mohamad yang diserahi jabatan pada BPKKP harus berfikir keras berupaya mencari dana bagi perjuangan menegakkan negara.

Dalam wacana mencari dana itu, terbetik berita mengenai Dr. Samsi, seorang ekonom dan tokoh pergerakan cukup terkenal di Surabaya. Kedua ketua BPKKP berniat menghubungi tokoh Dr. Samsi itu. Tapi pergolakan merebut kekuasaan di Surabaya harihari berikutnya menghambat pencarian dana tadi.
Penyempurnaan pembentukan BKR lebih lanjut dibahas dalam pertemuan di GNI Bubutan oleh para bekas Daidancho, Chudancho, Shodancho, dan anggota-anggota Peta lainnya yang terkumpul pada tanggal 4 September 1945.
Oleh karena Kota Surabaya di samping Kota Praja, Ibukota karesidenan Surabaya juga sebagai pusat dan Ibu Kota Jawa Timur, kemudian diputuskan untuk membentuk 3 eselon atau jajaran BKR, yaitu BKR Jawa Timur, BKR Karesidenan, BKR Kota Surabaya. Pemimpin-pemimpinnya pada waktu itu setelah disetujui disahkan sekali gus.

BKR Jawa Timur: Panglima Drg. Mustopo (bekas Daidancho), Kepala Staf
Umum Suyatmo (adik Mustopo), Urusan Angkatan Darat: Mohamad Mangundiprodjo (bekas Daidancho) Urusan Angkatan Laut: Atmaji, Intelijen: Rustam Zein (mahasiswa Sekolah Tinggi Pamong Praja Jakarta), Pemberitaan: Suyono Prawirobismo (polisi), Keuangan-perlengkapan: Suryo (bekas Chudancho), Tugas Khusus: Abdul Wahab (bekas Chudancho) dan N.Suharyo (mahasiswa Ika Dai Gakku Jakarta).

BKR Karesidenan Surabaya: Ketua: Abdul Wahab (bekas Chudancho), Wakil Ketua R.M.Yonosewoyo (bekas Chudancho). BKR Kota Surabaya: Ketua Sungkono (bekas Chudancho), Wakil Ketua Surakhman (bekas Chudancho), Penulis Dawud (bekas Chudancho).

Selain itu juga terbentuk badan-badan perjuangan seperti Angkatan Muda Indonesia (AMI), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Buruh Indonesia (BBI), Hizbullah, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pemuda Puteri Indonesia (PPI), dan lain-lain. Karena sifatnya perjuangan mengusir Belanda, badan-badan perjuangan itu juga angkat senjata (siap berperang). Senjatanya cari sendiri-sendiri.

Setelah peristiwa perobekan warna biru bendera Belanda di Oranje Hotel tanggal 19 September 1945 itu, rakyat Surabaya mulai bertindak, mendatangi markas-markas tentara Jepang, agar tunduk kepada pemerintah Indonesia Merdeka. Berbagai tempat mudah ditaklukkan. Namun di Markas Kaigun (Angkatan Laut) yang terletak di Gubeng Pojok, dan Markas Kenpeitai yang terletak di Regentstraat (sekarang Tugu Pahlawan) pemuda Indonesia mengalami perlawanan yang menjatuhkan banyak kurban jiwa dan luka. Markas arsenal di Don Bosco (sekolah Don Bosco) ternyata tempat penimbunan senjata. Dengan jatuhnya Markas itu, maka Arek-arek Surabaya memiliki senjata perang.

Dan dengan bersenjata seperti itu, orang Indonesia di Surabaya tidak lagi berjalan tunduk dan takut-takut, tetapi beringas dan gegap-gempita menyanyi “Sorak-sorak bergembira, Indonesia Merdeka! Itulah hak milik kita, untuk selama-lamanya!” Kenpeitai adalah Polisi Militer Jepang. Selama jadi Markas Kenpeitai sederet nama pejuang Indonesia seperti Pamuji, A. Rakhman, Sukayat, Cak Durasim pernah diseret ke dalamnya, disiksa dan disiksa sampai mati. Sejak pagi hari tanggal 1 Oktober 1945, Markas Kenpeitai dikepung oleh para pejuang Indonesia baik yang telah tergabung dalam organisasi perjuangan atau belum, pasukan BKR (Abdul Wahab, Hasanuddin Pasopati, N.Suharyo Kecik), Polisi Istimewa (Mohammad Yasin), pasukan PRI (Pramuji, Rambe, Sidik Arslan), dan lain-lain. Markas tentara Jepang di tempat-tempat lain di Surabaya menyerah pada malam hari menjelang tanggal 1 Oktober 1945 saat diserbu, tapi Markas Kenpeitai (dan Markas Kaigun Gubeng Pojok) baru jatuh ke tangan pemuda Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1945 sore hari setelah terjadi pertempuran yang menelan banyak korban jiwa (yang pertama kalinya merebut kemerdekaan negeri ini). Tanpa pengorbanan mereka, tidak ada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, tanpa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Negara Republik Indonesia mungkin tidak ada, atau kemerdekaan ada tidak dengan perjuangan bersenjata melainkan kemerdekaan negara hasil pemberian hadiah dari Ratu Yuliana dari Negeri Belanda.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah yang pertama kali dilakukan oleh bangsa yang terjajah terhadap bangsa yang menjajah dengan pemberontakan bersenjata, dan berhasil memperoleh kemerdekaan bangsa. Setelah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, maka pola-pola bangsa terjajah di Asia dan di Afrika juga merebut kemerdekaannya mengikuti pola bangsa Indonesia, merebut kemerdekaan dengan perjuangan bersenjata melawan penjajahnya.


Markas Kenpetai sebelum Jepang menyerah


Setelah di Bom Inggris

Salah seorang pemuda yang tertembak pahanya sehingga tidak bisa melaksanakan tugas perjuangannya lagi adalah Abdul Wahab. Abdul Wahab menurut pertemuan para pemuda bekas Peta 23 September 1945 di Julianalaan diputuskan sebagai pimpinan Pasukan Khusus yang melaksanakan gerakan penyerbuan markas-markas tentara Jepang di Surabaya, dan sudah terlaksana pada malam 30 September menjelang 1 Oktober 1945.

Tanggal 1 Oktober semua markas pasukan Jepang di Surabaya beres, terkecuali Markas Kenpeitai dan Markas Kaigun di Gubeng Pojok, yang baru selesai pada tanggal 2 Oktober 1945. Abdul Wahab (mantan Chudancho PETA), pada jajaran BKR (Badan Keamanan Rakyat, embrio TNI) sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya. BKR Karisidenan Surabaya terbentuknya di Gedung HBS (kompleks SMAN Wijayakusuma sekarang), diprakarsai oleh N. Suharyo Kecik. Semula setelah pasukan Jepang yang ada di Gedung HBS itu disingkirkan oleh orang Surabaya, tempat itu digunakan oleh pasukan bekas Heiho Laut (orang Indonesia yang dijadikan tentara Jepang) dari Sulawesi Selatan yang mau pulang ke tempat-tempat asalnya (Jawa dan Sumatera). Jumlahnya 250 orang, dibawah pimpinan Abel Pasaribu dan Anwar Batubara. Mereka berlayar 3 hari 3 malam, sampai di Tanjung Perak, pertengahan September 1945, lalu ditampung di Gedung HBS tadi. Oleh seorang mahasiswa Kedokteran Gigi dari Jakarta, N. Suharyo Kecik, mereka digerakkan membentuk BKR. Karena semua bukan orang Surabaya, sedang pembentukan BKR-BKR waktu itu juga terjadi di Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Gresik menjadi BKR Karesidenan Surabaya, maka BKR di Gedung HBS itu diikutkan menjadi BKR Karesidenan Surabaya. Menurut BKR-BKR yang telah terbentuk, yang menjadi ketua BKR Karesidenan Surabaya adalah Abdul Wahab (bekas Chudancho PETA). Wakilnya R.M.Yonosewoyo (bekas Chudancho PETA). Markasnya di Gedung GNI (Bubutan) Surabaya.

Dengan tertembaknya Abdul Wahab, maka yang menjadi ketua BKR Karesidenan Surabaya adalah R.M.Yonosewoyo. Tanggal 5 Oktober setelah didudukinya Markas Kenpeitai, diumumkan bahwa jajaran BKR seluruh Indonesia menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).


Semua ikut berjuang termasuk penghuni penjara Kalisosok


Semua berjuang termasuk yang di kampung-kampung, termasuk etnis tionghoa


Laskar-laskar perjuangan



Atas persetujuan pimpinan BKR Jawa Timur (Drg. Mustopo), BKR Karesidenan Surabaya (R.M.Yonosewoyo), dan BKR Kota Surabaya (Sungkono), Hasanuddin dan N. Suharyo membentuk Polisi Militer. Setelah peresmian berdirinya TKR (5 Oktober 1945), kelompok bersenjata tersebut bernama PTKR, Polisi Tentara Keamanan Rakyat. Markasnya di bekas markas Kenpeitai (polisi militer Jepang), yang telah direbutnya. Sesuai dengan hasil perundingan antara fihak Jepang dan Indonesia, pasukan yang menduduki bagian kanan gedung Kenpeitai berada di bawah pimpinan Hasanudin Pasopati dan N. Suharyo. Gedung bagian sayap kiri masih terdapat sekitar satu kompi serdadu Jepang yang bersenjata. Atas perintah Jendral Iwabe, (komandan angkatan darat Jepang di Jawa Timur yang telah melakukan serah-terima kekuasaan dengan Ketua BKR Jawa Timur Drg. Mustopo) tiga hari kemudian pasukan Jepang itu dipindahkan ke tempat penampungan tahanan di Kompleks Pasar Malam tahunan (Jaarmark, sekarang jadi Plaza Hitech-mall THR). Hasanuddin adalah Arek Surabaya, keturunan Madura, bekas Chudancho Peta, pada zaman Hindia Belanda bekerja sebagai guru lulusan HIK. Di PTKR pangkat Hasanuddin Letnan Jendral. Setelah ada peninjauan menjadi Letnan Kolonel. Masalah yang dihadapi PTKR cukup rumit. Tapi cukup mendapat kepercayaan dari masyarakat. Apalagi masalah orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Banyak yang diserahkan urusannya kepada PTKR.

Karena emosi rakyat yang begitu meluap terhadap perjuangan merebut kemerdekaan, seringkali terjadi penangkapan matamata karena kecurigaan semata-mata. Ada seorang guru SMP bernama Iskak bersamasama Iswahyudi (yang bertamu di rumah Iskak) ditawan oleh pemuda, karena istri Iskak seorang Belanda. Kebetulan Suharyo kenal baik dengan kedua orang tersebut. Iswahyudi pada zaman Hindia Belanda mendaftarkan diri pada pendidikan penerbang. Ia ikut tentara Belanda ke Australia dan berlatih terbang di sana. Oleh Sekutu, zaman perang, Iswahyudi diselundupkan ke Indonesia melalui pantai Blitar Selatan. Ia tertangkap oleh Jepang. Guru Iskak adalah ayah Indriyati Iskak, yang kemudian putri ini menjadi bintang film Tiga Dara yang kondang tahun-tahun 1960-an, besutan Usmar Ismail. Oleh pimpinan PTKR diputuskan membebaskan Iskak dan Iswahyudi. Keduanya diberi seragam dan dianjurkan untuk tetap tinggal di markas. Mereka diberi tugas memasang lampu dan sistem bel untuk hubungan dalam markas dan monitoring siaran radio luar negeri berbahasa Inggris. Iswahyudi kemudian menjadi pilot pahlawan yang namanya dilestarikan menjadi nama lapangan terbang di Maospati, Madiun.


Seorang bekas Chudancho bernama Suryo, putra Suwongso seorang pegawai menengah di Kantor Residen Surabaya pada zaman Belanda, telah ditangkap oleh para pemuda diserahkan kepada PTKR. Suryo pada waktu kecil panggilannya Yanto. Pada zaman Belanda pernah menjadi pandu atau padvinder (Nederland Indiesche Padvinders Vereniging). Pada waktu itu bangsa Indonesia juga telah memiliki organisasi kepanduan
sendiri seperti KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), Suryawirawan (Parindra), HW (Hizbulwathon), dan lain-lain.
Sebagai anak orang terpandang Suryo tidak ikut kepanduan bangsa sendiri, melainkan bangsa Belanda. Dan ia pernah dipilih ikut jambore di Negeri Belanda. Di sana ia bersalaman dengan Ratu Wilhelmina, dan foto
kenangannya disimpannya. Itulah antara lain mengapa ia ditawan oleh para pemuda. Oleh pimpinan PTKR kemudian Suryo dibebaskan, karena dianggap tidak berdasar untuk menahan Suryo. Pagi Suryo bebas, sore hari ia ditangkap lagi oleh para pemuda yang bermarkas di gedung Borsumij (Sociƫteitstraat, sekarang Jalan Veteran Surabaya).

Mendengar hal itu Suharyo memerintahkan untuk membebaskan Suryo. Suryo ternyata bekas Chudancho Peta, pada jajaran BKR Jawa Timur (pimpinan Mustopo) dia pegang jabatan keuangan-perlengkapan. Setelah bebas Suryo masih dapat berjasa dengan mengantarkan Suharyo ke gudang senjata di bekas Daidannya di Gunungsari. Yang menjaga gudang senjata adalah bekas anak buah Suryo, prajurit Peta. Dari tempat itu PTKR memperoleh sepuluh metraliur berat kaliber 12,7 dan metraliur Kal 7,7/303 L.E.

Dua hari kemudian Suryo bebas, ditangkap lagi oleh Sabarudin (bekas Shodancho) bekas anak buah Suryo sendiri. Sabarudin saat itu adalah komandan PTKR daerah Karesidenan Surabaya, di bawah TKR Karesidenan Surabaya pimpinan R.M.Yonosewoyo (pengganti Abdul Wahab yang tidak bisa melakukan kewajibannya karena tertembak saat merebut Markas Kenpeitai 1-2 Oktober 1945). Ditangkap oleh Sabarudin, Suryo langsung dibawa ke Sidoarjo. Bagi Sabarudin, inilah kesempatan yang baik untuk melampiaskan dendam lamanya. Tanpa melalui proses pemeriksaan secara hukum, Suryo kemudian dihukum mati dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda.
Gambar-gambar Suryo ketika bersalaman dengan Ratu Wilhelmina dijadikan buktinya.

Eksekusi Suryo dilakukan secara terbuka di tengah alun-alun Sidoarjo, sehingga kemudian hari banyak penduduk Sidoarjo bisa menceritakan jalannya eksekusi. Sabarudin sendiri yang langsung menangani pelaksanaan eksekusi, ia menembak Suryo dengan pistol sedang dua orang pembantunya kemudian menebas kepala dari pundak Suryo dengan pedang samurai. Versi lain menyebutkan bahwa Sabarudin sendiri yang memenggal kepala Suryo dengan pedang samurai. Berita pembunuhan tersebut datangnya terlambat pada markas PTKR, tak tertolong lagi oleh pimpinan PTKR di Surabaya.

Atas perbuatan Sabarudin yang sewenang-wenang itu, ternyata tidak ada pihak yang berani menegur, mencegah dan menghukumnya. Kasus Suryo dibiarkan berlalu tanpa ada pembelaan secara hukum. Hasanuddin Pasopati yang mengangkat diri menjadi komandan PTKR se Jawa, jadi teoritis menjadi atasan Sabarudin tidak berani menegur, apalagi menindaknya. Juga R.M.Yonosewoyo, Komandan TKR Karesidenan, atasan Sabarudin, serta Drg. Mustopo, komandan TKR Jawa Timur pun tak bereaksi.

Waktu itu bila orang mendengar nama Sabarudin saja rasanya sudah ngeri. Dul Arnowo, ketua KNI (Komite Nasional Indonesia = DPR) Kresidenan Surabaya, melukiskan wajah Sabarudin sebagai amat menakutkan, terlebih-lebih bila ia sedang marah dan memelototkan matanya benar-benar tampak bengis. Hampir tidak ada orang yang ditakuti Sabarudin, bahkan pada Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo iapun tidak takut. Dengan enak saja ia bisa keluar masuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogya. Satu-satunya orang yang disegani Sabarudin hanyalah ex Chudancho H. Abdul Wahab, atasan Sabarudin di PETA dan Ketua BKR Karesidenan Surabaya (kena tembak ketika merebut kekuasaan di Markas Kenpeitai 1-2 Oktober 1945). Menurut Wiwiek Hidayat (wartawan Antara), sebelum menjadi PTKR, Sabarudin tingkah lakunya sopan, bahkan pemalu. Tetapi setelah mendapatkan kekuasaan sebagai komandan PTKR Karesidenan Surabaya, tingkah lakunya berubah menjadi ganas.

Motif sebenarnya tindakan Sabarudin terhadap Suryo itu adalah perkara sentimen pribadi. Sabarudin yang berpendidikan MULO (setarap SLTP) mengawali kariernya di zaman Belanda sebagai jurutulis di kantor kabupaten Sidoarjo. Di kantor itulah Sabarudin berkenalan dengan pemuda Suryo, atasannya, yang menjabat sebagai komis. Nasib telah membawa keduanya bersaing memperebutkan cinta seorang gadis cantik, puteri Bupati Sidoarjo. Cinta Sabarudin tak terbalas, karena puteri tadi rupanya lebih berat memilih pemuda Suryo yang berpendidikan Sekolah Pamongpraja OSVIA, sebagai pacarnya. Sejak itulah hubungan kedua pemuda tadi menjadi dingin.

Begitulah suasana awal-awal perebutan kekuasaan untuk Indonesia Merdeka di Surabaya khususnya, Jawa Timur umumnya. Nama Sabarudin mulai melejit.
Suryo, pada jajaran TKR Jawa Timur menjabat sebagai urusan keuangan dan perlengkapan. Dengan terbunuhnya Suryo, maka urusan keuangan dan perlengkapan kosong. Pada jajaran TKR Jawa Timur ada Mohamad Mangundiprodjo yang diserahi urusan angkatan darat.

Maka mengenai keuangan dan perlengkapan, Mohamad Mangundiprojo menceritakan mengenai Dr. Samsi kepada Panglimanya, Drg. Mustopo. Dr. Samsi Sastrawidagda (1894-1963) berpendidikan Sekolah Dagang Tinggi (Handels Hooge School) Rotterdam dan meraih gelar Doktornya tahun 1925 dengan desertasi “De Ontwikkeling v.d. handels politik van Japan”. Bersama Ir. Soekarno ia aktif dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung sejak tahun 1927 dan aktif pula dalam Perhimpunan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Di masa pendudukan Jepang ia termasuk dalam kelompok pergerakan yang memilih jalan kooperatif dengan penguasa Jepang, ia duduk dalam Majelis Pertimbangan “Poesat Tenaga Rakjat” (Poetera) yang didirikan oleh Soekarno-Hatta tahun 1941 dan menjadi anggota Tyuuoo Sangi In (semacam Dewan Penasehat Pemerintah) pimpinan Soekarno-Hatta. Seperti halnya Soekarno-Hatta dan Soebardjo, Dr. Samsi juga mempunyai hubungan erat dengan kelompok perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pimpinan Laksamana Maeda yang dikenal bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia dan di Surabaya ia akrab dengan Laksamana Shibata Yaichiro. Di masa akhir pendudukan Jepang ia menjadi Kepala Kantor Tatausaha dan Pajak di Surabaya. Sebagai anggota Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ia hadir menyaksikan perumusan dan ditandatanginya naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dr. Samsi lah pemimpin Surabaya yang pertama kali menemui Laksamana Shibata membicarakan masalah yang dihadapi Indonesia merdeka (buku Shibata Yaichiro “Surabaya After the Surrender” 1986). Sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet RI pertama (kemudian digantikan oleh Mr. Maramis), Dr. Samsi mempunyai peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan RI. Ia memperoleh informasi bahwa di gedung Bank Escompto Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Karena hubungannya yang dekat dengan para pemimpin pemerintahan Jepang di Surabaya ia berhasil membujuk mereka, perlunya uang tersebut diserahkan pada pemerintah RI. Suatu rekayasa kemudian disepakati, agar BKR mengambil dana tersebut dengan cara “kekerasan”. Mohamad Mangundiprodjo sebagai “bendahara” BKR, ditugaskan oleh Mustopo untuk “menggedor” bank tersebut.

Operasi “penggedoran” berjalan lancar berpeti-peti uang gulden dalam waktu singkat berhasil dipindahkan dari Bank itu ke Markas BKR gedung HVA (sekarang gedung PTP Jalan Merak). Menjelang pendaratan tentara Inggris di Surabaya, Mohamad memindahkan uang tersebut ke luar kota, dititipkan pada seorang haji di Porong, Sidoarjo, kenalan baik Mohamad. Baik Pak Haji maupun sopir dan pengawal Mohamad, mereka tak mengetahui bahwa di dalam peti-peti tersebut tersimpan uang jutaan gulden. Operasi “penggedoran” tersebut semula dirahasiakan, hanya diketahui oleh Dr. Samsi, Mustopo, Mohamad dan Syamsul Arifin wartawan Antara di Surabaya. Di kemudian hari Mohamad dan Mustopo baru mengungkapkan, bahwa uang hasil “penggedoran” itu berjumlah Rp 100.000.000,00. Dari jumlah tersebut yang Rp 35.000.000,00 disumbangkan pada pemerintah pusat RI, sedangkan selebihnya dijadikan dana perjuangan melalui organisasi Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia (DPRI) di Surabaya.

Syamsul Arifin menilai kejujuran ketiga pemimpin itu tak diragukan, kalau mereka mau, mereka akan bisa menjadi jutawan pertama di Indonesia, tetapi nyatanya hal itu tak terjadi. Kedudukan Mohamad sebagai bendaharawan BKR yang dipercaya memegang dana sebesar itu mempunyai dampak tidak kecil dalam perjalanan hidup Mohamad selanjutnya. Dampak positifnya, karena posisi itu Mohamad mempunyai pengaruh besar di kalangan organisasi bersenjata di Surabaya. Sebab melalui dialah, tiap pasukan di Surabaya bisa memperoleh bantuan keuangan. Juga adanya dapur umum yang tersebar di masa darurat, sebagian juga memperoleh dana dari uang rampasan tadi. Posisinya itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Mohamad kemudian dipilih menjadi ketua Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia (DPRI).

Mengalami kejadian penerjunan mata-mata Mastiff Carbolic (Belanda) yang mendompleng RAPWI, peristiwa pengibaran bendera Belanda di Oranje Hotel, percobaan perwira Belanda P.J.G, Huiyer merebut kekuasaan pasukan Jepang di Surabaya, yang semua cenderung usaha Belanda kembali menjajah Indonesia mendompleng pasukan Inggris, maka pendaratan pasukan Inggris pada 25 Oktober 1945 di pelabuhan Surabaya yang bermaksud untuk menjemput para tawanan baik orang asing yang ditawan Jepang maupun orang Jepang yang sudah tidak beerkuasa lagi di Indonesia, tidak disambut dengan baik oleh orang-orang Surabaya. Pasti didomplengi orang-orang Belanda.

Maka, pada tanggal 24 Oktober 1945, sebelum pasukan Inggris mendarat di Surabaya, Komandan TKR Jawa Timur, Drg. Mustopo mau mengadakan pidato radio di RRI Surabaya menolak kedatangan pasukan Inggris itu. Sebelum pidato di radio, sejak siang harinya (tanggal 24 Oktober) Drg Mustopo mengendarai mobil terbuka berkeliling kota berkoar-koar: “Nica! Nica! Jangan mendarat! Kamu tahu aturan! Kamu tahu aturan, Inggris! Kamu sekolah tinggi! Kamu tahu aturan, jangan mendarat!” Koar-koar tadi tidak hanya diteriakkan pada siang hari ketika berkeliling kota, melainkan juga isi pidato radionya pada malam harinya di RRI Surabaya. Pidato yang disebutkan penting tidak ditujukan kepada masyarakat Surabaya, melainkan langsung kepada pihak Sekutu (pasukan Inggris Brigade 49 dibawah Komando Brigadir AWS Mallaby).

Sejak waktu itu badan-badan perjuangan dan masyarakat Surabaya telah bersiap-siap akan menolak pendaratan pasukan Mallaby tadi. “Siaaap! Siaaap!” teriak Arek-arek Surabaya sepanjang hari. Kemudian hari, teriak-teriak Siaap! pemuda Surabaya itu menjadi periode sejarah, “Zaman Siap!”.


Tentara Inggris berpatroli di Surabaya


Jenderal AWS. Mallaby


Coretan rakyat Surabaya menolak kedatangan Inggris 

Melalui berbagai perundingan dengan pihak pemerintah Kota Surabaya, namun dengan memegang tegas semboyan “We don’t take any orders from anybody”, Kamis tanggal 25 Oktober pasukan Inggris Brigade 49 India berkekuatan 6.000 orang dibawah pimpinan Brigadir AWS Mallaby mendarat di Surabaya, dan terus merasuk berkelompok regu-regu bersenjata lengkap ke tempat-tempat strategis di gedung-gedung di tengah Kota Surabaya Misalnya di kompleks sekolah HBS (SMA Wijayakusuma), Gereja dan polisi Bubutan, Kantor Pos Besar, Kantor Listrik Gemblongan, Gedung Internatio (Internationale Crediet en Handelsvereniging ‘Rotterdam’ = kantor persatuan dagang ‘Rotterdam’, pada zaman Orde Lama ditempati Perusahaan Dagang Negara Aneka Niaga, letaknya menghadap taman ~ dijadikan terminal bus ~ sebelah barat Jembatan Merah), Gedung BPM (Pertamina jl. Veteran), Kantor Kereta Api depan stasiun Semut, RRI Simpang, Konsul Inggris di Kayun, Hotel Brantas, Kompleks Rumah Sakit Darmo.

Cara mereka menduduki gedung-gedung itu seringkali dengan sangat kasar mengusir penghuni yang ada, seperti yang terjadi di markas Polisi Bubutan, RRI Surabaya, sehingga menimbulkan kurban jiwa. Tembok penjara Kalisosok bahkan dibobol, dan tawanan bangsa Belanda di situ (termasuk P.J.G.Huiyer, dilepas atau ditarik bergabung dengan pasukan Mallaby. Sekian kali diadakan perundingan antara pihak pasukan Mallaby dan pihak Indonesia, selalu saja pihak Inggris tidak menepati janji apa yang telah dimupakati. Misalnya disepakati pasukan Inggris tidak boleh masuk kota, hanya menduduki daerah pelabuhan dan tempat-tempat penampungan tawanan yang mau diangkut, ternyata pasukan Inggris menduduki gedung-gedung strategis di kota.

Maka diselenggarakan lagi perundingan di Kayun, pihak Indonesia diwakili antara lain oleh Drg. Mustopo dan Residen Sudirman, pihak Inggris oleh Brigadir Mallaby, namun pihak Inggris keras kepala meneruskan mendudukkan pasukannya terus menyusup ke tengah kota. Mengetahui hasil perundingan itu, maka badan-badan perjuangan, BKR dan Polisi menganggap bahwa tindakan Inggris harus dicegah. Segera diadakan rapat konsolidasi kekuatan yang diselenggarakan oleh badan-badan perjuangan (PRI, Barisan Hizbullah, BKR Pelajar, API, PRISAI=Pemuda Republik Indonesia Sulawesi, BPRI, BBI dan lainlain), BKR dan Polisi untuk menghadapi pasukan Inggris.

Maka pencegahan merembesnya pasukan Inggris masuk kota harus dihentikan, harus diusir dari gedung gedung yang diduduki. Semua setuju, dan persiapan pun dilakukan. Drg. Mustopo selaku “Menteri Pertahanan” tidak dapat tinggal di Markas Besarnya, melainkan banyak berkeliling kota, menggerakkan massa agar bersiap menghadapi Sekutu dengan NICA-nya. (NICA, dibaca nika, = Netherlands Indies Civil Administration, adalah aparatur pemerintahan Belanda di Indonesia yang dibentuk oleh H.J. van Mook di pengungsian ketika Tanah Hindia Belanda alias Indonesia diduduki oleh Jepang. Ketika Jepang kalah, maka NICA berencana kembali menjadi aparatur pemerintahan di Indonesia, alias Belanda kembali menjajah Indonesia. Dan itu di Surabaya sudah mulai tercium dengan diterjunkannya rombongan Mastiff Carbolic di Gunungsari (sekarang jadi Lapangan Brawijaya, zaman sebelum Perang Dunia II jadi Lapangan Terbang Darmo), peristiwa pengibaran bendera di Hotel Oranje, usaha perebutan kekuasaan pelabuhan oleh Kaptein P.J.G. Huiyer, yang semuanya membuat rakyat maupun pemerintahan di Surabaya menolak sengit kehadiran orang-orang Belanda. Mereka pasti orang NICA yang mendompleng pada pasukan Inggris).

Tingkah laku Mustopo ini benar-benar membuat massa rakyat tergerak bersiap, namun sebagian orang menilai tingkah laku Mustopo sudah kurang waras.

Minggu pagi tanggal 28 Oktober 1945 suasana Kota Surabaya lengang. Para pemuda anggota badan perjuangan, polisi dan TKR telah bersiap-siap melaksanakan perintah perang dari Komandan TKR Karesidenan Surabaya, R.M.Yonosewoyo, yang mulai berlaku pukul 04.00. Segenap penduduk bertekad bulat, bersatu padu dengan tekad yang satu: mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang baru saja merdeka.
Pendaratan pasukan Mallaby yang dalam tiga hari itu telah merasuk ke gedung gedung kota secara beregu, dianggap telah menyederai kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Kota Surabaya yang merdeka. Namun gelagatnya, pasukan Inggris tidak menggubris persiapan penyerbuan rakyat Surabaya itu. Mereka tetap melaksanakan perintah Mayor Jendral D.C. Hawthorn sebagai ‘Commander Allied Land Forces Java, Madura, Bali, Lombok’, atasan Mallaby berkedudukan di Jakarta, “Persons seen bearing arms henceforth are liable to be shot”.

Wiwiek Hidayat, seorang wartawan Antara, pada pagi hari Minggu 28 Oktober itu bersama beberapa teman bertugas menyelamatkan alat-alat pemancar radio. Alat-alat itu diambil dari gudang di Kebalen Wetan (seberang jalan sebelah timur Gedung Museum Sampoerna sekarang), harus disembunyikan ke luar kota. Dalam perjalanan mereka singgah di Markas PRI di Simpang Club (Balai Pemuda) di sini bertemu dengan Drg.Mustopo. Pada waktu itu Komandan TKR Jawa Timur itu melepaskan pakaian seragamnya dan dengan pakaian preman hendak mempersiapkan perang gerilya. Melihat gelagat pasukan Inggris bernafsu untuk menguasai Kota Surabaya, maka segera Mustopo mengadakan persiapan untuk menghadapinya. Setelah mengadakan rapat di markasnya di gedung HVA (Jalan Merak sekarang) dia tinggalkan tempat itu. Untuk kamuflase diperintahkan Suyatmo (adik Mustopo) dan staf, terdiri dari para mahasiswa dan pembantu lainnya agar tetap tinggal di tempat. Dia sendiri bersama mahasiswa Sudibio, pergi ke luar kota. Singgah dulu di Markas PRI untuk menjelaskan maksudnya tentang perang gerilya. Di situ ia bertemu dengan Wiwiek Hidayat.

Dan selanjutnya Mustopo dengan rombongannya menuju ke tempat Suwondo Botak di belakang pabrik kulit Wonocolo (sekarang gedung Jatim Expo).
Wiwiek Hidayat dengan Sulaimanhadi meneruskan perjalanan ke Cakarayam Mojokerto. Di tempat Suwondo Botak beberapa orang kepercayaan Mustopo dipanggil. Untuk urusan di laut Atmaji, di darat Katamhadi, para pemuda (Sumarsono dari PRI, Sutomo alias Bung Tomo dari BPRI) dan pelajar untuk pengacauan ditugaskan Suwondo Botak sebagai koordinator. Mereka semua diberi instruksi tentang strategi yang disebut “Himitsu senso sen” (perang rahasia) dikombinasikan dengan “senga sen” (perang kota), maksudnya “perang rahasia dan gerilya” serta kode-kode yang diperlukan dalam perlawanan terhadap pasukan Sekutu.
Para anggota TKR yang mendengarkan melakukan instruksi itu sedapat mungkin, termasuk Ketua TKR Laut Atmaji, yang berkuasa di seluruh pangkalan angkatan laut Ujung dan Modderlust (kemudian jadi PT PAL).

Selesai memberi instruksi dan para pendengarnya sudah pada meninggalkan tempat, Mustopo mengenakan pakaian serba hitam bersiap-siap untuk memeriksa pertahanan perang gerilya di daerah, terutama Gresik (tempat asal batalyonnya). Ia berada di jalan besar Wonocolo, ketika dari jurusan selatan datang mobil Wiwiek Hidayat. Mobil dihentikan. Dan Mustopo memerlukan tenaga wartawan untuk mengikuti muhibahnya. Wiwiek Hidayat dan Sulaimanhadi turun, lalu mengikuti Mustopo yang telah menyiapkan mobilnya. Bersama mahasiswa Sudibio serta seorang pemuda BKR Wonocolo mereka berangkat. Mobil dikemudikan sendiri oleh Mustopo. Selain empat orang pengikutnya, Mustopo juga membawa uang Jepang ditempatkan pada sekotak kayu penuh. Setelah mencapai jalan besar, mobil tidak membelok ke kanan (utara, menuju Gresik liwat kota Surabaya), tetapi ke jurusan Sidoarjo. Pada saat itu sudah terdengar letusan bunyi senapan dan ledakan-ledakan senjata api. Perang melawan pasukan Mallaby sudah mulai. Wiwiek Hidayat yang baru datang dari bertugas mengungsikan pemancar radio ke Cakarayam Mojokerto, kini kembali menelusuri jalan yang tadi ditempuhnya.

Malam itu kedudukan pasukan Inggris yang berada di gedung-gedung tengah kota Surabaya mulai diserbu oleh massa rakyat Surabaya, baik yang telah bergabung pada badan-badan perjuangan, maupun yang belum atau tidak bergabung dengan kesatuan apapun. Karena keadaannya seperti sebutir gula pasir (pasukan Inggris di gedung yang diduduki) dikerumuni oleh semut (massa Surabaya yang mengepungnya), maka sekalipun massa tidak membawa senjata yang memadai, para pasukan Inggris itu tercepit, Tidak bisa mendapat bantuan dari luar gedung, apa tambahan balatentara, peluru, air atau makanan, sedang keluar dari gedung pun tidak mungkin. Keluar dari gedung mau ke mana, sebab selain gedung dikepung oleh rakyat Surabaya, jalan-jalan di kota pun dihalangi dengan segala macam: meja, almari, pohon tumbang, dan juga kerumunan massa di mana-mana, Pasukan Inggris yang berada di gedung-gedung pasti akan hancur.

Melihat keadaan ini, maka Brigadir Jenderal Mallaby panik. Minta pertolongan ke induk pasukan di Jakarta. Bantuan balatentara tidak mungkin untuk mencegah kehancuran, yang paling penting harus mendatangkan orang Indonesia yang paling berpengaruh terhadap rakyat Surabaya, agar dengan pengaruhnya tadi orang Indonesia itu bisa memerintahkan rakyat Surabaya untuk membebaskan pasukan Inggris dari pengepungan maut itu. Siapa? Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Yah, itulah yang harus dilakukan oleh Panglima Divisi India 23 Mayor Jenderal D.C.Hawthorn di Jakarta, panglima Sekutu yang membawahi Pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Jadi sekalipun tentara Sekutu belum mengakui Negara Republik Indonesia, mereka terpaksa minta pertolongan Presiden Republik Indonesia Soekarno untuk mendamaikan pertempuran di Surabaya. Direncanakan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn sendiri akan hadir di Surabaya, sedang dari Indonesia Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta, Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin. Presiden Soekarno (dan rombongan) diharapkan datang ke Surabaya secepatnya, dijanjikan datang esok pagi (tanggal 29 Oktober 1945) untuk menghentikan tembak-menembak, sedang Jenderal Mayor D.C.Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945 untuk merundingkan kerjasama pemulangan tawanan perang dan interniran dari Surabaya/Jawa Timur oleh tentera Sekutu.

Perjalanan Mustopo dengan kawan-kawannya malam itu (28 Oktober 1945) dari Sidoarjo, lalu menuju ke Krian dan Mojokerto. Singgah pada beberapa pos penjagaan, di situ “Menteri Pertahanan RI” itu mengobarkan semangat rakyat dan menerangkan dengan panjang lebar mengenai ‘himitsu senso sen’ yang digabungkan dengan ‘seng sen’, serta menerangkan kode-kode yang diperlukan untuk melawan pasukan Sekutu. Ketika sedang mengontrol pos TKR di dekat Mojokerto Mustopo pingsan kelelahan. Sekitar jam 02.00
dini hari tanggal 29 Oktober 1945 ia dibangunkan oleh orang-orang berikat kepala merah. Orang-orang ini melucuti dan memborgolnya. Demikian juga nasib ke empat orang temannya yang mengikutinya, yaitu Sulaimanhadi, Sudibio, Wiwiek Hidayat dan seorang anggota BKR Wonocolo. Mereka diangkut dengan truk dan dibawa ke sebuah pabrik di luar kota Mojokerto. Menurut berita yang dilacak kemudian seyogyanya mereka yang ditawan itu akan dibunuh pagi itu juga. Enam orang yang sudah ada di tempat itu telah ditembak mati terlebih dahulu.

Mustopo diminta datang di rumah pemimpin yang menangkapnya. Dan terus dibawa kepada komandan mereka yang ternyata Sabarudin. Sabarudin adalah Mayor PTKR yang bermarkas di sekitar Sidoarjo. Mayor ini pernah menjadi anak buah Mustopo ketika di Markas Peta Buduran (pimpinan Daidancho Mohamad Mangundiprodjo). Kata orang (salah satunya Wiwiek Hidayat) sebelum zaman Revolusi Sabarudin seorang yang penakut dan pengecut. Tetapi pada zaman perjuangan tiba-tiba jiwanya beringas, ia menjadi seorang pemberani dan kejam, sayang keberaniannya dan kekejamannya itu tidak ditujukan kepada pasukan atau orang asing, melainkan diluapkan di daerah pertahanan bangsa sendiri sehingga yang menjadi korban nafsu haus darahnya adalah bangsa dan kawan sendiri. Kepada Mustopo dia berkata, “Daidanco Dokter Mustopo, maaf, sebagai petugas algojo dipemerintahkan oleh atasan saya untuk menghabisi nyawa Bapak. Akan tetapi, saya orang Aceh yang ber-Tuhan dan tahu berterimakasih. Dulu waktu saya akan dikirim ke Bogor untuk dibunuh oleh Jepang, Bapak menolong dan membebaskan saya. Bapak jangan takut. Bapak saya lindungi.”

Saat itu Mayor Sabarudin adalah komandan PTKR wilayah Karesidenan Surabaya yang daerahnya meliputi Sidoarjo, Mojokerto, Gresik. Di jajaran TKR Karesidenan Surabaya, Komandannya adalah R.M. Yonosewoyo. Jadi atasan Sabarudin yang dimaksud memerintahkan Sabarudin untuk membunuh Drg. Mustopo adalah R.M. Yonosewoyo. Alasannya adalah, pada saat itu Mustopo selaku pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur secara mental tidak sehat lagi sehingga menyulitkan bawahan dalam melaksanakan tugasnya. Tahu bahwa Wiwiek Hidayat seorang wartawan, Sabarudin langsung membawanya ke Sidoarjo, di lepas di sana. Dilepas dengan ancaman, kalau sampai ia menceritakan pengalamannya dan membocorkan peristiwa di Mojokerto itu, Sabarudin dan anak buahnya akan membunuhnya. Wiwiek Hidayat segera menuju ke Surabaya. Namun tidak mudah masuk ke Surabaya melalui Jembatan Wonokromo. Dan selanjutnya untuk sampai di pusat kota, di rumahnya, ia harus berputar-putar dulu.

Sementara itu esok hari tanggal 29 Oktober 1945, Presiden Soekarno beserta rombongan mendarat di Morokrembangan. Karena telah berkali-kali pihak Inggris melanggar janji permupakatan, maka para pejuang yang berada di lapangan terbang Morokrembangan dioncori oleh Bung Tomo melalui siaran Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya miliknya yang sudah begitu bergelora dalam menggalang mengepungan pasukan Inggris malam harinya, “Kalau yang mendarat bukan Bung Karno, tembak mati saja!” Karena yang mendarat betul Presiden Soekarno dan rombongan, maka segera dijemput oleh para pejuang Surabaya, dengan mobil tertutup sambil mengibarkan bendera Merah-Putih, iring-iringan mobil melewati jalan-jalan berliku dan kadangkadang dihujani peluru menuju ke rumah kediaman Residen Sudirman di Van Sandicctstraat (sekarang Jalan Residen Sudirman).

Di sana Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta, Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin, mendengarkan situasi di Surabaya serta mengatur siasat apa yang harus dirundingkan esok harinya dengan Panglima Sekutu Mayor Jenderal D.C.Hawthorn. Pada waktu itu Wiwiek Hidayat bisa bergabung di situ. Sempat berwawancara langsung dengan Presiden Soekarno, ia menanyakan siapakah sebenarnya Menteri
Pertahanan Republik Indonesia. Sebab sudah berkali-kali didengar bahwa Mustopo mengaku dirinya sebagai Menteri Pertahanan. Presiden Soekarno menjawab, “Sebetulnya ini rahasia. Dan adalah satu taktik Menteri Pertahanan dinamakan Menteri Keamanan. Yang benar Menteri Pertahanan atau Menteri Peperangan, langsung saya pegang sendiri”.

Untuk persiapan perundingan dengan Panglima Divisi India 23, Mayor Jenderal Hawthorn besok pagi, beberapa pejabat pemerintahan Republik Indonesia di Surabaya serta pucuk pimpinan badan-badan perjuangan diundang oleh Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin untuk bertemu di tempat kediaman Gubernur di Simpang siang hari itu juga. Pada kesempatan itu Mr. Amir Syarifuddin mempertanyakan adanya kemungkinan provokasi dari fihak Belanda yang akan menyulitkan kedudukan Indonesia. Juga tentang
kedudukan umat Kristen di Surabaya. Bung Tomo yang juga datang bersama Sumarsono (PRI) menjelaskan bahwa rakyat Surabaya telah memahami kelicikan politik Belanda yang suka memecahbelah kesatuan rakyat. Jadi tidak perlu dikhawatirkan perihal perpecahan rakyat karena agama ataupun suku.

Selama perjuangan melucuti senjata Jepang membuka kedok Kapten P.J.G. Huiyer dan bertempur melawan pasukan Inggris, orang Surabaya tidak berjuang sendirian, tetapi bersama-sama dengan seluruh suku bangsa Indonesia di Surabaya. Ada PRISAI yang terdiri dari pemuda Sulawesi, ada API Ambon, ada Mohammad Yasin dari Sulawesi, ada Des Alwi dari Maluku, ada Rustam Zein dari Padang, ada Abel Pasaribu dari Batak, ada Barlan Setiadijaya dari Parahiyangan, ada Rambe dari Minahasa, Andi Aris dari Makasar, Twege keturunan Cina, semua berjuang untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Dalam pertempuran yang sedang berlangsung itu, tidak sedikit pemuda dan pemudi Kristen Indonesia ikut menyerahkan jiwa raga untuk Tanahair Indonesia di tengah-tengah desingan peluru.

Pada kesempatan itu datang pula “Menteri Pertahanan ad interim” Drg. Mustopo. Ia diantar oleh ‘ajudannya’ Sabarudin dan Hamidun, menghadap Presiden Soekarno di Gubernuran. Mustopo melaporkan kelicikan-kelicikan Sekutu dengan memperlihatkan bukti-buktinya. Dia mengenakan pakaian serba hitam dan memakai ikat kepala (bahasa Jawanya iket). Tiap kali ia meraba pucuk iketnya di dahi, dibetulkan letaknya agar tepat di tengah dahi. Setelah melapor ia duduk di lantai sudut ruangan seperti melakukan semedi.

Bung Hatta masuk ke ruangan. Melihat ada orang duduk di sudut, ia bertanya kepada Bung Karno, siapa orang itu. Setelah diberi tahu bahwa dia Mustopo, segera Bung Hatta menegur, “La, ini dia pemberontaknya, ekstrimisnya.”
Mustopo menjawab, “Memang, lebih baik berontak, mati dalam perjuangandaripada dijajah bangsa asing lagi!” sambil menunjuk kepada para perwira dan tamutamu asing di sekelilingnya.

Maka terjadilah perdebatan. Bung Karno melerainya. Kemudian Mustopomenjelaskan perjuangan Arek-arek Surabaya dengan bukti-buktinya untuk mempertahankan kemerdekaan. Akhirnya dengan nada lembut berkatalah Presiden Soekarno, “Sekarang Drg. Mustopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta dengan pangkat Jenderal penuh.” Mustopo bertanya, “Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” Bung Karno menjawab, “Sayasendiri.”

Dari percakapan antara Bung Hatta dan Mustopo tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan sikap antara para pemimpin pusat dengan para pejuang yang berhadapan langsung di lapangan. Perhatikan kembali ucapan Menteri Luar Negeri Akhmad Subarjo yang diakhiri dengan kalimat, “Rakyat Indonesia harus insaf, bahwa perjuangan kita dalam fase sekarang ini ialah perjuangan diplomatik”. Dengan sendirinya perjuangan diplomatik yang bersifat nasional lebih mendapat prioritas daripada menempuh jalan kekerasan di medan. Ucapan Bung Hatta pada tanggal 2 Oktober 1945, “Singkirkan apa yang menggegerkan masyarakat dan yang menimbulkan kesulitan dengan tentera Sekutu,” menyebabkan teguran keras kepada Mustopo tadi. Soekarno-Hatta menghindari kesulitan dengan Sekutu dalam rangka perjuangan di tingkat nasional dan internasional. Pada hakekatnya perbedaan ini terletak pada “How to win the Struggle” di atas “How to win the Battle”.

Orang di daerah mempertahankan setiap jengkal tanah dengan tekad “Lebih baik hancur lebur daripada dijajah kembali”. Sedang pimpinan Pusat dalam rangka strategi nasionalnya bersedia mengorbankan daerah untuk menukarnya dengan suatu keuntungan politik strategis. Ini dilakukan seperti dengan Bandung dalam rangka peristiwa Lautan Apinya. Bandung harus dikosongkan atas instruksi Jakarta untuk kepentingan Sekutu. Karena kurang lihai, maka yang beruntung adalah Belanda. Sekalipun Mustopo berhasil dengan siasat gertak sambal sebagai “Menteri Pertahanan” sehingga diam-diam diakui dengan surat jalan Jaksa Agung Mr. Gatot, tetapi di hadapan Sekutu, Bung Karno tidak segan-segan memecatnya.
Pengorbanan ini dimanfaatkan dalam perundingan yang segera akan dimulai.
(Perundingan awal dengan Mallaby siang itu juga, yang kedua belah pihak. Inggris dan Indonesia, sama-sama menyerukan gencatan senjata, sebab kalau tidak segera diserukan, pasukan Inggris di gedung-gedung kota tentu segera hancur).

Namun setelah pemberhentian tembak-menembak diserukan, tidak efektip, karena seruan tadi tidak bisa didengar oleh pihak-pihak yang bertempur. Mau diserukan lewat siaran radio, gedung Radio Surabaya di Simpang sudah terbakar habis, pasukan Inggris dan Gurkha di gedung dihabisi semua sebagai balas dendam karena telah banyak sekali korban pejuang Surabaya yang semula ditembaki dari gedung RRI tadi. Maka sore itu juga Presiden Soekarno bersama Brigadir AWS Mallaby bersama-sama pergi ke Jalan Mawar, menggunakan radio Pemberontakan Rakyat Surabaya punya Bung Tomo menyiarkan seruan gencatan senjata.

Dengan dipensiunnya Drg. Mustopo dan dipindahkan ke Jakarta, maka jabatan Panglima TKR Jawa Timur secara otomatis digantikan oleh Urusan Angkatan Darat (dan Keuangan) Mohamad Mangundiprodjo. Hal itu tidak dijadikan masalah karena pada peristiwa-peristiwa di Kota Surabaya yang berturut-turut sangat mendesak, secara rajin dan berperan aktif Mohamad (apa pun jabatannya) selalu ikut perkembangan. Dan dengan selalu berpakaian tentara, Mohamad diakui sebagai TKR, yaitu jabatan sebagai Panglima TKR Jawa Timur pengganti jabatan Drg. Mustopo. Dia pulalah yang ditunjuk oleh Kontak Biro Indonesia untuk mengikuti Kapten Shaw (dari Kontak Biro Inggris) pergi menyeberangi lapangan Willemplein (sekarang terminal bemo depan Jembatan Merah Plaza) menuju gedung Internatio diiringi oleh T.D.Kundan sebagai penterjemah pihak Indonesia, juga karena Mohamad Mangundiprodjo mengenakan pakaian TKR resmi. Seperti diketahui, bepergian tiga orang tadi masuk Gedung Internatio untuk menghentikan tembak-menembak, sementara kelompok Kontak Biro baik pihak Indonesia maupun Inggris pada menanti di ujung barat Jembatan Merah.

Setelah ketiganya masuk gedung, ternyata bukan penghentian tembak-menembak, melainkan gencarnya tembakan dari gedung yang terjadi, hingga rombongan Kontak Biro jadi buyar mencari keselamatannya sendiri, Residen Sudirman dan beberapa orang lainnya terjun ke sungai, menyeberang, lalu pulang. TD Kundan bisa melarikan diri keluar gedung sambil berteriak agar para pemuda yang mengepung gedung mencari perlindungan sebelum penembakan gencar dimulai, tetapi Mohamad Mangundiprodjo tertawan di gedung, dan baru keesokan harinya ketika pasukan Inggris di gedung ditarik ke pelabuhan dilepaskan.

Seperti diketahui peristiwa penembakan gencar dari gedung tadi, keesokan harinya (tanggal 30 Oktober 1945) Brigadir Mallaby kedapatan tewas di mobilnya yang kena granat di tempat para rombongan Kontak Biro mestinya pada menunggu.


Pasukan Inggris masuk ke kampung-kampung



Mobil Jenderal Mallaby yang hancur itu


Sebelum terbunuh....


Gedung Internatio


Makam Jenderal AWS Mallaby di Jakarta War Cemetery

Haji Raden Mohamad Mangundiprodjo`selaku orang kedua setelah Mustopo di eselon TKR Propinsi Jawa Timur, yaitu kedudukan Mohamad selaku Kepala Urusan Angkatan Darat (dan selaku urusan keuangan menyulih Suryo yang tewas dipancung di Sidoarjo) secara otomatis dirinya berkewajiban mengisi kevakuman pimpinan itu dengan mewakili Mustopo dalam tugas-tugas yang mendesak. Hal ini terlihat, ketika pada tanggal 31 Oktober 1945 diselenggarakan perundingan gencatan senjata dengan pihak tentara Inggris, TKR yang selama itu diwakili oleh Mustopo dalam setiap perundingan dengan Inggris, kini diwakili oleh Mohamad, sedang Sungkono hadir selaku komandan BKR Kota Surabaya. Juga ketika kemudian dibentuk Kontak Biro, dari pihak Indonesia juga Mohamadlah yang duduk mewakili TKR.

Senioritas Mohamad selaku pimpinan TKR juga diakui, ketika dalam rapat pembentukan DPRI di Wonocolo 15 November 1945 ia terpilih menjadi Ketua Umum DPRI Surabaya, sedang Sungkono terpilih sebagai Kepala Markas Pertahanan Kota. Fakta-fakta tersebut dan mungkin juga alasan-alasan yang disebut Sumarsono (pemimpin PRI Surabaya) dalam rekomendasinya pada Menteri Pertahanan RI menjadi bahan pertimbangan kuat bagi Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta untuk memilih dan menetapkan Mohamad menjadi Kepala Komandemen TKR Jawa Timur, dan dalam waktu yang sama juga mengangkat Kepala TKR Karesidenan Surabaya (R.M.Yonosewoyo) menjadi Kepala Divisi VII TKR Karesidenan Surabaya, masingmasing dengan pangkat Jenderal Mayor.

Tetapi di pihak lain, pimpinan eselon TKR Karesidenan Surabaya, sejak semula beranggapan, bahwa masalah pengganti Mustopo perlu dicari melalui jalur pemilihan yang “demokratis” atau azas “Kedaulatan Kesatuan”. Atas usaha mereka pada tanggal 4 November 1945 diselenggarakan rapat perwira di Markas TKR Jawa Timur (markas Mustopo dahulu), di mana Mohamad selaku perwira TKR Propinsi juga hadir. Rapat yang digambarkan sebagai “panas” itu pada akhirnya memilih Kepala TKR Karesidenan Surabaya (R.M.Yonosewoyo) menjadi pengganti Mustopo dengan kedudukan sebagai Kepala Markas Pertahanan Jawa Timur. Pada kesempatan itu, juga diterima usul Mohamad, agar hasil keputusan rapat tersebut dilaporkan dahulu ke Markas Tertinggi
TKR di Yogya. Atas dasar hasil keputusan rapat di Markas TKR Jawa Timur itulah maka Kepala TKR Karesidenan yang secara resmi telah diangkat menjadi Kepala Divisi VII Surabaya, terang-terangan menolak keras eksitensi Mohamad selaku Kepala Komandemen TKR Jawa Timur karena Mohamad dinilai telah mengingkari hasil keputusan rapat tersebut. R.M.Yonosewoyo kemudian mengadukan Mohamad ke Markas Tertinggi (MT) TKR di Yogya. R. Oerip Soemohardjo selaku Kepala MT TKR, menolak mencampuri urusan kedua perwira tinggi tersebut dan mempertanyakannya mengapa ia (R.M.Yonosewoyo) tak bisa menyelesaikan sendiri masalah tersebut.

Jawaban Oerip itu ditafsirkan oleh Kepala Divisi VII (R.M.Yonosewoyo) sebagai isyarat baginya untuk menindak Jenderal Mayor Mohamad Mangundiprodjo. Tanpa berpikir panjang lagi ia spontan memerintahkan kepada Sabarudin yang turut serta ke Yogya untuk menangkap Mohamad. Di kemudian hari R.M.Yonosewoyo mengakui, bahwa tindakannya itu amat dipengaruhi oleh emosi sehingga terseret oleh tindakan ekstrim Sabarudin yang kebetulan juga mempunyai latar belakang tidak senang pada Mohamad. 

 
gedung Lindevsteves


Sejak menjadi “bendahara” BKR Jawa Timur menyulihi jabatan Suryo yang tewas, sampai jadi Ketua DPRI, Mohamad juga mengaku telah tak senang dengan sepak terjang Sabarudin yang sering bertindak brutal ditakuti rakyat. Di samping itu juga ada permasalahan keuangan yang mengganjal hubungan mereka. Di antara para komandan pasukan di Surabaya, Sabarudinlah yang paling sering datang ke markas Mohamad untuk meminta uang dana perjuangan.

Staf Mohamad melaporkan bahwa Sabarudin telah menyelewengkan dana perjuangan untuk kepentingan pribadinya. Waktu itu telah tersebar luas berita, bahwa Sabarudin menawan puluhan wanita Belanda yang diperlakukan sebagai harem, sehingga banyak di antara para tawanan itu hamil. Kabar burung mengatakan bahwa Sabarudin beristeri dua, istri pertama orang Sidoarjo, isteri kedua orang Belanda, dari keduanya mereka masing-masing punya seorang anak.

Pada suatu hari ketika Sabarudin datang lagi ke Markas DPRI untuk minta uang, Mohamad menolak memberinya. Mohamad baru memberinya (lagi) uang apabila Sabarudin mau mempertanggungjawabkan uang yang telah diterimanya. Atas penolakan Mohamad itu, Sabarudin marah dan mengancam Mohamad. Sejak itu di luar Sabarudin lalu menyebarkan fitnah, menuduh Mohamad seorang yang korup dan masa lampau Mohamad sebagai pangereh praja Belanda diungkit-ungkit. Mohamad menilai tingkah laku Sabarudin itu sudah kelewat batas dan berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya, melainkan juga berbahaya bagi ketahanan pertahanan garis depan.

Kesabaran Mohamad habis waktu diperoleh laporan bahwa Sabarudin telah menyekap Bupati Sidoarjo dan Mojokerto. Mohamad menilai Sabarudin telah menjadi pengacau. Karena itu selaku ketua DPRI, Mohamad lalu membuat Surat Perintah untuk menangkap Sabarudin. Oleh Sabarudin Surat Perintah itu lalu dibawa ke MBT dilaporkan kepada Pak Oerip. Pak Oerip kemudian menelepon Mohamad, meminta agar mencabut kembali perintahnya.
Jawabnya, selaku tentara ia memang wajib menaati perintah Pak Oerip selaku atasan, tetapi sebagai ketua DPRI yang bertanggung jawab atas pertahanan Surabaya, ia terpaksa menolak perintah tersebut. Pak Oerip kemudian memerintahkan Mohamad agar segera datang ke Yogyakarta guna menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya.
Hari itu juga Mohamad memutuskan untuk segera berangkat ke Yogyakarta.

Akibat meninggalnya Mallaby, Inggris menjadi kalap dan marah besar. Berikut ini beberapa gambar-gambar yang terjadi pada saat itu.

Ada Sherman di Surabaya, jadi siapa bilang MBT tidak cocok di Indonesia.


Rumah Penduduk yang jadi korban


Tapi banyak juga tentara Inggris yang ketangkap

Nenek moyang S-60 beraksiReruntuhan senjata PSU TKR setelah dihancurkan Inggris

Tanjung perak di bom



Yang bombardir Surabaya dari laut, HMS Caesar dan HMS Carron


Mosquito beraksi dari Lanud Morokrembangan






Tapi pejuang dan rakyat Surabaya pantang menyerah, tetap melawan sampai mati


Hasilnya? Satu Jenderal Inggris mati lagi....Jenderal Guy Loder Symonds. Harimau Birma yang KO karena masuk sarang Macan Edan.

Bila kita amati ada dua versi cerita pertikaian antara HR Mohamad dan Yonosewoyo, bagi yang belum tahu Mayor Jenderal HR. Mohamad adalah salah satu tokoh pendiri TKR yang nanti akan bermetamorfosa menjadi TNI. Beliau adalah ayah dari Letjen (pur) Himawan Sutanto, salah satu tokoh sesepuh TNI yang dihormati. Nama HR. Mohamad diabadikan menjadi salah satu nama jalan Protokol di Surabaya. Kalau sering ke Surabaya mesti pernah lewat jalan HR. Mohamad (dari Jalan Sungkono mau ke Tol).

Versi Mohamad sama sekali tak mengkaitkan perkaranya dengan pribadi Kepala Divisi VII (R.M.Yonosewoyo) dan permasalahan penggantian pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur, ia menekankan sumber kejadian semata-mata hanya berkaitan dengan Sabarudin. Sedang versi R.M.Yonosewoyo, ia memusuhi Mohamad dikaitkan dengan kasus penggantian pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur (perebutan kekuasaan). Sementara itu, Sungkono yang sejak semula berdiri di luar dua kubu yang berselisih, pada akhirnya dipercaya MBT untuk menggantikan R.M.Yonosewoyo menjadi Panglima Divisi. Dan ketika divisi-divisi TKR di Jawa Timur kemudian dilebur jadi satu divisi, maka Sungkono pulalah yang diangkat menjadi Panglima divisinya.

(Ada tiga divisi TKR di Jawa Timur yang dilebur jadi satu menjadi Divisi Brawijaya, yaitu Divisi Brawijaya, Divisi Ranggalawe dan Divisi Narottama. Demikian juga Siliwangi merupakan gabungan dari Divisi Tirtayasa, Siliwangi dan Sunan Gunung Jati. Divisi Diponegoro merupakan gabungan dari Divisi Diponegoro, Panembahan Senapati, sebagian dari Ranggalawe yang ada di sebelah barat bengawan solo dan sebagian dari Sunan Gunung Jati yang ada di Tegal dan Purwokerto)

Kepercayaan itu diperoleh karena secara de facto di Surabaya, sejak semula memang Sungkonolah sesungguhnya yang menjadi orang kuat TKR setelah Mustopo. Menurut sinyalemen A.H.Nasution, waktu itu jalannya perintah TKR bukan dari atas ke bawah, melainkan dari bawah ke atas. Perintah dan keputusan Markas Tertinggi TKR untuk mengangkat Mohamad menjadi Kepala Komandemen TKR Jawa Timur ternyata tidak bisa berjalan karena berbenturan dengan apa yang disebut A.H.Nasution sebagai “Kedaulatan Kesatuan” (Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Bandung, Disjarah AD & Angkasa, 1977).

Demikianlah, sore itu juga Mohamad jadi berangkat ke Yogya. Kepergiannya naik mobil hanya disertai ajudan dan Kapten Susilo dan sopir Kurdi. Kalau mau, Mohamad sebenarnya juga bisa membawa pasukan kawal yang kuat, tetapi hal itu pantang dilakukannya. Sebab perbuatan demikian menurutnya hanya menunjukkan rasa tak percaya pada kekuatan diri sendiri.

Perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta biasanya lewat Madiun, karena jalan rayanya berkondisi bagus. Tetapi bila ingin menghemat waktu, bisa lewat jalan terobosan Caruban-Ngawi, tanpa lewat Madiun. Jalannya kurang baik, tetapi lebih pendek jaraknya. Mohamad memilih jalan yang lebih singkat.
Di tengah perjalanan antara Caruban-Ngawi, dari jauh Mohamad melihat ada sebuah mobil tentara berhenti. Pengendaranya melambaikan tangan memberi isyarat agar mobil Mohamad berhenti. Seru mereka, “Sopir turun, tolong perbaiki mobil kami yang mogok!” Mohamad melihat gelagat yang kurang baik karena orang yang menyetop mobilnya itu ternyata anak buah Sabarudin. Lalu perintahnya pada Kurdi, “Jangan turun!”

Merasa perintahnya diabaikan, anak buah Sabarudin lalu mendekati mobil Mohamad. Ketika dilihatnya ada Mohamad di dalam mobil, ia nampak terkejut. Menghadapi detik-detik yang menegangkan itu, tangan Mohamad telah siap meraba pistolnya. Sudah bulat tekadnya, “Kalau mereka sampai menembak, tak mau saya mati sendirian. Biarlah kami sama-sama ke neraka”. Demikian pikir Mohamad saat itu.

Detik itu juga Mohamad memerintah Kurdi, “Jalan!”. Kurdi yang juga punya firasat ada bahaya segera tancap gas dan mobil merekapun melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Ternyata mobil anak buah Sabarudin tadi tidak mengejar. Jadi rupanya memang benar-benar mogok.
Hari telah magrib ketika mobil Mohamad sampai di alun-alun Ngawi dan lampu mobil pun telah dinyalakan. Mendadak di keremengan senja Mohamad melihat berderetderet konvoi mobil Sabarudin diparkir. Terdengar kemudian teriakan keras, “Hei, itu mobilnya sudah datang!” Mungkin yang dimaksud mereka adalah mobil temannya yang mogok tadi. Tetapi ketika mobil yang dimaksud tidak berhenti dan kemudian dikenal bahwa mobil yang berlalu itu mobil Mohamad, mereka segera mengejarnya.

Terjadilah kebut-mengebut tetapi karena mobil mereka mobil tua, Ford tahun 1935, tidak mampu menandingi mobil Mohamad yang lebih muda, Buick tahun 1939. Setelah sampai di Kecamatan Ngaglik, baru mereka menghentikan pengejarannya. Hari telah larut malam ketika Mohamad tiba di Yogyakarta. Ia langsung menuju ke Markas Polisi Tentara (PT), memberi informasi bahwa Sabarudin dengan pasukannya sedang bergerak menuju ke Yogya. Maksud Mohamad dengan informasi tadi, agar PT secepatnya bisa bersiap siaga.

Esoknya, sekitar jam 09.00 pagi, dengan mengendarai mobil Mohamad memasuki halaman MBT di Jalan Gondokusuman. Begitu melewati pintu gerbang dan pos penjagaan, ia segera sadar bahwa dirinya kini telah masuk perangkap Sabarudin. Markas Besar ternyata telah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Sabarudin. Pasukan kawal MBT telah dibuat tak berdaya sedang di berbagai penjuru MBT anak buah Sabarudin trelah siap melakukan steling.
Beberapa saat sebelum Mohamad tiba, anak buah Sabarudin yang bersenjata lengkap dengan gerakan kilat telah berhasil menyergap dan melumpuhkan pasukan kawal MBT.

Sabarudin memang memiliki pasukan yang kuat. Batalyon PTKR Sabarudin bukan saja memiliki persenjataan yang lengkap untuk ukuran masa itu, tetapi juga memiliki anggota pasukan yang kompak. Sabarudin ditakuti, tetapi sekaligus juga dihormati dan dipuja oleh anak buahnya. Rahasia kepemimpinannya adalah, ia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang illegal.

Kepemimpinan Sabarudin nanti beberapa kali diuji. Batalyonnya pernah dua kali dibubarkan dan dilucuti senjatanya, tetapi dalam waktu relatif singkat, ia mampu membentuk dan memulihkan kembali pasukannya. Dengan gambaran seperti itu, bisa dipahami mengapa pasukan Sabarudin waktu itu amat ditakuti, bukan saja ditakuti orang awam, tetapi juga ditakuti oleh tentara dan pasukan Badan Perjuangan Bersenjata yang ada waktu itu. 

Bagi Mohamad yang dirinya telah merasa dikepung lawan, tidak ada pilihan lain, selain jalan terus. Tekadnya sudah bulat, apapun yang terjadi saya harus menghadap pada pimpinan, hari ini juga! Begitulah, niatnya dalam hati. Setelah mobilnya diparkir, dengan tenang Mohamad berjalan menuju ke ruang tunggu yang terletak dekat dengan ruang kantor Jenderal Soedirman dan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Menurut ketentuan protokol, ia harus duduk menunggu lebih dahulu di ruang tunggu, sebelum ia memperoleh panggilan memasuki ruang kerja pimpinan tertinggi TKR.

Waktu itu Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo sedang memimpin rapat staf, suatu kegiatan rutin, sebab MBT sedang sibuk mengorganisasi TKR. Karena itu kedatangan Mohamad belum bisa langsung diterima oleh pimpinan. Sejenak setelah Mohamad duduk di ruang tunggu datang 3 orang perwira anak buah Sabarudin menemuinya. Salah seorang di antara perwira tadi, Mohamad mengenalinya, yaitu Kapten Ali Umar. Dialah orang penting yang menjadi tangan kanan Sabarudin, yang sehari-harinya menjadi penasihat Sabarudin. Ali Umar tidak memiliki jabatan tertentu, tetapi ia mempunyai pengaruh amat besar pada perilaku Sabarudin.

Selain Ali Umar, Sabarudin juga mempunyai beberapa orang perwira staf dan perwira pembantu. Di antaranya adalah Kapten Haribowo, tangan kanan Sabarudin setelah Ali Umar, Kapten Tarmandi, komandan kompi, Letnan Satu Achmad Ismail, komandan kompi, Letnan Satu Abdul Wahab (bukan Wahab deglog yang ditakuti Sabarudin), perwira perbekalan, dan Letnan Satu Robido, pembantu umum Sabarudin. Begitu tiba di muka Mohamad, Ali Umar mencabut pistol dan menggertak, “Angkat tangan!”. Spontan Mohamad menjawab, “Tidak mau!” Umar menggertak lagi, “Angkat tangan!” Mohamad tetap menjawab “Tidak mau!” Menghadapi sikap Mohamad yang keras dan tidak gentar itu Ali Umar lalu meninjunya. Menghadapi 3 lawan, Mohamad pantang menyerah dan melakukan perlawanan sengit. Terjadilah kemudian perkelahian dan pergumulan satu lawan tiga. Melihat ketiga perwira tadi kewalahan
menghadapi Mohamad, datang 3 orang anak buah Sabarudin lainnya membantu melumpuhkan Mohamad.

Sementara itu dari balik jendela ruang tunggu nampak pula beberapa laras senjata diarahkan kepada Mohamad. Beberapa kali tembakan menggema tetapi tidak berhasil merobohkan Mohamad. Mohamad baru jatuh tersungkur ketika mereka berhasil memukul tengkuk Mohamad dengan popor senapan. Mohamad yang roboh tak sadarkan diri lalu diseret ke halaman MBT. Di halaman itulah tubuh Mohamad yang terkulai tak berdaya ditendangi dan diinjak-injak oleh anak buah Sabarudin. Setelah puas menganiaya, tubuh Mohamad lalu dilemparkan ke atas truk yang di dalamnya terdapat beberapa drum berisi cadangan bahan bakar.

Ajudan Mohamad, Kapten Susilo dan Sopir Kurdi yang menunggu di mobil, bisa menyaksikan kejadian tersebut. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong atasannya. Mereka sendiri waktu itu juga sudah disergap dan dilucuti senjatanya, bersama Mohamad mereka kemudian dilarikan ke Jawa Timur. Kurdi yang semula mengira tubuh Mohamad yang terkapar di lantai bak truk itu tak bernyawa lagi. Di tengah perjalanan, Kurdi berniat untuk memindahkan tubuh atasannya itu ke tempat duduk, tetapi ketika ia baru mencoba beringsut, ia telah dibentak dan ditodong senjata anak buah Sabarudin. Adegan penyiksaan dan penculikan terhadap Mohamad tersebut juga disaksikan oleh prajurit, pasukan kawal MBT. Tetapi merekapun tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka sendiri juga telah dilucuti dan ditawan oleh pasukan Sabarudin.

Aksi pasukan Sabarudin di MBT itu, sejak dari aksi melumpuhkan pasukan kawal hingga ke penculikan Mohamad, semuanya berlangsung cepat dan rapih. Begitu rapihnya, sehingga para perwira staf yang sedang asyik rapat di ruang dalam, semula tidak mengetahuinya. Mereka baru tahu setelah mereka dikejutkan oleh bunyi letusan senjata beberapa kali. Sebuah peluru nyasar, bahkan nyaris mengenai Panglima Besar Soedirman yang secara sigap kemudian cepat bertiarap. Waktu situasi sudah reda baru mereka meninggalkan ruang rapat dan meninjau halaman depan MBT. Tetapi ketika itu pasukan Sabarudin telah kabur membawa Mohamad. Mohamad yang luka parah dan tubuhnya terguncang-guncang selama dalam perjalanan, tidak sepenuhnya pingsan. Antara sadar dan tidak, ia masih berdoa memohon pada Illahi agar anak cucunya kelak tidak ada yang mengalami penderitaan seperti yang dialaminya. Di tengah perjalanan yang lama itu, kadang-kadang timbul niat kuat Mohamad untuk meloncat dan melarikan diri. Tetapi tubuhnya yang penuh luka berlumuran darah tak mampu digerakkan untuk menyingkap terpal tebal yang terasa berat menyelimuti dirinya. Ia akhirnya pasrah dan tawakal.

Di Sriwedari Solo, konvoi Sabarudin berhenti untuk makan siang. Di rumah makan tersebut kebetulan ada seorang perwira TKR yang sedang makan pula, namanya Letnan Kolonel Prangko Prawirokusumo. Dia adalah salah seorang perwira staf Kolonel Sungkono. Ia juga sedang dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta kembali ke Jawa Timur. Mungkin karena alasan kerahasiaan, Letkol Prangko yang tidak tahu-menahu dengan kasus penculikan Mohamad itu, akhirnya juga ikut pula ditawan dan dibawa ke markas Sabarudin di Pacet (Mojokerto).

Keributan dan kasus penculikan Mohamad di MBT tadi rupanya pula didengar oleh Presiden Soekarno. Via MBT Presiden Soekarno kemudian memerintahkan via interlokal pada kesatuan TKR di Jawa Timur agar menyelamatkan Mohamad. Kesatuan TKR yang memperoleh penugasan tadi adalah Divisi VI Pimpinan Kolonel Soediro. Kolonel Soediro kebetulan adalah kenalan baik Mohamad. Seperti Mohamad Soediro semula juga seorang pangreh praja berpendidikan OSVIA dan pada zaman Jepang menjadi tentara Peta sebagai Daidancho pula.

Sebagai komandan divisi, ia membawahi Resimen Madiun (Pimpinan Letkol Sumantri) dan Resimen Kediri (pimpinan Letkol Surachmad). Kedua komandan resimen tersebut, juga mantan Daidancho Peta dan Letkol Surachmad bahkan juga berasal dari kalangan pangreh praja pula. Unsur persamaan ini agaknya ikut mendorong mereka menangani kasus penculikan Mohamad secara serius.
Begitu menerima interlokal dari Yogya, Kolonel Soediro kemudian memerintahkan pada Resimen Sumantri dan Resimen Surachmad, agar melakukan pencegatan. Pesannya adalah, bebaskan Mohamad, sedapat mungkin melalui cara damai. Tetapi bila tidak bisa, apa boleh buat, jalan kekerasanpun ditempuh. Sumantri di Madiun memerintahkan Kapten Rukminto, kepala staf resimen, untuk melakukan pencegatan di Ngawi. Pencegatan pertama di Ngawi gagal. Sabarudin tidak mau distop, sedang Kapten Rukminto yang hanya membawa pasukan kawal kecil tidak mau mengambil resiko berkonfrontasi langsung dengan Sabarudin. Memperoleh laporan kegagalan tadi, Letkol Sumantri kemudian menelepon peleton yang bertugas menjaga gudang mesiu di Saradan, agar melakukan pencegatan. Tetapi ketika mereka menghadang, ternyata konvoi Sabarudin telah lewat. Soemarsono yang memperoleh berita serupa juga menyiap-siagakan pasukan Pesindonya (ex PRI Surabaya-Balai Pemuda) dan bermaksud mencegat Sabarudin di Madiun, tetapi mereka kecele, karena Sabarudin tak lewat Madiun.

Resimen Surachmad memperoleh tugas melakukan pencegatan di Kediri dan Kertosono, masing-masing dengan kekuatan 1 kompi. Mereka menyusun steling di sekitar jembatan Kali Brantas di kedua kota tersebut. Pasukan Surachmad dikemudian hari menjadi musuh bebuyutan Sabarudin. Seperti halnya pada Mohamad, Sabarudin juga benci sekali pada Surachmad yang dinilainya berjiwa kolonial dan jadi kaki tangan Ch.O. van der Plas. Surachmadlah yang pada akhirnya berhasil mencegat konvoi Sabarudin di jembatan Kertosono. Pasukan Surachmad yang melakukan pencegatan itu adalah kompi Polisi Tentara pimpinan Kapten Her Harsono. Kolonel Soediro juga turut terjun langsung dalam operasi penghadangan tersebut. Hari telah larut malam, sekitar jam 02.00, ketika kompi pasukan Sabarudin tiba di Kertosono. Waktu konvoi hendak memasuki jembatan Kali Brantas, mendadak mereka dihentikan oleh pasukan Surachmad. Sabarudin terpaksa mematuhinya, karena sadar bahwa pasukannya telah masuk perangkap, dikepung rapat pasukan Surachmad. Dalam situasi mencekam, Sabarudin kemudian turun dari kendaraan, menemui komandan pasukan yang menghadangnya dan terjadilah dialog.

Bertermpat di pendapa kewedanaan Kertosono, dilakukan perundingan antara Sabarudin bersama pembantunya dengan Soediro bersama perwira stafnya. Dalam perundingan itu semula Sabarudin bersikeras tidak mau menyerahkan Mohamad, dengan alasan, katanya, Mohamad telah meninggal. Soediro menegaskan bahwa dia ditugaskan MBT membebaskan Mohamad baik hidup ataupun mati. Melihat situasi yang tidak menguntungkan pasukannya, Sabarudin akhirnya terpaksa menyerahkan Mohamad. Tetapi ia tetap mengancam, bahwa suatu hari nanti, dia akan menangkap Mohamad lagi.
Selesai perundingan, selanjutnya dilakukan pemeriksaan atas konvoi Sabarudin. Mohamad diketemukan masih tergeletak di lantai truk dengan terpal sebagai selimutnya. Ketika terpal disingkap, ternyata Mohamad diketemukan masih hidup.

Mohamad kemudian dibawa ke Kediri, semula ia dirawat di rumah dr. Koesen, dokter Divisi VI di Kediri. Karena Ny. Koesen amat ketakutan, khawatir jadi sasaran balas dendam Sabarudin, Mohamad kemudian dipindah ke Rumah Sakit Tentara (RST) di Kediri dan memperoleh perawatan intensif dari dr. Koesen. 

Mayor Sabarudin dan pihak yang berdiri di belakang peristiwa penculikan Mohamad, mungkin tidak menyadari dan tidak membayangkan bahwa kasus penculikan tersebut akan berekor panjang dan berakibat buruk bagi mereka semua. MBT, dan DPRI yang bermarkas di Mojokerto, tidak bisa berpangku tangan melihat Mohamad selaku ketua DPRI (Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia, dibentuk 19 Desember 1945, yang melandasi antara lain: semua kekuasaan dan administrasi pemerintahan berada di tangan DPRI, penduduk dilarang bertindak sendiri-sendiri terhadap orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh, dan lain-lain yang mengganggu keamanan negara, sedang R.Oerip Soemohardjo selaku Kepala Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat dengan surat keputusan No. 44/M.T tanggal 19 Desember 1945, menetapkan R. Mohamad menjadi Kepala Komandemen TKR Jawa Timur dengan pangkat Jenderal Mayor) diperlakukan semena-mena begitu.

Dua hari setelah peristiwa penculikan DPRI mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerang markas Sabarudin di Pacet. Pasukan gabungan terdiri atas Pasukan Perjuangan Polisi (P3), Pasukan Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak. Mohamad Jasin selaku pimpinan P3 memperoleh perintah langsung dari Panglima Jenderal Soedirman. Untuk operasi tadi ia mengerahkan 2½ kompi P3 yang diperkuat dengan dua mobil panser. Di Pacet, markas Sabarudin menempati sekelompok bungalaw indah bekas milik Belanda. Sebelum di Pacet, mereka bermarkas di Tretes, tempat peristirahatan indah di lereng timur Gunung Arjuno. Pacet yang berjarak kurang-lebih 35 Km di selatan Mojokerto, terletak di lereng utara Gunung Arjuno yang berhawa sejuk. Di tempat yang berpemandangan indah itu Sabarudin dan anak buahnya serta keluarganya, hidup tenteram dari hiruk-pikuk front pertempuran Surabaya.

Menghadapi sergapan pasukan gabungan DPRI, pasukan Sabarudin akhirnya menyerah tanpa melakukan perlawanan yang berarti. Sedang Sabarudin dan Ali Umar yang rupanya sempat meloloskan diri dengan mobil, disergap di simpang empat Mojosari, antara Mojokerto dan Porong. Sabarudin dan para perwiranya semula ditahan di penjara Mojokerto, tak lama kemudian mereka dipindahkan ke penjara Wirogunan Yogyakarta. Letkol Prangko, Kapten Soesilo dan Kopral Kurdi yang ditawan Sabarudin di Pacet dalam peristiwa penyerbuan itu berhasil dibebaskan dengan selamat. Kurdi kemudian segera menyusul Mohamad ke Kediri.

Peristiwa penculikan Jenderal Mayor Mohamad yang terjadi pada bulan Januari 1946 bersamaan waktunya dengan awal reorganisasi TKR. Setelah Kolonel Soedirman komandan Divisi V Banyumas, pada tanggal 18 Desember 1945 dilantik menjadi Panglima Besar TKR, maka langkah pertama yang dilakukan Jenderal Soedirman adalah melakukan reorganisasi TKR. Pada tanggal 1 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Beberapa hari kemudian, melalui Maklumat Presiden tanggal 25 Januari 1945, nama tersebut diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Kelanjutan dari reorganisasi jumlah divisi TRI diperkecil di Jawa yang semula memiliki 10 divisi TKR, diperkecil menjadi 7 divisi dan 3 brigade, sedang di Sumatra dari 6 divisi menjadi 3 divisi.

Dengan adanya reorganisasi itu maka sistem komandemen yang dinilai tidak efektif, dihapuskan. Jawa Timur yang semula memiliki 3 divisi direorganisasi menjadi 2 divisi, yaitu Divisi VI pimpinan Jenderal Mayor Sungkono, berwilayah di daerah Surabaya, Madura dan Kediri. Serta Divisi VII pimpinan Jenderal Mayor Imam Soedjai, berwilayah di daerah Malang, Lumajang dan Besuki. Sebelum reorganisasi itu Sungkono telah diangkat menjadi Panglima Divisi, menggantikan Yonosewoyo, yang diberhentikan sebagai akibat kasus penculikan Mohamad.

Sejalan dengan reorganisasi TRI menjadi tentara yang lebih teratur maka tata disiplin tentara dan hukum tentara mulai ditegakkan. Senafas dengan usaha pembaharuan itulah maka MBT dalam menangani kasus Sabarudin menindaknya melalui jalur hukum. PTKR Sabarudin dibubarkan, bekas anak buahnya dilebur dalam batalyon Darbi Nasution di Gombong, sedang para perwiranya yang terlibat, diajukan ke Mahkamah Tentara.
Mayor Sabarudin sebagai pelaku utama dalam kasus penculikan itu dipecat dari dinas ketentaraan dan dijatuhi hukuman penjara 7 tahun. Sedang anak buahnya yang perwira, sejumlah 6 orang ditahan di penjara Wirogunan Yogya selama 100 hari. Setelah dibebaskan, mereka dikembalikan menjadi TRI, tetapi hanya diberi pangkat prajurit.

Seorang Perwira Tinggi dan dua orang Perwira Menengah lainnya juga diajukan ke Mahkamah Tentara, di muka sidang itu Kepala Divisi VII berterus terang bahwa dialah yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus tersebut. Mahkamah Tentara Agung, melalui Surat Keputusan Np. 1/1947 tanggal 16 Mei 1947, menjatuhkan hukuman penjara 18 bulan pada ex Kepala Divisi VII (Yonosewoyo) dan memberhentikannya dari jabatan dan pangkatnya. Menurut yang bersangkutan ia praktis tak pernah menjalani hukuman penjara. Agresi Belanda I, tanggal 21 Juli 1947, memberi peluang baginya memperoleh kelonggaran dari MBT.

Sabarudin setelah divonis dipindahkan ke penjara Ambarawa. Di penjara itu ia berkenalan dengan Tan Malaka, tokoh pergerakan yang dipenjara karena dituduh berkomplot menggulingkan pemerintahan kabinet Syahrir. Perkenalan itu mempunyai arti penting dalam riwayat hidup Sabarudin. Sejak itu ia menjadi pengagum Tan Malaka dan secara militan menjadi pengikutnya.
Tan Malaka adalah tokoh pergerakan legendaris yang sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam penjara dan pengasingan.




Tanjung perak di bom
Sumber: Kaskus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar