Minggu, 28 November 2010

Uang, Panglima Hukum


Pengakuan polos Gayus Tambunan, aktor kasus mafia pajak, membenarkan dirinya pada foto saat berada di Denpasar, Bali, semakin menguatkan hukum belumlah menjadi panglima di negeri ini. Sebaliknya, biusan Gayus dengan segepok uang malah tetap menjadi panglima terhadap aparat hukum untuk tidak berkutik di negeri ini.

Banyak kasus hukum saat dihadapkan dengan para tersangka berkantong tebal menjadi mati suri. Keadaan ini mengindikasikan ada yang salah dengan perangkat-perangkat penegaknya.

Ada empat pilar penegak hukum di negeri ini, polisi, hakim, jaksa, dan pengacara. Keempat pilar inilah yang bertanggung jawab penuh atas penegakan hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini.

Bila keempat pilar atau salah satu saja masih bobrok, penegakan hukum di Indonesia bisa dibilang tidak akan pernah berjalan secara maksimal. Hukum tidak akan pernah tegak, melainkan bengkok dan lunglai.

Kasus Gayus yang bergayung sambut dari makelar pajak dan lenggang kangkung keluar dari penjara dengan menyuap aparat membuktikan penegakan hukum di negeri ini masih sangat jauh dari harapan.

Kasus Gayus bisa dijadikan bukti nyata dan konkret bahwa virus mafia hukum sudah menyebar ke mana-mana. Pilar penegak hukum di negeri ini, yang seharusnya menjadi penjaga kewibawaan hukum, dengan ikhlas menukar harga dirinya demi sejumlah uang.

Begitu mudah terlihat dari sepak terjang Gayus mempermainkan hukum di negeri ini yang tidak berhenti hanya pada masalah pajak. Dengan gampang Gayus keluar masuk tahanan, bahkan dengan santainya bisa menonton pertandingan tenis internasional di Bali.

Apa yang diungkapkan Buyung Adnan Nasution, Kuasa Hukum Gayus, bahwa yang bebas keluar dari tahanan ternyata tidak hanya Gayus, Susno, dan Willardi, tapi Aulia Pohan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), membuat hukum mudah diperjualbelikan sangat tidak mungkin terbantahkan.

Ironis dan menyedihkan. Begitu gampangnya aparat penegak hukum negeri ini diatur oleh orang yang berkantong tebal atau yang memiliki jabatan tinggi. Mereka demikian mudah mempermainkan hukum , sementara di sisi lain begitu banyak masyarakat kecil yang mengalami ketidakadilan hukum.

Hukum di negeri hanya tajam saat mengurusi orang kecil, tapi seketika menjadi tumpul saat dihadapkan pada pencuri uang negara seperti Gayus dan gerombolannya. Substansi hukum yang sebenarnya bermuara pada keadilan kini berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang atau menjadikan uang adalah panglima. Rakyat kecil tidak punya hak apa-apa di mata hukum. Inikah cermin negara hukum yang diagung-agungkan?

Bila hukum hanya membela yang punya uang,  bagaimana nasib rakyat kecil negeri? Memang tak semua penegak hukum di negeri ini bobrok. Masih ada pendekar-pendekar hukum sejati yang berbuat atas nama hukum dan keadilan. Merekalah pilar sesungguhnya dari negara yang menjadikan hukum sebagai panglima.

Institusi-institusi penegak hukum di negeri ini sudah selayaknya introspeksi diri. Reformasi penegak hukum yang selama ini didengungkan, sudah saatnya dilaksanakan secara konsekwen. Oknum-oknum nakal yang rela menggadai harga diri hukum bangsanya dengan sejumlah uang mesti segera dilenyapkan.

Pembersihan oknum nakal penting untuk mewujudkan institusi penegak hukum yang bersih dari praktik mafia yang selama ini banyak terjadi. Penting untuk mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan keadilan. Dan, hanya dengan begitu hukum di negeri ini dapat menjadi panglima yang berdiri di atas kebenaran dan keadilan.


Sumber: media.hariantabengan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar