Senin, 20 Desember 2010

Alangkah Lucunya Euforia Sepakbola Negeri Ini


12923030641962769745
supporter indonesia

Saya meminjam judul film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” yang ditulis oleh Musfar Yasin dan diperankan oleh aktor senior Deddy Mizwar. Kemenangan tim nasional sepakbola kita pada fase group piala AFF dengan nilai sempurna yaitu “menghabisi” Malaysia (5-1), Laos (6-0) dan Thailand (2-1) bukanlah sebuah kelucuan. Hasil itu sebuah kerja keras, kekompakan tim, kejelian pelatih dan dukungan suporter yang terus bernyanyi memberikan semangat di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Lalu, dimanakah kelucuannya? Ada beberapa hal yang saya amati, yaitu media masa , masyarakat dan pengurus PSSI.


Kelucuan media masa kita

Sebelumnya kita harus membagi antara media masa yang benar-benar khusus mengupas tentang olahraga dan media infotainment yang lebih banyak menyajikan “bumbu-bumbu” penyedap di luar konteks olahraga. Mengenai media yang khusus meliput tentang olahraga, khususnya mengenai sepakbola, maka arah dan konsep pemberitaannya cukup jelas. Perkembangan timnas kita, taktik, kekuatan lawan, peluang, skema permainan dan lain sebagainya.

Lalu, bagaimana dengan media infotainment yang tiba-tiba memberitakan para pemain timnas kita bagai selebritas baru yang dikupas habis-habis dalam pemberitaannya? Inilah yang saya maksudkan dengan kelucuan itu. Coba perhatikan di layar kaca pada segment gosip artis pada beberapa minggu ini? Yang diberitakan hanyalah kegantengan Irfan Bachdim dan latar belakang pacarnya ataukah pemain naturalisasi Christian Gonzales. Artis-artis wanita pun dimintai komentarnya, yang maaf bagi saya lebih banyak mengomentari kegantengan daripada permainannya. Saya pun resah seperti keresahan Anas Urbaningrum yang nge-Tweet, jangan sampai si Irfan main sinetron saja.

Kehadiran media yang selama ini tidak biasanya meliput sepakbola juga dirasakan sangat mengganggu oleh pelatih Timnas Indonesia, Alfred Riedl. Sebagaimana diberitakan dalam situs goal.com, latihan pertama setelah libur selama dua hari usai melakoni tiga laga penyisihan Grup A, lapangan latihan timnas PSSI di kawasan Gelora Bung Karno Jakarta, Jumat [10/12], suasana bak pasar malam.

Selama ini, Riedl paling tidak suka jika ada media yang menyoroti individu pemain. Riedl pun akhirnya melarang media melakukan wawancara pemain di hotel, serta tak mengizinkan pemain menghadiri undangan datang ke stasiun televisi.

“Apa yang terjadi saat ini adalah pemain sudah seperti sirkus. Ini sudah sangat berlebihan. Kami ingin bekerja sama dengan media, tapi bukan seperti ini caranya. Pemain saya bukan seperti kuda sirkus, dan anda sutradaranya yang bisa menyuruh mereka melakukan ini dan itu. Itu tidak boleh terjadi,” cetus Riedl.

“Jika diangkat-angkat terus tentu seorang pemain sedikitnya akan merasa ‘tinggi’, itu yang tidak boleh, karena pasti dia akan beranggapan dirinya lebih baik dibanding yang lainnya. Padahal, sepakbola itu permainan tim, keberhasilan itu adalah kerja keras tim dan bukan individu,” ungkapnya.

“Kami akan berusaha menjauhkan media dari hotel, karena pemain jadi sangat terganggu. Kami berharap kalian bisa bekerja sama. Wawancara hanya boleh dilakukan saat pemain berjalan dari lapangan ke dalam bus usai latihan.”


Euforia masyarakat, sampai kapan?

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, euforia adalah perasaan gembira atau rasa nyaman yang berlebihan. Saya juga termasuk di antara masyarakat yang larut dalam euforia itu. Kapan lagi bisa melihat timnas kita memperlihatkan permainan cantik dan memperoleh kemenangan beruntun seperti itu? Apalagi selama ini kita sudah sudah miskin prestasi selama bertahun-tahun lamanya di persebakbolaan Asia Tenggara ataukah Asia pada umumnya. Kemenangan timnas juga bagai obat pelepas stress kita akan gejala sosial dan hukum yang menggerogoti negeri ini. Sejenak kita dihibur daripada pusing dengan berita-berita mafia hukum dan korupsi.

Tetapi, disinilah sebenarnya ujian yang sesungguhnya. Apakah dukungan sebagai bentuk nasionalisme kita hanya di saat kemenangan saja? Harus diakui penampilan gemilang Timnas kita di ajang piala AFF tahun ini melahirkan  banyak pecinta bola di negeri ini. Ibu-ibu yang sering nonton sinetron mulai berpaling ke olahraga paling  populer di dunia ini.  Anak-anak punya idola baru di timnas bukan hanya Messi ataukah Ronaldo.  Saya perhatikan, acara nonton bareng untuk timnas kita digelar dimana-mana manakala timnas bertanding. Sekali lagi kita mengapresiasi itu semua, tetapi jangan hanya euforia sesaat.

Menurut saya, euforia masyarakat jangan sampai seperti habis manis sepah di buang. Berbagai pengalaman dengan pelatih-pelatih sebelumnya yang mendapat caci maki karena tidak bisa memberikan kemenangan adalah pelajaran penting. Bola itu bulat dan selalu memberikan kejutan-kejutan. Kita tentu berharap Garuda terus terbang tinggi, tetapi jika suatu saat langkah kita akan tersendat, euforia itu jangan sampai surut. Terus dukung pelatih, pemain dan seluruh team. Untuk pengurus PSSI? Hmmmm, mari membahasnya.


Bukan kemenangan PSSI

Kita harus sepakat bahwa seandainya kemenangan timnas kita dalam ajang piala AFF bukanlah kemenangan PSSI. Lihatlah, di SUGBK, apapun hasilnya, suporter terus bernyanyi, “Nurdin turun, Nurdin turun, Nurdin turun.”

Selama kekuasaan Nurdin Halid dan antek-anteknya, timnas kita miskin prestasi. Jangankan prestasi, lolos ke Piala Asia 2011 dan kalah dalam penyisihan group pada SEA Games tahun lalu sudah menunjukkan bahwa arah sepakbola kita kian mengkhawatirkan. Herannya (dan inilah kelucuannya), di saat prestasi kita anjlok dan tidak bisa berbuat apa-apa, justru PSSI mengajukan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia 2022. Untungnya FIFA mencoret Indonesia sebagai peserta bidding tuan rumah karena tidak memenuhi syarat dan jaminan dari pemerintah.

Melihat prestasi timnas Indonesia sampai sejauh ini di ajang piala AFF, sepatutnya kita memberi apresiasi yang setinggi-tingginya untuk pelatih Alfred Riedl. Harus diakui, “bule” Austria itu menolak intervensi Nurdin cs dalam mengutak-atik timnas. Mau bukti? Alred Riedl pernah mengusir Manajer Timnas Andi Darussalam menjelang uji coba timnas melawan Maladewa. Kita harus salut pada pelatih Riedl dalam menekankan pentingnya kedisiplinan, sehingga pemain berkelas seperti Boaz Salosa yang selama ini “rutin” mendapatkan tempat di timnas didepak dari tim inti. Pemain senior dan kapten Bambang Pamungkas pun harus rela menjadi pemain cadangan dan keberanian pelatih Riedl untuk memberikan tempat bagi muka-muka baru penghuni timnas Indonesia haruslah diacungi jempol.


Harapan

Tentunya ada banyak harapan agar Garuda kita terus terbang tinggi, namun dibalik itu semua, tentunya kita tetap harus rendah hati dan menghormati setiap lawan, seperti kata pelatih Riedl. Menjaga momentum kemenangan adalah perjuangan seungguhnya, sehingga kita semua tidak larut dalam kemenangan yang berlebihan. Perjalanan masih panjang dan arah serta masa depan sepakbola kita terus menatap ke depan. Pembinaan pemain muda, menjauhkan olahraga dari politik dan korupsi serta perombakan kepengurusan PSSI untuk lebih profesional adalah harapan kita semua.

Yustus Maturbongs 
Sumber: kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar