Jumat, 26 November 2010

Wahai Pemimpin Bangsa, Berkacalah Kau Layaknya Semar






Para pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi dengan tokoh Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan anak-anaknya selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya Arjuna atau anak Arjuna, penengah Pandawa.

Semar adalah sebuah filsafat, baik etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola pikir yang mendasarinya. Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar.

Batara Guru menguasai kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak (suwung-awang-uwung).

Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit dan bumi (ruang, kulit telur-Togok), gelap dan terang (waktu, putih telur-Betara Guru), dan pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa Maya-Semar). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.

Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.

Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan. Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar adalah simbol rakyat paling jelata. 


Batara Guru biasanya digambarkan sering tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendalikan nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan - kebijaksanaan. Batara Guru berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa wangsalan (sastra).

Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran. Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria.

Batara Guru selalu hidup di lingkungan yang 'wangi', sedang Semar suka kentut sembarangan. Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.


Sumber: siaganews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar