Sabtu, 13 November 2010

Rabi'ah Al Adawiyah: Cinta Allah


“Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mendambakan surga. Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”

Ratusan tahun lalu sufi besar, Rabiah Al Adawiyah, mengungkapkan kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep ‘Mahabbah’-nya itu. Bukan apa-apa, memang. Bagi Rabiah, ibadah dilakoninya semata kasih sayang Tuhan kepada dirinya. Kasih sayang itu, kata Rabiah, mutiara paling berharga bagi manusia, jika saja manusia itu mengetahui rahasia di baliknya.

Dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 713 M, Rabiah Basri, atau lebih dikenal dengan nama Rabiah Al Adawiyah, berasal dari keluarga yang hina dina. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Begitu pula ketiga kakaknya, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak seberapa. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis sejak itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah SWT. Berdoa dan berdzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basrah dan seorang suci-mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik menyudahi masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M, dalam usia 88 tahun.

Dalam perjalanan kesufiannya, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being).

Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal. Menjadi sufi dalam perjalanan Rabiah adalah ”berlalu dari sekadar Ada menjadi Benar-benar Ada”. Dan Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna.

Karena cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.

Itu sebabnya, Rabiah dipandang sebagai pelopor model tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul illah (mencintai tuhan Allah SWT). Bagi Rabiah, mahabbah tak lain sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperolehnya setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud (tapa) ke tingkat ridha (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya betul-betul hanya untuk Allah SWT.

Di mata Rabiah, dorongan mahabbah kepada Allah SWT berasal dari dirinya, juga lantaran hak Allah untuk dipuja dan dicinta. Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan cinta kasih Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya. Lantaran ini pula, puisi-puisi mahabbah kepada Allah yang banyak diciptakan sufi-sufi masyhur, seringkali dinisbahkan kepadanya.

Dengan pengembaraannya yang bagai tak bertepi dalam mengarungi dunia mistik itu, oleh banyak kalangan pengamal tarekat dan tasawuf Rabiah digolongkan sosok sufi yang fenomenal. Letak fenomenal seorang Rabiah, selain pada keyakinannya bahwa segala cinta hanya milik Allah, juga lantaran kerendah-hatian dirinya.
Soal kasih sayang Allah tadi misalnya, membuat dirinya tidak membenci setan. “Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan,” jawab Rabiah ketika suatu kali ia ditanya apakah dirinya benci kepada setan.
Bukti cinta Rabiah yang begitu besar melampaui batas-batas segalanya, di antaranya terlihat dalam syairnya yang masyhur berikut :
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mu lah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku; hatiku enggan mencintai selain Engkau.”

Suatu hari, Sufyan Tsauri datang kepada Rabiah. Di depan dirinya, Sufyan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa, “Tuhan Yang Mahakuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu.” Mendengar doa itu, Rabiah kontak menangis. Ditanya mengapa dirinya menangis, Rabiah menjawab, “Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat Anda hanya mencarinya di dunia saja.”

Sementara itu, di saat lain, terbetik kabar seseorang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan menengadahkan tangannya ke atas, “Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, sekalipun Kau-lah pencipta dunia ini. Lantas bagaimana aku menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?”

Tak hanya bagaimana kerendahan dan ketakberdayaan seorang hamba ia tunjukkan di hadapan Tuhannya, Rabiah juga senantiasa mengajarkan sifat dan sikap kerendah-hatian dan tawadhu kepada murid-muridnya.
Ia juga melarang para muridnya itu menunjukkan perbuatan baik mereka kepada siapa pun. Bahkan, Rabiah meminta murid-muridnya itu untuk menyembunyikan perbuatan baik mereka, sebagaimana menutupi-nutupi perbuatan jahat mereka.

Bagi Rabiah, segala penyakit dilihatnya sebagai cobaan yang datang dari Allah. Terhadap masalah ini, Rabiah selalu memikul setiap cobaan yang datang itu dengan penuh tabah dan kesabaran. Rasa sakit yang dahsyat sekalipun, tidak pernah mengganggunya dari perhatian dan pengabdiannya kepada Tuhannya. Bahkan, sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya terluka sampai ia diberitahu orang lain.

Suatu saat misalnya, kepalanya terbentur batang pohon hingga berdarah. Seseorang yang melihat darah bercucuran itu, dengan hati-hati bertanya, “Apakah Anda tidak merasa sakit?”

“Aku dengan segala ragaku mengabdi kepada Allah SWT. Aku berhubungan erat dengan-Nya, aku disibukkan-Nya dengan hal-hal lain daripada hal-hal yang pada umumnya kalian rasakan,” jawab Rabiah.
Sekalipun penuh liku, banyak kalangan mengakui kehidupan Rabiah tak sedikit menyisakan keajaiban, yakni keajaiban milik orang-orang suci. Rabiah misalnya, mendapatkan makanan dari tamu-tamunya dengan cara yang aneh-aneh. Disebutkan, ketika Rabiah menghadapi maut, ia minta kepada teman-temannya untuk meninggalkannya.

Rabiah lalu menyilakan para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman Rabiah keluar itu, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadat, lantas terdengar suara menjawab, “Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya. Ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya.”
Dalam batas yang ada, Rabiah adalah ‘hidup’ dan senantiasa akan terus ‘hidup’ melalui pekerti ilmunya.

(republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar