Senin, 15 November 2010

Satu Hilal, Dua Idul Adha

http://www.antara-sumbar.com/id/foto/berita/090810171113_hisab_bulan.jpg

Ada dua Idul Adha di Indonesia tahun ini. Pemerintah menetapkan 10 Dzulhijjah 1431 jatuh pada Rabu (17/11/10) dan Muhammadiyah menentapkan pada Selasa (16/11/10). Sementara Arab Saudi sendiri, tempat berlangsungnya ibadah haji, menetapkan wukuf pada Senin (15/11/10), artinya Idul Adha juga jatuh pada Selasa (16/11/10). Adanya dua Idul Adha ini, meskipun sering diklaim sebagai rahmah dari sebuah perbedaan, tetap saja menimbulkan sejumlah pertanyaan dan ketidaknyamanan dalam beribadah. Hilalnya satu, mengapa Idul Adha-nya dua kali?

Perbedaan penetapan hari raya itu tak terlepas dari perbedaan metode penetuan awal bulan. Selama ini dikenal dua metode penentuan awal bulan hijriyah, yaitu metode rukyah dan metode hisab. Kedua metode ini sama-sama didasari oleh perintah Rasulullah SAW yang berbunyi “shumu lirukyatihi wa aftiru lirukyatihi” (berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal).

Metode rukyah menggunakan pengamatan langsung dengan mata telanjang (rukyah bil-ain) sementara hisab menggunakan pengamatan tak langsung dengan mengandalkan hitungan ilmiah (rukyah bil-ilmi). Meski begitu, kedua metode ini tetap memakai ilmu hisab atau ilmu falak dalam prosesnya masing-masing. Hanya saja metode rukyah masih memakai pengamatan fisik sebagai final keputusan sedangkan metode hisab tanpa perlu lagi membuktikan dengan pengamatan fisik.

Di Indonesia metode hisab itu sendiri memiliki variasi perbedaan, misalnya yang terkenal adalah hisab urfi dan hisab hakiki. Metode hisab urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran bulan mengelilingi bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil berumur 30 hari sedangkan bulan yang genap berumur 29 hari.

Sementara hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah tetap dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang-seling antara 29 dan 30 hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari. Semua ini bergantung pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.

Dua metode hisab tersebut memungkinkan sekali terjadinya perbedaan penentuan awal bulan. Belum lagi jika mencermati adanya variasi penentuan bulan baru (new month atau hilal). Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyat.

Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°.
Dalam kasus tahun ini Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal menetapkan bahwa bahwa tanggal 1 Dzulhijjah adalah Ahad (7/11/10) karena tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogjakarta +01 derajat 34 menit 23 detik dan di seluruh Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk (MATAN, edisi 52 Nop 2010).

Sementara pemerintah yang secara resmi menggunakan metode hisab imkanur rukyah menyatakan bahwa hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1) ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2°; dan (2) jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°; atau (3) ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.

Karena semua syarat imkanur rukyah tidak terpenuhi dan diyakinkan dengan kenyataan tidak ada yang melihat hilal dengan mata pengamatan fisik, maka awal bulan jatuh pada Senin, 8 November 2010 sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu, (17/11/10).

Jika kita mau kritis sebenarnya rukyat bil-ain dalam kasus ini sia-sia saja dilakukan, sebab mustahil hilal dapat disaksikan walaupun menggunakan peralatan optik yang dilengkapi dengan pemandu posisi bulan sekalipun. Sebab menurut Kriteria Danjon hilal baru dapat disaksikan jika sudut elongasi bulan terhadap matahari minimal sebesar 7 (www.rukyatulhilal.org).

Pertanyaannya, mengapa dua kutub metode itu tidak bisa disatukan? Mungkin ini masalah klasik yang khas dan terlahir dari identitas kelompok-kelompok keagamaan. Termasuk jika kedua kutub besar itu berhasil menyatukan metode, tidak menutup kemungkinan masih terjadi perbedaan penentuan hari raya seperti yang pernah terjadi pada beberapa tahun lalu.

Pada Tahun 2007 sebagian ormas Islam seperti DDII, HTI, dan kelompok-kelompok lainnya termasuk Masjid Al Azhar Jakarta, justru merayakan satu hari lebih awal, tepatnya hari Rabu (19/12/07). Sementara pemerintah dan dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, memutuskan bahwa Idul Adha 1428 H waktu itu jatuh pada hari Kamis (20/12/07).

Keputusan ini mereka dasarkan pada keputusan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) pada Selasa (18/12/07), sehingga Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada Rabu (19/12/07).
Perbedaan seperti ini juga terjadi pada Idul Adha 1427 H. Pemerintah Arab Saudi menetapkan waktu wukuf di Arafah (9 Zulhijjah) pada hari Jumat (29/12/06), sehingga Idul Adha di Mekkah jatuh pada hari Sabtu (30/12/06). Perbedaan itu juga terjadi pada tahun 2000, di mana pemerintah Arab Saudi menetapkan waktu wukuf di Arafah (9 Zulhijjah) pada hari Rabu (15/3/00), sehingga Idul Adha di Mekkah jatuh pada hari Kamis (16/12/00).

Mengapa ada beberapa kalangan yang menjadikan penetapan Idul Adha Arab Saudi sebagai pedoman? Pertama, Idul Adha yang berbeda dengan Mekkah itu, tentu saja, ahistoris dengan ibadah haji. Idul Adha adalah salah satu rangkaian dari ibadah haji yaitu hari pelaksanaan penyembelihan kurban (oleh jamaah haji). Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari saat berbuka dan Idul Adha adalah hari ketika umat menyembelih kurbannya” (HR Tirmizi). Sebelum Idul Adha, para jamaah haji melaksanakan tugas utamanya, yaitu wukuf di padang Arafah, sementara kaum Muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji melaksanakan puasa sunah Arafah.

Kedua, ketidaksesuaian itu akan berimplikasi pada keruwetan hukum fiqh. Misalnya, puasa di hari raya (Adha atau Fitri) adalah terlarang. Jika Idul Adha di Mekkah jatuh pada Selasa (16/11/10), sementara di Indonesia hari itu masih dianggap tanggal 9 Zulhijjah (karena Idul Adha jatuh pada Rabu, 17/11/10) maka umat Islam Indonesia baru dalam taraf melaksanakan puasa Arafah. Bukankah hal ini (puasa di hari haram) musykil sekali?

Ketiga, ketidaksesuaian itu menunjukkan bahwa umat Islam lebih senang terhadap perbedaan dari pada kesamaan. Implikasi lebih jauh, akan muncul Islam versi Indonesia, Islam versi Mesir, Islam versi Afrika Selatan, atau Islam versi Amerika Serikat.

Tiga alasan di atas masuk di akal. Apalagi ditambah beberapa fakta penting seperti ini: pertama, di Mekkah terdapat Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblat shalat bagi umat Islam dunia. Dalam surat Ali Imran/3:96 dikatakan bahwa Baitullah di Mekkah itu diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. Dalam pengertian yang lebih dalam, Baitullah adalah pusat kesatuan ibadah bagi umat Islam, termasuk di dalamnya Idul Adha.

Kedua, ibadah haji sebagai ibadah yang melibatkan secara langsung pertemuan jutaan umat Islam dunia­ bertempat di wilayah Mekkah (Masjidil Haram, Jabal Rahmah, Padang Arafah, Shafa-Marwah, Muzdalifah).
Maka, sudah sepantasnya jika mereka menjadi wakil dari para bangsa mereka. Suasana psikologis haji harusnya terbangun antarmereka. Menjadi kontradiksi ketika jamaah haji sedang wukuf dan bangsa-bangsa yang mereka “wakili” tidak sedang berpuasa sunah Arafah atau saat jamaah haji sedang berkurban, kita justru kita sedang puasa sunah Arafah. Demikian sebaliknya. Jadi ada keterputusan psikologis jika ada perbedaan Idul Adha antara jamaah haji di Mekkah dengan bangsanya masing-masing.

Ketiga, lebih khusus tentang Idul Adha, Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa hari Arafah adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah) dan hari berkurban adalah saat Imam menyembelih kurban (HR Tirmizi). Dalam hadits lain disebutkan bahwa pada masa Rasulullah Amir Mekkah, [beliau-lah] yang menetapkan pelaksanan haji, mulai dari wukuf, thawaf, bermalam di Muzdalifah, dan seterusnya (HR Abu Daud). Artinya penetapan wukuf, yang berefek pada Idul Adha, adalah berdasarkan ketetapan Amir Mekkah dan pelaksanaannya berlaku di seluruh pelosok dunia.


Monopoli Khadimul Haramain

Memang harus diakui, untuk mewujudkan kesatuan ibadah Idul Adha masih ada beberapa catatan berkaitan dengan penetapan hari wukuf di Arafah oleh pemerintah Arab Saudi. Terutama karena kini pengelolaan dua tanah suci (khadimul haramain) Mekkah dan Madinah masih menjadi hak monopoli pemerintah Arab Saudi. Secara geografis, memang hal itu sangat bisa diterima. Tetapi, karena Mekkah dan Madinah adalah milik umat Islam, maka tidak terlalu salah juga jika ada usulan bahwa pengelolaan itu harusnya di bawah semacam badan umat Islam internasional (kurang lebih salah satu tujuan gagasan membangun kembali Kekhalifahan Islam, yang di antaranya diusung oleh Hizbut Tahrir, adalah menyatukan hari raya Islam).

Ide semacam ini pernah didesakkan oleh Iran. Saya masih ingat bagaimana dulu warga Iran berdemonstrasi ketika sedang berhaji untuk menyampaikan tuntutan itu. Namun bisa diduga ide semacam itu akan ditolak mentah-mentah, terutama oleh pemerintah Arab Saudi.

Sebab itu akan me-delegitimasi kebanggaan dan keangkuhan pemerintah Arab Saudi sebagai pelayan penting tamu-tamu Allah. Belum lagi jika kita melirik berapa keuntungan ekonomi yang bisa diraup oleh pemerintah Arab Saudi dari penyelengaraan ibadah haji (dan umrah). Keuntungan politis pun diperoleh Arab Saudi akibat ketergantungan seluruh negara di dunia (yang mengirim jamaah haji) pada negara ini.

Sebenarnya, jika Mekkah dan Madinah bisa dikelola oleh sebuah badan umat Islam internasional, kita bisa berharap bahwa Mekkah (dan Madinah) bisa benar-benar menjadi pusat ibadah yang berjejaring dengan negara-negara (Muslim) lainnya. Misalnya kita bisa menetapkan hari wukuf dengan pertimbangan yang lebih komprehensif. Selama ini, penetapan hari wukuf oleh pemerintah Saudi sering menimbulkan kebingungan. Misalnya seringkali (memaksa) menetapkan hari wukuf pada hari Jumat seperti musim haji 1427 H yang lalu, sehingga (dianggap) menjadi Haji Akbar.

Tahun 1428 H pun lebih maju sehari dari penanggalan yang telah ditetapkan sebelumnya; sehingga ada guyonan bahwa para pegawai di Arab Saudi yang menerima gaji tanggal 1, kali ini tidak gajian, karena tidak ada tanggal 1 Dzulhijjah secara permanen. Penanggalan resminya menyebut tanggal 1 Dzulhijjah hari Selasa (11/12/07), tetapi hasil rukyah menetapkan 1 Dzulhijjah pada Senin (10/12/07); jadi hari Selasa menjadi tanggal 2 Dzulhijjah.

Kemusykilan itu bisa terjadi karena pemerintah Arab Saudi lebih memilih metode rukyah untuk penentuan ibadah. Sayangnya penetapan ini sering hanya berdasarkan pada laporan rukyah dari seseorang “awam” tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah sains astronomi modern yang diketahui memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.

Kurangnya pemahaman terhadap perkembangan dan modernisasi ilmu falak yang dimiliki oleh para perukyat sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut “hilal” baik yang “sengaja salah” maupun yang tidak disengaja. Klaim terhadap kenampakan hilal oleh seseorang atau kelompok perukyah pada saat hilal masih berada di bawah “limit visibilitas” (batas minimal terlihat) atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi. Sudah bukan berita baru lagi bahwa Arab Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyah yang “kontroversi”.

Bahkan pernah seorang ulama ahli falak KH Noor Ahmad SS berhasil mengubah keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988. Waktu itu, pemerintah Arab Saudi berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf dalam pelaksanaan ibadah haji yang tidak sesuai dengan perhitungan ilmu falak. Tapi disesuaikan begitu saja sehingga pelaksanaannya pada hari Jum’at, agar dapat menjadi momentum Haji Akbar (“KH Noor Ahmad SS: Potret Dinamis Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia”  www.jayusmanfalak. blogspot.com).

Sebenarnya, perdebatan dalam penentuan awal bulan qomariyah, apakah dengan metode rukyah atau hisab, hisab hakiki atau hisab urfi, wujudul hilal atau imkanur rukyah, berdasarkan satu matlak atau banyak matlak, bisa dibicarakan dan dicari rumusan idealnya. Karena selama ini di samping mengandung unsur agama (baca fiqh), penentuan itu juga sering didominasi unsur politis. Misalnya, jika ditinjau secara geografis, posisi Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan sama, tetapi mengapa keputusan rukyah atau hisab di dua negara itu tidak selalu sama? Bukankah ini karena unsur politis (tepatnya nasionalisme sempit!).

Maka dalam bayangan saya, jika badan umat Islam internasional (atau versi lain Kekhalifahan Islam) bisa terwujud secara politik, maka penentuan hari wukuf bisa menjadi keputusan politik bersama umat Islam dunia, dan ini membuat hari wukuf menjadi milik dunia, tidak seperti sekarang yang hanya milik para jamaah haji. Dari sinilah awal bisa dilaksanakannya Idul Adha bersama, khususnya bagi negara-negara yang masih dalam hitungan satu hari dengan Arab Saudi (selisih jam Indonesia – Arab Saudi misalnya, hanya sekitar 4 jam).

Saat ini memang belum ada semacam badan umat Islam internasional atau Kekhalifahan Islam. Tetapi setidaknya ketetapan pelaksanaan hari raya yang dibuat pemerintah Arab Saudi—sebagai pengelola Mekkah dan Madinah—bisa menjadi jembatan antara dalam pelaksanaan Idul Adha bersama, terlepas dari prasangka buruk atas keuntungan ekonomis-politis yang diraih Arab Saudi sebagai khadimul haramain dan penetapan hari wukuf yang sering tidak berdasar itu. Toh, selama ini seluruh jamaah haji juga tetap tunduk pada hari wukuf yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Pertanyaannya bisakah ego kelompok dan nasionalisme kita terlebur?

Oleh: Mohammad Nurfatoni
Sidojangkung, 3 Nopember 2010

Sumebr: www.agama.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar