Senin, 29 November 2010

Sejarah Konflik Aceh Part 2

Pada tanggal 16 Juni 1948, Soekarno memohon kepada rakyat Aceh agar membantu Indonesia agar pemerintahan yang baru itu bisa terus berjalan. Soekarno bersumpah sambil menangis bahwa Aceh akan diberi kebebasan untuk menjalankan pemerintahan sendiri termasuk dalam hal penegakan syariat islam. Sebenarnya Abu Beureu’eh sudah meminta agar perjanjian itu ditulis, tetapi Soekarno mengiba agar Abu Beureu’eh percaya pada sumpahnya sebagai sesama muslim. Rakyat Aceh kemudian mengumpulkan dana untuk membeli pesawat RI-1 dan RI-2 dengan harga US$ 120.000 per unit. Pesawat-pesawat inilah yang kemudian digunakan para tokoh-tokoh nasional untuk menembus blokade Belanda guna melobi dunia internasional untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan kepada Republik Indonesia. Dan ketika Yogyakarta dikembalikan kepada Indonesia, pemerintah Indonesia hampir tidak mampu mengongkosi dirinya sendiri, demi menjalankan roda pemerintahan, rakyat Aceh kembali mengirimkan bantuan untuk menjalankan pemerintahan berupa uang, alat-alat perkantoran, dan obat-obatan. Di tahun 1948, setelah menyumbangkan 2 pesawat terbang, masyarakat Aceh memberikan uang tunai sebesar US$ 500.000 kepada pemerintah Indonesia plus sumbangan sukarela tahap dua untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian Kedutaan Besar di India.

Tidak hanya itu, untuk mempertahankan indonesia dari serangan belanda. Rakyat Aceh ikut mempertahankan Pangkalan Brandan dari serbuan Belanda. Empat orang ulama Aceh menyerukan jihad kepada Belanda, seruan itu ditandatangani oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Haji Jafar Shiddiq Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri. Seruan itu berbunyi:

“Perang Dunia II yang maha dahsyat telah tamat. Sekarang di barat dan di timur oleh empat kerajaan yang besar sedang diatur perdamaian dunia yang abadi untuk keselamatan makhluk Allah. Dan Indonesia tanah tumpah darah kita telah memaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno.
Belanda adalah satu kerajaan yang kecil serta miskin. Satu negerinya yang kecil, lebih kecil dari negeri Aceh yang hancur lebur. Mereka telah bertindak melakukan pengkhianatan kepada tanah air kita Indonesia yang sudah merdeka untuk dijajah kembali. Kalau maksud jahanam itu berhasil, maka pastilah mereka akan memeras segala lapisan rakyat dan segala kekayaan yang telah kita kumpulkan selama ini akan musnah. Mereka akan memperbudak rakyat Indonesia dan menjalankan usaha untuk menghapus agama islam kita yang suci serta menindas dan menghambat kemuliaan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Menurut keyakinan kami, perang ini adalah perjuangan suci yang disebut Prang Sabil. Maka percayalah wahai bangsaku, bahwa perjuangan ini adalah perjuangan sumbangan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Teungku Chik Di Tiro dan pahlawan kebangsaan yang lain.”


Seruan ini kemudian membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Belanda, perlawanan sengit ini membuahkan hasil sehingga Aceh tidak dapat dikuasai Belanda.

Pada tanggal 8 Agustus 1950, diadakan sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta. Sidang memutuskan bahwa wilayah Indonesia dibagi dalam 10 daerah provinsi, dan Provinsi Aceh dileburkan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Padahal berdasarkan ketetapan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia No 8/Des/WKPH bertanggal 17 Desember 1949 yang ditandatangani di Banda Aceh oleh Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Syafruddin Prawiranegara bahwa Aceh adalah sebuah provinsi dengan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh sebagai Gubernur Militernya.
 
 
Teungku Muhammad Daud Beureu’eh 

Keputusan pemerintah itu membuat rakyat Aceh merasa diperlakukan tidak adil, mengingat apa yang telah diberikan rakyat Aceh kepada Indonesia, hal itu sangat menyakitkan, rakyat Aceh merasa dikhianati oleh pemerintah. Kemudian rakyat dan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menyatakan bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo pada tanggal 20 September 1953. hal ini ditandai dengan dikeluarkannya maklumat Negara Islam Indonesia oleh Teungku Muhammad Daud Beureu’eh. Maklumat tersebut berbunyi:

Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa. 

Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

Setelah memimpin perlawanan selama kurang lebih sembilan tahun, akhirnya kesepakatan damai dicapai melalui “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang diprakarsai oleh Pangdam I Iskandar Muda Kolonel M. Jasin. Aceh diberikan status Daerah Istimewa untuk menjalankan pendidikan, agama dan adat istiadat berdasarkan asas islam. Dengan demikian perlawanan Darul Islam di Aceh berakhir dengan damai.

Tetapi kemudian status Daerah Istimewa yang disandang Aceh ternyata tidak berarti apa-apa, gelar Daerah Istimewa tidak lebih hanya sekedar omong kosong karena pemerintah tidak pernah merealisasikannya. 
 
Sumber: ipemapa.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar