Senin, 29 November 2010
Perlawanan Rakyat Pulau Nusa Barong
Tentang perlawanan rakyat Nusa Barong ini, merupakan ihtiar saya untuk menunjukkan, bahwa masih banyaknya sejarah yang samar-samar masa lampau di Kabupaten Jember. Sejarah samar-samar tentang wong Jember itu, kemudian tenggelam oleh arus besar penulisan sejarah Jember yang berkisar pada masa industrialisasi perkebunan belanda akhir abad 19 dan seterusnya sampai masa revolusi kemerdekaan. Penenggelaman ini pada akhirnya melenyapkan ingatan kolektif masyarakat Jember akan kekayaan historis masa lalunya. Dalam kesejarahan Pulau Nusa Barong misalnya, pandangan masyarakat Jember secara umum, bahkan masyarakat Puger yang lebih dekat dengan Pulau Nusa Barong, hanya mengetahui samar-samar dan meyakini bahwa dari dahulu pulau ini sudah tak berpenghuni dikarenakan telah dihuni oleh para demit (bangsa mahluk halus), sehingga tak akan ada penduduk yang berani tinggal didalamnya.
Konon dari mulut ke mulut, didalam pulau Nusa Barong masih terdapat bekas meriam dan reruntuhan benteng peninggalan belanda. Namun dianggap hanyalah rumor yang tak perlu digubris kebenarannya, sebab, hanya bagian dari pengetahuan samar-samar masyarakat (mitologi sejarah rakyat). Atas kesamaran ini mengakibatkan lenyapnya kesejarahan seabad peradaban masyarakat yang pernah terjadi dikabupaten Jember dari tahun 1700 sampai 1800-an. Padahal dalam pembabakan seabad ini banyak peristiwa historis yang mampu merepresentasikan kompleksitas kebudayaan hibrid rakyat Jember.
Disamping banyaknya kesamaran peristiwa kesejarahan, juga masih banyak pula kemisteriusan dalam jejak sosial dan budaya masyarakat yang masih eksis menyebar dibeberapa wilayah kabupaten Jember masa kini. Misalnya, eksitensi kelompok Osing didesa Biting, koloni etnis Mandar didusun Mandaran-Puger Wetan, para pengikut Mbah Budeng-Mataram di Dusun Tanjungan-Balung Lor, ini semua, merupakan kemisteriusan yang sekaligus menggugat hibriditas pandhalungan yang dominan dalam wacana identitas Jember.
Hibriditas Pandhalungan, menurut saya, tak lain hanyalah mitos, kenaifan deskripsi visual, yang tak berakar pada fakta historis sejatinya masa lalu rakyat Jember. Ketidaktersambungan antara fakta historis masa lalu dengan hibriditas masyarakat jember yang direpresentasikan sebagai masyarakat Pandhalungan (hanya disusun berdasar campuran antara etnis Madura dan Jawa), cenderung serampangan, dan takkan bisa menjelaskan fakta ruang kebudayaan hari ini. Antara lain, diberbagai stasiun radio lokal Jember, ruang public kesenian jember actual masih menjadi medan perebutan antara hegomoni Banyuwangian dan Mataraman. Seterusnya hibriditas Pandhalungan menjadi kaca mata buram apabila dengan jeli diperlihatkan, banyak nama desa menggunakan aksara jawa namun moyoritas penghuni desa adalah beretnis Madura.
Keterkaitannya dengan perlawanan Rakyat Pulau Nusa Barong dalam kontek penulisan ini dengan masih banyaknya kesamaran dan kemisteriusan kesejarahan dikabupaten Jember tersebut, maka yang perlu dijelaskan adalah bagaimana dan seperti apa perlawanan rakyat Pulau Nusa Barong pada masa lampaunya. Sebagai catataan, bahwa keselurahan penceritaan sejarah Pulau Nusa Barong ini bersumber dari Dr. Sumargana (2007).
Pulau Nusa Barong dan Penduduk Multi Etnis
Tidak banyak yang tahu bahwa Pulau Nusa Barong di tahun 1700-an merupakan pulau yang telah dihuni oleh penduduk multi etnis nusantara dan kawasan perlawanan rakyat yang sangat monumental, kaya strategi dan teknik-teknik perlawanan, yang mana sangat menyulitkan kepentingan kekuasaan VOC Belanda dipesisir laut selatan Jawa. Pulau Nusa Barong merupakan pulau kecil, terletak 3 mil dari pantai Puger-Kabupaten Jember. Pulau ini masuk dalam wilayah administratif kabupaten Jember. Sekarang pulau tersebut berstatus sebagai cagar alam yang direncanakan sebagai salah satu wisata Kabupaten Jember.
Sebelum Blambangan ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1768, pulau Nusa Barong secara ekonomi sangat penting bagi Blambangan. Nusa Barong merupakan penghasil sarang burung yang signifikan bagi penguasa Blambangan. Hasil produksi sarang burung itu dikirimkan ke para pedagang Cina. Ketika perang berlangsung antara Blambangan melawan VOC (1767-1768), orang-orang blambangan dan lumajang banyak mengungsi ke Pulau Nusa Barong. Pulau Nusa Barong pada tahun 1772 sudah terdapat 250 keluarga atau 1000-an jiwa yang mengelompok dalam 7 perkampungan dan 5 tahun berikutnya jumlah penduduknya menjadi dua kali lipat. Populasi penduduknya terdiri dari multi etnis Nusantara. Orang-orang bugis mendominasi populasi di nusa Barong, sedangkan sisanya diisi oleh etnis Mandar, Wajor, Bali, Sumbawa, Manggar, Malay, dan jawa.
Pada saat Blambangan ditundudukkan oleh VOC di tahun 1768, VOC mulai membangun benteng pertahanan kecil, dan menempatkan beberapa tentaranya (terdiri dari orang eropa dan Jawa) di Nusa Barong dibawah pimpinan Sersan Reebos. Adapun tujuan utamanya yakni untuk menghalau kedatangan para pedagang sarang burung atau para pelarian prajurit blambangan yang bisa menggangu kepentingan belanda di pesisir selatan laut Jawa. Pimpinan utama penduduk multi etnis Nusa Barong bernama Sindu Kopo, sedang pimpinan kedua di pegang oleh Sindu Bromo. Adapun Sindu Bromo adalah anak tiri dari Sindu Kopo.
Setelah perlawanan pangeran Wiilis Blambangan dapat dipatahkan, Pulau Nusa Barong sudah dianggap tempat yang tidak membahayakan lagi. Orang-orang Belanda melalu sersan Reebos dan para tentaranya pergi begitu saja meninggalkan Nusa Barong tanpa seorangpun tentaranya yang ditempatkan disana.
Selepas kepergian sersan Reebos dan tentaranya, di Nusa Barong terjadi pergantian kepemimpinan utama dari Sindu Kopo ke Sindu Bromo. Konon Sindu Kopo dibunuh oleh Sindu Bromo karena telah berpihak pada orang-orang Belanda. Pada tahun 1771, ketika peperangan Blambangan dengan VOC berkobar kembali, perlawanan blambangan dipimpin oleh pangeran Pakis atau Rempeg, banyak pula yang bukan orang blambangan, seperti orang Bugis, orang Mandar, dan orang Cina, bahu membahu dalam satu barisan berperang melawan VOC. Perlawanan membara ini dapat dipadamkan (tahun 1772), banyak para pemimpin utama diantaranya, bapak Endo, Larat, Rupo, Wilondro, Somprong, dan Kapulogo melarikan diri dan bersembunyi di Pulau Nusa Barong. Oleh karenanya Belanda mengirim 3 mata-matanya kesana namun kemudian hilang kabar dan tak pernah kembali.
Juragan Jani dan Perlawanan Rakyat Nusa Barong
Sindu Bromo, pimpinan pulau Nusa Barong, merasakan, akibat pendudukan sersan Reebos dan tentaranya, Pulau Nusa Barong menjadi sepi dari lalu lintas perdagangan, dan perkembangan ekonomi akhirnya menjadi lesu. Kemudian secara regular, Sindu Bromo mengirim orang-orangnya ke Bali untuk meyakinkan para saudagar disana tentang situasi Nusa Barong terbaru. Setelah misi ini berhasil meyakinkan para saudagar di Bali, kemudian beberapa saudagar Bali dan Mandar mulai berkunjung ke Pulau Nusa Barong. Perlahan tapi pasti beberapa kapal besar dan kecil dari Bali atau dari Bengkulu mulai bersandar, dan ekonomi rakyat Nusa Barong mulai bangkit kembali dari kelesuannya.
Perkembangan ekonomi Nusa Barong kemudian dibarengi dengan perkembangan kekuatan politik rakyat yang luar biasa. Sekitar bulan oktober 1772, satu buah kapal besar dari Bengkulu dibawah kendali nahkoda Sabak bersandar di Pulau Nusa Barong. Kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh Sindu Bromo sebagai pimpinan Nusa Barong. Bahkan dia menawarkan agar orang-orang Mandar ini membangun rumah dan menetap di Nusa Barong. Karena nahkoda Sabak tidak punya cukup waktu singgah, maka dia mempercayakan kepada Juragan Jani untuk menerima tawaran Sindu Bromo tersebut.
Kelihatannya Juragan Jani adalah orang yang berbakat menjadi pimpinan. Dengan kepercayaan yang diberikan Nahkoda Sabak dan harapan Sindu Bromo yang begitu tinggi, tak berapa lama dia menikah dengan putri Sindu Bromo. Selanjutnya kepemimpinan Pulau Nusa Barong diserahkan pada Juragan Jani.
Dibawah pimpinan Juragan Jani, Nusa Barong disulap lebih dari sekedar Bandar persinggahan tetapi sekaligus sebagai emperium yang mengancam kepentingan politik VOC di pesisir laut jawa selatan. Juragan Jani dalam kebijakan awalnya, menempatkan terlebih dahulu para pejuangnya di benteng-benteng yang sebelum dibuat oleh orang belanda, dan mempersiapkan dengan 60 senjata api, 3 ton serbuk mesiu dan 4 meriam kecil. Dia juga menambahkan armadanya dengan 50 kapal Mandar, 1 pancalang, 3 paduwakan dan mendatangkan banyak penduduk ke Nusa Barong.
Rakyat Nusa Barong bersama Juragan Jani benar-benar berkonsentrasi mempersiapkan perlawanannya dengan banyak serbuk mesiu, amunisi, pejuang dan bahan makanan. Untuk mengorganisir keperluan tersebut, dia mengirimkan para pelayarnya kebeberapa tempat, terutama ke Badung. Pada maret 1773 juragan Jani mengirim 4 kapal yang dibawahi oleh Juragan Balobo, Juragan Sinto, dan Juragan Kolo ke Badung untuk menganggkut Amunisi dan beberapa keluarga ke Nusa Barong. Sekembalinya ke Nusa Barong mereka membawa 70 orang pejuang. Diantara orang-orang tersebut, ada dua eks-pejuang Wajor Blambangan bernama Bagus Jawat dan Bagus Benu.
Singkat cerita bebagai cara dilakukan Juragan Jani dan rakyatnya untuk menambahkan ketercukupan kekuatan perangnya, mulai dari bubuk mesiu, amunisi, bahan makanan sampai mengimpor para pejuang. Banyak para saudagar membantu mensuplai bahan-bahan keperluan yang dipesan Juragan Jani. Setelah dirasa memiliki kekuatan yang sangat cukup, rakyat Nusa Barong kini benar-benar menjadi kuat untuk melakukan perlawanan pada VOC disepanjang pesisir laut selatan Jawa.
Rakyat Nusa Barong telah banyak mendapat serbuk mesiu dan amunisi didalam benteng-bentengnya dan juga banyak penduduk bermigrasa ke Nusa Barong. Dengan semua itu, saatnya memulai penyerangan pada VOC dan antek-anteknya. Rencana awal serangan dituju kekebeberapa tempat yang dibawah penguasaan antek-antek Belanda seperti di Meru. Sabrang, Gunung Pager, dan Dedali. Aksi serangan dimaksud untuk menimbulkan insiden dan menarik perhatian VOC untuk perang terbuka.
Aksi pertama serangan pemimpin Juragan Jani dan rakyat Nusa Barong dilakukan di Gunung Meru, 22 Pebruari tahun 1773, dengan 2 kapal besar dan 2 jukung, mereka menyerang terlebih dahulu pada orang-orang jawa yang menjadi antek belanda. Dalam pertempuran ini pemimpin bapak Roman dan adiknya terbunuh, 6 pengikutnya ditangkap, dan sarang burungnya dirampas. Sedang 1 orang lolos, bernama bapak Samprit dan melaporkan pertempuran tersebut pada VOC.
Pancingan Juragan Jani dan pengikutnya, berhasil menarik perhatian orang-orang Belanda. Setelah pertempuran tersebut orang-orang Belanda Intensif berpatroli disepanjang Pesisir Selatan Laut Jawa. Sementara orang-orang Belanda intensif berpatroli, semakin banyak pula pertempuran yang diciptakan oleh para pejuang Nusa Barong pada antek-antek Belanda.
Pada Oktober 1773, orang-orang Nusa Barong dengan menaiki 9 perahu, 40 senjata api, 50 tombak, mendarat dipantai Puger dan menyerang kapal patroli orang-orang Belanda. Dalam pertempuran ini dari pihak VOC, 8 orang terbunuh. Sedang dari pihak pejuang Nusa Barong, beberapa perahu menabrak karang karena angin begitu kencang dan mereka menyelamatkan diri menuju Wedi Alit. Dua perahu yang selamat kembali ke Pulau Nusa Barong. Keesokan harinya, 13 kapal dari Nusa Baru kembali lagi ketempat itu mencari 5 perahu dan orang-orangnya yang hilang dan bertahan diseputar tempat pertempuran.
Sudah sejak 1773, perkembangan politik di Nusa Barong menjadi perhatian utama kekuasaan orang-orang belanda di Blambangan dan Surabaya. Ekspedisi militer telah direncanakan ke Nusa Barong oleh VOC, ketika pertempuran berantai antara patroli orang belanda dengan rakyat Nusa Barong dipesisir laut selatan Jawa. Baru kemudian Gubernur Semarang menyiapkan serangan serentak setelah empat tahun berikutnya, tepatnya tahun 1977.
Sebelum serangan serentak dilakukan oleh pasukan gabungan orang-orang belanda yang dikumpulkan dari Bangil, Probolinggo, Malang, dan Blambangan ke Nusa Barong, pada oktober 1776 di Pulau Nusa Barong, telah terjadi pergantian pimpinan politik oleh Nahkoda sabak di Pulau Nusa Barong. Sementara kemisteriusan hilanganya Juragan Jani telah melemahkan kekuatan rakyat Nusa Barong. Akhirnya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1977, pasukan gabungan orang-orang Belanda memulai serangan serentak dibawah komandan Adriaan van Rijk di pulau Nusa Barong. Dalam peperangan yang berjalan tak seimbang tersebut, sebanyak 27 pejuang Nusa Barong terbunuh. Sementara yang lainnya melarikan diri. Benteng-benteng pertahanan dan rumah para penduduk dirobohkan. Pasukan Belanda terus memburu para pejuang Nusa barong yang melarikan diri kehutan. Seminggu berikutnya, sejumlah 33 orang pejuang Bugis, Mandar dan bali ditemukan dalam keadaan luka yang bersembunyi dihutan ditangkap.
Para kaum laki-laki Nusa Barong, selain terbunuh dan tertangkap, kebanyakan melarikan diri. Rakyat yang tersisa di Pulau Nusa Barong praktis tinggal 98 orang yang terdiri kaum ibu dan anak-anak. Kemudian oleh belanda mereka dipindahkan ketempat lain. Setelah Nusa Barong dapat ditundukkan, para pasukan Belanda ditempatkan di Pulau tersebut dan melakukan pengawasan ketat disekitar pesisir selatan dalam jangka waktu yang agak lama. Sejak saat itulah, Pulau Nusa Barong menjadi steril dari lalu lalang para pedagang bebas, serta orang-orang pribumi dilarang bertempat tinggal didalamnya. Sampai sekarang pulau Nusa Barong berstatus pulau yang boleh dihuni dan tak berpenghuni.
Sumber: kompasiana.com
Salam dari mandar, sulawesi barat
BalasHapus